MENJADI PEJABAT, di mana pun di kolong langit ini, sejatinya merupakan pengorbanan. Mereka yang diangkat menjadi penyelenggara negara itu harus rela mewakafkan waktu dan ruang privat kepada publik yang menunggu untuk dilayani. Namun, di negeri ini, alih-alih kerelaan berkorban, sebagian besar pengemban jabatan lebih gemar mengakumulasi fasilitas. Beberapa di antaranya bahkan menuntut fasilitas berlebih tanpa memedulikan kepantasan, yang menurut mereka tak jelas tolok ukurnya.
Kondisi seperti itulah yang kerap memantik perdebatan panjang. Pihak-pihak yang tertuding kerap membela diri dengan bersandar pada argumen legal-formal. Dengan dalih seperti itu, tidak mengherankan jika banyak yang mengkritik bahwa kesadaran pejabat publik kita sebagai representasi rakyat yang harus memiliki kepekaan etis sudah kian tumpul. Padahal, kepekaan etis itulah yang akan senantiasa membuat penyelenggara negara menempatkan keadilan di atas aturan formal yang kerap ditafsirkan secara liar.
Dalam kaitan menggiring pejabat agar memiliki kepekaan etis itulah, salah seorang pemimpin sementara Komisi Pemberantasan Korupsi, Indriyanto Seno Adji, mengimbau rombongan anggota dan pimpinan DPR yang menerima topi dari bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk melaporkan pemberian tersebut kepada KPK. KPK akan menilai apakah pemberian itu merupakan gratifikasi atau bukan.
Indriyanto mencontohkan laporan yang pernah disampaikan Joko Widodo ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, Jokowi melaporkan pemberian alat musik berupa bas dari personel band Metallica, Robert Trujillo. Jokowi juga melaporkan pemberian kacamata dari pembalap Moto-GP, Jorge Lorenzo. Bukan cuma Jokowi yang melakukan itu. Anggota Komisi Yudisial, Taufiqurahman Syahuri, juga pernah melaporkan pemberian hadiah terhadap dirinya dalam bentuk topi, keris, selendang, dan sandal ke KPK. Taufiq memperoleh barang-barang itu saat dia diberi gelar adat malin palito undang dari pemangku adat di Padang, Sumatra Barat, Maret 2015.
Kedua pejabat itu melaporkan pemberian barang tersebut tanpa harus menunggu diimbau KPK. Apakah benda-benda tersebut termasuk gratifikasi atau bukan, baik Jokowi maupun Taufiq menyerahkan sepenuhnya ke KPK untuk menilai. Apalagi, Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sudah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tegas mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Pemberian itu memiliki arti luas, meliputi pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Di tengah kian tumpulnya kepekaan etis sebagian penyelenggara negara kita, peringatan dari Plt Wakil Ketua KPK tersebut patut diapresiasi. Anjuran untuk segera melaporkan pemberian barang, kendati 'cuma' topi, merupakan bentuk pengingat agar pejabat negara memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal.
Secara internal, pejabat harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, mereka harus mampu membaca kehendak publik untuk bisa menakar autentisitas aspirasi publik yang kritis agar makna jabatan sebagai amanah tidak sekadar ornamen di panggung-panggung sumpah jabatan ******
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro