JAKARTA – Batuk pilek bukan karena anak kehujanan dan tidak sepenuhnya karena perubahan cuaca yang terjadi.
Menurut Kepala pusat krisis kesehatan Kementerian Kesehatan dr. Achmad Yurianto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut terjadi pada anak. Salah satunya adalah ada perubahan iklim dari kelembabab udara.
“Kalau mulai musim kering itu debu, mau tidak mau perubahan cukup tinggi itu pasti akan menurunkan daya tahan tubuh, dan kita tahu daya tahan tubuh anak – anak itu paling rendah,” kata Achmad Yurianto saat ditemui di acara temu media di Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, (18/04/2019).
Dia menambahkan, pada saat daya tahan tubuh rendah segala macam penyakit mudah masuk. Misalnya, Batuk dan pilek itu bukan berarti ISPA. Dia menjelaskan, batuk dan pilek yang terjadi pada anak bisa terjadi karena virus.
“Bukan karena adanya perubahan cuaca saja, dengan biasa tidur di dalam terus di luar juga bisa terserang penyakit, itu sama kaya itu,” tambahnya. (*/Indr)
JAKARTA – Terkait perubahan cuaca ekstrim, panas ke hujan yang tidak menentu yang pertama terkait dengan vektor, yaitu nyamuk.
Menurut Kepala pusat krisis kesehatan Kementerian Kesehatan dr. Achmad Yurianto, ketika musim tertentu terlebih saat cuaca sedang dalam kelebaban lebih dari 75 persen, maka nyamuk banyak berkembang biak.
“Tadi jelas pada musim tertentu, nyamuk jadi banyak dan sebagainya. Kemudian akan membawa beberapa penyakit yang akan muncul seperti malaria, DBD, chikungunya,”kata Achmad Yurianto saat acara temu media di Kemenkes RI, Jakarta, Kamis, (18/04/2019).
Selanjutnya, terkait dengan kualitas air, begitu kemudian pasokan air bersih jadi berkurang, akses mendapatkan air bersih jadi agak sulit, sehingga dengan kekurangan air yang berkualitas, biasanya akan timbul tih masalah diare, pencernaan.
“Tren musim pancaroba ini diare jadi naik. atau diawal musim hujan,” tambahnya.
Kemudian perubahan iklim juga keterkaitan dengan musim buah. Melihat di indonesia terdapat musim buah yang sangat beragam.
“Ketika musim buah, mentang – mentang lagi banyak-banyaknya, biasanya orang konsumsi berlebih tanpa disadari. Makan menggunakan tangan tanpa cuci tangan, ini juga akan menimbulkan penyakit,” ujarnya.(*/Nia)
BOGOR – Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, selalu berupaya semakin meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya.
Upaya ini diwujudkan dalam bentuk pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji agar memenuhi kriteria istitaah sehingga mampu melaksanakan ibadah haji dalam kondisi sehat.
Kepala Pusat Kesehatan Haji, Dr. dr. Eka Jusup Singka, MSc, mengutarakan bahwa Kemenkes memiliki visi untuk mengoptimalkan penyelenggaraan haji. Pencapaian visi ini perlu kolaborasi erat dengan Kementerian Agama.
“Ibadah dan kesehatan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ini yang kita inginkan. Jika dipisahkan maka tidak bisa jalan ibadahnya,” terang Eka disela-sela Workshop Tim Promotif Preventif Tahun 2019 di Sentul, Jawa Barat, seperti yang dikutip dari siaran pers, Senin, (15/04/2019).
Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Agama sejak tahun 2018 melakukan rekrutmen tenaga P3JH (Pertolongan Pertama Pada Jemaah Haji) yang anggotanya adalah para dokter.
Menanggapi kebijakan ini, Kapuskeshaji sangat mendukung upaya Kemenag dalam hal pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan tersebut.
“Saya menyambut baik, mudah-mudahan bisa direkrut lebih banyak lagi. Saya kira kita dukung banyak tenaga kesehatan yang direkrut Kemenag. Artinya mereka memiliki komitmen yang baik untuk bidang kesehatan,” kata Eka.
Dalam penyelenggaraan kesehatan haji di Arab Saudi, P3JH ini akan bekerja sama dengan Tim Gerak Cepat (TGC) dan juga Tim Promotif Preventif (TPP) yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan.
Khusus untuk TPP, diharapkan dapat proaktif menjalin kerja sama erat dengan tim pembimbing ibadah haji (TPIH, TPIHI) dan perangkat kelompok terbang (Karom, Karu) di tiap kloter.
Sehingga dalam pelaksanaan tugasnya, khususnya saat memberikan penyuluhan, maka jemaah haji akan mendapat dua macam informasi yang lengkap, aspek ibadah maupun kesehatan. Kolaborasi ini harus bekerja maksimal untuk menjangkau 507 kloter.
TPP diperkuat oleh 22 orang tenaga kesehatan yang terdiri atas 5 dokter umum, 1 dokter spesialis, 4 orang Ners/perawat, dan kesehatan masyarakat sebanyak 12 orang. TPP menjadi bagian dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Bidang Kesehatan tahun 2019 yang direkrut Kemenkes sejak Januari 2019.
PPIH 2019 terbagi menjadi Tim Gerak Cepat (TGC), Tim Kuratif Rehabilitatif (TKR), Tim Promotif Preventif (TPP) dan Tim Kesehatan Lainnya (TKL).(*/Fuz)
JAKARTA- Ada banyak kelebihan ketika menggunakan teknik Unicompartmental Knee Arthroplasty (UKA) untuk mengatasi sendi lutut yang rusak.
Untuk menghindari pemotongan bagian sendi lutut yang masih sehat, para peneliti menemukan suatu teknik baru yang disebut Unicompartmental Knee Arthroplasty (UKA) atau operasi penggantian sendi lutut secara sebagian.
Dengan tidak memotong sendi yang masih sehat, pergerakan lutut pasien akan terasa lebih alami dan mempunyai kemampuan menekuk lutut lebih luas bahkan untuk bersila, jongkok, dan melakukan olahraga low-impact.
Studi terhadap UKA menunjukkan bahwa hasil ketahanan implan mencapai 96 persen pada 1.000 pasien dalam 10 tahun, 94 persen pada 15 tahun, dan 91 persen dalam 20 tahun.
“Teknik ini memiliki banyak kelebihan karena hanya sebagian sendi lutut yang dibuang maka luka operasi menjadi lebih kecil. Pada teknik ini hanya 25 persen permukaan sendi yang dibuang dengan pendarahan operasi yang lebih sedikit sehingga luka operasi lebih cepat sembuh. Pasien yang telah menjalani operasi UKA juga menyatakan bahwa keluhan nyeri pasca operasi lebih ringan,” kata Dr.dr. Franky Hartono, Sp.OT (K) selaku Kepala Divisi Hip, Knee, and Geriatric Trauma (HKGT) Orthopaedic Center Siloam Hospital Kebon Jeruk, Jakarta, Jumat, (12/04/2019).
Tindakan ini cocok untuk para penderita osteoartritis dengan gangguan di bagian tengah lutut yang masih ingin bergerak aktif dan melakukan kegiatan produktif sehari-hari.
Didukung oleh konsultan-konsultan Hip and Knee Adult Reconstruction dan tim multidisiplin yang berpengalaman di bidangnya, HKGT Siloam Hospitals Kebon Jeruk berkomitmen untuk terus membantu pasien-pasien agar dapat bebas beraktivitas. Sejak berdiri di 2015, tim HKGT sudah melayani lebih dari 23.655 pasien dan melakukan operasi lebih dari 1.500 pasien.(*/El)
JAKARTA – Kualitas tidur merupakan hal yang sangat penting untuk kesehatan. Dalam sehari, kira – kira membutuhkan sekitar delapan jam untuk tidur.
Ternyata dalam hidup, sepertiga waktu manusia dihabiskan untuk tidur dan beristirahat.
“Menurut penelitian, ada sekitar 20 persen dari seluruh pendududk di negara berkembang, termasuk Indonesia mengalami nyeri pinggang dan 80 persen dari total populasi dunia pernah merasakan nyeri pada pinggang setidaknya sekali dalam hidupnya,” kata Chistine Setiawan, Head of Direct Sales PT. Duta Abadi primantara, saat ditemui di acara pembukaan Sleep & Co Boutique, Jakarta, Kamis, (28/03/2019).
Masih menurutnya, cukup banyak keluhan sakit pinggang umumnya karena tidur pada matras yang tidak tepat. Sebaliknya, pemilihan matras yang tepat dapat memberikan postur tubuh yang lebih baik serta tulang punggung yang terhindar dari berbagai risiko penyakit.
Karena, itu, Sleep & Co Boutique memberikan solusi dari masalah tersebut. Hal tersebut karena memudahkan masyarakat lewat phygital (physical digital) mattress selector untuk mengetahui matras apa yang sesuai dengan kebutuhan setiap konsumen.
Tidak ada standar yang pasti yang digunakan untuk menilai apakah matras terlalu lembut,empuk, atau terlalu keras. (*/Nia)
BANDUNG – Sebanyak 16.714 warga Jawa Barat tercatat mengalami gangguan kejiwaan berat. Diprediksi, jumlah orang dengan gangguan jiwa (OGDJ) di provinsi berpenduduk lebih dari 45 juta jiwa ini jauh lebih banyak dari yang terdeteksi Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar tersebut.
Kepala seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) dan Kesehatan Jiwa (Keswa) Dinkes Jabar Arief Sutedjo mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun dari kabupaten/kota 2017 lalu, sebanyak 11.360 warga Jabar menderita gangguan jiwa berat.
“Sementara di tahun 2018 ada 16.714 penderita. Sedangkan berdasarkan Riskesdas 2018. Penderita ODGJ ibarat fenomena gunung es dimana tampak sedikit, namun yang tidak terlihat lebih banyak lagi,” jelas Arief di Bandung, Sabtu (16/2/2019).
Arief menjelaskan, gangguan jiwa sifatnya sama seperti penyakit kronis lainnya, yakni bisa kambuh bila tidak terkontrol. Bagi para penderita gangguan jiwa berat, pihaknya menyiapkan rujukan ke RS Marzoeki Mahdi (MM), Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jabar, dan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
“Kemudian setelah pulih (tidak sembuh, karena memang harus minum obat), kami siapkan puskesmas setempat dalam penyiapan obat-obatanya,” tandasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Substansi Rancangan Undang-Undang tentang Kebidanan telah rampung dibahas.
Pemerintah dengan perwakilan seluruh fraksi di Komisi IX DPR sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU tentang Kebidanan ini ke tahap selanjutnya, yaitu rapat Paripurna.
“Pendapat dan pandangan akhir dari masing-masing fraksi telah disampaikan, dan seluruhnya menyatakan persetujuan terhadap RUU Kebidanan untuk ke tahap selanjutnya, yakni pembahasan. Kita harapkan bisa disahkan menjadi Undang-undang pada Rapat Paripurna mendatang,” ujar Pimpinan Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, dalam Rapat Kerja Komisi IX bersama jajaran pemerintah di Gedung Nusantara, seperti yang dikutip dari siaran pers, Selasa (05/02/2019).
Adapun jajaran pemerintah yang hadir dalam Raker Komisi IX mengenai RUU tentang Kebidanan tersebut, antara lain:
1) Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, didampingi beberapa pejabat tinggi madya dan pratama dari Kementerian Kesehatan;
2) Sekjen Kementerian Tenaga Kerja;
3) Sekjen Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
4) Plt. Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri;
5) Direktur Harmonisasi Perundang-undangan I Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam sesi penyampaian pendapat pemerintah, Menkes Nila Moeloek menyatakan bahwa bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui penyelenggaraan pelayanan kebidanan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau.
“Praktik Kebidanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan,” tutur Menkes Nila Moeloek.
Dalam pemberian pelayanan kesehatan, seorang bidan tidak bisa dipisahkan dari tenaga kesehatan lain dan harus bekerja secara tim, walaupun bidan dapat juga bekerja secara mandiri sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya RUU Kebidanan.
“Dalam penyelenggaraan pelayanan kebidanan, setiap bidan harus bekerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimilikinya, serta harus memperhatikan kode etik kebidanan. Harapannya, bidan akan memberikan pelayanan terbaik,” pesan Menkes Nila Moeloek.
Pemerintah berharap RUU tentang Kebidanan yang akan ditetapkan menjadi UU tentang Kebidanan nantinya dapat memberikan jaminan terhadap peningkatan kompetensi Bidan dan mutu pelayanan kebidanan, serta memberikan perlindungan hukum kepada bidan dan klien di dalam penyelenggaraan pelayanan kebidanan.
Regulasi ini juga diharapkan dapat memberikan jaminan peningkatan mutu penyelenggaraan pelayanan kebidanan, sehingga dapat mendukung pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Secara garis besar terkait struktur kebijakan, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri, menerangkan bahwa RUU tentang Kebidanan hasil pembahasan memuat penjelasan mengenai pendidikan kebidanan, registrasi dan izin praktik bidan, bidan warga negara asing, bidan WNI lulusan luar negeri, praktik kebidanan, hak dan kewajiban bidan, organisasi profesi bidan, pendayagunaan bidan, serta pembinaan juga pengawasannya.
“Tidak ada pembahasan yang alot, hanya terkait salah satu klausul mengenai konsil kebidanan, disepakati bahwa sudah ada konsil kebidanan di bawah konsil tenaga kesehatan indonesia (KTKI). Ini sudah tertampung dalam UU Tenaga Kesehatan Nomor 36 tahun 2014. Jangan sampai dua hal tertampung pada dua UU yang berbeda,” paparnya.(*/Nia)
JAKARTA – Kanker prostat adalah jenis kanker ketiga terbanyak di Indonesia setelah kanker paru-paru dan dubur.
Sekitar 15 kasus ditemukan di setiap populasi berjumlah 100.000 orang, dan angka ini terus meningkat dengan cepat. Kanker prostat pada tahap awal umumnya muncul tanpa gejala.
Namun, pada tahap lanjut, gejala-gejala seperti perubahan pola berkemih lebih sering, sulit mulai atau berhenti, aliran lemah, serta munculnya darah pada air seni dan nyeri tulang dapat muncul.
Sebaliknya, kanker penis lebih jarang ditemui, tetapi akibatnya banyak orang juga tak familier dengan tipe kanker yang diasosiasikan dengan inveksi virus papiloma manusia (HPV) layaknya kanker serviks pada wanita.
Gejala yang perlu diperhatikan ialah munculnya benjolan, ruam atau lecet yang tak kunjung sembuh, serta pendarahan pada penis.
Ahli Urologi Parkway Hospitals Dr. Poh Beow Kiong memaparkan sejumlah faktor risiko kanker prostat dan penis.
“Meningkatnya usia berperan besar terhadap kemunculan kedua kanker ini, demikian pula gaya hidup tidak sehat. Obesitas, akibat pola makan tak sehat dan kurang olahraga, misalnya meningkatkan kemungkinan pria mengidap kanker prostat,” kata Dr. Poh Beow Kiong, Ahli Urologi Parkway Hospitals, Jakarta, , (01/02/2019).
Masih menurutnya, sedangkan, merokok, seks bebas dan infeksi HIV mempertinggi prospek kanker penis.
Berkat laju perkembangan penyakit yang relatif lambat dan kemajuan dunia medis, kedua tipe kanker ini memiliki tingkat penyembuhan yang tinggi.
“Yang penting, pasien harus mendapatkan diagnosis yang akurat untuk mengetahui tipe serta tahap kanker yang diidapnya, sehingga ia bisa mendapatkan rencana perawatan yang optimal, entah itu radiasi, operasi, atau lainnya,” lanjut Dr. Poh.
Sebagai contoh, tindakan medis untuk setiap pasien berbeda, tergantung dari usia, kondisi kesehatan pasien, tipe kanker, stadium kanker, dan ada atau tidaknya penyebaran kanker di luar lokasi asal tumor. (*/Ind)
BOGOR – Datangnya musim hujan membawa penyakit yang setiap waktu menjadi petaka disetiap Daerah .
Pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Cibinong, Kabupaten Bogor kini telah meningkat.
Peningkatan jumlah pasien DBD terjadi sejak pertengahan bulan Januari 2019.
Pantauan dirumah sakit, Jumat (1/2/2019), sejumlah pasien tampak dirawat menggunakan pelbet di lorong atau selasar rumah sakit.
Hal ini terjadi karena ruang perawatan yang tersedia di RSUD Cibinong sudah penuh.
“Udah banyak yang dirawat menggunakan pelbet, udah sampai puluhan,” jelas Wadir Pelayanan RSUD Cibinong, Endang Setiabudi, kepada wartawan, (1/2/2019).
Ia mengatakan bahwa sampai saat ini jumlah pasien DBD di RSUD Cibinong mencapai 169 orang.
“Pasien DBD di RSUD Cibinong terdata sampai sekarang 169 pasien, yang meninggal 1 orang,” tandasnya.(*/DP Alam)
BOGOR – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mencatat ada 290 orang pengidap baru HIV/AIDS sepanjang 2018. Mayoritas pengidap virus berbahaya itu adalah laki-laki.
“Secara keseluruhan, sejak 2017 hingga 2018, tercatat sekitar 554 pengidap HIV/AIDS yang terdata. Untuk tahun lalu saja, sampai Desember 2018, ada 290 orang,” ungkap Kepala Bidang Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Bogor, Agus Fauzi, di Cibinong, Selasa (29/1/2019).
Agus menuturkan, pada 2017, pengidap HIV/AIDS sebanyak 264 orang yang terdiri atas 181 laki-laki dan 83 perempuan. Sementara, pada 2018, jumlahnya bertambah sebanyak 290 orang yang terdiri atas 204 laki-laki dan 86 perempuan.
Dia menjelaskan, data tersebut diakumulasi dari berbagai fasilitas layanan kesehatan di Kabupaten Bogor. “Kami hanya meng-input wilayah Kabupaten Bogor.
Untuk luar Bogor disampaikan ke daerah masing-masing untuk pencatatannya,” ujar Agus.
Dari temuan kasus baru sepanjang 2017-2018, mayoritas pengidap HIV/AIDS masih berusia produktif yakni antara 25-49 tahun. Kebanyakan dari mereka juga berjenis kelamin laki-laki. Menurut Agus, mobilitas kaum laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan perempuan bisa jadi faktor yang membuat mereka menjadi rentan terkena penyakit yang menyerang kekebalan tubuh tersebut.
“Persentase kasus HIV/AIDS yang tinggi memang laki-laki. Kami akumulasi mereka berusia produktif, karena penularan ini bisa jadi terkait mobilitas dan perilaku. Misalnya, intensitas keluar malam dan berpotensi bersinggungan dengan penderita HIV/AIDS. Sementara, ibu-ibu atau kaum perempuan lebih banyak tinggal di rumah,” ucapnya.
Untuk layanan kesehatan dan pemeriksaan HIV/AIDS, kata Agus, masyarakat Kabupaten Bogor dapat memeriksakan diri mereka di 53 puskesmas. Dengan kata lain, puskesmas yang terdapat di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor sudah bisa melayani warga yang mengidap penyakit tersebut.
Selain itu, ada empat rumah sakit umum daerah (RSUD) di Bogor yang bisa melayani pemeriksaan HIV/AIDS. “Kami (Dinkes Kabupaten Bogor) menyediakan obat bagi penderita HIV/AIDS juga di empat RSUD itu,” tandasnya.(*/Ade)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro