CALON Presiden petahana Joko Widodo sepertinya sedang galau, bagaimana tidak upaya kubu petahana dalam satu tahun terahir untuk mencitrakan diri terkesan dekat dengan umat Islam tiba-tiba saja buyar dalam sekejap. Reuni Akbar Mujahid 212 adalah salah satu pokok perkaranya.
Upaya serius Jokowi untuk meredam citra negatif terhadap pemerintahannya satu tahun terakhir sangat gencar dilakukan. Citra rezim anti Islam dan tuduhan mengkriminalisasi ulama menjadi titik lemah Jokowi untuk kembali terulang pertarungan lama head to head antara Jokowi vs Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang.
Sadar akan citra negatif tersebut, Jokowi dan partai pengusungnya melakukan pendekatan yang intensif kepada simpul-simpul basis massa pemilih muslim.
Kunjungan ke pesantren menjadi agenda rutin sang presiden dengan intensitas yang cukup tinggi untuk kembali meyakinkan para ulama dan kiai di pesantren bahwa pemerintahannya berpihak pada umat dan bukan anti Islam seperti yang dituduhkan selama ini.
Salah satu bukti keberpihakan Jokowi terhadap umat, menit-menit terahir (last minute) Jokowi memutuskan memilih ulama yaitu Kiai Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendampingnya.
Pilihan politik ini tentu punya motif yang sangat jelas, Jokowi ingin meredam sentimen anti Islam yang dicitrakan pada dirinya dan sekaligus merespons isu SARA yang dituduhkan selama ini.
Apakah Ma'ruf Amin sebetulnya gagal atau berhasil dongkrak elektabilitas Jokowi di mata umat? Saya mencermati Kiai Ma’ruf Amin yang diharapkan Jokowi mampu mengambil empati ceruk segmen pemilih muslim dianggap belum berhasil, belum menemukan isu dan momentumnya, kesimpulan yang tidak terlalu prematur.
Apakah ada aroma politis dalam Reuni 212? Saya katakan tentu ada, gerakan moral melawan kriminalisasi ulama, penistaan agama dan ghiroh persaudaraan, persatuan sesama umat adalah agenda utamanya. Sementara konsolidasi politik mengarah pada salah satu capres hanya bagian dari bonus saja.
Penolakan secara halus dengan pelbagai alasan penyelenggara Reuni 212 sehingga tidak jadi mengundang Jokowi dalam acara tersebut jelas bau amis aroma politisnya. Hilang aroma politisnya apabila Jokowi dan Prabowo hadir dalam reuni tersebut, menyusun kata dan diksi yang meneduhkan, menyejukkan dan menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Prabowo hadir, apakah Prabowo diuntungkan secara elektoral? Prabowo mendapat panggung sehingga tercitrakan sebagai capres yang empati, peduli dan bagian dari umat, hadir memberikan semangat, menyapa dan menyalami massa Reuni 212.
Prabowo angkat topi dan sangat bangga dengan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Itu yang saya maksud bahwa Prabowo cukup berhasil memainkan, mengelola perasaan sentimen umat.
Pertanyaan sederhana, seberapa besar pengaruh massa alumni 212 dalam Pilpres 2019? Benarkah suara mereka lebih cenderung ke Prabowo? Sulit secara logika sehat massa reuni 212 memilih Jokowi.
Ada hubungan kausalitas sebab akibat, karena pemerintah terkesan membiarkan kriminalisasi terhadap ulama dan penistaan agama terus berlanjut, sehingga memantik gerakan reuni massa 212 terulang dan nampaknya akan terus membesar sampai menemukan titik momentumnya, yang jelas massa reuni 212 anti tesis dari Jokowi, mereka menyampaikan pendapat, pikiran, aspirasi dan berkumpul dalam peristiwa tersebut.
Ketidakhadiran Jokowi dalam Reuni 212 apakah merugikan elektabilitas Jokowi? Tentu sangat merugikan dirinya, dimana panggung "gratis" umat Islam menjadi milik Prabowo, alumni 212 dan umat Islam semakin solid menguatkan dukungannya pada Prabowo karena soal sikap dan keberpihakan Prabowo terhadap umat.
Tidak bisa dinatikan show of force Reuni 212 mengerdilkan Jokowi, acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal dihadiri sedikit orang. Jokowi tidak bisa menandingi ghiroh Reuni 212. Lagi-lagi langkah keliru, salah langka (jebakan batman) menggapa Jokowi harus menghadiri hajatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal yang waktunya bersamaan dengan konsolidasi massa Reuni 212?
Semestinya Jokowi jangan membiarkan panggung "besar" umat Islam tersebut dinikmati Prabowo. Dengan kehadiran Jokowi dapat dipastikan panggung itu akan menjadi miliknya layaknya aksi 212 terdahulu, semua sorot mata dan kamera akan tertuju pada Jokowi, Prabowo hanya akan menjadi pelengkap saja.
Tidak hanya itu, kehadiran Jokowi dalam Reuni tersebut bisa menjadi pertimbangan kembali sebagian massa Reuni 212 memilih Jokowi. Namun setelah Jokowi tidak hadir dalam peristiwa monumental Reuni 212, sudah dipastikan massa Reuni 212 dan umat Islam semakin mantap meninggalkan Jokowi.
Nasi sudah jadi bubur, momentum politik sudah berlalu dan Prabowo mendapat poin istimewa. Selain Prabowo menemukan momentumnya dan berhasil melakukan konsolidasi politik menjelang hajatan Pilpres lima tahunan.
Jokowi dan timnya harus harus mengakui kepiawaian dan kemahiran tim lingkaran Prabowo menggoreng sintemen dan berselancar dengan papan isu.
Tidak ada kata lain selain tim Jokowi segera berbenah diri dan lebih jeli membaca fenomena dan peristiwa penting hajatan politik jika tidak ingin terus-terusan tergilas oleh kuatnya arus yang meng-inginkan perubahan.
Kita juga patut apresiasi sikap pemerintah yang tidak menghalang-halangi, tidak represif dan reaktif, menjamin keamanan peserta Reuni 212 sehingga pulang dengan selamat ke rumah masing-masing.
Pemerintah sudah memberikan ruang yang cukup luas bagi umat Islam untuk kebebasan berpendapat (freedom of expression), kebebasan berbicara (freedom of speech), bergerak dalam persaudaraan (solidarity) sesama umat dengan tetap menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Semoga, Islam rahmatal lil alamin terwujud di Bumi Indonesia, setia menjaga Pancasila, persatuan, kebhinnekaan, toleransi, pluralisme dan keberagaman.*****
Pangi Syarwi Chaniago
Analis politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro