JAKARTA – Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan dalam kerjasama militer dengan Arab Saudi, tidak akan pengaruhi bergabung dalam koalisi. Baginya pelatihan militer harus dibedakan dalam misi perlawanan terhadap ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
“Presiden bilang semua harus dianalisis dulu, jangan sampai gegabah ambil keputusan,” jelas Gatot usai konferensi pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, (18/12).
Dia menegaskan posisi Indonesia harus bebas aktif. Baginya pelatihan militer atau bergabung dalam koalisi adalah hal yang berbeda.
“Jadi kita tidak akan masuk ke koalisi apapun juga. Kalo latihan ya latihan.” bebernya.
Meski begitu, Gatot sebagai bawahan presiden akan menunggu putusan pemerintah. “Kita tunggu aja, keputusan pemerintah,” pungkasnya.
Sebelumnya kerajaan Arab Saudi mengumumkan rencana koalisi 34 negara-negara berpenduduk mayoritas muslim membentuk aliansi militer melawan terorisme dari kelompok ekstremis maupun Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Aliansi ini berbentuk pusat operasi bersama yang nantinya didirikan di Ibu Kota Riyadh.
Aliansi tersebut muncul di tengah tekanan internasional lantaran Arab Saudi tidak bergeming melihat kasus terorisme yang terjadi di berbagai negara, yang mengatasnamakan Islam dalam aksinya.
Indonesia disebut-sebut turut bergabung dengan aliansi ini. Namun hal tersebut dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia.(*Ars)
JAKARTA – Badan Bantuan Hukum dan Advokasi (BBHA) Pusat DPP PDIP melaporkan kepada Bawaslu RI dugaan ketidaknetralan aparat TNI dalam Pilkada Kepulauan Riau. Laporan telah diterima Bawaslu dengan nomor Penerimaan Laporan/Tanda bukti Penerimaan laporan: 010/LP/PGBW/XII/2015 pada tanggal 10/12 2015.
“Kami meminta kepada Bawaslu RI untuk dapat memanggil dan meminta keterangan pihak-pihak terkait dalam permasalahan dimaksud,” kata Menurut Sekretaris BBHA, Sirra Prayuna, dalam siaran persnya, Jumat 11 Desember 2015.
Sirra menegaskan, partainya menemukan beberapa rangkaian peristiwa tentang keterlibatan anggota TNI. Bahkan, keterlibatan dalam politik praktis di pilkada patut diduga secara struktural/komando yang diduga ditarik-tarik untuk mengondisikan kepentingan tertentu.
“Di Kota Batam, TNI telah melakukan secara terbuka penggelaran kekuatan TNI, pada bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis,” katanya.
PDIP menemukan bahwa telah terjadi intimidasi oleh anggota Babinsa Kelurahan Lengkong Sedai terhadap Koordinator Saksi Pilkada 2015, yang juga merupakan Pengurus PAC PDI Perjuangan, Kecamatan Bengkong, Batam, Kepri. Insiden itu terjadi di kediaman Alex pada hari Kamis, 9 Desember, sekitar pukul 01.00 WIB.
Peristiwa tersebut melibatkan lebih kurang 7 orang anggota TNI dengan cara datang ke rumah Alex dan memaksa Alex naik ke mobil dan dibawa ke Kantor Kodim dengan alasan akan dilakukan pemeriksaan atas tuduhan money politics.
“Peristiwa itu mengakibatkan persiapan Tim Pemenangan yang akan menyiapkan saksi menjadi terganggu dan tidak bisa dilaksanakan dengan baik,” ujarnya.
Dugaan pelanggaran lainnya, adalah tindakan Komandan Kodim Batam yang telah mengumumkan secara terbuka tentang telah dilakukannya penangkapan dan penahanan terhadap Alex melalui media masa cetak dan elektronik, yang secara nyata telah menunjukkan tindakan TNI yang bertindak sendiri tanpa menghiraukan ketentuan perundang-undangan tentang Pilkada khususnya mengenai kewenangan Gakumdu.
“Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi mobilisasi TNI dalam proses Pilkada Kepri di Kota Batam, yaitu Komandan Kodim (Dandim) secara terang-terangan telah memosisikan institusi TNI memasuki ranah politik praktis yaitu dalam bentuk “melakukan penindakan langsung atas dugaan pelanggaran yang belum terverifikasi dengan baik”. Bukan dengan cara membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana yang diatur dalam undang-undang,” katanya.
BBHA Pusat DPP PDIP menyatakan sikap, bahwa tindakan TNI tersebut nyata-nyata merupakan bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2), Ketetapan MPR Nomor: VII/MPR/2000, Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta UU RI No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Bahwa tindakan tersebut nyata-nyata telah mengakibatkan persiapan Tim Pemenangan yang akan menyiapkan saksi menjadi terganggu dan tidak bisa dilaksanakan dengan baik,” pungkasnya.(*Har)
JAKARTA – Sudah hampir sebulan lebih kebakaran hutan selesai, namun sampai saat ini, juistru belum ada satupun berkas perkara pembakaran hutan, yang dituntut dan diajukan ke pengadilan.
Jaksa Agung HM Prasetyo beralasan institusinya tengah menyupervisi penanganan perkara-perkara hutan yang ditangani oleh sejumlah Kejaksaan, dimana peristiwa kehutanan terjadi.
“Kita sudah kirim sejumlah jaksa ke sejumlah daerah untuk supervisi penanganan perkara-perkara kehutanan,” kata Prasetyo, di Kejaksaan Agung usai melantik para pejabat eselon dua, di Sasana Baharuddin Lopa, (11(12).
Pembakaran hutan terjadi sekitar akhir Agustus dan berakhir akhir November 2015. Sejumlah individu dan korporasi telah dijadikan tersangka dan dalam status tahanan.
Namun, mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) ini belum dapat memastikan supervisi selesai dan tindak lanjut perkara yang sudah terima dan bakal diajukan ke pengadilan.
Empat SPDP Untuk Korporasi
Jampidum Noor Rachman kepada wartawan, sebelum ini menyebutkan baru empat SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) atas nama korporasi, yang diterima dan satu berupa berkas. Berkas itu pun dikembalikan ke Mabes Polri untuk dilengkapi.
Hanya saja, perusahaan mana yang sudah menjadi berkas, Noor mengaku tidak ingat. “Saya tidak ingat, nanti saya beritahukan besok,” ujarnya saat dicegat saat keluar dari kantornya, belum lama ini.
Sejauh ini, dari empat SPDP, tiga di antaranya, adalah PT Bumi Mekar Hijau, PT Tempiral Palm Rwsources dan PT Waimusi Agroindah.
Selain itu, sudah diterima 120 berkas perkara kehutanan dari seluruh Kejaksaan Tinggi (Kejati), dimana kebakaran terjadi, seperti di Sumsel, Jambi, Riau, Kalbar dan Kalteng. (*Adyt)
PEKANBARU – Aparat Polresta Pekanbaru menganiaya wartawan hingga tak sadarkan diri di lokasi Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ke-29 di Kota Pekanbaru, Riau, Sabtu (6/12).
Kejadiannya bermula ketika Zuhdi Febrianto, seorang wartawan online bersama rekan sejumlah media meliput saat sejumlah personel polisi dari Polresta Pekanbaru mengamankan seorang pria di GOR Remaja, tempat Kongres HMI berlangsung.
Para awak media berupaya mengambil gambar dengan mengikuti aparat polisi yang menyeret orang tersebut hingga di depan pintu gerbang GOR.
Kejadian itu ternyata tidak disukai oleh sejumlah personel polisi. Alhasil, seseorang polisi berteriak-teriak dan sambil mendorong pagar yang kemudian mengenai kepala Zuhdi.
Zuhdi, mencoba membela diri sambil menunjukkan kartu identitasnya. Namun, hal itu tidak digubris polisi. Bahkan aksi polisi itu berujung kepada kekerasan.
Beberapa polisi justru menganiaya Zuhdi hingga terseret beberapa meter karena mendapat pukulan, tendangan, hingga tamparan rotan ke kepalanya hingga jatuh dan tak sadarkan diri.
Zuhdi jatuh di tepi jalan hingga akhirnya ditolong oleh rekan jurnalis lainnya. Korban langsung dibawa ke RS Syafira Pekanbaru.
Sebelum kejadian penganiayaan itu, pihak kepolisian banyak melakukan penggiringan terhadap anggota Kongres HMI. Sekitar tiga orang digelandang ke luar karena dikeluarkan oleh panitia kongres. Setelah melakukan penggiringan ketiga itu, polisi juga menggiring seseorang yang mengaku alumni.
Alumni itu meminta polisi tidak berlaku kasar kepada peserta kongres HMI, namun polisi justru beradu mulut dengannya dan menggiringnya ke dalam. Pada saat terakhir itulah terjadi bentrokan susulan dengan wartawan Zuhdi yang menjadi korban.(*Gint)
BOGOR – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih kesulitan untuk mengembalikan uang negara yang dicuri korupsi. Hal itu karena UU Tindak pidana korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak mampu menjangkau aset koruptor.
Oleh karena banyaknya aset koruptor yang tidak terjangkau UU Tindak pidana korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak segera mensahkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP).
Hal itu harus dilakukan demi memaksimalkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyita aset-aset para koruptor.
Belum disahkannya Undang-undang PATP, membuat KPK sulit mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan tindak pidana korupsi hingga mencapai lebih dari 50 persen.
Dalam penelitian sejak tahun 2008 hingga 2011, jaksa yang menangani perkara korupsi rata-rata hanya menuntut 44 persen dari kerugian negara yang ditimbulkan tindak korupsi. Data itu didapat berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Persentase itu bahkan menyusut hingga menjadi hanya 7 persen saat perkara tersebut berkekuatan hukum tetap atau ‘inkracht’.
“Menjelang inkracht, rata-rata hanya 7 persen dr kerugian negara yang dituntut tadi. Di KPK, kita lihat, yang dibayar uang penganti. Ternyata uang penganti yang dibayar terpidana hanya 50 persen, sisanya menjalani penjara. Denda juga sekitar 50 persen,” jelas Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Zulkarnain dalam sebuah acara di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, (20/11).
Selama ini, Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana, belum juga masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas). Benar-benar masih jauh panggang dari api.
“Masih ada keterbatasan, kita melalui penindakan di KPK. Undang-undang ini perlu didorong. Tentu ada aset yang memang tidak terjangkau. Tipikor kemudian TPPU juga tidak menjangkau, meski koruptor juga tidak bisa membuktikan mendapat aset tersebut dengan cara yang sah. Sementara harta yang dimiliki luar biasa,” desaknya.
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, masih dalam tahap sosialisasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dengan menggandeng sejumlah lembaga seperti Kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan KPK serta akademisi dan masyarakat. Pembahasan RUU ini masih perlu didiskusikan, terutama menyangkut institusi yang berwenang terlibat dalam perampasan aset tindak pidana tersebut.
“Sudah ada juga draftnya yang dikerjakan pimpinan, cuma gak dimasukkan dalam Prolegnas,” tandasnya. (Pk/ARS)
BANDUNG – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung kembali membebaskan terdakwa korupsi. Kali ini yang dibebaskan terdakwa korupsi adalah Alex Tachsin, Wakil Sekertaris Pengadilan Negeri Bandung yang tersangkut kasus korupsi.
Putusan tersebut dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Eko Haryanto di ruang II Pengadilan Tipikor Bandung, (19/11).
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diketuai jaksa Fauzi Marasabesi menuntut 2 tahun penjara denda Rp 50 juta, subsider 3 bulan dan uang pengganti Rp 400 juta bila tidak dibayar dikenakan kurungan 3 bulan.
Jaksa menilai terdakwa Alex telah melanggar pasal 2, pasal 3, pasal 18 dan pasal 18. Namun majelis hakim berpendapat lain, terdakwa dinyatakan tidak terbukti melanggar empat pasal tersebut karena terdakwa tidak terbukti melanggar dalil yang didakwakan jaksa.
“Mengadili, membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Membebaskan terdakwa dari tahanan. Kemudian memulihkan hak martabat terdakwa,” ujar Eko saat membacakan putusannya.
Menurut hakim, unsur yang membuat bebas terdakwa Alex yakni adanya surat PN Bandung tentang status hukum kelebihan tanah SMA 22 seluas 4150 meter persegi.
Alex saat itu menerbitkan surat bahwa kelebihan tanah SMA 22 tersebut adalah milik ahli waris Iji Hartaji. Namun diduga surat itu tidak sesuai aslinnya.
Sementara dilain pihak Pemkot Bandung dalam mencairkan penggantian tersebut tidak berdasarkan surat yang diterbitkan Alex tapi berdasarkan surat warkah, leter c, keterangan camat dan legal opinion dari Kejati Jabar. Dari itulah unsur melawan hukum terdakwa tidak terpenuhi.
Kemudian unsur menerima gratifikasi juga tidak terpenuhi karena Alex menerima Rp 400 juta dari ahli waris Iji Hartaji melalui pengacara Abidin bukan balas jasa pencairan tanah SMA 22, tapi atas pembayaran utang piutang, sebagaimana dibenarkan dalam persidangan oleh saksi pengacara Abidin dan ahli waris Iji Hartaji, yakni Rahmat Afandi Hartaji.
Karena unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, maka terdakwa harus dibebaskan.
Selain memebaskan dari semua dakwaan dan tuntutan Alex juga segera dikeluarkan dari tahanan. (*Asp)
BEKASI – Perbuatan yang sangat melakukan dan bukan membuat masyarakat menjadi lebih baik .Perangkat satu desa di wilayah Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, dituding gelapkan beras miskin sebanyak kurang-lebih 1 ton kepada bandar beras di Balaikambang, Sukawangi, Cibitung.
Hal itu diungkapkan seorang warga, AO, 37 tahun. Ia mengatakan dugaan itu diperkuat ketika dia memergoki oknum RT menampung sekitar 50 kantong raskin dengan berat 20 kilogram per kantong di kediamannya.
“Ketika saya berkunjung ke rumah oknum itu, saya melihat setumpuk beras raskin hingga jam 01.00 masih ada. Tapi ketika saya datang lagi untuk mengecek raskin itu pada pagi harinya beras tersebut sudah tidak ada,” jelasnya, (19/11).
“Dugaan saya diperkuat ketika saya diminta untuk datang ke UB (oknum, red) akan diberikan uang Rp20.000 tapi saya tidak mau,” lanjutnya.
Ketika menanyakan terkait tempat dijualnya raskin melalui pesan singkat kepada UB, ia menjawab beras miskin yang seharusnya diberikan kepada warga kurang mampu diduga dijual ke bandar beras di Balaikambang, Sukawangi.(*Eln)
BANDUNG – Bank BJB harus bertanggungjawab atas kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi pembelian BJB tower Jakarta. Dari itulah BJB harus mengembalikan kerugian negara Rp 298,877 miliar.
Demikian terungkap dalam sidang kasus BJB tower Jakarta yang digelar di Pengadilan Tipikor Bandung,(2/11).
Dalam sidang tersebut dihadirkan saksi ahli dari BPKP Pusat Joko Supriyanto. Dalam kasus tersebut menyeret eks Kepala Divisi Umum BJB, Wawan Indrawan sebagai terdakwa.
“Dalam pembelian ini ada kerugian negara sebesar Rp 298,877 miliar. Itu hasil audit kami,” kata Joko Supriyanto, Ketua Tim Audit BPKP pada kasus BJB tower.
Di depan majelis hakim yang diketuai Naisyah Kadir tersebut, Joko menegaskan bahwa kerugian negara Rp 298 miliar itu menjadi tanggungjawab bank BJB.
Dijelaskan, bank BJB itu merupakan BUMD milik Pemerintah Provinsi Jabar, yakni sekitar 75 persen sahamnya dikuasai oleh provinsi dan kabupaten.
Menurut Joko, bank BJB disokong dananya dari negara melalui APBD provinsi. Ketika masuk BUMD dana tersebut menjadi tanggungjawab bank BJB.
“Dana sudah masuk dan dikonversi jadi saham. Dari itulah bank BJB harus mempertanggungjawabkan dana negara itu,” ujarnya.
Joko membeberkan, kerugian negara tersebut terjadi lantaran tidak adanya jaminan yang setara dengan prestasi dalam hal ini adalah bangunan kantor 30 lantai yang sesuai dengan nilai uang.
Menurutnya, hal tersebut menyalahi aturan karena tak adanya keseimbangan akibat dari penyimpangan yang berdampak pada kerugian negara.
“Yang dimaksud prestasi itu jaminan setara dengan besaran bangunan. Selain itu, seharusnya bangunan beres uang baru keluar,” ungkapnya.
Untuk diketahui, kasus ini awalnya ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sejak 2013. Namun karena jumlah dana yang dikorupsi diduga sangat besar, Kejaksaan Agung mengambil alih penyidikannya pada 2014.
Kasus ini berawal saat manajemen BJB menyetujui pembelian 14 dari 27 lantai T-Tower yang akan dibangun di Jalan Gatot Subroto, Kaveling 93, Jakarta, untuk Cabang Khusus BJB di Jakarta, pada tahun 2006 di atas lahan milik PT Comtalindo, perusahaan di bidang teknologi informasi.
Tim BJB kemudian melakukan negosiasi dengan Comtalindo dan menyepakati harga tanah senilai Rp 543,4 miliar. Bank BJB pun membayar uang muka sebesar Rp 217, 36 miliar atau 40 persen dari nilai proyek, pada 12 November 2012. Sisanya dicicil sebesar Rp 27,17 miliar per bulan selama setahun.
Belakangan terkuak berbagai persoalan, mulai dari adanya pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah, serta harganya diduga digelembungkan. Akibatnya, manajemen BJB mengalami kerugian sekira Rp 298 miliar. (*Asp)
BANDUNG – Tiga anggota DPRD Kota Banjar, Jawa Barat yakni Rosidin, Ajat Sudrajat, dan Siti Julaeha, didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi menyunat dana hibah Kota Banjar tahun 2013-2014. Akibat perbuatannya terdakwa terancam hukuman 20 tahun penjara.
Demikian terungkap pada sidang perdana terhadap ketiga terdakwa di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin (2/11/2015). Sidang dipimpin ketua majelis hakim Kristwan G Damanik SH, sedangkan yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum (JPU) Edrus.
Menurut JPU Edrus, ketiga terdakwa secara bersama-sama melakukan pemotongan dana hibah hingga setengahnya. Dana hibah tahun 2013-2014 itu seharusnya diterima secara utuh oleh yang berhak. Akibatnya negara dirugikan Rp 57,5 juta.
Edrus mengatakan, ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31 tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ancaman hukuman dari pasal tersebut maksimal mencapai 20 tahun penjara. Selain ketiga terdakwa, pada kasus yang sama turut pula terseret sebagai terdakwa mantan anggota DPRD Kota Banjar, Ayi Misbah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Sekretariat DPRD Kota Banjar, Dedi Wahyudi.
JPU Edrus mengatakan, Rosidin anggota dewan asal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ajat Sudrajat asal Partai Golkar dan Siti Julaeha asal Partai Amanat Nasional (PAN) menelpon Dedi Wahyudi. Mereka meminta Dedi mencarikan kelompok di masyarakat yang bisa menerima dana hibah.
“Para terdakwa mengatakan kepada Dedi Wahyudi ada jatah dana hibah dari Wali Kota Banjar. Terdakwa meminta kepada Dedi untuk mencarikan kelompok penerima dana hibah,” kata JPU Edrus.
Namun penyaluran dana hibah ini disertai syarat tertentu. Para terdakwa, kata Edrus, meminta kepada kelompok penerima harus mau membagi dua dana itu dengan terdakwa. Selain itu para kelompok penerima hibah harus mau membuat SPJ (surat perjalanan dinas) yang direkayasa dan tidak ramai di masyarakat.
Dedi kemudian menyanggupi dan akhirnya menemukan tujuh kelompok penerima. Total dana yang disalurkan ke tujuh kelompok itu mencapai Rp 115 juta. Dan setengahnya menjadi jatah para anggota dewan tersebut.
Ketujuh kelompok penerima itu adalah Kelompok Pemuda Karya Mandiri, Kelompok Pemuda Kujang, Kelompok Irma Nurul Iman, Kelompok Pemuda Biru Muda, Kelompok Masyarakat Cipelah, Kelompok Sanggar Seni Kuda Lumping Kantil, dan Kelompok Panitia Pembangunan DKL Al Ihsan.
Ketua majelis hakim Kristwan G Damanik, menunda sidang hingga Senin (9/11/2015) pekan depan, agendanya pembacaan nota keberatan atau eksepsi dari terdakwa.
Ketiga terdakwa tidak dilakukan penahanan, namun hakim ketua Kriswan Damanik memperingatkan kalau terdakwa tidak kooperatif maka majelis hakim bisa mengambil sikap sendiri dengan melakukan penahanan. “Saudara harus kooperatif dan tidak mempersulit persidangan,” ujarnya. (*Asp)
BANDUNG – Bekas Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung Nadi Sastrakusumah akhirnya dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1A Sukamiskin Bandung, (6/10) sore. Nadi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena tersandung kasus korupsi dana transfusi darah dan dana hibah tahun anggaran 2007 – 2008 dengan kerugian Negara mencapai Rp 1,8 miliar.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasie Pidsus) Kejaksaan Negeri Bandung M. Fahrurozzi mengatakan, tersangka resmi ditahan sebagai pelimpahan dari penyidik kejaksaan Agung.
“Yang bersangkutan resmi ditahan Lapas Sukamiskin Bandung, untuk kepentingan penyidik meski saat ini tersangka sudah berumur 72 tahun, tetap kita tahan,” tuturnya kepada wartawan di Kejaksaan Negeri Jalan Jakarta Bandung, (6/10).
Nadi keluar dari ruang penyidik dan langsung digiring ke mobil pidana khusus turut didampingi keluarga, pengacara. Tersangka keluar dari ruangan penyidik mengenakan baju kemeja abu-abu garis hitam.
“Untuk sementara dalam kasus ini, baru ada satu tersangka. Untuk kerugian negara ini dari alokasi dana transfusi darah itu Rp 313 juta, sedangkan untuk pembangunan PMI Kota Bandung itu Rp 1,5 miliar,” katanya.
Kasus tersebut sebelumnya disidik Kejaksaan Agung RI. Berdasarkan investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Barat kerugian negara mencapai Rp 1,8 miliar.
Tersangka Nadi Sastrakusumah sebelumnya ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung, kemudian dilimpahkan ke Kejati Jabar.
Selain itu, dalam pelimpahan P21 tahap 2 ini, Nadi didampingi penasehat hukum yang diketuai Saim Aksinudin.
Dalam perkara ini, Penyidik Kejaksaan Agung menduga Nadi terbukti menyelewengkan dana Biaya Pengelolaan Pembangunan Daerah (BPPD) yang seharusnya diperuntukan operasional unit tranfusi darah.
Selain itu, pertanggung jawaban penggunaan dana hibah pembangunan gedung Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung oleh Nadi, menurut penyidik Kejagung, tidak disusun dan diberikan dengan benar. (*And)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro