DI negara-negara dengan demokrasi mapan, para anggota parlemen sibuk memproduksi undang-undang yang berpihak pada rakyat.
Itu disebabkan segala bentuk beleid yang dikeluarkan anggota dewan akan menjadi tolok ukur sukses atau tidaknya wakil rakyat tersebut. Namun, di negeri ini, para anggota parlemen masih sibuk dengan urusan yang tak jauh-jauh dari motif mendapatkan uang.
Soal legislasi yang masih jauh dari target, baik kuantitas maupun kualitas, tidak membuat mereka pusing. Gambaran seperti itulah yang terjadi saat Badan Anggaran DPR RI meminta dana aspirasi daerah pemilihan dikucurkan sebesar Rp20 miliar per tahun per daerah pemilihan. Mereka tidak peduli apakah kinerja sebagai anggota dewan yang terhormat sudah paralel dengan harapan rakyat yang mereka wakili.
Tuntutan dana aspirasi itu muncul saat DPR masih didera krisis kepercayaan dari publik terhadap kinerja mereka. Padahal, DPR bekerja atas dasar kepercayaan publik. Kepercayaan itu diperoleh apabila mereka sanggup membuktikan diri menjalankan fungsi pokok secara maksimal, yakni membuat undang-undang, menyusun anggaran yang mampu menggerakkan roda perekonomian, serta mengawasi jalannya pemerintahan.
Saat sebagian besar publik menilai kinerja DPR masih jauh dari harapan, tentu tak elok bagi mereka menuntut macam-macam. Apalagi yang dikehendaki untuk dicairkan ialah dana aspirasi dengan anggaran yang wah, tetapi tanpa didahului konsep matang. Banyak suara mengkritik usul dana aspirasi tersebut, salah satunya karena dikhawatirkan bakal memicu terjadinya praktik korupsi yang kian marak di daerah.
Bagi daerah dan anggota dewan dari dapil tersebut, pengucuran dana aspirasi sangat besar berpotensi membuka ruang-ruang gelap negosiasi politik. Anggota DPR dan pemerintah daerah bisa saja kongkalikong untuk memanfaatkan dana tersebut. Apalagi, selama ini sebagian besar kepala daerah kerap 'tunduk' pada tekanan anggota dewan.
Lihatlah bagaimana dulu dana percepatan infrastruktur daerah membuat anggota dewan menjadi 'broker' yang amat menentukan. Pada sisi lain, para kepala daerah yang butuh kucuran anggaran dana tersebut terpaksa membuka ruang negosiasi dengan sang anggota dewan dengan posisi cenderung tersubordinasi. Selain menjadi bahan bancakan, ada juga kekhawatiran dana aspirasi justru akan menimbulkan tumpang tindih anggaran, sebab setiap daerah sudah menganggarkan rencana pembangunan ke dalam APBD.
Undang-undang juga sudah mengamanatkan bahwa daerah memiliki otonomi untuk menentukan besaran anggaran penerimaan dan belanja masing-masing. Dengan memaksakan dana aspirasi di daerah pemilihan, apa yang dilakukan anggota DPR sama dengan upaya mengembalikan jarum jam sejarah. Anggota dewan seperti hendak masuk ke detail proyek pembangunan di daerah sama seperti ketika mereka masih memiliki kewenangan masuk sampai satuan tiga penentuan anggaran.
Munculnya dana aspirasi dapil juga potensial memicu terjadinya kebingungan, ihwal di kabupaten mana dana Rp20 miliar itu dianggarkan. Itu disebabkan sebagian besar dapil di Indonesia terdiri dari lebih dari satu kabupaten, bahkan ada yang sampai 10 kabupaten. Dengan melihat masih terlalu banyaknya duri yang bakal muncul, ada baiknya usul dana aspirasi itu ditangguhkan saja.
Akan lebih bijak bagi anggota DPR untuk berfokus pada perbaikan citra diri di muka publik dulu. Cara paling ampuh memperbaiki citra diri ialah dengan merebut kepercayaan publik melalui pemaksimalan kinerja, terutama tugas legislasi yang masih kedodoran. Itulah cara paling jitu merebut hati publik.*****
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro