JAKARTA – Substansi Rancangan Undang-Undang tentang Kebidanan telah rampung dibahas.
Pemerintah dengan perwakilan seluruh fraksi di Komisi IX DPR sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU tentang Kebidanan ini ke tahap selanjutnya, yaitu rapat Paripurna.
“Pendapat dan pandangan akhir dari masing-masing fraksi telah disampaikan, dan seluruhnya menyatakan persetujuan terhadap RUU Kebidanan untuk ke tahap selanjutnya, yakni pembahasan. Kita harapkan bisa disahkan menjadi Undang-undang pada Rapat Paripurna mendatang,” ujar Pimpinan Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, dalam Rapat Kerja Komisi IX bersama jajaran pemerintah di Gedung Nusantara, seperti yang dikutip dari siaran pers, Selasa (05/02/2019).
Adapun jajaran pemerintah yang hadir dalam Raker Komisi IX mengenai RUU tentang Kebidanan tersebut, antara lain:
1) Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, didampingi beberapa pejabat tinggi madya dan pratama dari Kementerian Kesehatan;
2) Sekjen Kementerian Tenaga Kerja;
3) Sekjen Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
4) Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri;
5) Direktur Harmonisasi Perundang-undangan I Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam sesi penyampaian pendapat pemerintah, Menkes Nila Moeloek menyatakan bahwa bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kebidanan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau.
“Praktik Kebidanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan,” tutur Menkes Nila Moeloek.
Dalam pemberian pelayanan kesehatan, seorang bidan tidak bisa dipisahkan dari tenaga kesehatan lain dan harus bekerja secara tim, walaupun bidan dapat juga bekerja secara mandiri sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya RUU Kebidanan.
“Dalam penyelenggaraan pelayanan kebidanan, setiap bidan harus bekerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimilikinya, serta harus memperhatikan kode etik kebidanan. Harapannya, bidan akan memberikan pelayanan terbaik,” pesan Menkes Nila Moeloek.
Pemerintah berharap RUU tentang Kebidanan yang akan ditetapkan menjadi UU tentang Kebidanan nantinya dapat memberikan jaminan terhadap peningkatan kompetensi Bidan dan mutu pelayanan kebidanan, serta memberikan perlindungan hukum kepada bidan dan klien di dalam penyelenggaraan pelayanan kebidanan.
Regulasi ini juga diharapkan dapat memberikan jaminan peningkatan mutu penyelenggaraan pelayanan kebidanan, sehingga dapat mendukung pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Secara garis besar terkait struktur kebijakan, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri, menerangkan bahwa RUU tentang Kebidanan hasil pembahasan memuat penjelasan mengenai pendidikan kebidanan, registrasi dan izin praktik bidan, bidan warga negara asing, bidan WNI lulusan luar negeri, praktik kebidanan, hak dan kewajiban bidan, organisasi profesi bidan, pendayagunaan bidan, serta pembinaan juga pengawasannya.
“Tidak ada pembahasan yang alot, hanya terkait salah satu klausul mengenai konsil kebidanan, disepakati bahwa sudah ada konsil kebidanan di bawah konsil tenaga kesehatan indonesia (KTKI). Ini sudah tertampung dalam UU Tenaga Kesehatan Nomor 36 tahun 2014. Jangan sampai dua hal tertampung pada dua UU yang berbeda,” paparnya.(*/Nia)
JAKARTA – Kanker prostat adalah jenis kanker ketiga terbanyak di Indonesia setelah kanker paru-paru dan dubur.
Sekitar 15 kasus ditemukan di setiap populasi berjumlah 100.000 orang, dan angka ini terus meningkat dengan cepat. Kanker prostat pada tahap awal umumnya muncul tanpa gejala.
Namun, pada tahap lanjut, gejala-gejala seperti perubahan pola berkemih lebih sering, sulit mulai atau berhenti, aliran lemah, serta munculnya darah pada air seni dan nyeri tulang dapat muncul.
Sebaliknya, kanker penis lebih jarang ditemui, tetapi akibatnya banyak orang juga tak familier dengan tipe kanker yang diasosiasikan dengan inveksi virus papiloma manusia (HPV) layaknya kanker serviks pada wanita.
Gejala yang perlu diperhatikan ialah munculnya benjolan, ruam atau lecet yang tak kunjung sembuh, serta pendarahan pada penis.
Ahli Urologi Parkway Hospitals Dr. Poh Beow Kiong memaparkan sejumlah faktor risiko kanker prostat dan penis.
“Meningkatnya usia berperan besar terhadap kemunculan kedua kanker ini, demikian pula gaya hidup tidak sehat. Obesitas, akibat pola makan tak sehat dan kurang olahraga, misalnya meningkatkan kemungkinan pria mengidap kanker prostat,” kata Dr. Poh Beow Kiong, Ahli Urologi Parkway Hospitals, Jakarta, , (01/02/2019).
Masih menurutnya, sedangkan, merokok, seks bebas dan infeksi HIV mempertinggi prospek kanker penis.
Berkat laju perkembangan penyakit yang relatif lambat dan kemajuan dunia medis, kedua tipe kanker ini memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi.
“Yang penting, pasien harus mendapatkan diagnosis yang akurat untuk mengetahui tipe serta tahap kanker yang diidapnya, sehingga ia bisa mendapatkan rencana perawatan yang optimal, entah itu radiasi, operasi, atau lainnya,” lanjut Dr. Poh.
Sebagai contoh, tindakan medis untuk setiap pasien berbeda, tergantung dari usia, kondisi kesehatan pasien, tipe kanker, stadium kanker, dan ada atau tidaknya penyebaran kanker di luar lokasi asal tumor. (*/Ind)
BOGOR – Datangnya musim hujan membawa penyakit yang setiap waktu menjadi petaka disetiap Daerah .
Pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor kini telah meningkat.
Peningkatan jumlah pasien DBD terjadi sejak pertengahan bulan Januari 2019.
Pantauan dirumah sakit, Jumat (1/2/2019), sejumlah pasien tampak dirawat menggunakan pelbet di lorong atau selasar rumah sakit.
Hal ini terjadi karena ruang perawatan yang tersedia di RSUD Cibinong sudah penuh.
“Udah banyak yang dirawat menggunakan pelbet, udah sampai puluhan,” jelas Wadir Pelayanan RSUD Cibinong, Endang Setiabudi, kepada wartawan, (1/2/2019).
Ia mengatakan bahwa sampai saat ini jumlah pasien DBD di RSUD Cibinong mencapai 169 orang.
“Pasien DBD di RSUD Cibinong terdata sampai sekarang 169 pasien, yang meninggal 1 orang,” tandasnya.(*/DP Alam)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin menghapus sistem pemeringkatan akreditasi sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kastanisasi antarsekolah yang menjadi inti dari semangat digulirkannya penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi. Kendati demikian, wacana menghapus pemeringkatan akreditasi ini perlu persetujuan dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM).
Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, ke depan, kualitas sekolah cukup diklasifikasikan dalam kelas terakreditasi dan tak akreditasi. Bukan seperti sekarang, kualitas sekolah dibagi ke dalam akreditasi A, B, C dan tak terakreditasi. Menurut dia, mengganti sistem akreditasi juga akan berdampak pada pemerataan distribusi kursi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
“Sudah saya minta, mudah-mudahan segera ditindaklanjuti, tidak ada lagi nanti akreditasi A B C itu. Yang ada hanya accredited dan non-accredited. Sehingga nanti kami akan fokus membenahi yang non-accredited, dan nanti diberi tempo sekian lama,” kata Muhadjir di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.
Ia menjelaskan, sekolah yang tidak memiliki sarana prasarana memadai, infrastruktur, kecukupan guru dan elemen lainnya akan dikategorikan tak terakreditasi. Ia yakin, dengan sistem tersebut, kastanisasi kualitas sekolah akan hilang.
“Selama ini kan di masyarakat suka beranggapan begini, misalnya, nilai 8 di sekolah yang akreditasi B atau C, sama dengan nilai 4 di sekolah akreditasi A. Kan ini tidak benar,” ujarnya.
Berdasarkan data dari BAN-SM, akreditasi tingkat sekolah dasar dan menengah sederajat hingga Desember 2018 didominasi peringkat B, yakni sebesar 55,31%. Dari 51.979 sekolah yang terakreditasi, hanya 20,51% sekolah yang mengantongi akreditasi A. Dengan rincian, pada jenjang SD/MI hanya 19,77%, SMP/MTs 20,85%, SMA/MA 27, 29% dan SMK 18,06%.
Ketua BAN-SM Toni Toharudin menyatakan, berdasarkan hasil tersebut, pihaknya meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kualitas guru selain fokus menggenjot pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Pasalnya, kualitas guru dan tenaga kependidikan, terutama pada jenjang SD/MI masih di bawah nilai rata-rata standar nasional.
“Tingkat pemenuhan standar yang rendah pada pendidik di antaranya karena rendahnya guru yang memiliki sertifikat pendidik. Selain itu, rendahnya kepemilikian sekolah terhadap tenaga perpustakaan yang memenuhi kualifikasi,” tandasnya.(*/Ind)
BOGOR – Sangat tidak mendidik apa yang dilakukan oleh pihak sekolah disebabkan terlambat untuk membayar SPP.
Bupati Bogor, Ade Yasin merespon tegas adanya kabar siswa yang dihukum push up karena belum membayar SPP di Bojonggede, Kabupaten Bogor.
Bahkan, Ade Yasin sudah memerintahkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor untuk melakukan peneguran terhadap sekolah.
Menurutnya, hal tersebut masih bagian dari tanggungjawabnya meskipun sekolah tersebut merupakan sekolah Islam yang kewenangannya di bawah Kemenag.
“Disdik (Dinas Pendidikan) sudah diperintahkan untuk menegur. Itu gak boleh terjadi lagi di Kabupaten Bogor,” kata Ade saat ditemui wartawan di Pendopo Bupati Bogor, (29/1/2019).
• Penjelasan Kepsek di Bojonggede Terkait Adanya Siswa yang Dihukum Push Up Karena Belum Lunasi SPP
• Kabar Siswa SD Disuruh Push Up, Orangtua Sebut Anaknya Trauma dan Ungkap Kejadian Sebenarnya
Ia mengatakan bahwa pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan Pihak Kemenag.
Ia berharap, peristiwa ini tidak kembali berulang terlebih ia kini tengah menggalakan progam agar anak-anak di Kabupaten Bogor mau sekolah.
“Ke Kemenag juga sudah disampaikan, akan ditindak lanjuti. Kan kita juga lagi program supaya anak-anak mau sekolah sudah kita galakkan, jangan sampai yang sudah sekolah jadi begini, tidak hanya Kemenag, tapi tugas kita juga,” tandasnya.(*/DP Alam)
BOGOR – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mencatat ada 290 orang pengidap baru HIV/AIDS sepanjang 2018. Mayoritas pengidap virus berbahaya itu adalah laki-laki.
“Secara keseluruhan, sejak 2017 hingga 2018, tercatat sekitar 554 pengidap HIV/AIDS yang terdata. Untuk tahun lalu saja, sampai Desember 2018, ada 290 orang,” ungkap Kepala Bidang Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bogor, Agus Fauzi, di Cibinong, Selasa (29/1/2019).
Agus menuturkan, pada 2017, pengidap HIV/AIDS sebanyak 264 orang yang terdiri atas 181 laki-laki dan 83 perempuan. Sementara, pada 2018, jumlahnya bertambah sebanyak 290 orang yang terdiri atas 204 laki-laki dan 86 perempuan.
Dia menjelaskan, data tersebut diakumulasi dari berbagai fasilitas layanan kesehatan di Kabupaten Bogor. “Kami hanya meng-input wilayah Kabupaten Bogor.
Untuk luar Bogor disampaikan ke daerah masing-masing untuk pencatatannya,” ujar Agus.
Dari temuan kasus baru sepanjang 2017-2018, mayoritas pengidap HIV/AIDS masih berusia produktif yakni antara 25-49 tahun. Kebanyakan dari mereka juga berjenis kelamin laki-laki. Menurut Agus, mobilitas kaum laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan bisa jadi faktor yang membuat mereka menjadi rentan terkena penyakit yang menyerang kekebalan tubuh tersebut.
“Persentase kasus HIV/AIDS yang tinggi memang laki-laki. Kami akumulasi mereka berusia produktif, karena penularan ini bisa jadi terkait mobilitas dan perilaku. Misalnya, intensitas keluar malam dan berpotensi bersinggungan dengan penderita HIV/AIDS. Sementara, ibu-ibu atau kaum perempuan lebih banyak tinggal di rumah,” ucapnya.
Untuk layanan kesehatan dan pemeriksaan HIV/AIDS, kata Agus, masyarakat Kabupaten Bogor dapat memeriksakan diri mereka di 53 puskesmas. Dengan kata lain, puskesmas yang terdapat di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor sudah bisa melayani warga yang mengidap penyakit tersebut.
Selain itu, ada empat rumah sakit umum daerah (RSUD) di Bogor yang bisa melayani pemeriksaan HIV/AIDS. “Kami (Dinkes Kabupaten Bogor) menyediakan obat bagi penderita HIV/AIDS juga di empat RSUD itu,” tandasnya.(*/Ade)
BOGOR – Sangat terlalu perlakuan dari pihak sekolah seorang siswi sekolah dasar (SD) swasta dihukum push-up 100 kali karena belum melunasi uang sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP.
Orangtua GNS tak punya biaya sehingga belum melunasi biaya pendidikan. Karena hukuman tersebut, GNS (10) trauma berat hingga tidak mau lagi datang ke sekolah.
GNS mengatakan, peristiwa itu dialaminya pada pekan lalu, di salah satu sekolah kawasan Bojonggede, Kabupaten, Bogor.
“Lagi belajar tiba-tiba dipanggil kakak kelas, untuk menghadap kepala sekolah, enggak tahu kenapa,” ucap GNS di di kawasan Kampung Sidamukti, RT 005 RW 010, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Setelah menghadap ke kepala sekolah, GNS diminta push-up 100 kali.
“Yang nyuruh kepala sekolah. katanya belum dapat kartu ujian soalnya belum bayaran,” kata GNS dengan mata berkaca-kaca.
Menurut dia, hukuman push-up bukan kali ini diterimanya. Ia sudah dua kali dihukum seperti itu. Selain itu, kata dia, siswa lain pun ada yang dihukum sama dengannya.
“Pernah lagi waktu itu dihukum push up, tetapi cuma disuruh 10 kali. Dari kelas aku ada dua orang lagi yang disuruh push-up,” ucap dia.Akibat push-up ini, GNS mengalami sakit pada perutnya.
Ia pun takut bersekolah lagi.
“Saya takut, takut disuruh push-up lagi (kalau datang ke sekolah),” ujar dia.
Kejadian yang menimpa GNS ini membuat pihak keluarga berencana memindahkannya ke sekolah lain.
Pihak keluarga berharap, tidak ada lagi siswa di sekolah tersebut yang diperlukan demikian.
“Semoga tidak ada lagi yang diperlakukan seperti adik saya ini. Kasihan sudah 10 hari enggak mau sekolah dan enggak mau ketemu orang,” ucap kakak dari GNS yang enggan disebutkan namanya.
Kepala Sekolah SDIT Bina Mujtama, Budi, membenarkan adanya hukuman push-up yang dilakukan oleh pihaknya kepada GNS.
Budi mengatakan, hukuman tersebut dilakukan karena GNS belum melunasi SPP selama berbulan-bulan.
“Sudah sangat banyak sih hampir 10 bulan lebih sih belum bayaran bahkan sudah sampai setahun dua tahun gitu,” ucap Budi.
Ia mengatakan, hukuman tersebut sebagai bentuk shock therapy pada GNS agar orang tuanya hendak melunasi SPP.
“Jadi hanya shock therapy kita panggil saja, jadi memang kita lakukan (suruh push up) tapi tidak sampai sebanyak itu (100 kali) cuma 10 kali kok terus kita ajak ngobrol lagi anaknya.
Kita juga mengerti kondisinya anak-anak masak kita suruh sampai sebanyak itu,” tutur Budi.(*/DP Alam)
BOGOR – Para siswa SDN 5 Neglasari, Dramaga, Kabupaten Bogor terpaksa belajar bergilir saat mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah mereka, (28/1/2019).
Selain itu, sekolah tempat mereka belajar pun masih terdapat banyak puing-puing bangunan yang berserakan pasca ambruk pada Jumat (25/1/2019) lalu.
“Belajar mengajar (shift) di pagi dan siang. Pagi itu kelas 1, 2, 5 dan 6, terus siang itu kelas 3 dan 4,” kata salah satu guru SDN 5 Neglasari, Dudi Setiawan, kepada wartawan, Senin (28/1/2019).
Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan belajar mengajar juga cukup memakan waktu.
Karena selian bergiliran antar kelas, para siswa juga harus bergiliran antar rombongan belajar (rombel).
“Yang kelas 1, 2, 5, 6 itu dua kali masuk. Pertama kelas A baru kelas B,” katanya.
Ia mengaku belum tahu pasti sampai kapan kondisi ini akan berlangsung.
Selain itu, ia juga berharap perbaikan atap kelas yang ambruk diterpa hujan deras ini bisa segera diperbaiki agar belajar mengajar para siswa kembali normal.
Diberitakan sebelumnya, atap bangunan kelas SDN 5 Neglasari, di Kampung Cikiruh Kaum, RT 05/02, Desa Neglasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor roboh, Jumat (25/1/2019).
Pantauan dilapangan, atap bangunan sekolah yang roboh ini berjumlah 4 ruangan terdiri dari 3 kelas dan 1 ruang guru.(*/Ade)
BANDUNG – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi lampu hijau kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menyesuaikan mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sesuai dengan kondisi setempat. Jalur zonasi kemungkinan tak diterapkan 90 persen seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku sudah bertemu dengan Mendikbud Muhadjir Effendy. “Arahannya, sesuaikan dengan kondisi di daerah, jadi tidak saklek,” katanya saat ditemui usai membuka Pameran Foto Arke di Kantor Berita Antara Bandung, Kamis, 24 Januari 2019.
Ia mengatakan, teknis PPDB yang menjadi kewenangan Pemprov Jabar baru akan dirapatkan pekan ini. “Masih akan dirapatkan, saya belum punya jawaban teknis,” ujarnya.
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 menyebut tiga jalur pendaftaran PPDB yaitu zonasi paling sedikit 90 persen, prestasi paling banyak 5 persen, dan perpindahan tugas orang tua paling banyak 5 persen.
Mekanisme PPDB ini tidak berlaku untuk SMK, sekolas swasta, sekolah layanan khusus, sekolah pendidikan khusus, sekolah berasrama, dan sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Permendikbud ini juga memuat sanksi atas pelanggaran ketentuan ini. Kementerian Dalam Negeri bisa menegur kepala daerah yang membuat aturan tidak sesuai dengan mekanisme. Pemerintah pusat juga bisa mengurangi dana bantuan dari pemerintah pusat ataupun Bantuan Operasional Sekolah untuk pelanggaran di pasal tertentu.
Ridwan mengatakan, jika diterapkan sama percis dengan Permendikbud, sekolah-sekolah yang dibangun sejak masa kolonial seperti SMA 3 dan SMA 5 tidak akan mendapat siswa. Sebab sekolah-sekolah itu tidak berada di are pemukiman warga.
“Kalau menggunakan 90 persen zonasi, SMA 3 dan 5 enggak ada siswanya. Kalau teorinya jarak kilometer, SMA itu enggak ada siswanya,” tuturnya.
Meski begitu, Emil tetap menyatakan kesetujuannya PPDB dengan sistem zonasi ini. Menurut dia, biaya pendidikan tertinggi di Jawa Barat untuk kebutuhan transportasi. Jarak yang jauh antara rumah dan sekolah membuat orangtua harus mengeluarkan biaya lebih untuk ongkos. Selain itu, jarak yang jauh menyebankan tingkat stres anak tinggi.
“Aturan itu betul, tapi akan disesuaikan,” pungkasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Pengawasan ketat harus dilakukan terhadap dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah pusat. Langkah ini untuk mengantisipasi dana bantuan itu menjadi bancakan oknum pendidik.
Permintaan tersebut dilontarkan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, mengingat besarnya kucuran dana bantuan pendidikan yang diberikan pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta.
“Harus diawasi ketat karena dananya begitu besar. Dana BOS rawan diselewengkan. Kami mendengar penggunaan dana bantuan itu banyak yang bocor,” tegas Prasetyo, (24/1).
Politisi PDI Perjuangan ini mengungkapkan adanya kebocoran terhadap dana BOS bisa saja terjadi.
“Dana BOS diberikan kepada sekolah untuk menunjang operasional pendidikan. Bagaimana pengawasannya. Apakah besaran dana BOS yang diberikan sesuai dengan apa yang digunakan?,” tanyanya.
Seperti yang diterima siswa di Jaktim. Dana BOS saat ini digunakan sekolah untuk menyediakan buku pelajaran tematik. Buku yang dipinjamkan ke siswa itu, digunakan agar anak-anak sekolah tak perlu repot membeli buku pelajaran lain.
“Karena sekolah dapat dana BOS, ya jadinya siswa nggak perlu membeli buku lagi,” tutur Reina, 35, orangtua siswa.
Sebelumnya, para siswa dibebani dengan membeli lembar kerja siswa (LKS) yang dirasakan cukup berat. “Sekarang anak sekolah. modal kami cuma kasih ongkos saja. Nggak ada beli apa-apa,” ucap Reina.
Menurut orangtua siswa kelas 3 SD ini, selama anaknya duduk di sekolah di kawasan Makasar, Jaktim, tak dipungut biaya serupiah pun. Bahkan bantuan dari Pemprov DKI Jakarta seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga dirasa sangat membantu.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bowo Irianto mengaku telah mengambil langkah adanya upaya penyelewengan dana BOS di sekolah. Upaya itu melalui aplikasi Siap BOS.
Dimana melalui aplikasi tersebut setiap sekolah wajib melaporkan berbagai kegiatan belanja yang menggunakan dana bantuan pemerintah pusat tersebut. “Dengan aplikasi ini semua bisa terpantau,” tegasnya.
Lebih lanjut Bowo menjelaskan, dana BOS berbeda dengan KJP Plus. Dana BOS tidak diberikan langsung ke siswa. Melainkan diberikan kepada sekolah untuk mendukung proses belajar mengajar.
Besarannya pun masing-masing sekolah disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada. “Uang yang diberikan ke siswa hanya KJP Plus,” ungkapnya.
Kendati demikian Bowo mengajak warga untuk turut mengawasi dana BOS tersebut. “Biaila mengetahui ada penyimpangan, silakan langsung lapor ke dinas, pasti ditindak tegas,” tandasnya. (*/Nia)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro