JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani berharap agar Polri sebagai lembaga penegakan hukum dapat berhati-hati dalam menindak pelaku penyebar hoaks terhadap Presiden dan pejabat pemerintah terkait dengan kebijakan wabah Covid-19.
“Meningatkan jajaran Polri agar kerja-kerja penegakan hukum yang menjadi kewenangan Polri tidak melanggar prinsip due process of law, yakni jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar,” kata Arsul kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/4/2020).
Arsul mengingatkan bahwa Polri memiliki Surat Edaran Kapolri No. 6 Tahun 2015 yang isinya meminta agar jajaran Polri melakukan langkah-langkah preventif terlebih dahulu dalam menghadapi kasus-kasus ujaran kebencian dan penyebaran hoaks sebelum melakukan proses hukum.
“Meminta agar apa yang ada dalam SE (Surat Edaran) Kapolri tersebut diterapkan secara baik oleh Polri untuk menghindarkan kesan bahwa Polri sewenang-wenang dalam penegakan hukum,” jelas Arsul.
Arsul juga menyoroti kewenangan Polri dalam menindak pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dimana beberapa hari lalu Polda Metro menindak 18 orang lantaran diduga melanggar PSBB.
Dia menyebut PP No 21 tahun 2020 tentang PSBB diberlakukan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Bahkan sampai saat ini wilayah DKI Jakarta pun belum diputuskan ada PSBB ini.
“Sampai saat ini Menkes belum menetapkan DKI Jakarta sebagai wilayah PSBB. Karenanya, yang bisa dilakukan oleh jajaran Polri adalah meminta orang yang berkerumun untuk bubar. Kalo mereka melawan atau mengabaikan baru bisa digunakan pasal KUHP tentang tidak mentaati perintah pejabat yang sah,” tutur Arsul.
Baca Juga : 64 Pasien Corona Sembuh, 24 Orang Masih Dirawat di RSPI
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk menindak pembuat atau penyebar informasi bohong atau hoaks terkait dengan kebijakan pemerintah dalam menangani penyebaran Covid-19 atau virus corona.
Instruksi itu tertuang dalam surat Telegram (TR) bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 per tanggal 4 April 2020. Aturan itu merupakan pelaksanaan tugas Bareskrim Polri terkait perkembangan situasi serta opini di ruang siber dan dalam rangka penegakan hukum di dunia maya.(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menduga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mendapatkan masukan dari koruptor, dalam rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Sebab kata dia, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, Yasonna mendapatkan masukan terkait usulan merevisi PP tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Pak Mahfud juga mengatakan, kalau Yasonna mendapat masukan terkait usulan itu. Masukan dari mana lagi kalau bukan dari koruptor,” ujar Asfinawati kepada wartawan, Minggu (5/4/2020).
Pernyataan Mahfud MD yang menegaskan, pemerintah tidak berencana untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 pun disambut positif Asfinawati. Asfinawati berharap, sikap pemerintah diwakili Mahfud MD, bukan Yasonna Laoly.
“Tapi ini juga menunjukkan Yasonna kerjanya justru mengakselerasi kepentingan koruptor. 2015, 2016, 2017 dan 2019 Yasonna mengusung hal yang sama tentang mempermudah koruptor menjalani hukuman,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, niatan Yasonna Laoly merevisi PP 99 itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi III DPR RI secara virtual, Rabu 1 April 2020. Ada empat kriteria narapidana (Napi) yang bisa dibebaskan melalui revisi PP tersebut.
Pertama, Napi kasus Narkotika dengan masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya, jumlahnya sekitar 15.482 orang. Kedua, Napi kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani masa hukuman 2/3, berjumlah 300 orang.
Ketiga, Napi kasus tindak pidana khusus dengan sakit kronis dan telah menjalani masa hukuman 2/3, sebanyak 1457 orang. Keempat, Napi warga negara asing sebanyak 53 orang.(*/Ag)
SURABAYA – Praktik aborsi di Surabaya dibongkar. Polisi menemukan bahwa praktik tersebut melibatkan seorang tenaga kesehatan.
Aborsi itu sendiri dilakukan oleh pasangan berusia 17 dan 32 tahun. Aborsi dibantu oleh tenaga kesehatan tersebut.
“Kami telah amankan seorang perempuan tenaga kesehatan dari hasil proses interogasi,” ujar Wakasat Reskrim Polrestabes Surabaya Kompol Ardian Satrio Utomo kepada wartawan, Minggu (5/4/2020).
Ardian mengatakan perempuan yang melakukan oborsi tinggal di kawasan Mulyorejo. Sedangkan tenaga kesehatan berasal dari Sambikerep.
Ardian menambahkan setelah proses aborsi selesai, oleh tenaga kesehatan tersebut janin diberikan kepada perempuan muda itu. Selanjutnya oleh perempuan muda itu janin dikasihkan kepada pria kekasihnya yang kemudian dibungkus lalu dimakamkan.
“Pria kekasih perempuan itu sudah kami amankan. Dari pengakuannya janin tersebut dimakamkan di kawasan Jalan Ir Soekarno (MERR),” ungkap Ardian.
Saat ini polisi masih melakukan penyelidkan dan pengembangan terkait kasus aborsi. Diduga tenaga kesehatan itu telah banyak melakukan praktik aborsi terhadap orang lain yang menjadi pasiennya.
“Saat ini masih kami kembangkan. Untuk detailnya akan kami sampaikan lebih lanjut,” pungkasnya.(*/Gio)
JAKARTA – Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai sebagai langkah mengambil kesempatan di tengah pandemi Covid-19. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khairul Saleh mengatakan, jumlah napi korupsi tidak sebanyak napi pidana umum di lapas.
“Saya melihat hal ini lebih kepada Menkumham seperti ‘mengambil kesempatan’ di tengah kondisi Pandemi Covid-19,” tutur Saleh , Sabtu (4/4/2020).
Ia menambahkan, kondisi kelebihan kapasitas yang terjadi di lembaga pemasyarakatan hanya terjadi di napi pidana umum dan kasus narkotika. Kondisi tersebut tidak terjadi pada napi kasus korupsi.
Sebab, koruptor biasanya mendapat satu sel untuk satu narapidana. Saleh menegaskan, melihat kondisi tersebut alasan Menkumham memberi pembebasan kepada koruptor dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19 tidak tepat.
Menurutnya, hal yang perlu dilakukan terhadap napi korupsi hanya sekadar fasilitas pencegahan, bukan pembebasan. Misalnya, pemberian fasilitas untuk rapid test, atau penyemprotan disinfektan ke kamar-kamar yang dihuni koruptor.
Sultan Banjar itu meminta Menkumham mengkaji ulang rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warha Binaan Pemasyarakatan. “Jangan sampai tindakan merevisi PP tersebut dilakukan dalam kondisi tergesa-gesa sehingga tidak tepat sasaran,” tegasnya.
Namun, jika rencana Menkumham untuk membebaskan koruptor ini terlaksana di tengah pandemi Covid-19, Saleh mengatakan, hal ini dapat membuktikan keberpihakan pemerintah terhadap pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Menkumham harus membatalkan rencananya memberi keleluasaan terhadap pembebasan napi korupsi.
Terlebih, jika membaca pernyataan staf khusus presiden bidang hukum sudah menyatakan napi korupsi tak boleh dibebaskan dengan alasan pencegahan penyebaran virus corona di dalam lapas.(*/Tub)
JAKARTA – Indonesia Police Watch (IPW) menentang wacana Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonongan Laoly, yang akan membebaskan narapidana kasus korupsi berusia tua dengan dalih untuk mencegah penyebaran virus corona.
Ketua Presidium IPW, Neta S Pane mengatakan, rencana pembebasan napi koruptor akan mencederai rasa keadilan dan membuat kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi makin absurd.
“Seharusnya, jika ada koruptor yang terindikasi terkena virus Covid 19, mereka tak perlu dibebaskan, tapi bisa dikarantina di Natuna atau di Pulau Galang, atau di Nusakambangan atau bahkan di Pulau Buru,” katanya kepada wartawan, Sabtu (4/4/2020).
Dari penelusuran IPW, kecil kemungkinan para napi koruptor atau napi kakap lainnya terkena Covid-19. Pasalnya, kata Neta, dengan uang yang dimilikinya, selama ini mereka bisa “membeli” kamar. Sehingga satu kamar sel tahanan hanya dia sendiri yang menempati.
Selain itu mereka selalu bisa memesan makanan khusus yang dibawa keluarganya dari luar dan mereka tidak pernah memakan makanan lapas. Mereka juga punya dokter pribadi dan mendapat perawatan kesehatan prima. Semua itu mereka dapatkan dengan uang yang dimilikinya.
“Jadi tidak ada alasan bagi Menkumham untuk membebaskan para napi korupsi, dengan alasan wabah virus Covid-19. Lagi pula Menkumham belum pernah melakukan rapid test terhadap napi dan belum pernah mendata lapas mana saja yang terindikasi terkena wabah Covid 19,” jelasnya.
Neta melanjutkan, kerawanan atas virus corona justru berpeluang terjadi di sel-sel napi kelas teri. Sebab dalam satu sel, napi kelas teri ini bisa ditumpuk 10 hingga 15 orang, sehingga sangat rawan wabah Covid-19 berkembang luas di sini. Sementara makanan mereka setiap hari hanya seadanya.
“Sebab itu wacana Menkumham untuk membebaskan napi korupsi adalah gagasan yang sangat tidak masuk akal dan gagasan gila,” tegasnya.
Sekadar informasi, Menkumham Yasonna Laoly mewacanakan usulan pembebasan narapidana kasus korupsi, berusia 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanannya. Usulan itu digulirkan Yasonna lewat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Yasonna berdalih rencana pembebasan terhadap sejumlah napi termasuk narapidana kasus korupsi dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lapas yang mengalami overkapasitas.(*/Ag)
JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) masih membahas serta mengkaji wacana, pembebasan narapidana kasus korupsi yang berumur 60 tahun dan sudah menjalankan 2/3 masa tahanannya. Rencananya, Kemenkumham bakal membebaskan narapidana kasus korupsi lewat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Demikian diungkapkan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerjasama Kemenkumham, Bambang Wiyono merespon banyaknya penolakan terkait usulan pembebasan narapidana kasus korupsi. Salah satu yang menolak usulan pembebasan narapidana kasus korupsi yakni, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Belum tahu, masih perlu pertimbangan dan kajian yang mendalam jangan sampai apa yang diputuskan bertentangan, dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku serta akan menimbulkan polemik,” kata Bambang saat dikonfirmasi , Jumat (3/4/2020).
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan akan mengeluarkan dan membebaskan sekira 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi.
Menkumham, Yasonna H Laoly menyebut narapidana dan anak yang bisa mendapatkan asimilasi harus memenuhi syarat telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi napi anak.
Selain itu, dalam rapat dengan DPR, beberapa waktu lalu, Yasonna juga mengusulkan perubahan PP Nomor 99 Tahun 2012. Setidaknya terdapat empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.
Satu di antaranya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan.
Namun, usulan pembebasan narapidana kasus korupsi dikritik oleh beberapa pihak, salah satunya KPK.(*/Ad)
JAKARTA – Penyidik Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya membongkar jaringan produsen dan pengedar tembakau gorila atau ganja sintetis lintas provinsi. Pihaknya menemukan bahwa jaringan itu berusaha menghindari pelacakan oleh polisi dengan berkomunikasi menggunakan media sosial.
“Setelah melakukan penyelidikan, modus yang dipergunakan menggunakan komunikasi melalui media sosial yang ada,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus di Polda Metro Metro Jaya, Jumat (3/4/2020).
Yusri mengatakan, jaringan produsen barang haram ini memesan canabinoid atau biang ganja sintetis menggunakan media sosial. Dalam penggerebekan itu polisi berhasil membekuk 12 tersangka dan mengamankan barang bukti berupa bibit ganja sintetis yang dikenal sebagai canabinoid sebanyak 7 kilogram (kg) dan 10 kg tembakau gorila siap edar.
“Dia gunakan sosmed di Instagram, berhubungan dengan chating, memesan biang bibit, dipesan melalui media sosial yang ada, sesama mereka,” ujarnya.
Yusri mengatakan, 12 tersangka itu ditangkap pada sejumlah tempat yakni lima tersangka dibekuk di salah satu apartemen di Tangerang Selatan. Satu tersangka di indekos Cirebon, satu tersangka di sebuah rumah Bandung Barat dan satu orang lagi di Jagakarsa.
Empat tersangka lainnya ditangkap di Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penyidik Ditresnarkoba juga menemukan indikasi masih ada anggota jaringan produsen tembakau gorila ini yang tersebar di daerah lain dan masih melakukan penyelidikan untuk membekuk pelakunya.
“Tim masih di lapangan, mudah-mudahan dalam waktu dekat cepat terungkap semua peredaran tembakau gorila ini karena banyak yang beredar ini di Indonesia untuk kalangan menengah ke bawah,” ujar Yusri.
Yusri juga mengatakan, harga 10 kilogram tembakau gorila tersebut mencapai harga sekitar Rp 4,5 miliar. Saat ini, para tersangka sudah ditahan di Polda Metro Jaya. Para tersangka dijerat dengan Pasal 114 ayat 2 subsider Pasal 112 ayat 2 junto Pasal 132 ayat 1 UU RI nomer 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman penjara paling lama seumur hidup.(*/Tub)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak usulan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonganan Laoly perihal wacana pembebasan narapidana kasus korupsi lewat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
KPK berharap revisi PP 99/2012 terkait pembebasan narapidana dikecualikan untuk narapidana kasus korupsi.
“KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut, tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri melalui pesan singkatnya, Kamis (2/4/2020).
Ali membeberkan alasan pihaknya menolak usulan pembebasan narapidana kasus korupsi lewat PP 99/2012. Sebab, dalam konteks pencegahan korupsi, KPK telah melakukan kajian terkait layanan lapas yang juga mengidentifikasi persoalan over kapasitas, dan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Kajian itu merujuk sebagaimana kasus korupsi Kalapas Sukamiskin yang pernah ditangani pada 2018. Dari tindak lanjut kajian tersebut, ada 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas sejak 2019. Namun, hingga saat ini baru satu rencana aksi yang statusnya selesai.
“KPK meyakini jika rencana aksi tersebut telah dijalankan semuanya, maka persoalan terkait layanan lapas termasuk over kapasitas dapat diselesaikan. Mengingat nyaris separuh dari penghuni lapas dan rutan adalah kasus narkoba,” beber Ali.
“Maka salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP 99 tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN (rehab),” sambungnya.
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan akan mengeluarkan dan membebaskan sekitar 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi.
Yasonna menyebut narapidana dan anak yang bisa mendapatkan asimilasi harus memenuhi syarat telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi napi anak.
Selain itu, dalam rapat dengan DPR kemarin, Politikus PDI Perjuangan ini juga mengusulkan perubahan PP Nomor 99 Tahun 2012.
Setidaknya terdapat empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut. Satu di antaranya adalah narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan.(*/Ag)
JAKARTA – Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Saeful Bahri didakwa telah menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Saeful didakwa menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta.
Adapun, suap dari Saeful Bahri itu bertujuan agar Wahyu mengupayakan KPU menyetujui permohonan Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Fraksi PDIP dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku. Padahal, suap itu bertentangan dengan jabatan Wahyu Setiawan selaku penyelenggara negara.
“Telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald Ferdinand Worotikan berdasarkan surat dakwaan , Kamis (2/4/2020).
Jaksa Ronald membeberkan, suap itu dilakukan Saeful bersama-sama dengan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina yang juga kader PDIP. Uang suap untuk Wahyu sebesar Rp600 juta diberikan secara bertahap.
Berdasarkan surat dakwaan, pada September 2019, Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio Fridelina, yanh disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Wahyu. Saat itu, Saeful meminta Agustiani melobi Wahyu untuk mengusahakan agar Harun bisa menggantikan Riezky.
Dalam komunikasi itu, Saeful juga menjanjikan akan memberikan uang operasional sejumlah Rp750 juta untuk KPU bila permohonan PAW tersebut disetujui.
Kemudian, terdapat kesepakatan bahwa uang untuk mengupayakan pelolosan Harun Masiku sebesar Rp1,5 miliar. Penyerahan uang dilakukan bertahap yakni sebanyak Rp400 juta, dan kemudian Rp200 juta, yang ketika di tangkap tangan, uang yang diserahkan baru senilai Rp600 juta.Selanjutnya, Wahyu meminta Agustina untuk mentransfer sebagian uang yang telah diterima dari Saeful dan Harun ke rekeningnya. KPK kemudian mengamankan Wahyu Setiawan dan sejumlah pihak lainnya.
Atas perbuatannya, Saeful didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.(*/Ag)
SURABAYA – Binti Rochmah, terdakwa kasus korupsi Jasmas divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara. Majelis hakim menilai terdakwa terbukti secara sah merugikan keuangan negara sebesar Rp 5 miliar.
“Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan 6 bulan,” kata hakim ketua Hisbullah Idris saat membacakan putusan melalui teleconference kepada terdakwa di Ruang Cakra Pengadilan Tipidkor, Selasa (31/3/2020).
Tak hanya pidana penjara, hakim juga menbebankan denda kepada terdakwa sebesar Rp 50 juta. Jika tak dibayar subsider 2 bulan kurungan.
“Denda sebesar Rp 50 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti pidana kurungan selama 2 bulan,” tegas hakim.
Vonis terhadap eks anggota DPRD Surabaya periode 2014-2019 itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa selama 3 tahun dan denda Rp 100 juta. Atas vonis itu, jaksa langsung bersikap pikir-pikir dahulu.
“Kami akan pikir-pikir dulu Yang Mulia,” ujar jaksa M Fadil menanggapi vonis terdakwa.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak menahan mantan anggota DPRD Kota Surabaya Binti Rochma. Dia ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas) DPRD Kota Surabaya terkait dana hibah Pemkot Surabaya 2016.
Binti Rochma akhirnya dijebloskan ke Cabang Rutan Kelas I Surabaya di Kejati Jatim, Jumat (16/8/2019). Binti Rochma menyusul dua anggota DPRD Kota Surabaya yang ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan, yakni Sugito dan Darmawan. Kasus ketiga oknum anggota Dewan ini merupakan pengembangan dari kasus terdakwa Agus Setiawan Tjong.(*/Gio)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro