CALON Presiden petahana Joko Widodo sepertinya sedang galau, bagaimana tidak upaya kubu petahana dalam satu tahun terahir untuk mencitrakan diri terkesan dekat dengan umat Islam tiba-tiba saja buyar dalam sekejap. Reuni Akbar Mujahid 212 adalah salah satu pokok perkaranya.
Upaya serius Jokowi untuk meredam citra negatif terhadap pemerintahannya satu tahun terakhir sangat gencar dilakukan. Citra rezim anti Islam dan tuduhan mengkriminalisasi ulama menjadi titik lemah Jokowi untuk kembali terulang pertarungan lama head to head antara Jokowi vs Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang.
Sadar akan citra negatif tersebut, Jokowi dan partai pengusungnya melakukan pendekatan yang intensif kepada simpul-simpul basis massa pemilih muslim.
Kunjungan ke pesantren menjadi agenda rutin sang presiden dengan intensitas yang cukup tinggi untuk kembali meyakinkan para ulama dan kiai di pesantren bahwa pemerintahannya berpihak pada umat dan bukan anti Islam seperti yang dituduhkan selama ini.
Salah satu bukti keberpihakan Jokowi terhadap umat, menit-menit terahir (last minute) Jokowi memutuskan memilih ulama yaitu Kiai Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendampingnya.
Pilihan politik ini tentu punya motif yang sangat jelas, Jokowi ingin meredam sentimen anti Islam yang dicitrakan pada dirinya dan sekaligus merespons isu SARA yang dituduhkan selama ini.
Apakah Ma’ruf Amin sebetulnya gagal atau berhasil dongkrak elektabilitas Jokowi di mata umat? Saya mencermati Kiai Ma’ruf Amin yang diharapkan Jokowi mampu mengambil empati ceruk segmen pemilih muslim dianggap belum berhasil, belum menemukan isu dan momentumnya, kesimpulan yang tidak terlalu prematur.
Apakah ada aroma politis dalam Reuni 212? Saya katakan tentu ada, gerakan moral melawan kriminalisasi ulama, penistaan agama dan ghiroh persaudaraan, persatuan sesama umat adalah agenda utamanya. Sementara konsolidasi politik mengarah pada salah satu capres hanya bagian dari bonus saja.
Penolakan secara halus dengan pelbagai alasan penyelenggara Reuni 212 sehingga tidak jadi mengundang Jokowi dalam acara tersebut jelas bau amis aroma politisnya. Hilang aroma politisnya apabila Jokowi dan Prabowo hadir dalam reuni tersebut, menyusun kata dan diksi yang meneduhkan, menyejukkan dan menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Prabowo hadir, apakah Prabowo diuntungkan secara elektoral? Prabowo mendapat panggung sehingga tercitrakan sebagai capres yang empati, peduli dan bagian dari umat, hadir memberikan semangat, menyapa dan menyalami massa Reuni 212.
Prabowo angkat topi dan sangat bangga dengan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Itu yang saya maksud bahwa Prabowo cukup berhasil memainkan, mengelola perasaan sentimen umat.
Pertanyaan sederhana, seberapa besar pengaruh massa alumni 212 dalam Pilpres 2019? Benarkah suara mereka lebih cenderung ke Prabowo? Sulit secara logika sehat massa reuni 212 memilih Jokowi.
Ada hubungan kausalitas sebab akibat, karena pemerintah terkesan membiarkan kriminalisasi terhadap ulama dan penistaan agama terus berlanjut, sehingga memantik gerakan reuni massa 212 terulang dan nampaknya akan terus membesar sampai menemukan titik momentumnya, yang jelas massa reuni 212 anti tesis dari Jokowi, mereka menyampaikan pendapat, pikiran, aspirasi dan berkumpul dalam peristiwa tersebut.
Ketidakhadiran Jokowi dalam Reuni 212 apakah merugikan elektabilitas Jokowi? Tentu sangat merugikan dirinya, dimana panggung “gratis” umat Islam menjadi milik Prabowo, alumni 212 dan umat Islam semakin solid menguatkan dukungannya pada Prabowo karena soal sikap dan keberpihakan Prabowo terhadap umat.
Tidak bisa dinatikan show of force Reuni 212 mengerdilkan Jokowi, acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal dihadiri sedikit orang. Jokowi tidak bisa menandingi ghiroh Reuni 212. Lagi-lagi langkah keliru, salah langka (jebakan batman) menggapa Jokowi harus menghadiri hajatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal yang waktunya bersamaan dengan konsolidasi massa Reuni 212?
Semestinya Jokowi jangan membiarkan panggung “besar” umat Islam tersebut dinikmati Prabowo. Dengan kehadiran Jokowi dapat dipastikan panggung itu akan menjadi miliknya layaknya aksi 212 terdahulu, semua sorot mata dan kamera akan tertuju pada Jokowi, Prabowo hanya akan menjadi pelengkap saja.
Tidak hanya itu, kehadiran Jokowi dalam Reuni tersebut bisa menjadi pertimbangan kembali sebagian massa Reuni 212 memilih Jokowi. Namun setelah Jokowi tidak hadir dalam peristiwa monumental Reuni 212, sudah dipastikan massa Reuni 212 dan umat Islam semakin mantap meninggalkan Jokowi.
Nasi sudah jadi bubur, momentum politik sudah berlalu dan Prabowo mendapat poin istimewa. Selain Prabowo menemukan momentumnya dan berhasil melakukan konsolidasi politik menjelang hajatan Pilpres lima tahunan.
Jokowi dan timnya harus harus mengakui kepiawaian dan kemahiran tim lingkaran Prabowo menggoreng sintemen dan berselancar dengan papan isu.
Tidak ada kata lain selain tim Jokowi segera berbenah diri dan lebih jeli membaca fenomena dan peristiwa penting hajatan politik jika tidak ingin terus-terusan tergilas oleh kuatnya arus yang meng-inginkan perubahan.
Kita juga patut apresiasi sikap pemerintah yang tidak menghalang-halangi, tidak represif dan reaktif, menjamin keamanan peserta Reuni 212 sehingga pulang dengan selamat ke rumah masing-masing.
Pemerintah sudah memberikan ruang yang cukup luas bagi umat Islam untuk kebebasan berpendapat (freedom of expression), kebebasan berbicara (freedom of speech), bergerak dalam persaudaraan (solidarity) sesama umat dengan tetap menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Semoga, Islam rahmatal lil alamin terwujud di Bumi Indonesia, setia menjaga Pancasila, persatuan, kebhinnekaan, toleransi, pluralisme dan keberagaman.*****
Pangi Syarwi Chaniago
Analis politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
APA pesan penting yang sampai kepada Presiden Jokowi pasca Reuni 212 yang sangat sukses? Pertama, Jokowi gagal mengkooptasi sekaligus memecah soliditas umat. Kedua, kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Ketiga, Jokowi dan pemerintah tengah menghadapi pembangkangan dari masyarakat (civil disodibience).
Kubu pendukung pemerintah pasti sangat kaget dengan fakta bahwa reuni 212 kali ini dihadiri oleh peserta jumlah luar biasa besar. Ada yang menyebut lebih besar dari Aksi 212 yang dulu diklaim mencapai 7 juta peserta.
Lepas berapapun jumlahnya, satu hal yang tidak bisa dibantah, jumlahnya benar-benar bikin kaget. Monas dan kawasan sekitarnya benar-benar berubah menjadi lautan putih.
Bagaimana tidak mengagetkan? Jokowi secara sistematis mencoba mematahkan perlawanan umat dengan strategi rangkul dan pukul. Mereka yang tidak bisa dirangkul akan menghadapi pukulan keras yang sering disebut sebagai kriminalisasi.
Jokowi berhasil merangkul Kyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Ma’ruf adalah pentolan GNPF MUI. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf mengeluarkan fatwa Ahok telah menista agama. Fatwa itulah yang mendorong serangkaian Aksi Bela Islam (ABI) dan puncaknya adalah Aksi 212.
Ma’ruf dipilih karena latar belakangnya sebagai pengurus puncak Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Jokowi berharap mendapat dukungan dari warga nadliyin.
Melihat suasana pada reuni 212 terlihat jelas mayoritas warga yang hadir berlatar belakang nahdliyin. Warga berbondong-bondong memadati Monas sambil melantunkan salawat nabi yang menjadi salah satu tradisi penting kaum nahdliyin. Sejumlah anak cucu pendiri NU yang dikenal sebagai kubu kultural diketahui juga hadir dalam reuni tersebut.
Jokowi juga merangkul sejumlah ulama berpengaruh yang sebelumnya menjadi pendukung Aksi 212 seperti TGB Zainul Majdi, dan Yusuf Mansur. Terakhir Jokowi juga berhasil merangkul Yusril Ihza Mahendra. Semua tokoh tidak berhasil menggoyahkan konsolidasi umat. Yang terjadi mereka malah ditinggalkan umat.
Figur seperti TGB, Yusuf Mansur, dan Yusril menjadi bulan-bulanan caci maki, dan bullyan di media sosial. Secara politik mereka sudah tidak ada gunanya bagi Jokowi. Baik sebagai endorser, apalagi menjadi penarik suara (vote getter). Yusril bahkan terancam dikudeta dari posisi Ketua Umum PBB. Mereka menjadi kartu mati.
Jokowi juga tidak berhasil melumpuhkan perlawanan para ulama. Rezim Jokowi berhasil membuat Habib Rizieq tokoh sentral gerakan 212 hijrah ke Arab Saudi, karena berbagai kriminalisasi. Posisi Habib Rizieq bahkan semakin penting. Posisinya kira-kira mulai mirip dengan pemimpin spiritual Iran Ayatulloh Khomenei ketika mengasingkan diri ke Paris.
Saat ini di GNPF MUI yang telah berubah menjadi GNPF Ulama muncul sejumlah figur idola baru di kalangan umat. Figur-figur seperti Habib Bahar Bin Smith yang memilih jalan keras, atau figur yang kocak namun tak kalah kritis dan nylekit ketika menyampaikan kritik model Ustadz Haikal Hasan Baraas.
Sejumlah akademisi dan pengamat asing menyebut Jokowi anti demokrasi dan mulai otoriter. Dia mencoba menekan para lawan politik dan pengritiknya dengan cara menakut-nakuti melalui kriminalisasi. Korbannya selain para ulama, juga para aktivis dan pegiat medsos yang kritis terhadap dirinya. Namun langkah ini tidak menyurutkan perlawanan.
Munculnya sejumlah figur kritis pasca hijrahnya Habib Rizieq menunjukkan scare management, manajemen menakut-nakuti yang dterapkan Jokowi tidak berhasil. Kesadaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, membuat banyak aktivis terus menggelorakan perlawanan.
Satu poin lain yang sampai kepada Jokowi dari Reuni 212 adalah munculnya pembangkangan masyarakat. Para peserta reuni tidak mau lagi mendengarkan himbauan para pejabat, maupun ulama yang meminta mereka untuk tidak hadir.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo misalnya telah meminta warganya untuk tidak pergi ke Jakarta. Namun ribuan warga Jatim berbondong-bondong hadir di Monas.
Nasib yang dialami oleh Ketua MUI Jabar Rahmat Syafei meminta warga Jabar tidak hadir pada reuni. Faktanya warga Jabar tercatat sebagai peserta yang paling banyak hadir di Monas, setelah warga Jakarta.
Begitu pula berbagai langkah polisi yang mencoba menghambat warga datang, mulai dari sekedar imbauan, sampai pelarangan pengusaha bus menyewakan armadanya, tak diindahan warga.
Yang paling menyedihkan adalah kegagalan Panglima TNI Hadi Tjahjanto menakut-nakuti warga dengan mengerahkan pasukan besar-besaran ke Monas, juga tidak berhasil. Yang terjadi langkah Hadi malah banyak dipertanyakan karena dikhawatirkan menyeret kembali TNI ke ranah politik praktis, dan membuat prajurit berhadapan dengan warganya sendiri.
Untungnya para peserta reuni tidak terpancing. Aparat TNI-Polri juga tidak melangkah terlalu jauh dengan melakukan provokasi yang tidak perlu.
Dari semua pesan, ada satu lagi pesan yang jauh lebih penting yang harus ditangkap Jokowi, bahwa dia sudah mulai kehilangan basis legitimasinya, setidaknya di kalangan jutaan kaum muslim, dan kelompok-kelompok agama lain yang bersimpati kepada gerakan 212. *****
Djadjang Nurdjaman
Pemerhati Politik
DISKURSUS tentang Reuni 212 menyita perhatian media massa, baik cetak, radio, TV, maupun online. Yang lebih seru lagi tentu di media sosial, mengingat media ini tidak memiliki filter maupun kontrol memadai. Karena itu, tidak mengherankan jika perdebatan di media sosial menimbulkan berbagai bentuk insiden dan korban.
Bagi ilmuwan politik, yang lebih menarik untuk dicermati adalah bagaimana perdebatan menyongsong Pilpres kali ini jauh lebih seru dan lebih keras dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Bahkan sampai mengakibatkan adanya nyawa yang melayani, sesuatu yang tidak pernah kita dengar selama ini.
Perdebatan masalah pilpres terjadi hampir di semua tempat dan semua waktu. Dari warung kopi di pinggir jalan sampai di kafe-kafe di mal atau hotel berbintang. Dan yang paling seru tentu di berbagai grup media sosial, karena ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan berlangsung sepanjang hari tanpa jeda.
Walaupun fenomena ini secara teoritis telah dijelaskan dan difahami oleh para ilmuwan politik sebagai fenomena populisme yang dipicu dan dipacu oleh munculnya teknologi internet yang kemudian melahirkan berbagai platform media sosial yang murah, mudah, dan cepat sehingga digunakan oleh semua lapisan masyarakat secara masif.
Fenomena ini menjadi masalah ketika diisi atau ditumpanginya oleh diksi dan narasi yang berbau primordial yang di Indonesia dikenal dengan akronim SARA. Apalagi tim sukses kemudian memproduksi berbagai artikel, meme, sampai mengkapitalisasi berbagai peristiwa yang terjadi sesuai dengan persepsi subjektifnya, ditambah narasi yang menguntungkan jagonya atau merugikan lawannya.
Dalam situasi seperti inilah Reuni 212 dilaksanakan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Reuni Akbar, karena inilah reuni terakhir yang bisa dilaksanakan sebelum Pilpres. Keadaan semakin serius disebabkan narasi yang dimainkan adalah “agama” yang merupakan sisi paling sensitif di antara unsur SARA.
Dalam masalah agama seringkali orang kehilangan rasionalitas maupun objektifitas dalam menilai maupun mengambil keputusan, sehingga seringkali para cendekiawan atau professional tidak beda dengan pengangguran yang tidak sempat mengenyam pendidikan memadai. Akibatnya terjadi pembelahan yang tajam dari seluruh lapisan masyarakat, dari atas sampai yang paling bawah.
Bagi para pemegang kekuasaan dan tokoh panutan masyarakat, sejatinya kini sedang diuji kecintaan dan ketulusannya dalam mengabdi pada negri tercinta ini. Apakah lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan golongan yang bersifat jangka pendek, atau pada kepentingan bersama yang bersifat jangka panjang.
Dalam kontek demokrasi mestinya ritual lima tahunan pemilu tidak boleh mengorbankan kepentingan bersama, khususnya kepentingan jangka panjang. Masalah Reuni 212 tidak perlu lagi diperdebatkan atau didiskusikan apakah ini kegiatan keagamaan atau kegiatan politik. Karena bukan di situ masalahnya.
Dari perspektif ilmuwan politik, fenomena ini dipandang sebagai bentuk aspirasi politik dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang merasa kurang diuntungkan atau bahkan dirugikan oleh berbagai bentuk kebijakan yang diambil. Karena itu, Reuni 212 tidak lebih dari unjuk rasa yang lazim dilakukan di negara-negara demokratis.
Dengan cara pandang seperti ini, maka bagimana menghadapi kelompok ini menjadi ringan dan mudah. Kini dituntut kreatifitas penanganan jangka pendek dalam bentuk pengamanan di lapangan, setelah itu respon jangka panjang dalam bentuk berbagai kebijakan yang lebih adil, kalau perlu dalam bentuk affirmative policies.
Sementara ini berbagai bentuk penanganan di lapangan cukup sukses, misalnya dengan tidak menggunakan pendekatan represif, ditambah dengan polisi yang berkopiah haji atau polwan yang berjilbab. Bila pendekatan seperti ini dilakukan, saya yakin tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Akan tetapi, hal ini harus diikuti dengan berbagai kebijakan jangka panjang yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar di lapisan terbawah. [***]
Dr. Muhammad Najib
Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
CIBINONG – Sebagai partai politik (Parpol) berlambangkan ka’bah tentunya hal ini membuat masyarakat untuk ikut dalam rumah bersar islam , tentunya PPP lebih dewasa dan santun dalam berpolitik dan penuh dengan pesan dan sikap politik DPW Jabar Ade Munawaroh sebagai calon bupati Bogor 2018-2023 pada Pilkada Juni 2018.
Wanita yang akrab disapa AMY mengatakan, Partai PPP sebagai parpol yang sudah berpengalaman harus bisa menjaga etika politik. Sekalipun sekadar memasang baligho atau spanduk. Dengan cara politik yang santun dan beretika itu, AMY yakin PPP akan menang dengan terhormat dan dicintai masyarakat luas di Kabupaten Bogor
Walau besar dan sarat pengalaman,sambung AMY, kader PPP jangan merasa selalu harus di depan. “Tapi kita harus bersama-sama sinergis dengan relawan dan pihak-pihak lain meski bukan satu bendera. Dan semua dirangkul. Kader PPP harus berbuat yang terbaik di tengah masyarakat,” tutur Wanita yang selalu tersenyum ini.
Bicara Pilkada dan Pemilu, kata AMY, juga bukan sekadar soal kemenangan. “Tapi konsep pembangunan untuk kepentingan rakyat. Insya Allah PPP punya konsep dan perencanaan yang matang . Saya akan tetap mengambil pengalaman yang baik masa kepemimpinan sebelumnya dan melanjutkan untuk masyarakat Kabupaten Bogor .
Sedangkan soal siapa nanti wakilnya di Pilbup 2018, AMY (masih) akan istikhoroh dan berdiskusi dengan para tokoh dan sesepuh.
“Koalisi masih sangat dinamis. Soal wakil bisa dari internal partai atau eksternal. Kriterianya juga akan dibahas oleh tim. Yang penting sekarang PPP harus menang secara terhormat . Hormati seluruh kandidat bertarung secara ksatria. Harus berpikir utuh untuk kepentingan rakyat,” paparnya.
Kualitas dan sepak terjang AMY ini juga dikuatkan oleh para Kader dan tim pemenangan yang sudah dibentuk juga para tokoh masyarakat dan juga para simpatisan yang terus bergerak .
Sangatlah pantas bila ADE MUNAWAROH untuk memimpin Kabupaten Bogor ke depan dengan visi dan misi yang jelas dan juga mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat .
Hal ini terlontar dari pernyataan salah satu politisi Bambang Irawan yang mengatakan ” Ibu ADE yASIN Pantas untuk menjadi Bupati “, tandasnya .(Dung)
CIBINONG – Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor melakukan penandatanganan nota kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (Mou) dengan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor pada Rabu (11/10/2017).
Dengan adanya kerjasama ini akan meningkatkan irama kerja dalam perusahaan daerah sebab perusahaan yang berhubungan dengan publik langsung dalam pelayanan air minum , oleh sebab itu perlu payung hukum untuk meminimalisir dalam penyimpimpangan yang terjadi di PDAM Tirta Kahuripan .
Di acara MOU tersebut hadir undangan dan para pegawai perusahaan untuk menyaksikan jalannya cara tersebut .
”Kami sangat perlu kerja sama serta bimbingan dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor sebagai mitra kerja agar PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor selalu ’on the track’ sesuai koridor hukum dalam menjalankan aktivitas perusahaan,” kata Direktur PDAM Tirta Kahuripan, Hasanudin Tahir.
Penandatanganan MoU tentang penanganan masalah hukum bidang perdata dan tata usaha negara ini berlangsung di aula Kantor PDAM Tirta Kahuripan.
Dalam hal menjalankan aktivitas perusahaannya PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor ingin selalu sesuai dengan koridor hukum.
Acara Penadatanganan Mou tersebut dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor Bambang Hartoto, beserta jajarannya, Direktur Utama PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor Hasanudin Tahir Direktur Umum dan Direktur Operasional PDAM Tirta Kahuripan, dan Sekretaris Dewan Pengawas PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.
(Angg)
MIRIS jika membaca tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak-anak atau perempuan bahkan disertai dengan kekerasan seksual. Bak bola salju, kasus ini terus mendera negeri ini seolah menghukum negeri yang katanya terkenal dengan budaya sopan santun ini. Apalagi beberapa pelaku kekerasan terhadap anak-anak dan perempuan adalah juga anak-anak.
Apakah nilai-nilai luhur bangsa ini yang sopan dan santun serta penuh rasa tepa selira (tenggang rasa) sudah memudar sehingga kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terus terjadi?
Ancaman hukuman berat dengan tambahan pemberatan hukuman sudah dikeluarkan pemerintah. Pemberatan hukuman memang memunculkan pro dan kontra. Pihak-pihak yang pro-kontra berdebat soal benar atau tidaknya pemberatan hukuman melalui kebiri kimia. Terus berdebat sejak perppu tentang pemberatan hukuman ini dikeluarkan pemerintah hingga kemarin.
Ketika mereka berdebat, di sisi lain, kasus kekerasan seksual berulang di beberapa daerah seperti di Semarang (Jateng), Jakarta, Makassar (Sulsel), dan Manado (Sulut). Bukankah akan lebih baik hentikan perdebatan tersebut dan kembali peduli terhadap para korban dan memberikan hukuman berat kepada para pelaku.
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, sekali lagi memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa penyebabnya? Tentu akan cukup sulit mencari penyebab inti dari semua yang telah terjadi. Namun, pengawasan orang tua terhadap anak-anak semakin memudar sehingga fungsi kontrol terhadap anak-anak semakin longgar.
Fungsi kontrol yang mengharuskan interaksi antara orang tua dan anak tidak maksimal bahkan tidak terjadi. Hubungan mereka menjadi renggang, hingga orang tua tidak tahu apa kegiatan anak, begitu juga dengan anak tidak mengetahui kegiatan orang tua.
Pertanyaan berikutnya adalah, kenapa interaksi antara orang tua dan anak semakin lemah? Pertama, tuntutan ekonomi yang membuat kedua orang tua harus bekerja sehingga interaksi tidaklah intens. Kedua, orang tua menganggap minimnya interaksi dengan anak tersebut bisa digantikan dengan teknologi. Padahal, sentuhan orang tua terhadap anak sangat dibutuhkan dan teknologi bersifat membantu bukan menggantikan.
Ketiga, terbukanya jendela informasi berupa internet memudahkan anak mencari jalan keluar ketika di rumah tidak ada interaksi dengan orang tua atau keluarga. Beberapa persoalan seolah bisa diselesaikan dengan hanya menggunakan internet. Keempat, lingkungan yang semakin terbuka sehingga anak-anak cenderung lebih leluasa berinteraksi dengan lingkungan luar tanpa filter dari orang tua.
Minimnya interaksi ini yang membuat transfer nilai-nilai yang dimiliki agama dan bangsa ini menjadi tersumbat. Anak-anak mendapatkan transfer nilai-nilai lain yang justru jauh dari sifat sosial dan kemanusiaan. Teknologi yang fungsinya hanya sebagai pembantu dan memudahkan dalam melakukan interaksi dianggap sebagai pengganti, sehingga fungsi orang tua sebagai manusia pengayom paling dekat sudah memudar bahkan hilang.
Di sisi lain, pemerintah juga seolah belum mampu mengatasi dampak negatif dari perkembangan teknologi. Tanpa disadari (atau malah sebenarnya sudah disadari?) ada dampak negatif pada perkembangan teknologi yang harus bisa disaring oleh pemerintah melalui regulasi atau sebuah aksi.
Orang tua memang bisa tak berdaya karena anak-anak tidak hanya hidup dan berkembang di dalam rumah saja, namun juga lingkungan sekitar. Nah , ketika berada di lingkungan luar rumah, pemerintah juga tidak bisa membentengi sehingga anak-anak menerima semua informasi tanpa tersaring atau terkonfirmasi.
Tentu beberapa kasus yang telah terjadi harus menjadi cermin bagi masyarakat dan pemerintah. Orang tua Indonesia harus lebih sadar betapa pentingnya interaksi sehingga bisa menjadi katalisator nilai-nilai dan budaya bangsa ini.
Pemerintah diharapkan juga bisa bersikap tegas dengan bisa memberikan hukuman yang berat kepada para pelaku dan bisa memberikan filter terhadap dampak negatif teknologi informasi. Semoga kejadian-kejadian dalam beberapa pekan terakhir tidak kembali terulang dengan sikap autokoreksi dari masyarakat dan pemerintah.******
MENJADI PEJABAT, di mana pun di kolong langit ini, sejatinya merupakan pengorbanan. Mereka yang diangkat menjadi penyelenggara negara itu harus rela mewakafkan waktu dan ruang privat kepada publik yang menunggu untuk dilayani. Namun, di negeri ini, alih-alih kerelaan berkorban, sebagian besar pengemban jabatan lebih gemar mengakumulasi fasilitas. Beberapa di antaranya bahkan menuntut fasilitas berlebih tanpa memedulikan kepantasan, yang menurut mereka tak jelas tolok ukurnya.
Kondisi seperti itulah yang kerap memantik perdebatan panjang. Pihak-pihak yang tertuding kerap membela diri dengan bersandar pada argumen legal-formal. Dengan dalih seperti itu, tidak mengherankan jika banyak yang mengkritik bahwa kesadaran pejabat publik kita sebagai representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis sudah kian tumpul. Padahal, kepekaan etis itulah yang akan senantiasa membuat penyelenggara negara menempatkan keadilan di atas aturan formal yang kerap ditafsirkan secara liar.
Dalam kaitan menggiring pejabat agar memiliki kepekaan etis itulah, salah seorang pemimpin sementara Komisi Pemberantasan Korupsi, Indriyanto Seno Adji, mengimbau rombongan anggota dan pimpinan DPR yang menerima topi dari bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk melaporkan pemberian tersebut kepada KPK. KPK akan menilai apakah pemberian itu merupakan gratifikasi atau bukan.
Indriyanto mencontohkan laporan yang pernah disampaikan Joko Widodo ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, Jokowi melaporkan pemberian alat musik berupa bas dari personel band Metallica, Robert Trujillo. Jokowi juga melaporkan pemberian kacamata dari pembalap Moto-GP, Jorge Lorenzo. Bukan cuma Jokowi yang melakukan itu. Anggota Komisi Yudisial, Taufiqurahman Syahuri, juga pernah melaporkan pemberian hadiah terhadap dirinya dalam bentuk topi, keris, selendang, dan sandal ke KPK. Taufiq memperoleh barang-barang itu saat dia diberi gelar adat malin palito undang dari pemangku adat di Padang, Sumatra Barat, Maret 2015.
Kedua pejabat itu melaporkan pemberian barang tersebut tanpa harus menunggu diimbau KPK. Apakah benda-benda tersebut termasuk gratifikasi atau bukan, baik Jokowi maupun Taufiq menyerahkan sepenuhnya ke KPK untuk menilai. Apalagi, Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tegas mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pemberian itu memiliki arti luas, meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Di tengah kian tumpulnya kepekaan etis sebagian penyelenggara negara kita, peringatan dari Plt Wakil Ketua KPK tersebut patut diapresiasi. Anjuran untuk segera melaporkan pemberian barang, kendati ‘cuma’ topi, merupakan bentuk pengingat agar pejabat negara memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal.
Secara internal, pejabat harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, mereka harus mampu membaca kehendak publik untuk bisa menakar autentisitas aspirasi publik yang kritis agar makna jabatan sebagai amanah tidak sekadar ornamen di panggung-panggung sumpah jabatan ******
DI negara-negara dengan demokrasi mapan, para anggota parlemen sibuk memproduksi undang-undang yang berpihak pada rakyat.
Itu disebabkan segala bentuk beleid yang dikeluarkan anggota dewan akan menjadi tolok ukur sukses atau tidaknya wakil rakyat tersebut. Namun, di negeri ini, para anggota parlemen masih sibuk dengan urusan yang tak jauh-jauh dari motif mendapatkan uang.
Soal legislasi yang masih jauh dari target, baik kuantitas maupun kualitas, tidak membuat mereka pusing. Gambaran seperti itulah yang terjadi saat Badan Anggaran DPR RI meminta dana aspirasi daerah pemilihan dikucurkan sebesar Rp20 miliar per tahun per daerah pemilihan. Mereka tidak peduli apakah kinerja sebagai anggota dewan yang terhormat sudah paralel dengan harapan rakyat yang mereka wakili.
Tuntutan dana aspirasi itu muncul saat DPR masih didera krisis kepercayaan dari publik terhadap kinerja mereka. Padahal, DPR bekerja atas dasar kepercayaan publik. Kepercayaan itu diperoleh apabila mereka sanggup membuktikan diri menjalankan fungsi pokok secara maksimal, yakni membuat undang-undang, menyusun anggaran yang mampu menggerakkan roda perekonomian, serta mengawasi jalannya pemerintahan.
Saat sebagian besar publik menilai kinerja DPR masih jauh dari harapan, tentu tak elok bagi mereka menuntut macam-macam. Apalagi yang dikehendaki untuk dicairkan ialah dana aspirasi dengan anggaran yang wah, tetapi tanpa didahului konsep matang. Banyak suara mengkritik usul dana aspirasi tersebut, salah satunya karena dikhawatirkan bakal memicu terjadinya praktik korupsi yang kian marak di daerah.
Bagi daerah dan anggota dewan dari dapil tersebut, pengucuran dana aspirasi sangat besar berpotensi membuka ruang-ruang gelap negosiasi politik. Anggota DPR dan pemerintah daerah bisa saja kongkalikong untuk memanfaatkan dana tersebut. Apalagi, selama ini sebagian besar kepala daerah kerap ‘tunduk’ pada tekanan anggota dewan.
Lihatlah bagaimana dulu dana percepatan infrastruktur daerah membuat anggota dewan menjadi ‘broker’ yang amat menentukan. Pada sisi lain, para kepala daerah yang butuh kucuran anggaran dana tersebut terpaksa membuka ruang negosiasi dengan sang anggota dewan dengan posisi cenderung tersubordinasi. Selain menjadi bahan bancakan, ada juga kekhawatiran dana aspirasi justru akan menimbulkan tumpang tindih anggaran, sebab setiap daerah sudah menganggarkan rencana pembangunan ke dalam APBD.
Undang-undang juga sudah mengamanatkan bahwa daerah memiliki otonomi untuk menentukan besaran anggaran penerimaan dan belanja masing-masing. Dengan memaksakan dana aspirasi di daerah pemilihan, apa yang dilakukan anggota DPR sama dengan upaya mengembalikan jarum jam sejarah. Anggota dewan seperti hendak masuk ke detail proyek pembangunan di daerah sama seperti ketika mereka masih memiliki kewenangan masuk sampai satuan tiga penentuan anggaran.
Munculnya dana aspirasi dapil juga potensial memicu terjadinya kebingungan, ihwal di kabupaten mana dana Rp20 miliar itu dianggarkan. Itu disebabkan sebagian besar dapil di Indonesia terdiri dari lebih dari satu kabupaten, bahkan ada yang sampai 10 kabupaten. Dengan melihat masih terlalu banyaknya duri yang bakal muncul, ada baiknya usul dana aspirasi itu ditangguhkan saja.
Akan lebih bijak bagi anggota DPR untuk berfokus pada perbaikan citra diri di muka publik dulu. Cara paling ampuh memperbaiki citra diri ialah dengan merebut kepercayaan publik melalui pemaksimalan kinerja, terutama tugas legislasi yang masih kedodoran. Itulah cara paling jitu merebut hati publik.*****
PEMERINTAHAN dibentuk sejatinya semata-mata untuk melayani masyarakatnya. Karena itu, ia semestinya selalu hadir dan menampilkan diri sebagai pelayan bagi masyarakat, tak peduli seberapa besar jumlah dan beragamnya kepentingan mereka.
Pemerintah tidak boleh mengeluh, apalagi kemudian mengurangi kadar pelayanan itu dengan dalih keterbatasan dan ketidakmampuan. Pemerintah juga tak diperkenankan mempersulit masyarakat mendapatkan pelayanan, terlebih dengan alasan birokrasi yang tak berjalan sesuai visi.
Namun, teramat sayang, hingga hari ini konsep ideal sebuah pemerintah dan birokrasi itu belum juga mampu diterapkan secara optimal oleh penyelenggara negera ini. Mereka, para pejabat dan aparat pemerintahan, malah kerap berlaku sebaliknya.
Mereka lebih asyik menjadi pelayan diri sendiri ketimbang melayani masyarakat. Lebih celaka lagi, para pelayan birokrasi tersebut sering kali justru lebih tekun melayani keperluan penguasa dengan mengabaikan tugas suci mereka memprioritaskan kepentingan publik yang lebih luas.
Hasil survei dari sejumlah lembaga survei internasional dan kalangan organisasi nonpemerintah (NGO) yang dilansir lembaga Ombudsman, Rabu (11/12), menjadi bukti melencengnya sebagian fungsi pemerintah di Republik ini. Survei itu rata-rata menempatkan Indonesia di posisi bawah dalam hal pelayanan publik.
Tentu sangat menyedihkan karena level pelayanan publik di Indonesia ternyata dinilai jelek, bahkan teramat jelek oleh pihak luar. Menurut survei tersebut, Indonesia hanya ada di urutan ke-121 dari 125 negara. Ada juga lembaga yang menempatkan Indonesia di urutan ke-117 dari 120 negara. Ketidakberesan pemerintah mengelola pelayanan publik sebetulnya telah terjadi sejak sebelum era reformasi.
Karena itulah, ketika reformasi bergulir dan pemerintah kerap dengan lantang menggelorakan reformasi birokrasi, kita sangat berharap akan ada perubahan positif dalam pendekatan mereka melayani publik.
Namun, faktanya nihil. Indeks pelayanan publik masih saja berkutat di level bawah meskipun sejak 2009 negara ini sudah punya Undang-Undang Pelayanan Publik. Masyarakat tetap saja merasa hak dan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan belum terlayani dengan baik walaupun gaji para birokrat terus naik setiap tahun.
Dari satu sisi, tidak salah jika pemerintah selalu mengukur keberhasilan mereka dari angka pertumbuhan ekonomi, penurunan tingkat pengganguran, dan angka kemiskinan. Indikator-indikator itu tentu perlu dikejar demi mewujudkan hasil akhir berupa masyarakat yang sejahtera.
Akan tetapi, di sisi yang lain, pemerintah jelas tak boleh melupakan pelayanan publik. Apalah artinya pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi masih banyak masyarakat yang tak mampu mengakses pendidikan. Apa gunanya angka kemiskinan digembar-gemborkan turun, tetapi separuh lebih penduduk Indonesia tak punya jaminan kesehatan.
Pada poin itulah sesungguhnya pemerintah harus berubah dan terus berbenah. Semua keberhasilan dari indikator mana pun semestinya bermuara pada peningkatan pelayanan terhadap publik karena, sekali lagi, pemerintah ada semata-mata untuk melayani masyarakatnya.******
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro