JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta melakukan transparansi dan keterbukaan guna meredam isu lemahnya sistem IT yang digunakan.
Perlu dilakukan verifikasi dan uji keamanan sistem IT Pemilu 2019.
“Misal ada permintaan dari salah satu peserta Pemilu. Ya buka saja transparan, bila perlu verifikasi dan uji keamanan sistem IT Pemilu 2019,” desak Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi di Media Center Bawaslu, Jakarta, (3/3).
Veri memandang persoalan IT merupakan sektor vital dalam gelaran Pemilu, selain surat suara. Pasalnya, setiap gelaran pesta demokrasi selesai, selalu disertai problematika gugatan berkaitan IT.
Road To Senayan
“Model begini kan sudah lama. Ketika pemilihan selesai, pemungutan suara selesai hasil sudah diumumkan kemudian muncul banyak isu, misalnya IT jebol, IT di-hack dan sebagainya,” jelas Veri.
Sehingga, lanjut Veri, selagi ada waktu maka tidak ada salahnya KPU bersama pihak yang terkait dengan gelaran Pemilu melakukan pengecekan bersama soal IT ini.
“Mumpung pemilunya belum dilakukan, supaya muncul kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan,” ujar Veri. (*/Adyt)
JAKARTA – Tokoh Muhammadiyah, Anwar Abbas menyampaikan pendapat pribadinya tentang hasil Munas Alim ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda, Al Azhar Kota Banjar yang salah satu rekomendasinya tidak menyebut kafir kepada nonmuslim.
Anwar menjelaskan, orang yang tidak beragama Islam dalam pergaulan sehari-hari disebut dengan non muslim atau orang yang tidak beragama Islam. Maksudnya, orang yang tidak dan atau belum beragama Islam itu artinya adalah orang yang belum lagi bisa menerima kebenaran dari ajaran agama Islam.
“Orang yang tidak dan atau belum bisa menerima kebenaran dari sistim keyakinan dan ajaran Islam untuk dijadikannya sebagai agama dan keyakinan barunya maka orang yang posisinya seperti itu dalam Islam disebut dengan kafir,” kata Anwar kepada media, Minggu (3/3/2019).
Anwar menjelaskan, lebih lanjut mengenai istilah kafir. Menurutnya, kenapa orang disebut kafir karena orang tersebut masih menolak kebenaran yang disampaikan oleh ajaran Islam dan atau karena kebenaran yang dibawa oleh Islam itu masih tertutup di mata dan hati mereka. Sehingga kebenaran dari keyakinan dan ajaran Islam itu belum terlihat kebenarannya oleh mereka. Alhasil mereka masih tetap dengan agama dan keyakinannya yang ada.
Anwar menganggap adanya orang yang bersikap seperti itu menurut Islam adalah sah-sah saja dan boleh-boleh saja dan itu merupakan hak mereka sebagai individu dan umat Islam. Dalam kontek itu, semua pihak harus menghargainya dan tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam.
“Jadi dengan demikian orang yang disebut dengan non Islam itu dalam sistem keyakinan Islam adalah orang kafir karena semua orang yang tidak dan belum menerima Allah SWT sebagai Tuhannya dan belum menerima Islam sebagai agamanya adalah orang kafir dan atau orang yang kita sebut dengan non muslim,” ujarnya.
Sebaliknya, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu menegskan, istilah kafir juga yang dipakai untuk mengidentifikasi orang nonmuslim juga tidak boleh dipaksakan untuk ditawar-tawar maupun diubah. Sebab menurutnya, istilah tersebut sudah diyakini muslim dan sudah disebutkan secara jelas dalam Kitab suci Al quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad.
Bahkan menurut Anwar, melakukan upaya untuk menawar dan mengubah istilah kafir juga bisa membuat yang bersangkutan bisa menjadi kafir karena yang bersangkutan juga tidak percaya kepada apa yang disampaikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kendati begitu, kata Anwar, yang menjadi masalah adalah bagaimana semua masyarakat membawakannya di dalam pergaulan hidup sehari-hari. Anwar secara pribadi mempersilahkan saja kepada masyarakat setempat untuk memutuskannya karena secara teologis, kata non muslim dan kata kafir adalah sama dan setara yaitu sama-sama tidak dan atau belum bisa menerima ajaran Islam sebagai agama baru mereka.
Maka itu, lanjut Anwar, jika ada yang menginginkan supaya mereka yang tidak beragama Islam itu disebut dan dipanggil dengan sebutan non Islam silahkan saja. Namun dalam keyakinan orang Islam orang yang dipanggil dengan panggilan orang non Islam tersebut sebenarnya dia adalah orang kafir. “Seperti yang dimaksud oleh Tuhan dalam kitab sucinya. Bila itu yang kita yakini dan lakukan maka tidak ada masalah,” pungkasnya.(*/Ag)
JAKARTA – Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ferdinand Hutahaean mengomentari istilah perang total yang dilontarkan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Marif Amin, Moeldoko.
Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa kubu petahana dalam kondisi tertekan. Pernyataan perang total itu merupakan bentuk pernyataan dari pihak yang sadar dirinya kalah dan tertekan.
“Pilihan satu-satunya adalah perang total hingga mati karena jalan mundur tidak ada,” kata Ferdinand melalui keterangan pers, Kamis (28/2/2019).
Politikus Demokrat ini mengartikan istilah perang total Moledoko menunjukan kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01 akan menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.
“Menghalalkan segala cara yang penting bisa keluar dari kekalahan. Upaya terakhir menyelamatkan diri meski kita tahu itu tidak akan berhasil,” pungkasnya.
Ferdinand juga berpendapat, pernyataan Moeldoko tersebut bermuatan provokatif yang malah membuat masyarakat bawah berkonflik.
“Dampak dari pernyataan ini bisa membuat gesekan dan konflik di bawah akan semakin besar potensinya terjadi,” tuntasnya. (*/Adyt)
JAKARTA – Pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris manyeoroti berbagai masalah Pemilu serentak yang bebakal berlangsung pada 17 April 2019 nanti.
Misalnya, caleg eks koruptor, hoax, kampanye hitam, kegagalan partai politik dan negara dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Dalam persoalan caleg eks koruptor, Syamsuddin mengapresiasi langkah dan sikap tegas Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merilis nama-nama caleg eks koruptor. Menurut dia, caleg koruptor tidak layak untuk dipilih.
“Karena ini melukai perasayaan publik. Publik berhak tidak memilih,” ujar Syamsuddin dalam diskusi publik bertajuk “Hak Konstitusional Pemilih dalam Negara Demokratis” di kantor Jenggala Center, Jakarta, Kamis (28/2).
Pembicara lain, peneliti FORMAPPI Lucius Karus dan diskusi dipimpin Direktur Eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab.
Terkait maraknya hoax dan kampanye hitam, baik yang dilakukan caleg, capres dan pendukungnya, Syamsuddin mengatakan hal tersebut sangat berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Tidak hanya mendidik, tidak mencerdaskan, tapi juga membodohi publik,” katanya.
Menurut Syamsuddin, maraknya kampanye hoax merupakan akumulasi dari gagalnya pendidikan politik, baik dari parpol, negara dan elemen sivil socity. Dia mencontohnya kampanye hitam tiga ibu-ibu di Karawang yang melakukan kampanye anti Jokowi.
“Pendidikan politik untuk 2019 ini sudah tidak memungkinkan. Yang bisa kita lakukan menbatasi hoax,” tandasnya.(*/Na)
JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masyarakat akan rugi bila sampai terpecah belah hanya gara-gara perbedaan pilihan dalam pemilihan umum presiden maupun kepala daerah. Menurut dia, sesama anak bangsa harus menjaga persaudaraan.
Karena, Jokowi mengatakan pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur hingga pemilihan presiden itu masih akan ada terus setiap lima tahun. Maka, jangan sampai karena urusan politik menyebabkan tidak rukun.
“Jangan sampai kita karena urusan politik, kita merasa tidak menjadi saudara, kita tidak rukun. Akan sangat rugi besar gara-gara politik kita masuk ke ruangan tadi,” kata Jokowi di Istana Negara, (28/2/2019).
Oleh sebab itu, Jokowi mengajak para peserta halaqah ulama dan pimpinan pondok pesantren Jawa Barat agar menyampaikan kepada masyarakat lingkungannya, santri baik dalam majelis taklim maupun majelis yang lebih besar untuk menjaga dan merawat persatuan dan persaudaraan.
“Akan sangat rugi besar kita gara-gara urusan bupati, gubernur yang tiap lima tahun ada, pilpres tiap lima tahun ada mengorbankan ukhuwah kita,” tuturnya
Apalagi, kata Jokowi, belakangan ini dibarengi dengan ghibah, hoaks, kabar-kabar fitnah yang dapat meresahkan dan bisa memecah belah masyarakat apabila tidak dicegah.
“Jangan dianggap ini hal yang ringan, ini hal yang berat bagi utuhnya NKRI. Saya mengajak betul-betul mengajak. Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, kita dianugerahi oleh Allah berbeda-beda dan sudah menjadi Sunnatullah bahwa kita berbeda-beda baik suku, agama, adat, tradisi, budaya, bahasa daerah,” pungkasnya.(*/Adit)
SEMARANG – Sekitar 50 kepala keluarga di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, menagih janji pemerintah untuk membayar ganti rugi tanah mereka yang dipakai untuk pembangunan tol Semarang-Batang. Meski telah resmi beroperasi sejak bulan Desember 2018 lalu, namun pembebasan lahan milik warga belum sepenuhnya beres.
Yusron (54 tahun), salah satu warga terdampak tol di Desa Rejosari, Kendal, itu mengaku telah menagih uang ganti rugi ke pihak PT Jasa Marga Semarang-Batang. Namun hingga kini nominal uang sebagai ganti rugi lahan mereka belum juga dibayarkan.
“Ada 30 warga yang tanahnya sudah dipatok untuk ruas tambahan tol Semarang-Batang. Meski beberapa kali kita tagih, tetap belum ada solusi,” kata Yusron saat hadir dalam diskusi bertema ‘Puji Bully Tol Trans Jawa’ yang digelar Forum Wartawan Provinsi Jawa Tengah, Rabu, 27 Februari 2019.
Yusron mengaku Badan Pertanahan Negara (BPN) sebelumnya kerap bertemu warga dan menjanjikan bahwa uang ganti rugi itu dibayar cepat. Namun realisasi pembayaran itu urung terjadi. Padahal nominal uang yang semestinya diterima warga sebagai ganti untung sudah jelas.
“Kami bingung harus ke mana lagi menagih janji. Banyak warga kami yang sudah telanjur ambil utang ke bank karena berharap dari ganti rugi tol ini,” ujarnya.
Menanggapi keluhan warga Kendal tersebut, Direktur Utama PT Jasa Marga ruas Semarang-Batang, Ari Irianto, mengaku tak bisa berbuat banyak lantaran biaya pengadaan lahan yang dikeluarkan telah habis. PT Jasa Marga bahkan masih nombok Rp1,5 triliun pasca pembangunan tol Trans Jawa ruas Semarang-Batang.
“Totalnya yang harus diganti mencapai Rp45 miliar. Dana talangan kita saja juga belum dibayar, saya juga terus nge-push (mendorong pencairan dana) ke Kementerian Keuangan,” kata Ari.
Ari menjelaskan untuk percepatan pembebasan lahan proyek pembangunan tol Trans Jawa itu, PT Jasa Marga awalnya mengeluarkan dana talangan Rp5,5 triliun. Namun, uang itu baru kembali Rp4 triliun.
Sehingga untuk membayar kembali lahan yang belum bebas, belum bisa dilakukan segera. Alasannya, untuk pengadaan tanah tahun 2016 sampai 2018 lalu, ada perjanjian pengembalian dana talangan untuk proyek strategis nasioanal (PSN) Antara Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
Namun, karena perjanjian itu hanya berlaku sampai tahun 2018, maka di tahun berikutnya sudah tidak ada payung hukum lagi untuk BUJT kembali menalangi.
“Kemarin rapat terakhir diusulkan untuk pembayaran 2019 langsung dari PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) membuat SPP (Surat Perintah Pembayaran) ke LMAN,” katanya.
SPP pun belum bisa dibuat lantaran permasalahan belum lengkapnya pemberkasan dari Badan Pertanahan Negara. Kondisi itu berdampak pada penyelesaian di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Lalu, ada juga masalah anggaran.
“Mudah-mudahan dari Kemenkeu, dari PPK bisa melengkapi dokumennya. Dan LMAN bisa segera mencairkan untuk pengembalian,” katanya. (*/D Tom)
JAKARTA – Calon Wakil Presiden (Cawapres) Sandiaga Salahuddin Uno berkomitmen memperjuangan nasib para guru honorer yang menurutnya hingga saat ini masih banyak yang belum merasakan kesejahteraan.
Hal itu disampaikan Sandiaga dalam acara Dialog Pendidikan Kebangsaan bersama ratusan alumni SMP 12 Jakarta di Roemah Djoeang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, (27/2/2019).
Menurut Sandiaga, selama dirinya bertemu dengan masyarakat Indonesia di 1.225 titik selama masa kampanye masalah pendidikan menjadi salah satu keluhan masyarakat. Mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik terutama masa depan guru honorer yang masih jauh dari kata sejahtera.
“Bagaimana bisa guru honorer meningkatkan kompetensinya, kualitasnya kalau kesejahteraan mereka selama belasan atau puluhan tahun mendapatkan kesejahteraan yang sangat-sangat minim, ada yang gajinya kurang Rp 100 ribu per-bulan ada juga guru honorer yang statusnya tidak kunjung ditingkatkan setelah berpuluh-puluh tahun,” kata Sandiaga.
Untuk itu, lanjut Sandiaga, komitmen dirinya bersama Capres Prabowo Subianto yakni memperbaiki sistem pendidikan mensejahterakan para tenag guru honorer.
“Prabowo-Sandi ingin memperbaiki sistim pendidikan di Indonesia untuk memberikan kemudahan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena ini telah dijanjikan dalam UUD 1945 bahwa salah satu janji pendiri bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hal yang utama untuk mencerdaskan bangsa,” papar Sandiaga.
Mantan wakil gubernur DKI Jakarta ini menambahkan, saat ini kebanyakan guru honorer terkendala dengan masalah regulasi yang membatasi usia aparatur sipil negara (ASN) guru dimana usia 35 tahun tidak bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sandiaga pun berjanji akan mencarikan solusi.
“Kalau misalnya memang harus diubah kan regulasi itu kita bisa sesuaikan agar menghadirkan satu sistem pendidikan yang lebih baik kedepan. Jangan sampai regulasi kita menghambat, kuncinya itu sebenarnya adalah kualitas dari guru itu sendiri,” tutur Sandiaga.
Jika usia 40 tahun hingga 45 tahun telah menjalankan tugas dengan baik dan memiliki kualitas mengajar diatas rata-rata maka guru honorer wajib mendapat keadilan dengan peningkatan kesejahteraan dan status kata Sandiaga. (*/Ag)
JAKARTA – Capres Prabowo Subianto dinilai akan konsisten dengan ucapannya untuk mengembalikan lahan yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) kepada negara. Pernyataan itu disampaikan Prabowo saat acara debat kedua Pilpres 2019.
Namun, proses pengembaliannya harus sesuai ketentuan. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus membuat perangkat hukum yang jelas.
“Seharusnya memang begitu aturan mainnya yang benar,” kata Humphrey, Jakarta, (26/2/2019).
Perangkat hukum tersebut berlaku secara umum dan tidak bersifat diskriminatif. Selain itu harus bertujuan jelas untuk apa lahan-lahan tersebut diambil negara. Misalnya untuk kepentingan masyarakat banyak dan bersifat sosial sehingga membawa kemakmuran bersama.
“Ingat, kita ini bukan negara komunis yang bisa seenaknya mengambil sesuatu hak kalau negara tersebut menghendakinya dengan alasan apa pun. Hak individual di negara kita secara hukum tetap dihormati walaupun kepentingan masyarakat banyak juga diperhatikan,” katanya.
Dia yakin, Jokowi tidak berani melakukan apa yang dipersyaratkan Prabowo Subianto terkait pengembalian lahan HGU dengan membuat aturan yang jelas. Banyak orang-orang dekat di sekeliling Jokowi yang membantunya selama ini juga memiliki lahanHGU dan sejenisnya yang jauh lebih besar dari Prabowo.
“Jangankan membuat perangkat hukum dalam mengambil lahan-lahan tersebut, mengumumkan nama-nama orang di republik ini yang punya lahan seperti Prabowo saja Jokowi tidak bisa, sebagaimana dia lakukan terhadap Prabowo,” pungkasnya.(*/WeL)
JAKARTA – Komisioner KPU, Viryan Aziz memastikan warga negara asing tak memiliki hak pilih di pilpres 2019, meski memiliki identitas kependudukan untuk tenaga kerja asing (TKA) yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia.
Ia menegaskan, hanya warga negara Indonesia yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan memiliki e-KTP yang berlaku seumur hidup yang memiliki hak pilih untuk mencoblos di pemilu yang berlangsung pada 17 April mendatang.
“Bukan warga negara Indonesia punya KTP elektronik tentu tidak bisa menggunakan hak pilih atau tidak punya hak untuk memilih di pemilu kita,” ujar Viryan di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (26/2/2019).
Lebih jauh, dirinya tak menampik bahwa warga negara asing yang bekerja di tanah air berhak memiliki e-KTP khusus. Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
“Khusus aturan soal TKA dengan kondisi tertentu wajib punya e-KTP ada di pasal 63 dengan keterangan WNI dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki e-KTP,” jelasnya.
Sebagaimana diberitakan, kabar kepemilikan KTP elektronik (e-KTP) oleh warga negara Tiongkok menggegerkan publik dan menjadi perbincangan di dunia maya sepanjang hari ini, Selasa (26/2/2019).
Di medsos, salah satu e-KTP milik WN Tiongkok yang viral di medsos adalah yang diketahui dimiliki oleh seorang pria bernama Guohui Chen. Dalam identitas kependudukan tersebut, tertulis bahwa Guohui lahir di Fujian pada tanggal 25 Maret 1977.
Guohui tercatat tinggal di Cianjur dengan status menikah. Pada foto yang sama, diketahui tertulis e-KTP yang dimiliki oleh pria asal Tiongkok yang beragama Kristiani ini tercatat berlaku hingga Maret 2023.(*/Adyt)
JAKARTA – Anggota DPR RI, Ahmad Sahroni mengatakan perlu ada edukasi kepada masyarakat agar mengedepankan azas presumption of innocence dalam setiap persoalan hukum yang terjadi di Indonesia, apalagi jelang pemilu serentak 2019.
Menurut dia, belakangan marak pemberitaan dukungan aparatur sipil negara (ASN) di sejumlah daerah yang dianggap tidak netral, mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden seperti yang terjadi di Jawa Tengah, Lampung maupun Sulawesi Selatan.
Sahroni menjelaskan sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 2 huruf f disebutkan bahwa salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netratlitas.
Bagi pelanggar, kata dia, Pasal 280 Ayat (3) UU Pemilu juga mengikatnya dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.
Namun, sebaiknya semua pihak menunggu dari keputusan Sentra Gakkumdu Pemilu.
“Dalam konteks ini alangkah baiknya kita menahan diri untuk tidak mendahului Bawaslu maupun kepolisian sebelum hasil penyelidikan atau penyidikan diumumkan,” kata Sahroni, Senin (25/2/2019).
Menurut dia, para elit diharap tidak membuat situasi semakin panas atau berspekulasi dengan berbagai asumsi. Sebab, Bawaslu dan Polri pasti bekerja secara profesional serta proporsional. Maka, sebaiknya lebih baik menunggu proses dari Bawaslu maupun Polri.
“Kita tunggu Bawaslu dan Polri, karena mereka bekerja memegang azas equality before the law. Cepat lambatnya penanganan suatu perkara bergantung pada karakter perkara itu sendiri. Ada yang cepat dan ada yang membutuhkan proses panjang, proses itu yang wajib kita hormati,” tandasnya.(*/Wel)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro