JAKARTA – Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, merasa lega setelah Polda Metro Jaya resmi menghentikan penyelidikan atas laporan dugaan penggelapan yang ditujukan kepadanya. Kepolisian menilai tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus tersebut.
Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan (SP2 Lid) diterbitkan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya dengan nomor B/1609/VI/RES.1.11/2025/Direskrimum, tertanggal 10 Juni 2025.
Dokumen itu ditandatangani oleh Kasubdit Kamneg, AKBP Akta Wijaya Pramasakti.
“Penyelidik telah melakukan gelar perkara terhadap laporan tersebut. Hasilnya, belum ditemukan adanya peristiwa pidana, sehingga penyelidikan dihentikan terhitung sejak 10 Juni 2025,” demikian bunyi keterangan resmi dalam SP2 Lid.
Menanggapi hal ini, Hendry Ch Bangun menyampaikan rasa syukurnya. Ia menyebut keputusan ini sebagai bentuk kerja profesional aparat penegak hukum.
“Saya berterima kasih kepada penyidik Polda Metro Jaya. Mereka bekerja sesuai SOP, memeriksa saksi-saksi, menggelar perkara, dan menyimpulkan tidak ada peristiwa pidana,” kata Hendry dalam Rapat Pleno PWI yang digelar secara luring dan daring, Jumat, 20 Juni 2025.
Ia menegaskan, tuduhan penggelapan dan korupsi yang sebelumnya dialamatkan kepadanya telah mencemarkan nama baik pribadi dan organisasi. Dengan dihentikannya penyelidikan, Hendry berharap reputasi PWI bisa pulih.
Sebelumnya, Hendry Ch Bangun bersama Sayid Iskandarsyah dilaporkan atas dugaan penipuan dan/atau penggelapan dalam jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP. Namun tuduhan itu kini telah gugur setelah penyidik menyatakan tak ditemukan unsur pidana.
“Konflik internal di tubuh PWI bermula dari tuduhan ini. Nama saya dan nama organisasi menjadi rusak. Dengan terbitnya surat penghentian penyelidikan, saya berharap semuanya kembali jernih,” ujarnya.
“Saya lagi memikirkan langkah untuk melapor balik. Lagi saya pertimbangkan,” sambunhg Hendry.(*/Bi)
JAKARTA – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat kembali menyerahkan bukti tambahan dalam sidang lanjutan perkara gugatan terhadap Dewan Pers di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Rabu (18/6/2025). Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Achmad Rasyid Purba, SH, MHum tersebut masih mengagendakan penyerahan alat bukti dari kedua belah pihak.
Dalam persidangan ini, tim kuasa hukum PWI dari Law Firm O.C. Kaligis & Associates menyerahkan empat bukti tambahan. Keempat bukti itu berupa: foto dan video proses penyegelan kantor PWI Pusat, salinan surat permohonan pembukaan kembali kantor, serta dokumen asli tanda terima surat yang dikirimkan kepada Dewan Pers.
“Bukti video dan foto yang kami sampaikan merupakan fakta nyata tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Dewan Pers terhadap kantor PWI Pusat, yang dipimpin oleh Ketua Umum sah hasil Kongres PWI di Bandung, Bapak Hendry Ch Bangun,” ujar Muhammad Faris, anggota tim kuasa hukum PWI, kepada wartawan usai sidang.
Bukti tambahan ini diklaim memperkuat gugatan PWI atas dugaan tindakan melawan hukum, khususnya terkait penyegelan kantor PWI yang terjadi pada 30 September 2024.
Menurut Faris, penyegelan itu dilakukan secara sepihak dan tidak memiliki dasar kewenangan yang sah.
Selain bukti visual, dua bukti lainnya berupa salinan surat tertanggal 19 Mei 2024 yang berisi permohonan pembukaan kembali kantor, serta tanda terima surat dari pengiriman ulang dokumen kepada Dewan Pers. Faris menyebutkan bahwa tidak ada tanggapan dari pihak Dewan Pers terhadap surat pertama, sehingga PWI kembali mengirimkan surat kedua yang kini dijadikan bagian dari bukti penguat.
“Padahal, di dalam kantor masih terdapat dokumen penting milik organisasi. Penolakan untuk membuka kantor menunjukkan ketidaksiapan Dewan Pers menyelesaikan permasalahan secara baik-baik,” tambah Faris, yang hadir bersama rekan kuasa hukum lainnya: Umi Sjarifah, Rukmana, dan Victor.
Faris menegaskan, pihaknya tetap membuka diri terhadap upaya damai, selama itikad baik ditunjukkan pihak tergugat. Ia menyampaikan bahwa permohonan mereka sangat sederhana, yakni pembukaan kembali kantor agar PWI bisa berfungsi secara normal.
“Kami tentu sepakat jika ada upaya damai. Yang paling penting kantor bisa kembali dibuka agar PWI menjalankan perannya, termasuk menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan. Permintaan kami sangat sederhana,” jelasnya.
Sementara itu, dalam sidang yang sama, tim penasihat hukum Dewan Pers turut menyerahkan 14 bukti surat kepada majelis hakim. Pihak tergugat juga akan menyampaikan bukti tambahan dalam persidangan selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 25 Juni 2025 mendatang.(*/Ad)
JAKARTA – Narasi yang disebarkan kelompok Kongres Luar Biasa (KLB) yang dipimpin oleh Zulmansyah Sekedang dan Wina Armada perlahan runtuh satu demi satu. Fakta hukum, administratif, dan etik justru menguatkan posisi Hendry Ch Bangun sebagai Ketua Umum sah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hasil Kongres Bandung 2023.
Tidak hanya sah secara konstitusi, posisi Hendry Ch Bangun juga diperkuat negara melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0000946.AH.01.08 Tahun 2024. SK ini menegaskan legalitas penuh kepengurusan PWI Pusat yang dipimpin Hendry Ch Bangun.
KLB Cacat Hukum, Akta Notaris Dilaporkan ke Polisi
KLB yang digelar oleh kelompok Zulmansyah terbukti cacat hukum. Dasar hukum berupa Akta Notaris yang mereka gunakan kini tengah disidik oleh Bareskrim Mabes Polri. Akta itu dilaporkan karena diduga memuat keterangan palsu, melanggar Pasal 263 dan 266 KUHP. Salah satu klaim keliru mereka adalah menyatakan bahwa KLB diikuti oleh 20 PWI Provinsi. Faktanya, sejumlah ketua PWI Provinsi seperti dari Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara telah menyatakan tidak hadir, bahkan menolak pencatutan nama mereka.
Dua orang juga menyatakan keberatan karena dicatut sebagai pengurus PWI versi KLB tanpa izin dan tidak pernah dilibatkan. Secara aturan organisasi, pembentukan KLB pun tidak sah karena tidak memenuhi syarat kuorum. Dari 76 pengurus PWI Pusat, minimal 28 orang harus hadir dalam rapat pleno untuk bisa mengambil keputusan penting. Rapat yang dilakukan kelompok KLB hanya diikuti segelintir orang.
Keputusan DK Palsu, Sudah Masuk Penyidikan Polisi
Keputusan Dewan Kehormatan (DK) versi KLB yang menjadi dasar pemecatan Hendry Ch Bangun juga sudah terbukti bermasalah. Surat pemberhentian itu ditandatangani oleh Sasongko Tedjo dan Nurcholis M. Basyari, yang keduanya sudah bukan anggota PWI. Surat tersebut saat ini sedang diproses secara hukum di Polres Jakarta Pusat dan telah naik ke tahap penyidikan.
“Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi masuk ranah pidana. Mereka menandatangani surat atas nama lembaga yang sudah tidak mereka wakili,” kata Hendry Ch Bangun, pada Minggu(15/6/2025)malam.
Putusan Pengadilan Mempertegas Keabsahan HCB
Putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Sayid Iskandarsyah semakin memperjelas bahwa Hendry Ch Bangun adalah Ketua Umum PWI yang sah. Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan gugatan tidak diterima karena sudah diselesaikan secara organisasi melalui Rapat Pleno Diperluas PWI Pusat pada 27 Juni 2024.
Rapat pleno itu juga menyatakan bahwa Ketua Umum PWI Pusat adalah Hendry Ch Bangun dan Plt Ketua Dewan Kehormatan adalah M Noeh Hatumena. Keputusan ini sesuai dengan Pasal 19 Ayat 4 Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI. Bahkan, rapat tersebut juga memberikan kewenangan kepada Hendry untuk mengubah susunan kepengurusan.
Tidak Ada Dualisme, Negara Hanya Akui Satu PWI
Narasi seolah ada dualisme PWI sengaja dikembangkan kelompok KLB. Padahal, secara hukum, hanya ada satu PWI yang diakui negara, yaitu yang memiliki SK Kemenkumham. Satu-satunya Ketua Umum yang sah adalah Hendry Ch Bangun.
Tudingan bahwa Hendry sudah diberhentikan sebagai anggota PWI juga tidak berdasar. Dalam aturan organisasi, pemberhentian anggota adalah kewenangan Ketua Umum. Dewan Kehormatan hanya memberikan rekomendasi, bukan eksekusi. Praktik ini juga pernah terjadi di era Atal S Depari, ketika rekomendasi pemberhentian dari DK terhadap Zulkifli Gani Ottoh dan Basyril Basyar tidak dijalankan. Zulkifli bahkan kemudian ditunjuk sebagai Ketua Steering Committee Kongres 2023 dan hingga kini masih tercatat sebagai anggota.
Kongres Persatuan Harus Berdiri di Atas Hukum, Bukan Narasi Sesat
Rencana Kongres Persatuan yang digagas untuk meredakan konflik internal PWI harusnya dilakukan dengan itikad baik, bukan dijadikan ajang untuk mengaburkan fakta hukum. Justru publik perlu memahami duduk persoalan secara utuh: kelompok KLB telah membuat tindakan inkonstitusional dan melanggar hukum dengan menggelar KLB abal-abal.
“PWI bukan milik segelintir orang. PWI adalah institusi yang harus dijaga marwah dan integritasnya. Tidak bisa dirusak oleh klaim palsu dan narasi yang menyesatkan,” tegas Ketua PWI Pusat Hendry Ch Bangun.(*/Ad)
JAKARTA — Narasi yang disebarkan kelompok Kongres Luar Biasa (KLB) yang dipimpin oleh Zulmansyah Sekedang dan Wina Armada perlahan runtuh satu demi satu. Fakta hukum, administratif, dan etik justru menguatkan posisi Hendry Ch Bangun sebagai Ketua Umum sah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hasil Kongres Bandung 2023.
Tidak hanya sah secara konstitusi, posisi Hendry Ch Bangun juga diperkuat negara melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0000946.AH.01.08 Tahun 2024. SK ini menegaskan legalitas penuh kepengurusan PWI Pusat yang dipimpin Hendry Ch Bangun.
KLB Cacat Hukum, Akta Notaris Dilaporkan ke Polisi
KLB yang digelar oleh kelompok Zulmansyah terbukti cacat hukum. Dasar hukum berupa Akta Notaris yang mereka gunakan kini tengah disidik oleh Bareskrim Mabes Polri. Akta itu dilaporkan karena diduga memuat keterangan palsu, melanggar Pasal 263 dan 266 KUHP. Salah satu klaim keliru mereka adalah menyatakan bahwa KLB diikuti oleh 20 PWI Provinsi. Faktanya, sejumlah ketua PWI Provinsi seperti dari Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara telah menyatakan tidak hadir, bahkan menolak pencatutan nama mereka.
Dua orang juga menyatakan keberatan karena dicatut sebagai pengurus PWI versi KLB tanpa izin dan tidak pernah dilibatkan. Secara aturan organisasi, pembentukan KLB pun tidak sah karena tidak memenuhi syarat kuorum. Dari 76 pengurus PWI Pusat, minimal 28 orang harus hadir dalam rapat pleno untuk bisa mengambil keputusan penting. Rapat yang dilakukan kelompok KLB hanya diikuti segelintir orang.
Keputusan DK Palsu, Sudah Masuk Penyidikan Polisi
Keputusan Dewan Kehormatan (DK) versi KLB yang menjadi dasar pemecatan Hendry Ch Bangun juga sudah terbukti bermasalah. Surat pemberhentian itu ditandatangani oleh Sasongko Tedjo dan Nurcholis M. Basyari, yang keduanya sudah bukan anggota PWI. Surat tersebut saat ini sedang diproses secara hukum di Polres Jakarta Pusat dan telah naik ke tahap penyidikan.
“Ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi masuk ranah pidana. Mereka menandatangani surat atas nama lembaga yang sudah tidak mereka wakili,” ujar Hendry Ch Bangun, Minggu, 15 Juni.
Putusan Pengadilan Mempertegas Keabsahan HCB
Putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan Sayid Iskandarsyah semakin memperjelas bahwa Hendry Ch Bangun adalah Ketua Umum PWI yang sah. Dalam putusan itu, majelis hakim menyatakan gugatan tidak diterima karena sudah diselesaikan secara organisasi melalui Rapat Pleno Diperluas PWI Pusat pada 27 Juni 2024.
Rapat pleno itu juga menyatakan bahwa Ketua Umum PWI Pusat adalah Hendry Ch Bangun dan Plt Ketua Dewan Kehormatan adalah M Noeh Hatumena. Keputusan ini sesuai dengan Pasal 19 Ayat 4 Peraturan Rumah Tangga (PRT) PWI. Bahkan, rapat tersebut juga memberikan kewenangan kepada Hendry untuk mengubah susunan kepengurusan.
Tidak Ada Dualisme, Negara Hanya Akui Satu PWI
Narasi seolah ada dualisme PWI sengaja dikembangkan kelompok KLB. Padahal, secara hukum, hanya ada satu PWI yang diakui negara, yaitu yang memiliki SK Kemenkumham. Satu-satunya Ketua Umum yang sah adalah Hendry Ch Bangun.
Tudingan bahwa Hendry sudah diberhentikan sebagai anggota PWI juga tidak berdasar. Dalam aturan organisasi, pemberhentian anggota adalah kewenangan Ketua Umum. Dewan Kehormatan hanya memberikan rekomendasi, bukan eksekusi. Praktik ini juga pernah terjadi di era Atal S Depari, ketika rekomendasi pemberhentian dari DK terhadap Zulkifli Gani Ottoh dan Basyril Basyar tidak dijalankan. Zulkifli bahkan kemudian ditunjuk sebagai Ketua Steering Committee Kongres 2023 dan hingga kini masih tercatat sebagai anggota.
Kongres Persatuan Harus Berdiri di Atas Hukum, Bukan Narasi Sesat
Rencana Kongres Persatuan yang digagas untuk meredakan konflik internal PWI harusnya dilakukan dengan itikad baik, bukan dijadikan ajang untuk mengaburkan fakta hukum. Justru publik perlu memahami duduk persoalan secara utuh: kelompok KLB telah membuat tindakan inkonstitusional dan melanggar hukum dengan menggelar KLB abal-abal.
“PWI bukan milik segelintir orang. PWI adalah institusi yang harus dijaga marwah dan integritasnya. Tidak bisa dirusak oleh klaim palsu dan narasi yang menyesatkan,” ujar Ketua PWI Pusat Hendry Ch Bangun.(*/Ad)
JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memeriksa kader PDI Perjuangan (PDIP) Saeful Bahri sebagai saksi penyidikan perkara dugaan korupsi dengan tersangka Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dan buron KPK Harun Masiku. Saeful Bahri diketahui telah hadir memenuhi panggilan penyidik KPK dan saat ini tengah menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK.
“Pemeriksaan sebagai saksi lanjutan sprindik HM, HK, dan DTI,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Sejauh ini belum ada keterangan dari pihak penyidik KPK soal materi apa saja yang akan didalami dalam pemeriksaan tersebut. Penyidik KPK pada Selasa, 24 Desember 2024 menetapkan dua orang tersangka baru dalam rangkaian kasus Harun Masiku, yakni Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (HK) dan advokat Donny Tri Istiqomah (DTI).
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa HK mengatur dan mengendalikan DTI untuk melobi anggota KPU Wahyu Setiawan agar dapat menetapkan Harun Masiku sebagai calon anggota DPR RI terpilih dari Dapil Sumsel I. HK juga diketahui mengatur dan mengendalikan DTI untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada Wahyu Setiawan melalui Agustiani Tio Fridelina.
“HK bersama-sama dengan Harun Masiku, Saeful Bahri, dan DTI melakukan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina sebesar 19.000 dolar Singapura dan 38.350 dolar AS pada periode 16 Desember 2019-23 Desember 2019 agar Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Dapil Sumsel I,” ujar Setyo.
Selain itu, penyidik KPK juga turut menetapkan Hasto sebagai tersangka dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan.(*/Ad)
JAKARTA – Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Sukartono menyatakan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. tahun 2015–2022 terbukti merugikan negara sebesar Rp300 triliun. Total kerugian negara itu hasil tindak pidana dari tiga terdakwa.
“Kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP (izin usaha pertambangan) PT Timah Tbk tahun 2015–2022 mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 (300 triliun),” ujar Sukartono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Kerugian tersebut, kata dia, juga disebabkan oleh perbuatan tiga mantan Kepala Dinas (Kadis) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung, yakni Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015–2019 Suranto Wibowo, Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2021–2024 Amir Syahbana, serta Pelaksana Tugas Kadis ESDM Provinsi Bangka Belitung periode Maret hingga Desember 2019 Rusbani alias Bani.
“(Mereka) tidak melakukan pembinaan dan pengawasan secara benar,” ucap dia.
Sukartono mengatakan bahwa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) lima smelter beserta perusahaan afiliasinya digunakan untuk kerja sama dengan PT Timah untuk melakukan penambangan di IUP PT Timah. Adapun lima smelter yang dimaksud adalah PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa beserta serta PT Tinindo Internusa, masing-masing beserta perusahaan afiliasinya.
Akibat RKAB tersebut, penambangan oleh pihak swasta di wilayah IUP PT Timah menjadi masif dan menyebabkan kerusakan ekologi, kerusakan ekonomi lingkungan, serta menimbulkan biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan bijih timah. Sukartono menjabarkan, biaya kerugian ekologi sebesar Rp183,7 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp75,4 triliun, serta biaya pemulihan lingkungan Rp11,8 triliun. Dengan demikian, total kerugian lingkungan Rp271,06 triliun
Lebih lanjut, Sukartono memaparkan bahwa kerugian senilai Rp271,06 triliun dapat pula dibagi berdasarkan kawasan yang dirusak. Sukartono membaginya menjadi dua kategori, yakni kerusakan lingkungan hidup di non-kawasan hutan dengan luas sekitar 95 ribu ha dengan kerugian sebesar Rp47,7 triliun; serta kerusakan lingkungan hidup akibat tambang timah di dalam kawasan hutan dengan luas sekitar 75 ribu ha senilai Rp223,3 triliun.
Dalam kasus korupsi timah, ketiga terdakwa tersebut diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun. Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,06 triliun berupa kerugian lingkungan.(Antara)
JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai Rp6,8 miliar dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa pada Senin (2/12/2024) malam. Risandar pun sudah resmi ditetapkan sebagai tersangka.
“KPK mengamankan total sembilan orang, yakni delapan orang di wilayah Pekanbaru dan satu orang di Jakarta, serta sejumlah uang dengan total sekitar Rp6.820.000.000,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (4/12/2/2024).
Ghufron menerangkan uang tersebut diamankan dari beberapa lokasi berbeda dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Pekanbaru, Riau. Pertama uang sebesar Rp1 miliar disita KPK dalam penangkapan teradap Plt Kepala Bagian Umum Pemerintah Kota Pekanbaru Novin Karmila (NK) di wilayah Pekanbaru.
Selanjutnya Rp1,39 miliar disita dalam penangkapan Risnandar di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru. Kemudian Rp2 miliar disita penyidik KPK dari rumah pribadi Risnandar di Jakarta.
Kemudian uang Rp830 juta disita penyidik KPK dalam penangkapan Sekda Kota Pekanbaru Indra Pomi Nasiotion di rumahnya di Pekanbaru. Indra mengakui bahwa dirinya memegang uang sebesar Rp1 miliar, namun sebanyak Rp170 juta telah disebar ke beberapa pihak.
Penyidik KPK selanjutnya menangkap ajudan Risnandar, Nugroho Adi Triputranto, serta menyita Rp375,4 juta dari rekening Nugroho. Selanjutnya sebanyak Rp1 miliar disita dari kakak Novin, Fachrul Chacha dan Rp100 juta disita dari didapatkan di rumah dinas Pj Wali Kota.
Sedangkan dari penggeledahan di salah satu kediaman di Ragunan, Jakarta Selatan, tim penyidik KPK menyita uang sebesar Rp200 juta. Penyidik KPK selanjutnya membawa sembilan orang tersebut beserta barang buktinya ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Penyidik KPK kemudian menetapkan tiga orang sebagai tersangka yakni Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Mahiwa (RM), Sekretaris Daerah Pekanbaru Indra Pomi Nasution (IPN) dan Plt Kepala Bagian Umum Pemerintah Kota Pekanbaru Novin Karmila (NK).
“KPK melakukan serangkaian pemeriksaan dan telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menaikan perkara ini ke tahap penyidikan, dengan menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu RM, IPN, dan NK,” ujar Ghufron.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, penyidik KPK selanjutnya langsung melakukan penahanan terhadap ketiganya selama 20 hari terhitung sejak 3 Desember 2024 sampai dengan 22 Desember 2024, di Rutan KPK. Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 12 f dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(Antara)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, pihak yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Bengkulu pada Sabtu (23/11/2024) malam menjadi delapan orang. Dalam operasi tersebut penyidik juga menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai dan dokumen, namun belum merinci berapa nominal uang yang disita dalam kegiatan tersebut.
KPK telah menerbangkan delapan orang tersebut ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Dalam operasi tersebut penyidik juga menyita sejumlah barang bukti berupa uang tunai dan dokumen, namun belum merinci berapa nominal uang yang disita dalam kegiatan tersebut.
“Juga turut diamankan uang, dokumen, dan barang bukti elektronik,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (24/11/2024).
Salah satu dari delapan orang itu adalah Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. “Sampai dengan saat ini, sudah ada delapan orang di jajaran Pemerintah Provinsi Bengkulu yang sudah diamankan oleh KPK,” kata Tessa.
Mereka yang ditangkap, pada Minggu (24/11/2024) sudah digelandang ke Gedung KPK di Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. “Terkait pungutan ke pegawai untuk pendanaan pilkada,” begitu kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat dikonfirmasi, Minggu (24/11/2024). Kata Alex, penjelasan lebih lengkap perihal penangkapan tersebut akan disampaikan resmi oleh KPK pada sore ini.
Sebelumnya dikabarkan, pada Sabtu (23/11/2024) malam, KPK melakukan operasi senyap penangkapan sejumlah pejabat pemerintahan di Bengkulu. Dari penangkapan tersebut, penyidik KPK menggelandang tujuh di antaranya ke Kantor Polresta Bengkulu untuk pemeriksaan. Dari penangkapan tersebut berlanjut ke penangkapan terhadap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.
Pada Ahad (24/11/2024) sore, mereka yang ditangkap sudah dibawa ke Gedung KPK di Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersya juga turut digelandang ke KPK dan tiba di Gedung Merah Putih di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (Jaksel) sekitar pukul 14:35 WIB.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardika melanjutkan, konfrensi pers terkait penangkapan di Bengkulu itu akan dijelaskan secara resmi sore ini. Termasuk kata dia untuk memastikan status hukum mereka yang ditangkap itu.(*/Jo)
JAKARTA – Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dikatakan tak pernah memberikan penjelasan yang terang dan jelas tentang perbuatan apa yang membuat mantan menteri perdagangan (mendag) Tom Lembong menjadi tersangka dan tahanan. Hal tersebut disampaikan Tom dalam sidang ke-4 preperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis (21/11/2024).
Tom dalam sidang tersebut dihadirkan melalui daring oleh hakim tunggal Tumpanuli Marbun. Kehadiran Tom melalui zoom meeting untuk didengarkan penjelasannya sebagai tersangka, pihak pemohon utama praperadilan. Tom sempat membacakan testimoni dan kronologis, serta penjelasan tentang permasalahan kebijakan impor gula yang dikatakan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) selama pemeriksaannya sebelum dijadikan tersangka.
Selepas membacakan testimoni itu, hakim Tumpanuli memberi kesempatan kepada para tim pengacara Tom, serta pihak kejaksaan selaku termohon untuk mendalami penyampaian Tom tersebut. Dalam sesi tanya jawab tersebut, tim pengacara mengambil kesempatan pertama.
Pengacara Ari Yusuf Amir kepada Tom menanyakan perihal permasalahan hukum apa yang disampaikan, dan yang dijelaskan oleh penyidik pada saat pemeriksaannya sebagai saksi, maupun tersangka selama ini. “Dalam pemeriksaan Pak Tom sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Pada waktu itu, Pak Tom memahami tidak permasalahan apa yang dimaksud oleh penyidik? Apakah dijelaskan tidak secara detail, apa permasalahannya?,” kata Ari Yusuf.
Tom menjawab pertanyaan pengacaranya itu dengan memastikan dirinya yang tak pernah paham tentang permasalahan hukum apa yang membuat dirinya menjadi tersangka. Tom mengaku dirinya, pun bingung dengan penjelasan jaksa penyidik selama menjalani pemeriksaan sebagai saksi, maupun tersangka.
“Saya tidak mendapatkan penjelasan yang detail, di dalam pemeriksaan saya pun masih bingung apa persisnya yang menjadi permasalahan. Tidak pernah dengan jelas bagi saya,” kata Tom.
Selanjutnya, Ari Yusuf pun mempertanyakan kepada Tom apa dalil yang disampaikan penyidik Jampidsus, ketika menetapkan tersangka dan tahanan. “Pada waktu ditetapkan sebagai tersangka, dijelaskan tidak kenapa Anda dijadikan tersangka?,” tanya Ari Yusuf.
Atas pertayaan tersebut, pengakuan Tom yang mengingat tim penyidik hanya menerangkan peningkatan status hukum tersebut sudah sesuai dengan berita acara dan keputusan pimpinan.
“Tidak, tidak ada dijelaskan apa masalahnya. Hanya disebutkan sudah sesuai dengan KUHP, dan keputusan pimpinan saya ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Tom.
Dia melanjutkan, dengan penetapan tersangka tersebut, pun dirinya mengaku merasa mengalami guncangan psikologis. Karena dikatakan Tom setelah penetapannya sebagai tersangka itu, penyidik Jampidsus memborgolnya untuk langsung diantar ke sel tahanan.(*/Jo)
JAKARTA – Akhir petualangan kabur tersangka (TSK) Hendry Lie (HL) berakhir ke sel tahanan. Pada Senin (18/11/2024) malam, tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung) menangkap mantan bos maskapai penerbangan Sriwijaya Air itu di Bandara Sokarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang setelah kembali diam-diam ke Indonesia dari Singapura.
Hendry Lie adalah salah-satu tersangka terkait kasus korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2015-2022.
Kasus korupsi tersebut terkait dengan kerugian keuangan negara setotal Rp 300 triliun. Total 23 orang tersangka sudah ditetapkan sejak Januari 2024, termasuk Fandy Lingga (FL) adik dari Hendry Lie. Sebagian dari puluhan tersangka tersebut sudah diajukan penuntutan ke persidangan di PN Tipikor, Jakarta.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, Hendry Lie sejak diumumkan sebagai tersangka, 26 April 2024 lalu, kerap mangkir dari pemeriksaan. Padahal kata Qohar, tim penyidik sudah berkali-kali meminta Hendry Lie segera pulang agar bisa diminta keteranganya.
Sekali Hendry Lie datang ke penyidik untuk diperiksa sebagai saksi pada 29 Februari 2024 sebelum peningkatan status hukumnya. Lepas itu, diketahu oleh tim penyidikan, kata Qohar, Hendry Lie sudah tak berada di Indonesia.
Status pencegahan terhadapnya, dan penarikan paspor, pun baru dilakukan pada 28 Maret 2024. Diketahui, Hendry Lie sudah kabur ke Singapura dengan alasan berobat ke Rumah Sakit Elizabeth sejak 25 Maret 2024.
Delapan bulan selama pelarian di negara jiran itu, diam-diam Hendry Lie pulang. Tim penyidik Jampidsus mencokoknya di Terminal 2F Soekarno-Hatta.
“Kita sudah mengikuti, memonitor dari keberadaan dia. Dan saat dia pulang secara diam-diam, kita lakukan penangkapan di bandara,” kata Qohar saat konfrensi pers di Menara Kartika, Kejakgung, di Jakarta, Senin (18/11/2024) malam.
Qohar mengatakan, kepulangan Hendry Lie ke Indonesia itu, pun dalam keadaan terpaksa. Karena dikatakan otoritas Indonesia di Singapura, sudah mengetahui keberlakuan paspornya berakhir pada 27 November 2024.
“Sehingga tidak memungkinkan untuk dia memperpanjang karena penyidik sudah melayangkan surat ke Kedubes Singapura melalui imigrasi untuk pencabutan pasportnya,” ujar Qohar.
Setelah ditangkap di Bandara Soetta, penyidik Jampidsus bersama tim intelijen kejaksaan, pun menggelandang Hendry Lie ke Kejakgung untuk diperiksa sebagai tersangka.
Usai menjalani pemeriksaan, penyidik membawanya ke sel tahanan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
Qohar menegaskan, Hendry Lie dijerat dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Sangkaan tersebut terkait dengan peran Hendry Lie selaku bos, sekaligus pemilik manfaat dari PT Tinindo Inter Nusa (TIN).
Hendry Lie, dan adiknya Fandy Lingga merupakan satu paket tersangka dalam korupsi timah ini. Kedua abang-beradik itu, adalah anggota keluarga pendiri, sekaligus bos pemilik dari perusahaan maskapai penerbangan swasta Sriwijaya Air. Akan tetapi, kasus korupsi timah yang menjerat Hendry Lie, terkait perannya di PT TIN.
Qohar melanjutkan, Hendry Lie menjadi tersangka selaku beneficiary owner dari PT TIN. Sementara Fandy Lingga yang sejak diumumkan tersangka April 2024 lalu sudah mendekam di sel tahanan, merupakan manager marketing PT TIN.
“Yang secara sadar dan sengaja berperan aktif melakukan kerja sama penyewaan peralatan prosesing peleburan timah antara PT Timah Tbk dengan PT TIN atas penerimaan bijih timah dari CV BPR dan CV SMS,” kata Qohar.
CV BPR, dan CV SMS, adalah di atara belasan perusahaan swasta boneka bentukan sejumlah tersangka dari PT Timah Tbk bersama-sama para tersangka lain dari kalangan swasta, dalam menghimpun hasil penambangan timah ilegal di lokasi IUP Timah Tbk. Atas peran, maupun kegiatan yang dilakukan Hendry Lie, bersama-sama Fandy Lingga melalui keberadaan PT TIN itu, turut serta dengan para tersangka-tersangka lainnya dalam aktivitas penambangan ilegal di lokasi IUP PT Timah Tbk yang merugikan negara setotal Rp 300 triliun.
Dari dakwaan para terdakwa yang sudah diajukan ke persidangan terungkap aliran uang hasil korupsi Rp 30 triliun turut dinikmati oleh 11 klaster pihak penerima keuntungan ilegal. Termasuk di antaranya Hendry Lie yang melalui perusahaannya, yakni PT TIN turut menikmati uang sebanyak Rp 1 triliun dari korupsi penambangan timah di lokasi IUP PT Timah Tbk tersebut.
Selain Hendry Lie, dan Fandy Lingga, beberapa nama pengusaha terkenal juga diseret ke pengadilan dalam kasus ini. Termasuk tersangka Harvey Moeis (HM) yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi, serta selebgram terkenal Helena Lim (HLM).(Republika/Jo)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro