BANDUNG – Sebanyak 19 pelaku kejahatan pencurian disertai kekerasan (curas) dan pencurian disertai pemberatan (curat), diamankan oleh petugas Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Bandung dan kepolisian sektor (polsek) jajaran.
Penangkapan terhadap para pelaku kejahatan tersebut dilakukan dalam rangkain pelaksanaan Operasi Jaran Lodaya 2020 yang berlangsung selama dua hari dari 22 Februari hingga 2 Maret 2020.
Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Ulung Sampurna Jaya mengatakan, ke-19 tersangka tersebut diamankan dari 10 kasus yang berhasil diungkap.
“Perinciannya, 14 pelaku curat dan 5 tersangka curas. Kasus ini masih dikembangkan. Sebab tak menutup kemungkinan pelaku merupakan begal yang telah melakukan kejahatan di beberapa lokasi,” kata Ulung didampingi Kasat Reskrim AKBP Galih Indragiri dan Kasubbag Humas Kompol Santhi Rianawati saat ungkap kasus di Mapolrestabes Bandung, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Kamis (5/3/2020).
Ulung mengemukakan, dari 19 tersangka, tiga orang di antaranya dilakukan tindakan tegas terukur dengan ditembak kaki kirinya karena melawan petugas. Dua dari tiga pelaku yang ditembak kakinya antara lain, Ade Darmawan alias Deblo dan Wempi Mona Fredy.
Kedua tersangka yang dilumpuhkan ini merupakan residivis atau penjahat kambuhan. “Modus operandi kejahatan para pelaku, dua kasus dengan cara merampas dan delapan merusak kunci,” ujar Ulung.
Dari tangan para tersangka, tutur Kapolrestabes, petugas mengamankan 15 unit sepeda motor berbagai merek. Selain itu, diamankan pula barang bukti alat kejahatan lima bilah golok dan pisau, 11 kunci astag.
“Pelaku kejahatan melakukan aksinya dalam waktu tertentu. Satu kasus terjadi antara pukul 06.00 12.00 VVIB. Pukul 12.00-18.00 WIB tiga Kasus, pukul 18.00-24.00 WIB dua kasus, dan pukul 00.00-06.00 WIB empat kasus,” tutur Kapolrestabes.
Aksi kejahatan tersebut dilakukan para tersangka di permukiman tiga kasus, jalan umum tiga kasus, dan di kampus atau sekolah dua kasus,” tandasnya.(*/Hend)
BOGOR – Polres Bogor menangkap seorang bos penambang emas tanpa izin, berinisial RA yang kerap beroperasi di Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Kapolres Bogor, AKBP Roland Ronaldy mengungkapkan, RA merupakan pengusaha tambang liar skala besar dan telah lama beroperasi di belahan barat Kabupaten Bogor.
“Tersangka ini sudah cukup lama menjadi pengusaha pengolahan emas hasil penambangan liar dari gurandil (sebutan penambang emas liar). Sehingga ditemukan cukup banyak barang bukti dari tangan tersangka,” kata Roland dalam keterangan persnya, Kamis (5/3/2020).
Hanya dengan melakukan pengolahan batuan gunung berkadar emas, RA mampu meraup pundi-pundi hingga Rp30 juta per bulan. Namun, perbuatannya dianggap kriminal karena merusak ekosistem di lokasi penambangan.
Atas perbuatannya, RA dijerar Pasal 161 dan/atau Pasal 158 Jo Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
“Dengan ancama pidana 10 tahun penjara 10 tahun dan denda Rp10 miliar. Kami berharap pengungkapan ini dapat memberi dampak baik bagi alam dan tidak ada lagi aktivitas tambang ilegal,” tegas Roland.
Dari tangan tersangka, polisi mengamankan sejumlah barang bukti yang merupakan peralatan pengolahan emas, yakni 70 gelundung emas, 6 buah tong besar pengolahan emas, 20 karung pasir serta tanah yang berisikan kandungan emas, 4 karung karbon, 2,5 botol yang berisikan cairan merkuri.
Juga 3 buah kompressor, 6 buah dinamo, 2 buah poli, 2 set karet ban, 1 buah serokan, 1 buah emas yang masih berbentuk jendil, 1 buku dan lembar catatan, 1 buah alat timbangan 1 set alat pahat.(*/Iw)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (5/3/2020), memanggil anggota DPRD Kota Bandung periode 2009-2014 Erwan Setiawan dalam penyidikan kasus suap pengadaan tanah untuk Ruang Terbuka Hijau di Pemerintah Kota Bandung pada 2012-2013.
Erwan yang kini adalah Wakil Bupati Sumedang, dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan PNS DPKAD Kota Bandung Hery Nurhayat (HN).
“Yang bersangkutan dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HN,” jelas Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Selain Erwan Setiawan, penyidik KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap satu orang saksi lainnya, yakni seorang karyawan swasta bernama Eddy Sacheful Mamoer. Eddy juga diperiksa untuk tersangka Hery Nurhayat.
Pada 20 April 2018, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka terkait kasus tersebut, yakni Hery Nurhayat serta dua anggota DPRD Bandung periode 2009-2014 Tomtom Dabbul Qomar dan Kadar Slamet.
Hery diketahui adalah narapidana korupsi dana hibah 38 LSM fiktif yang merugikan negara pada Rp8,1 miliar dan korupsi hibah pemkot Bandung 2012 yang divonis selama 9 tahun penjara pada 2015 lalu.
Hery Nurhayat selaku kepala DPKAD kota Bandung sekaligus pengguna anggaran bersama-sama Tomtom Dabbul Qomar dan Kadar Slamet selaku anggota DPRD Kota Bandung 2009 yang diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana sehingga menyebabkan kerugian negara RTH pada 2012 dan 2013.
Awalnya, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandung menetapkan perlu ada kawasan lindung berupa RTH untuk menghadapi ancaman masalah ketersediaan air dan penurunan kualitas air tanah Kota Bandung.
Untuk merealisasikan anggaran tersebut, APBD Kota Bandung tahun anggaran 2012 dilakukan pembahasan antara Hery bersama Tomtom dan Kadar Slamet selaku ketua pelaksanaan harian Badan Anggaran (Banggar) dan anggota Banggar.
Sesuai APBD Jota Bandung 2012 disahkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Bandung Nomor 22 Tahun 2012 dengan alokasi anggaran untuk RTH adalah sebesar Rp123,9 miliar yang terdiri atas belanja modal tanah dan belanja penunjang untuk 6 RTH.
Dua RTH di antaranya adalah RTH Mandalajati dengan anggaran sebesar Rp33,455 miliar dan RTH Cibiru dengan anggaran sekitar Rp80,7 miliar.
Diduga Tomtom Dabbul Qomar dan Kadar Slamet menyalahgunakan kewenangan sebagai tim Banggar DPRD Kota Bandung dengan meminta penambahan alokasi anggaran RTH itu. Selain itu keduanya diduga berperan sebagai makelar dalam pembebasan lahan.
Sedangkan Hery diduga menyalahgunakan kewenangan sebagai Pengguna Anggaran (PA) dengan membantu proses pencairan pembayaran tanah untuk RTH.
Padahal diketahui dokumen pembayaran tidak sesuai kondisi sebenarnya bahwa transaksi jual beli tanah bukan kepada pemilik tanah asli melainkan melalui makelar yaitu Kadar dan kawan-kawan. (*/Ag)
BOGOR – Sekretaris Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, Iryanto akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bogor, terkait tindak pidanan korupsi menerima suap dalam memuluskan perizinan.
“Melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang bukan kewenangannya untuk memuluskan perizinan untuk pembangunan villa di Cisarua dan sebuah rumah sakit di Cibungbulang,” jelas Kapolres Bogor, AKBP Roland Ronaldy, Kamis (5/3/2020).
Tidak hanya Iryanto, satu orang ASN lain berinisial FA yang merupakan staf Iryanto pun ikut dijadikan tersangka, karena berperan membantu Iryanto dalam menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.
“Kita amankan uang Rp120 juta. Saat OTT yang bersangkutan baru menerima uang Rp50 juga,sementara sisanya sudah ada di kantornya,” kata Roland.
Memasuki tahap penyidikan, kini kepolisian tengah memburu orang yang diduga pengusaha, sebagai pemberi uang kepada Iryanto.
“Pemberi harus kena. Sementara baru dua orang yang kita tetapkan tersangka,” ungkapnya.
Roland menegaskan, Iryanto dikenakan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan hukuman ancaman pidana 5 tahun.(*/Iw)
JAKARTA – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Bogor, Drs Zulkifli. Ia diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi yang menyeret mantan Bupati Bogor, Rachmat Yasin (RY).
Pada pemeriksaan ini, penyidik mengonfirmasi Zulkifli terkait adanya dugaan perintah dari Rachmat Yasin. KPK menduga Rachmat Yasin memerintahkan Zulkifli untuk memotong uang Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD).
“Kami periksa Pak Zulkifli yaitu terkiat pengetahuan saksi atas adanya perintah dari tersangka RY mengenai pemotongan uang yang kemudian dugaannya diterima oleh tersangka RY,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (4/3/2020).
Sekadar informasi, KPK kembali menetapkan mantan Bupati Bogor, Rachmat Yasin sebagai tersangka korupsi. Rachmat Yasin diduga memotong uang pembayaran dari Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) dan menerima sejumlah gratifikasi.
Rachmat Yasin diduga menerima uang sebesar Rp8,9 miliar dari hasil memotong anggaran atau bayaran bawahannya. Uang tersebut diduga digunakan oleh Rachmat Yasin untuk biaya operasional Bupati dan kebutuhan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2013-2014.
Selain itu, Rachmat Yasin juga diduga menerima sejumlah gratifikasi selama menjabat Bupati Bogor. Adapun, gratifikasi yang diterima Rachmat Yasin berupa tanah seluas 20 hektare di Jonggol, Kabupaten Bogor dan Mobil Toyota Vellfire senilai Rp825 juta.
Atas perbuatannya, Rachmat Yasin disangkakan melanggar Pasal 12 huruf f dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.(*/Ag)
BANDUNG – Penyuap Bupati Indramayu, Carsa ES dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan enam bulan, denda Rp200 juta, subsidair kurungan tiga bulan. Carsa pun langsung menerimanya.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap terhadap Bupati Indramayu Supendi senilai Rp3,6 miliar di Pengadilan Tipikor PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Rabu (4/3/2020).
Putusan yang dijatuhkan ketua majelis I Dewa Gd Suarditha sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam amar tuntutannya, Dewa menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan kesatu.
“Menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan, denda Rp200 juta, subsidair kurungan tiga bulan,” katanya.
Sebelum membacakan amar tuntutannya, Dewa juga membacakan hal yang memberatkan dan meringankan sebagai bahan pertimbangan. Yang memberatkan perbuatan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tidak pidana korupsi, dan pernah dihukum.
“Yang meringankan terdakwa kooperatif, sopan dan terus terang akan perbuatannya, menyesal, dan membantu mengungkap peranan pelaku lainnya,” ujarnya.
Atas putusan tersebut, Carsa ES dan kuasa hukumnya langsung menerima. Sementara, JPU KPK pikir-pikir terlebih dulu dengan alasan harus melaporkan dulu hasil persidangan ke pimpinan KPK.
Dalam urainnya, Dewa menjelaskan terdakwa pada Januari 2019 hingga Oktober 2019 telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan kejahatan, baik memberi atau menjanjikan sesuatu.
“Yakni beberapa kali memberikan uang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara,” katanya dalam persidangan.
Menurutnya, suap diberikan dengan maksud agar Supendi memberikan pekerjaan di lingkungan Pemkab Indramayu kepada terdakwa. Pekerjaan yang dimaksud yaitu proyek infrastruktur di bawah Dinas PUPR Kabupaten Indramayu.
Yakni terdakwa memberikan uang kepada Bupati Indramayu Supendi Rp3,6 miliar, Kadis PUPR Indramayu Omarsyah Rp2,4 miliar, dan Kabid Jalan PUPR Indramayu Wempi Triyoso Rp480 juta.
”Semua pemberian dilakukan terdakwa kepada para pejabat negara itu dimaksudkan agar terdakwa mendapatkan proyek pekerjaan di lingkungan Pemkab Indramayu,” ujarnya.
Sementara pemberian kepada anggota DPRD Jabar Abdul Rozaq Muslim oleh terdakwa sebesar Rp8,5 miliar, dimaksudkan agar Abdul Rozak Muslim membantu dalam proses penganggaran setiap pekerjaan di Kabupaten Indramayu yang bersumber dari bantuan provinsi (Banprov). (*/He)
BOGOR – Empat dari enam orang yang diamankan aparat kepolisian pada operasi tangkap tangan (OTT) di Kantor DPKPP Kabupaten Bogor, sudah pulang.
Polisi masih memeriksa dua pejabat dinas tersebut.
“Empat orang sudah kami perbolehkan pulang tadi malam setelah dimintai keterangan,” kata Kasat Reskrim Polres Bogor, AKP Benny Cahyadi di Mapolres Bogor di Cibinong, Rabu (5/3/2020).
Dia tak menyebutkan siapa saja yang sudah diperbolehkan pulang. Tapi, dua yang masih diamankan di kantor polisi adalah I dan F. Keduanya adalah pejabat penting di Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP).
“Kami belum meningkatkan status terperiksa karena kondisi kesehatan I yang merupakan Sekretaris DPKPP dalam kondisi kurang fit,” katanya.
Dalam OTT tersebut, polisi mengamankan Rp120 juta barang bukti dan sejumlah dokumen lainnya. “Selain dokumen dan barang bukti lainnya, kemarin sore kami mengamankan uang sebesar Rp120 juta dari para terperiksa OTT di Kantor DPKPP,” ucap Benny.
Saat melakukan OTT di kantor DPKPP terlihat aparat Sat Reskrim memgamankan empat orang yaitu I, F, J, dan satu orang pihak swasta yang belum diketahui identitasnya.
Selain itu, anggota Sat Reskrim mengamankan dokumen yang diangkut dengan beberapa kardus, uang yang dibungkus kantong coklar dan beberapa handphone. Termasuk, ponsel milik tenaga keamanan kantor DPKPP yang melawan ke petugas kepolisian.
I seperti diketahui menjabat sebagai Sekretaris di DPKPP Kabupaten Bogor. Sementara, F dan J menjabat sebagai staf di dinas tersebut.
Saat tiba di Gedung Sat Reskrim Mako Polres Bogor, I yang dikenal akrab dengan wartawan tak lupa menyapa. Namun, ketika ditanya kabarnya dia tidak sempat menjawab karena digelandang petugas ke lantai 2. (*/Iw)
BOGOR – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bogor, lakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat eselon III di lingkungan Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bogor, sekira pukul 16.30 WIB sore.
OTT itu dipimpin langsung Kasat Reskrim Polres Bogor, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Benny Cahyadi dengan mengoperasi tangkap tangankan Sekretaris Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Sekdis PKPP) Kabupaten Bogor diruang kerjanya sore tadi.
Saat dikonfirmasi, AKP Benny Cahyadi masih enggan memberi komentar ke awak media.
“Nanti hasil penyelidikan kita kabari perkembangannya, untuk lebih lanjutnya nanti nanti hasil pemeriksaan,” ujar Benny saat ditemui awak media di Mapolres Bogor, Selasa (03/3/2020).
Ketika disinggung, apakah OTT itu kaitan perijinan perumahan yang berada di Kabupaten Bogor, Benny hanya menjawab. “Shalat shalat dulu ya teman-teman sudah waktunya shalat,” ajaknya.
Sementara, hasil pantauan dilokasi, OTT yang dilakukan Kasat Reskrim Polres Bogor yang berlangsung 30 menit itu mengikut sertakan kurang lebih 7 jajarannya dengan mengamankan dua amplop coklat berukuran besar yang diduga berisikan uang senilai puluhan juta rupiah, serta kurang lebih 6 kardus warna coklat yang disinyalir berisikan dokumen kepengurusan perijinan dari ruangan kantor orang nomor dua di Dinas PKPP tersebut.
Adapun, OTT yang dilakukan selain mengamankan mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Tata Bangunan wilayah I Cibinong itu, polisi juga berhasil meringkus satu dua staf instansi tersebut. (*/Iw)
JAKARTA – Nama mantan pebulu tangkis nasional, Taufik Hidayat kembali disebut dalam sidang perkara dugaan suap terkait proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah untuk KONI dari pemerintah yang melalui Kemenpora. Dalam sidang, Taufik Hidayat disebut menerima uang Rp1 miliar untuk mantan Menpora, Imam Nahrawi.
Hal tersebut terungkap saat mantan Pejabat Pembuat Komitmen program Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Kemenpora, Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok bersaksi untuk terdakwa Asisten Pribadi (Aspri) Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Dalam kesaksiannya, Ucok mengungkap peran Taufik Hidayat dalam pemberian uang dugaan suap untuk Imam Nahrawi.
Awalnya, Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali kesaksian Ucok terkait adanya arahan dari Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Kemenpora, Tommy Suhartanto. Arahan itu terkait permintaan uang Rp1 miliar oleh Imam Nahrawi.
“Apakah saudara katakan harus tunduk arahan direktur perencanaan dan anggaran. Apa pernah ada arahan dari Tomi untuk tambahan dana operasional keperluan Imam melalui terdakwa?” tanya jaksa ke Ucok di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (2/3/2020), malam.
Ucok mengamini adanya arahan tersebut. Kata Ucok, Tomi meminta agar keperluan Imam Nahrawi dipersiapkan yang nantinya akan diserahkan melalui Taufik Hidayat.
“Intinya saudara Tomi itu sampaikan ada keperluan dari pak menteri. Tolong disampaikan melalui Pak Taufik Hidayat. Seperti itu pak,” jawab Ucok.
Setelah mendapat perintah, Ucok pun mengonfirmasi kepada salah satu staf Menpora yakni, Zainul. Kemudian, Ucok meminta bantuan Ahsan Firdaus untuk mencairkan dan mengantarkan uang dari anggaran akomodasi.
“Kan saya kasih ke Aslan, diantar ke Reiki. Reiki cerita, bahwa sudah berikan Rp1 miliar itu di rumahnya Pak Taufik di daerah Kebayoran,” ungkap Ucok.
“Lalu Pak Taufik Hidayat bilang barangnya sudah diambil mas Ulum,” sambungnya.
Sebelumnya, nama Taufik Hidayat juga pernah disebut dalam dakwaan Miftahul Ulum. Keterlibatan Taufik Hidayat disebut Jaksa terjadi saat ia membantu mantan Pejabat Pembuat Komitmen program Satian Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Kemenpora, Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok untuk menyerahkan uang kepada Imam Nahrawi.
Jaksa menjelaskan awalnya, Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Kemenpora, Tommy Suhartanto menyampaikan kepada Ucok bahwa Imam Nahrawi meminta disiapkan uang. Imam Nahrawi disebut meminta disiapkan uang sebesar Rp1 miliar.
“Kemudian Tommy Suhartanto meminta kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok menyiapkan uang sejumlah Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Imam Nahrawi melalui terdakwa (Miftahul Ulum),” kata Jaksa Ronald, saat membacakan surat dakwaan.Kemudian, Ucok menyiapkan permintaan dana tersebut dengan mengambil anggaran Program Satlak Prima. Selanjutnya, Tommy meminta Reiki Mamesah selaku Asisten Direktur Keuangan Satlak Prima Kemenpora untuk mengambil uang itu dari Ucok.
Setelah mengantongi uang dari Ucok, Reiki tidak langsung memberikan kepada Imam Nahrawi. Kata Jaksa, uang itu justru diserahkan kepada Taufik Hidayat. Penyerahan uang itu, terjadi di kediaman Taufik di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Kemudian, uang sejumlah Rp1 miliar tersebut diberikan Taufik Hidayat kepada Imam Nahrawi melalui terdakwa di rumah Taufik Hidayat,” papar Ronald.
Sekadar informasi, dalam perkara ini, Ulum didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar bersama Imam untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Ulum.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018.
Baca Juga: Imam Nahrawi Bantah Pernah Minta Biaya Tambahan Operasional Menteri
Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun Kegiatan 2018.
Selain itu, Ulum juga didakwa menerima gratifikasi bersama Imam Nahrawi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Ulum saat Imam menjabat sebagai Menpora dalam rentang waktu 2014 hingga 2019.(*/Adyt)
JAKARTA – Kasus suap terkait kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) PT AKT di Kementerian ESDM kembali diproses penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk itu, penyidik KPK kembali memanggil pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, sebagai tersangka. “Yang bersangkutan dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, Senin (2/3/2020).
Sebelumnya, penyidik KPK juga telah memanggil politikus Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng, sebagai saksi.
Namun, dalam lima kali panggilan, tak sekali pun Mekeng datang ke KPK. Mekeng telah mangkir dari panggilan penyidik pada 11 September, 16 September, 19 September, 8 Oktober 2019, dan terakhir pada 6 Desember 2019.
Dalam kasus ini, Samin Tan diduga menyuap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, sebesar Rp 5 miliar. Suap ini diberikan kepada Eni untuk mengurus terminasi PKP2B PT AKT. Kasus proyek pengurusan terminasi ini merupakan pengembangan kasus suap PLTU Riau-1.
Eni Maulani Saragih telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. KPK juga telah melakukan pencekalan ke luar negeri terhadap Mekeng dan Samin Tan selama enam bulan ke depan, sejak 10 September 2019. Pencegahan dilakukan untuk membantu proses penyidikan KPK.(*/Adyt)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro