BOGOR – Permasalahan belum juga terselesaikan sebab itu jalan Regional Ring Road (R3) di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor terancam ditutup, Jumat, 14 Desember 2018. Hal itu terjadi jika Pemerintah Kota Bogor tidak segera membayarkan ganti rugi lahan seluas 1.987 meter persegi milik Siti Khatijah.
Penutupan Jalan R3 sesuai dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor dengan nomor perkara 64/Pdt.G/2018/PN Bogor yang tertuang dalam akta perjanjian damai tertanggal 19 September 2018.
Kuasa pemilik lahan Salim Abdullah mengatakan, dalam akta perjanjian damai pasal 12 huruf c disebutkan bahwa para tergugat, Wali Kota Bogor Bima Arya, Sekretaris Daerah Ade Sarip Hidayat, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Bogor Chusnul Rozaqi harus menutup Jalan R3 yang berada di tanah milik penggugat apabila tidak dapat melaksanakan pembayaran sama sekali hingga 14 Desember 2018.
“Itu sudah sesuai dengan putusan pengadilan dan perjanjian antara pemilik tanah dan Pemkot Bogor. Ini keputusan inkrah yang harus dilaksanakan, enggak ada tawar menawar. Ini jadi cerminan bagi Pemkot Bogor, kalau tidak dilaksanakan akan menjadi keburukan dalam peradilan, karena jika tidak dilaksanakan sama saja tidak menghargai lembaga hukum,” ujar Salim Abdullah di Kota Bogor.
Salim Abdullah mengatakan, jika putusan pengadilan tidak dilaksanakan, pihak pemilik lahan akan segera melayangkan somasi kepada Pemkot Bogor dan Pengadilan Negeri Bogor. Selain penutupan jalan, poin krusial dalam putusan PN Bogor yang harus dilaksanakan adalah pembayaran ganti rugi.
“Jadi kalau dalam kurun satu tahun, atau paling lambat 14 Desember 2018 Pemkot Bogor tidak membayar ganti rugi, ya jalannya harus ditutup,” kata Abdullah.
Menurut Salim, sejauh ini pemilik lahan sudah memberikan toleransi kepada Pemerintah Kota Bogor dengan merelakan lahan mereka digunakan sementara sejak 2014. Namun demikian, hingga 2018 tidak ada itikad baik dari Pemkot Bogor untuk membayarkan ganti rugi.
Bahkan, pihak pemilik lahan menurut Salim sempat mendapatkan aksi kriminalisasi dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Lalu Lintas terkait penutupan jalan.
“Ini sebenarnya prosesnya sudah dari 2011. Tanah kami masuk dalam DED, tetapi tidak ada pelaksanakan pembayaran dari Pemkot Bogor. Pada 2014 saat pembangunan juga tidak masuk anggaran. Kita sempat ada kesepakatan dengan sekda dan kadis, untuk mengeluarkan surat keterangan tukar menukar lokasi, tetapi tidak ada progres sampai sekarang,” ucap Abdullah.
Menurut Abdullah, pihak pemilik lahan meminta agar Pemkot Bogor melakukan pengukuran ulang oleh tim appraisal. Namun sampai saat ini belum ada tim appraisal yang melakukan pengukuran tersebut.
Jika merujuk pada harga tanah saat ini, Abdullah memprediksi Pemkot Bogor harus menyediakan kurang lebih Rp 15 miliar untuk membayar ganti rugi lahan keluarganya.
“Kami minta harganya disesuaikan dengan harga saat ini. Kalau sekarang ini harga tanah di sini sudah Rp 7 sampai 9 jutaan, belum termasuk kompensasi dari penggunaan lahan. Bukannya kami menghambat pembangunan, tetapi ini hak kami. Komunikasi sudah sering dilakukan, tetapi hanya PHP belaka,” tandasnya.(*/P Alam )
CIANJUR – Aliansi Masyarakat untuk Penegakan Hukum (Ampuh) menanggapi positif kasus OTT terhadap Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar. Ketua Presidium Ampuh Yana Nurzaman mengatakan, OTT tersebut membuktikan bahwa KPK tidak tinggal diam dengan isu korupsi di Cianjur.
“Akhirnya ketidakpercayaan masyarakat Cianjur terhadap KPK dalam mengusut tuntas dugaan praktek korupsi di bumi tatar santri, dibayar lunas oleh tim senyap KPK,” Yana Nurzaman, Rabu 12 Desember 2018.
Pimpinan aliansi masyarakat yang kerap mengkritisi pemerintahan Irvan Rivano Muchtar itu mengatakan, bahwa selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk membebaskan Cianjur dari tindakan-tindakan korupsi. Ia pun menganggap OTT KPK terhadap Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar sebagai hadiah menjelang pergantian tahun anggaran.
Yana berterima kasih dan mengapresiasi apa yang telah dilakukan tim KPK. Diharapkan, pengungkapan kasus itu akan menambah semangat pegiat anti korupsi di Cianjur, untuk semakin memerangi tindakan menyimpang tersebut.
Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar memang sejak lama mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Bahkan, Irvan Rivano Muchtar beberapa kali diminta untuk mundur dari jabatannya karena dianggap melakukan penyimpangan.
Salah satunya, Koalisi Ulama dan Ummat (Komat) yang menilai Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar melakukan pelanggaran serta penyimpangan kekuasaan. Komat mengendus hal itu, ketika dipindahkannya pusat pemerintahan ke Campaka, Cianjur selatan.
Disebutkan, ada indikasi korupsi maupun pelabrakan aturan pada mega proyek di wilayah tersebut. Koordinator Komat Ridwan Mubarok mengatakan, kondisi itu terus berlarut-larut tanpa ada klarifikasi langsung dari Bupati Irvan Rivano Muchtar.
Maka dari itu, wacana pemakzulan pun muncul. Diberitakan sebelumnya, KPK mengamankan Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar bersama lima orang lainnya dalam kegiatan OTT di Kabupaten Cianjur.
“Enam orang yang diamankan itu terdiri dari kepala daerah, kepala dinas dan kepala bidang, dari unsur musyawarah kerja kepala sekolah, dan pihak lain,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta .
Syarif mengatakan, sejak Rabu subuh tim Penindakan KPK ditugaskan ke Cianjur. KPK pun mengamankan enam orang dan kemudian dibawa ke gedung KPK untuk proses lebih lanjut.
“Hal itu dilakukan setelah didapatkan bukti awal dugaan telah terjadi transaksi suap terhadap penyelenggara negara,” ucapnya.
Sebelumnya, kata dia, KPK mendapat informasi akan ada penyerahan uang terkait dengan anggaran pendidikan di Cianjur.
“Setelah kami lakukan pengecekan di lapangan, terdapat bukti awal adanya dugaan pemberian suap untuk kepala daerah,” katanya.KPK menduga uang tersebut dikumpulkan dari kepala sekolah untuk kemudian disetor ke bupati.(*/Yan)
BANDUNG – Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank BJB yang digelar di Bandung, Selasa (11 Desember 2018) memutuskan penggantian direksi, dalam hal ini Ahmad Irfan dicopot dari posisinya sebagai direktur utama untuk diganti dengan pejabat baru.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sebagai wakil pemegang saham mengatakan sejauh ini Bank Jabar sudah bagus, namun dia ingin lebih memberi tantangan, terutama untuk memperbesar porsi kredit mikro (UMKM).
Oleh karena itu, kami membutuhkan sosok baru yang bisa menjawab tantangan ini. Maka keputusannya adalah memberhentikan Direktur Utama,” katanya.
Meski dicopot, lanjut Kamil, Ahmad Irfan masih boleh ikut seleksi lagi, yakni mengikuti fit and proper test untuk membuktikan diri. RIdwan Kamil membantah bahwa ada alasan lain sehingga Ahmad Irfan dicopot.
“Ini tantangan baru, kami butuh orientasi baru. Direksi sekarang kami persilakan ikut test lagi, jadi bukan alasan-alasan lain,” ujarnya.
Emil melanjutkan, sosok Dirut baru nanti akan mengikuti tahap seleksi yang dilakukan oleh tim yang dibentuk. Bila tidak ada halangan hasil fit and proper ini akan diumumkan pada saat RUPS tahunan di Maret 2019 mendatang.
“Intinya fit and proper ini Maret saat RUPS (diumumkan). Sekarang kita masih nunggu dulu aprove OJK dulu menganggar RUPLB ini sesuai prosedur,” katanya.
Selain itu, tambah dia, karena OJK melarang adanya kekosongan jabatan di jajaran direksi bank, maka dalam beberapa bulan ke depan akan ada ada jajaran direksi yang merangkap jabatan.
“Direktur Kepatutan akan merangkap menjadi Dirut terus Direktur Komersil merangkap Direktur Retail sehingga sampai Maret tidak ada kekosongan jabatan,” ucapnya.
Menurut Ridwan Kamil, pelepasan saham pemerintah provinsi Banten di Bank BJB, juga menjadi bagian dari agenda RUPSLB. Saham tersebut di Bank BJB yang akan diambil oleh Pemprov Jawa Barat. Pemprov Banten memiliki kurang dari 5% saham Bank BJB.
“Agenda dua adalah Pemprov Banten akan melepas sahamnya dan mengusulkan namanya tidak ada lagi Banten (dalam nama Bank BJB). Jadi tidak ada lagi Bank Jabar Banten. Kalaupun iya, saya minta namanya tetap BJB saja, Bank Jawa Barat,” kata Ridwan Kamil.
Sejauh ini Pemprov Banten kini sudah punya bank daerah sendiri yang diberi nama Bank Banten. Ini merupakan lanjutan aksi para 2016, perusahaan investasi milik Pemprov Banten bernama Banten Global Development mengakuisisi Bank Pundi dari Recapital Advisor. Kemudian jadi Bank Banten. (*/Hend)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi untuk dimintai keterangan terkait kasus suap perizinan proyek Meikarta.
“Penyidik sudah melayangkan pemanggilan untuk beberapa anggota DPRD Kabupaten Bekasi terkait suap perizinan Meikarta,” jelas Jurubicara KPK, Febri Diansyah, (11/12/18).
Adapun pimpinan yang dipanggil adalah Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Sunandar; Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi; Mustakim dan Daris.
Selain itu, penyidik juga melakukan pemanggilan terhadap Sekretaris Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bekasi, Henry Lincoln.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka yang terdiri dari unsur pejabat dan PNS di Bekasi, serta pihak swasta.
Mereka adalah Bupati Bekasi, Neneng Hasanah; Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin; Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat MBJ Nahor; Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati; dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi.
Adapun dari pihak swasta adalah Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro; konsultan Lippo Group Taryadi dan Fitra Djaja Purnama, serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen. (*/Al)
JAKARTA – Tidak hanya peserta pemilu, rakyat Indonesia memang sudah semestinya khawatir dengan Pemilu khususnya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jelang pemilu, DPT selalu menjadi polemik.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta dalam diskusi bertajuk “Pilpres Jujur dan Adil, Ilusi atau Harapan?” di Kantor Seknas Prabowo-Sandi, Jalan Hos Cokroaminoto Nomor 93, Menteng, Jakarta Pusat, (11/12).
Pembicara lain dalam diskusi itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh; peneliti senior LIPI, Siti Zuhro; Wakil Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati; dan Wakil Direktur Data dan Informasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Nur Iman Santoso.
Kaka melihat ada yang tidak beres dengan DPT Pemilu serentak 2019. Harusnya DPT sudah ditetapkan pada 5 September lalu tapi karena permohonan berbagai pihak seperti Bawaslu dan partai politik sehingga diundur.
“Di UU tidak ada dan belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya pada saat penetapan selesai. Tapi KPU tidak mau katakan “tidak ditetapkan”, tapi sudah ditetapkan dengan pencermatan. Di hari ke-10 terjadi lagi permintaan dari KPU dengan tambahan waktu 60 hari. Dan terulang 30 hari. Saya hitung 100 hari.
Angka-angka geserannya cukup besar,”kata Kaka.
Jelas dia, awalnya Kemendagri menyerahkan Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) di kisaran angka 191 juta kepada KPU. Kemudian saat penetapan turun menjadi 185 juta pemilih.
“Kemudian Dukcapil (Kemendagri) mempunyai catatan, ada 31 juta yang ditenggarai diduga invalid kegandaan dan sebagainya. Tetapi di luar itu, ada 25 juta yang belum masuk ke DPT. Ini sesuatu yang mengagetkan,” ungkapnya.
Terakhir, Kaka berharap saat penetapan 15 Desember nanti polemik DPT sudah tuntas. (*/Ag)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil empat saksi dalam penyidikan kasus suap terkait kegiatan mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
KPK total telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu, yakni Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra (SUN) dan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto (GAR).
“Hari ini, dijadwalkan pemeriksaan terhadap empat orang saksi untuk tersangka SUN terkait kasus suap kegiatan mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 10 Desember 2018,
Empat saksi itu antara lain Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Dede Sudiono, Kepala Bidang Sumber Daya Air PUPR Kabupaten Cirebon Rahman, Kepala Bidang Irigasi PUPR Kabupaten Cirebon M Rizal, dan Camat Ciwaringin Kabupaten Cirebon Bambang Sudaryanto.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK masih terus mendalami pengetahuan saksi tentang pemberian-pemberian lainnya untuk tersangka Sunjaya Purwadisastra terkait mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Dalam kegiatan tangkap tangan dalam kasus tersebut, KPK meyita sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang rupiah sebesar total Rp385,65 juta dengan rincian Rp116 juta dan Rp269,965 juta dalam pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah.
Selanjutnya, bukti transaksi perbankan berupa slip setoran dan transfer senilai Rp6,425 miliar.
Diduga pemberian oleh GAR kepada SUN melalui ajudan Bupati sebesar Rp100 juta terkait “fee” atas mutasi dan pelantikan GAR sebagai Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon.
Diduga Sunjaya sebagai Bupati juga menerima pemberian Iainnya secara tunai dari pejabat-pelabat di lingkungan Pemkab Cirebon sebesar Rp125 juta melalui ajudan dan sekretaris pribadi Bupati.
Modus yang diduga digunakan adalah pemberian setoran kepada Bupati setelah pejabat terkait dilantik. Nilai setoran terkait mutasi ini diduga telah diatur mulai dari jabatan lurah, camat hingga eselon III.
Selain pemberian tunai terkait mutasi jabatan, diduga Sunjaya juga menerima “fee” total senilai Rp6,425 miliar yang tersimpan dalam rekening atas nama orang lain yang berada dalam penguasaan Bupati yang digunakan sebagai rekening penampungan terkait proyek-proyek di lingkungan Pemkab Cirebon Tahun Anggaran 2018.(*/Adyt)
BANDUNG – Mantan Bupati Tasikmalaya yang kini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum akan dihadirkan menjadi saksi di persidangan kasus korupsi dana hibah Kabupaten Tasikmalaya. Sidang tersebut telah bergulir dengan melibatkan mantan anak buahnya, Abdul Kodir (Mantan Sekda) dan terdakwa lainya.
Uu perlu dimintai keterangannya dipersidangan karena dia menandatangani akta hibah tersebut.
“Kami akan ajukan mantan bupati Tasik untuk jadi saksi dalam persidangan kasus ini. Saya kira perlu Pak Uu itu dimintai keterangannya agar kasus ini menjadi terang benderang,” ujar penasehat hukum terdakwa Abdul Kodir, Bambang Lesmana. Ia mengatakan hal itu usai sidang pembacaan dakwaan terhadap 9 terdakwa kasus korupsi hibah kabupaten Tasikmalaya yang digelar di Ruang VI Pengadilan Tipikor Bandung, Senin 10 Desember 2018.
Bambang secara gamblang menyebut Wakil Gubernur Jabar harus menjadi saksi di persidangan kasus korupsi dana hibah karena dia saat menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya menandatangani akta hibah tersebut. “Kita akan buka semuanya. Ada yang samar samar, kita bikin terang benderang di persidangan ini,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai tidak diperiksanya mantan bupati Tasik oleh penyidik Polda Jabar, Bambang Lesmana menyatakan bahwa itu merupakan hak penyidik Polda Jabar. Tapi menurut Bambang, pihaknya memandang perlu mantan Bupati untuk diperiksa di persidangan ini.
“Kami tidak memandang penyidik keliru atau kurang cermat, karena itu kewenangan penyidik yang tentu saja sudut pandangnya beda. Tapi kami memandang harus dimintai keterangannya dipersidangan.. ini harus dibuka, yang masih tertutup di Polda Jabar kita ungkap semuanya di persidangan,” ujarnya.
Lebih lanjut Bambang menerangkan bahwa SK hibah itu ditandatangi oleh bupati selaku pengambil kebijakan. “Setelah mencermati, dan melihat saksi yang diajukan dari pihak kejaksaan tidak ada nama Pak Uu. Makanya saya memutuskan untuk mengusulkan ke majelis hakim supaya beliau dihadirkan menjadi saksi,” ujarnya.
Bambang juga sempat menyinggung mengenai dakwaan yang telah dibacakan di ruang persidangan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa hibah itu dikeluarkan sesuai dengan SK bupati. Tapi kenapa bupatinya tidak masuk daftar saksi yang akan dihadirkan dipersidangan oleh jaksa. Itu juga menjadi dasar kami untuk mengajukan wakil gubernur jabar ini menjadi saksi.
Menurutnya, dakwaan terhadap kliennya sudah selesai dibacakan, nanti akan kami counter dari saksi saksi dan bukti bukti. Kita sudah siapkan bukti buktinya, apakah benar dakwaannya atau tidak. “Kita punya saksi mahkota, ada saksi dari luar juga lah, sekarang yang penting ada saksinya. Tidak boleh disebutkan satu persatu nanti terbuka. Jangan jangan nanti kalau terbuka dihalang halangi atau segala macem. Pokoknya ada saksi dari dalem maupun dari luar. Bukti juga kita lengkapi,” ujarnya.
Atas dakwaan tersebut, Bambang menyatakan, tidak akan mengajukan eksepsi sehingga sidang selanjutnya akan akan digelar pemeriksaan saksi saksi. “kita akan langsung masuk ke materi dakwaan, kita akan buktikan dalam proses persidangan selanjutnya yaitu saksi jaksa, bukti dari jaksa, dan saksi dari saya dan bukti dari saya, kita sudah siapkan. Apakah benar ceritanya seperti itu,” pungkasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Biaya politik tinggi yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) mendorong mereka melakukan penyimpangan seperti, korupsi, menerima suap dan akhirnya mereka menjadi sasaran operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Demikian disampaikan mantan Menteri Keuangan era Orde Baru, Fuad Bawazier yang dihubungi di Jakarta, Minggu (8/10). “Belum lagi mereka harus membayar mahar kepada partai politik (parpol) yang mendukungnya, ‘ kata Fuad.
Menurut Fuad, inilah yang mendorong mereka melakukan korupsi dan praktik suap. Praktik penyimpangan tersebut juga yang menghambat investasi di daerah, karena bukan tidak mungkin mereka menghambat perizinan investasi di daerahnya hanya untuk kepentingan uang bagi kepala daerah tersebut.
“Ini semua seperti saya sebutkan tadi biaya politik yang tinggi yang dikeluarkan saat kampanye, dan juga pemberian mahar bagi parpol pendukungnya yang menjadi kepala daerah korupsi,” terang Fuad.
Ia menambahkan sebaiknya sistem rekrutmen kepala daerah diubah, tidak lagi melalui pemilihan langsung. Namun melalui pemilihan tidak langsung di DPRD untuk calon bupati dan walikota, sedangkan untuk calon gubernur ditunjuk langsung oleh presiden.
Fuad juga mengakui pemilihan kepala daerah tidak langsung mungkin tidak bebas dari korupsi, tapi lebih mudah mengawasi kalau terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh anggota DPRD.
“Sebab itu, saya mengusulkan sebaiknya pemilihan kepala daerah untuk bupati dan walikota dilakukan di DPRD dan calon gubernur ditunjuk langsung presiden,” pinta Fuad.
Ia menambahkan dengan pemilihan kepala daerah di DPRD, maka biaya politik tinggi yang harus ditanggung para calon dapat dihindari sehingga mereka tidak seperti dikejar-kejar hutang setelah terpilih menjadi kepala daerah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mencatat 77 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendagri juga mencatat ada 300 lebih kepala daerah yang pernah bermasalah dengan hukum.(*/ Im)
JAKARTA – Ditemukannya kasus jual beli blangko e-KTP di situs online dan Pasar Pramuka, Jakarta mendapat perhatian khusus Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya, kasus ini, bersama dengan kasus 31 juta pemilih yang belum masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), bisa membuat kredibilitas penyelenggaraan Pemilu 2019 menghadapi tantangan besar.
Menurutnya, harus ada audit terhadap proses pembuatan e-KTP dan ekspose terbuka dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas kasus ini. Jika tidak, Kemendagri bisa dianggap gagal mengamankan data kependudukan.
“Apapun isu terkait e-KTP memang bisa menjadi bola panas Pemilu 2019. Sebab, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa e-KTP menjadi syarat sah bagi pemilih. Syarat ini bagus jika administrasi kependudukan kita terjaga ketat. Namun sebagaimana bisa kita lihat, administrasi Kemendagri cukup buruk menangani hal ini,” ujarnya ,(8/12/2018).
Dia menuturkan kasus jual beli blangko e-KTP ini bukan kasus pertama yang menunjukkan buruknya standar kerja Kemendagri terkait proses perekaman data, pendistribusian, dan kontroling pencetakan e-KTP. Pada Mei lalu, misalnya ada kasus temuan ribuan e-KTP tercecer di Bogor.
“Sebelumnya, pada 18 Maret 2017, di tempat sampah bekas Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, juga pernah ditemukan kasus serupa,” kata dia.
Jadi, kata Fadli, Kemendagri sepertinya tak punya prosedur ketat dan terkontrol menjaga seluruh lini terkait proses pembuatan e-KTP ini. Padahal ini potensial diselewengkan.
“Di bank saja, misalnya jika ada ATM rusak langsung digunting pihak bank karena rentan disalah-gunakan. Ini bagaimana bisa blanko e-KTP keluar tanpa terdeteksi secara internal? Mengingat e-KTP merupakan instrumen penting dalam penggunaan hak pilih, Kemendagri seharusnya tak boleh bekerja amatiran. Apalagi ‘raw material’ data pemilih kan asalnya memang dari Kemendagri,” jelasnya.
Untuk menjaga kredibilitas Pemilu 2019, sambung dia, kita perlu menjaga administrasi data kependudukan dan pemilih ini. Merujuk data kependudukan di Kemendagri saat ini dari 261 juta penduduk yang wajib memiliki KTP berjumlah 189 juta.
Akan ada sekitar 7 juta jiwa berusia 17 tahun pada April 2019 nanti maka Kemendagri pada Desember 2017 lalu menetapkan total DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) untuk Pileg dan Pilpres 2019 berjumlah 196.545.636. Dari daftar itu, sejak Agustus lalu KPU telah beberapa kali menetapkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) dan merevisinya.
Pada akhir September 2018, sesudah ada masukan, koreksi dan sejenisnya data pemilih dalam negeri ditetapkan sebanyak 185.084.629 pemilih. Sementara, jumlah TPS sebanyak 805.068. Adapun untuk pemilih luar negeri, jumlahnya ditetapkan 2.025.344 pemilih. Ini menjadi DPT Hasil Perbaikan Tahap 1.
“Sebagai catatan, sejak Pleno KPU tanggal 5 September 2018, hingga perbaikan tahap 1 tadi, Gerindra bersama dengan beberapa partai koalisi telah mengajukan penolakan penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap), karena ada sekitar 25 juta data ganda dalam DPS yang kami temukan. Ini harus dibersihkan dulu datanya,” jelas Waketum Gerindra ini.
Fadli berpandangan celakanya awal Oktober lalu Kemendagri malah memberikan catatan ada 31 juta orang yang sudah melakukan perekaman e-KTP tapi belum masuk dalam DPT. Padahal, menurut Kemendagri angka 31 juta yang disebut itu sudah masuk dalam DP4. Ini telah membuat proses penyusunan DPT jadi meraba-raba lagi, sehingga hingga kini kita masih belum punya DPT.
“Untuk melindungi hak pilih, serta menjaga kredibilitas Pemilu 2019, saya ingin meminta masyarakat luas ikut proaktif melakukan pengecekan data pemilih di lingkungannya. Minimal mengecek keikutsertaannya sendiri sebagai pemilih. Jangan sampai administrasi kependudukan yang buruk dan tidak terkontrol melahirkan potensi penyelewengan. Masih ada waktu hingga pekan depan melakukan perbaikan DPT.”
Dia pun mengajak masyarakat mengawal proses koreksi DPT. Dia mengingatkan jangan sampai demokrasi dan suara rakyat dinodai oleh DPT siluman.
“Itu sebabnya setiap proses pelanggaran administrasi kependudukan, termasuk jual beli blangko e-KTP, harus diusut dan dihukum berat. Dan Kemendagri harus siap diaudit, agar kasus ini jadi transparan dan tidak terulang kembali,” tandasnya.(*/Im)
BOGOR – Suhu politik jelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 makin panas. Bupati Bogor terpilih yang juga Ketua DPW PPP Jawa Barat Ade Yasin, meminta masyarakat tetap rasional menyikapinya.
Menurut Ade Yasin, menjaga persaudaraan antar sesama masyarakat menjadi begitu penting.
“Oleh karena itu, saya serahkan sepenuhnya pilihan untuk Pilpres kepada masyarakat. Saya tidak akan mengintervensi.
Biar masyarakat sendiri yang menilai dan memberikan dukungannya,” kata Ade Yasin dalam Rapat Koordinasi relawan Capres nomor 01 yang tergabung dalam Superjo (Suara Pergerakan Rakyat Untuk Jokowi) di IPC Sentul, Bogor, Kamis (6/12/2018).
Rapat Koordinasi Superjo ini dihadiri sekitar empat ratus lima puluh orang relawan. Selain itu, juga terlihat Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy.
Ade Yasin yang akan dilantik menjadi Bupati Bogor periode 2018-2023 pada 30 Desember mendatang, mengaku langkah yang diambilnya ini demi terciptanya iklim demokrasi yang sejuk.
Karena itu, dia bersama Wakil Bupati Bogor Terpilih Iwan Setiawan sepakat untuk tetap menjaga komitmen menciptakan Pilpres 2019 yang damai tanpa hoaks dan ujaran kebencian.
“Saya dengan pak Iwan sepakat untuk mensukseskan pilihan masing-masing. Tapi tetap dalam bingkai persaudaraan. Menciptakan Pilpres yang damai sejuk, tanpa hoaks dan ujaran kebencian,” pungkasnya. (*/P Alam)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro