BANDUNG – Penyuap Bupati Indramayu, Carsa ES dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dan enam bulan, denda Rp200 juta, subsidair kurungan tiga bulan. Carsa pun langsung menerimanya.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap terhadap Bupati Indramayu Supendi senilai Rp3,6 miliar di Pengadilan Tipikor PN Bandung, Jalan RE Martadinata, Rabu (4/3/2020).
Putusan yang dijatuhkan ketua majelis I Dewa Gd Suarditha sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam amar tuntutannya, Dewa menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan kesatu.
“Menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan, denda Rp200 juta, subsidair kurungan tiga bulan,” katanya.
Sebelum membacakan amar tuntutannya, Dewa juga membacakan hal yang memberatkan dan meringankan sebagai bahan pertimbangan. Yang memberatkan perbuatan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tidak pidana korupsi, dan pernah dihukum.
“Yang meringankan terdakwa kooperatif, sopan dan terus terang akan perbuatannya, menyesal, dan membantu mengungkap peranan pelaku lainnya,” ujarnya.
Atas putusan tersebut, Carsa ES dan kuasa hukumnya langsung menerima. Sementara, JPU KPK pikir-pikir terlebih dulu dengan alasan harus melaporkan dulu hasil persidangan ke pimpinan KPK.
Dalam urainnya, Dewa menjelaskan terdakwa pada Januari 2019 hingga Oktober 2019 telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan kejahatan, baik memberi atau menjanjikan sesuatu.
“Yakni beberapa kali memberikan uang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara,” katanya dalam persidangan.
Menurutnya, suap diberikan dengan maksud agar Supendi memberikan pekerjaan di lingkungan Pemkab Indramayu kepada terdakwa. Pekerjaan yang dimaksud yaitu proyek infrastruktur di bawah Dinas PUPR Kabupaten Indramayu.
Yakni terdakwa memberikan uang kepada Bupati Indramayu Supendi Rp3,6 miliar, Kadis PUPR Indramayu Omarsyah Rp2,4 miliar, dan Kabid Jalan PUPR Indramayu Wempi Triyoso Rp480 juta.
”Semua pemberian dilakukan terdakwa kepada para pejabat negara itu dimaksudkan agar terdakwa mendapatkan proyek pekerjaan di lingkungan Pemkab Indramayu,” ujarnya.
Sementara pemberian kepada anggota DPRD Jabar Abdul Rozaq Muslim oleh terdakwa sebesar Rp8,5 miliar, dimaksudkan agar Abdul Rozak Muslim membantu dalam proses penganggaran setiap pekerjaan di Kabupaten Indramayu yang bersumber dari bantuan provinsi (Banprov). (*/He)
BOGOR – Empat dari enam orang yang diamankan aparat kepolisian pada operasi tangkap tangan (OTT) di Kantor DPKPP Kabupaten Bogor, sudah pulang.
Polisi masih memeriksa dua pejabat dinas tersebut.
“Empat orang sudah kami perbolehkan pulang tadi malam setelah dimintai keterangan,” kata Kasat Reskrim Polres Bogor, AKP Benny Cahyadi di Mapolres Bogor di Cibinong, Rabu (5/3/2020).
Dia tak menyebutkan siapa saja yang sudah diperbolehkan pulang. Tapi, dua yang masih diamankan di kantor polisi adalah I dan F. Keduanya adalah pejabat penting di Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan (DPKPP).
“Kami belum meningkatkan status terperiksa karena kondisi kesehatan I yang merupakan Sekretaris DPKPP dalam kondisi kurang fit,” katanya.
Dalam OTT tersebut, polisi mengamankan Rp120 juta barang bukti dan sejumlah dokumen lainnya. “Selain dokumen dan barang bukti lainnya, kemarin sore kami mengamankan uang sebesar Rp120 juta dari para terperiksa OTT di Kantor DPKPP,” ucap Benny.
Saat melakukan OTT di kantor DPKPP terlihat aparat Sat Reskrim memgamankan empat orang yaitu I, F, J, dan satu orang pihak swasta yang belum diketahui identitasnya.
Selain itu, anggota Sat Reskrim mengamankan dokumen yang diangkut dengan beberapa kardus, uang yang dibungkus kantong coklar dan beberapa handphone. Termasuk, ponsel milik tenaga keamanan kantor DPKPP yang melawan ke petugas kepolisian.
I seperti diketahui menjabat sebagai Sekretaris di DPKPP Kabupaten Bogor. Sementara, F dan J menjabat sebagai staf di dinas tersebut.
Saat tiba di Gedung Sat Reskrim Mako Polres Bogor, I yang dikenal akrab dengan wartawan tak lupa menyapa. Namun, ketika ditanya kabarnya dia tidak sempat menjawab karena digelandang petugas ke lantai 2. (*/Iw)
BOGOR – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Bogor, lakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat eselon III di lingkungan Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bogor, sekira pukul 16.30 WIB sore.
OTT itu dipimpin langsung Kasat Reskrim Polres Bogor, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Benny Cahyadi dengan mengoperasi tangkap tangankan Sekretaris Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Sekdis PKPP) Kabupaten Bogor diruang kerjanya sore tadi.
Saat dikonfirmasi, AKP Benny Cahyadi masih enggan memberi komentar ke awak media.
“Nanti hasil penyelidikan kita kabari perkembangannya, untuk lebih lanjutnya nanti nanti hasil pemeriksaan,” ujar Benny saat ditemui awak media di Mapolres Bogor, Selasa (03/3/2020).
Ketika disinggung, apakah OTT itu kaitan perijinan perumahan yang berada di Kabupaten Bogor, Benny hanya menjawab. “Shalat shalat dulu ya teman-teman sudah waktunya shalat,” ajaknya.
Sementara, hasil pantauan dilokasi, OTT yang dilakukan Kasat Reskrim Polres Bogor yang berlangsung 30 menit itu mengikut sertakan kurang lebih 7 jajarannya dengan mengamankan dua amplop coklat berukuran besar yang diduga berisikan uang senilai puluhan juta rupiah, serta kurang lebih 6 kardus warna coklat yang disinyalir berisikan dokumen kepengurusan perijinan dari ruangan kantor orang nomor dua di Dinas PKPP tersebut.
Adapun, OTT yang dilakukan selain mengamankan mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Tata Bangunan wilayah I Cibinong itu, polisi juga berhasil meringkus satu dua staf instansi tersebut. (*/Iw)
JAKARTA – Nama mantan pebulu tangkis nasional, Taufik Hidayat kembali disebut dalam sidang perkara dugaan suap terkait proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah untuk KONI dari pemerintah yang melalui Kemenpora. Dalam sidang, Taufik Hidayat disebut menerima uang Rp1 miliar untuk mantan Menpora, Imam Nahrawi.
Hal tersebut terungkap saat mantan Pejabat Pembuat Komitmen program Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Kemenpora, Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok bersaksi untuk terdakwa Asisten Pribadi (Aspri) Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Dalam kesaksiannya, Ucok mengungkap peran Taufik Hidayat dalam pemberian uang dugaan suap untuk Imam Nahrawi.
Awalnya, Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali kesaksian Ucok terkait adanya arahan dari Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Kemenpora, Tommy Suhartanto. Arahan itu terkait permintaan uang Rp1 miliar oleh Imam Nahrawi.
“Apakah saudara katakan harus tunduk arahan direktur perencanaan dan anggaran. Apa pernah ada arahan dari Tomi untuk tambahan dana operasional keperluan Imam melalui terdakwa?” tanya jaksa ke Ucok di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (2/3/2020), malam.
Ucok mengamini adanya arahan tersebut. Kata Ucok, Tomi meminta agar keperluan Imam Nahrawi dipersiapkan yang nantinya akan diserahkan melalui Taufik Hidayat.
“Intinya saudara Tomi itu sampaikan ada keperluan dari pak menteri. Tolong disampaikan melalui Pak Taufik Hidayat. Seperti itu pak,” jawab Ucok.
Setelah mendapat perintah, Ucok pun mengonfirmasi kepada salah satu staf Menpora yakni, Zainul. Kemudian, Ucok meminta bantuan Ahsan Firdaus untuk mencairkan dan mengantarkan uang dari anggaran akomodasi.
“Kan saya kasih ke Aslan, diantar ke Reiki. Reiki cerita, bahwa sudah berikan Rp1 miliar itu di rumahnya Pak Taufik di daerah Kebayoran,” ungkap Ucok.
“Lalu Pak Taufik Hidayat bilang barangnya sudah diambil mas Ulum,” sambungnya.
Sebelumnya, nama Taufik Hidayat juga pernah disebut dalam dakwaan Miftahul Ulum. Keterlibatan Taufik Hidayat disebut Jaksa terjadi saat ia membantu mantan Pejabat Pembuat Komitmen program Satian Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Kemenpora, Edward Taudan Pandjaitan alias Ucok untuk menyerahkan uang kepada Imam Nahrawi.
Jaksa menjelaskan awalnya, Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak Prima Kemenpora, Tommy Suhartanto menyampaikan kepada Ucok bahwa Imam Nahrawi meminta disiapkan uang. Imam Nahrawi disebut meminta disiapkan uang sebesar Rp1 miliar.
“Kemudian Tommy Suhartanto meminta kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok menyiapkan uang sejumlah Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Imam Nahrawi melalui terdakwa (Miftahul Ulum),” kata Jaksa Ronald, saat membacakan surat dakwaan.Kemudian, Ucok menyiapkan permintaan dana tersebut dengan mengambil anggaran Program Satlak Prima. Selanjutnya, Tommy meminta Reiki Mamesah selaku Asisten Direktur Keuangan Satlak Prima Kemenpora untuk mengambil uang itu dari Ucok.
Setelah mengantongi uang dari Ucok, Reiki tidak langsung memberikan kepada Imam Nahrawi. Kata Jaksa, uang itu justru diserahkan kepada Taufik Hidayat. Penyerahan uang itu, terjadi di kediaman Taufik di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Kemudian, uang sejumlah Rp1 miliar tersebut diberikan Taufik Hidayat kepada Imam Nahrawi melalui terdakwa di rumah Taufik Hidayat,” papar Ronald.
Sekadar informasi, dalam perkara ini, Ulum didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar bersama Imam untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah KONI. Setidaknya, terdapat dua proposal kegiatan KONI yang menjadi sumber suap Ulum.
Pertama, terkait proposal bantuan dana hibah Kemenpora dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional pada multi event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018.
Baca Juga: Imam Nahrawi Bantah Pernah Minta Biaya Tambahan Operasional Menteri
Kedua, proposal terkait dukungan KONI pusat dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun Kegiatan 2018.
Selain itu, Ulum juga didakwa menerima gratifikasi bersama Imam Nahrawi berupa uang sebesar Rp8,6 miliar. Uang itu diterima Ulum saat Imam menjabat sebagai Menpora dalam rentang waktu 2014 hingga 2019.(*/Adyt)
JAKARTA – Kasus suap terkait kontrak Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) PT AKT di Kementerian ESDM kembali diproses penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk itu, penyidik KPK kembali memanggil pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, sebagai tersangka. “Yang bersangkutan dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Jurubicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, Senin (2/3/2020).
Sebelumnya, penyidik KPK juga telah memanggil politikus Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng, sebagai saksi.
Namun, dalam lima kali panggilan, tak sekali pun Mekeng datang ke KPK. Mekeng telah mangkir dari panggilan penyidik pada 11 September, 16 September, 19 September, 8 Oktober 2019, dan terakhir pada 6 Desember 2019.
Dalam kasus ini, Samin Tan diduga menyuap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, sebesar Rp 5 miliar. Suap ini diberikan kepada Eni untuk mengurus terminasi PKP2B PT AKT. Kasus proyek pengurusan terminasi ini merupakan pengembangan kasus suap PLTU Riau-1.
Eni Maulani Saragih telah divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. KPK juga telah melakukan pencekalan ke luar negeri terhadap Mekeng dan Samin Tan selama enam bulan ke depan, sejak 10 September 2019. Pencegahan dilakukan untuk membantu proses penyidikan KPK.(*/Adyt)
BANDUNG – Satuan Narkoba (Satnarkoba) Polrestabes Bandung beserta jajaran satuan TNI, BNN, Satpol PP, Disbudpar, dan Bea Cukai, mengelar razia tempat hiburan di Kota Bandung.
Dalam razia itu, Polisi temukan rumah mewah dijadikan gudang minuman keras (miras).
Kabag Ops Polrestabes Bandung AKBP Widodo, menjelaskan, penemuan gudang miras di rumah mewah itu berawal dari sebuah razia di salah satu cafe di kawasan mekarwangi, Bojongloa Kidul, Kota Bandung.
Saat dilakukan pemeriksaan kepada pengunjung, polisi mencari dari mana cafe itu, mendapat pasokan miras. Pemilik cafe pun menunjukan gudang yang jadi tempat penyimpanan miras.
“Jadi tadi kita juga dapati, pemilik cafe ini, memiliki gudang miras yang berjarak kurang lebih 300 meter, dari lokasi cafe,” ucap Widodo usai menggelar razia, Kota Bandung, Sabtu (29/2/2020) dini hari.
Di rumah mewah itupun, terdapat beberapa kendaraan seperti mobil ranger, mobil SUV, beberapa motor yang diantaranya ada motor klasik serta moge.
Saat petugas masuk ke dalam rumah berlantai dua itu, petugas mendapati ada satu ruangan berukuran cukup besar di basement rumah, yang menyimpan ribuan botol miras.
“Pemilik cafe yah pemilik rumah (gudang miras) ini,” ujar Widodo.
Saat dimintai keterangan terhadap pemilik gudang, dirinya tidak memiliki izin gudang, untuk penyimpanan miras. Akhirnya, Polisi pun melakukan penyitaan ribuan botol miras di gudang tersebut.
“Dari gudang ini, kita amankan 4322 ribu botol miras. Karena tidak miliki izin, kita sita dan kita amankan di Satnarkoba, untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” pungkasnya.
Lokasi gudang pun, langsung disegel dan dilakukan pemasang garis dilarang melintas, oleh tim gabungan. (*/Hend)
JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman mengaku pernah bertemu dengan tersangka kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, Harun Masiku.
Hal itu disampaikan Arief usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi di KPK.
Arief menjelaskan kepada penyidik KPK, dirinya tidak mengenal secara pribadi eks Caleg PDI Perjuangan (PDIP) yang kini masih buron tersebut. Namun Harun pernah menemuinya di kantor KPU.
“Dia pernah datang ke kantor ya, menyampaikan surat JR (judicial review) yang diputuskan oleh MA itu,” kata Arief usai menjlani pemeriksaan di pelataran Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020).
Surat Putusan Mahkamah Agung (MA) itu terkait pengganti calon legislatif (caleg) yang meninggal dunia, agar Harun ditetapkan sebagai calon anggota DPR terpilih periode 2019-2024, melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW).
Namun saat bertemu Harun, Arief menjelaskan bahwa surat tersebut tidak bisa ditindaklanjuti, lantaran tidak sesuai dengan ketentuan pemilu.
“Saya jelaskan juga tadi (ke penyidik), ya saya sampaikan (surat) ini enggak bisa ditindaklanjuti karena memang tidak sesuai dengan ketentuan UU Pemilu,” ucapnya.
Arief menambahkan, Harun tidak menyampaikan bahwa surat tersebut atas perintah partai atau tidak. “Enggak, enggak sampai sejauh itu. Pokoknya hanya itu aja, ‘ini ada putusan MA mohon bisa dijalankan’ (kata Harun). (Lalu dijawab Arief) dan saya sudah sampaikan loh, kan kami sudah pernah menjawab surat itu’,” kata Arief mengulang pembicaraannya dengan Harun.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proses PAW di DPR RI. Empat tersangka tersebut yakni, Wahyu Setiawan (WSE), mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF). caleg PDIP Harun Masiku, dan pihak swasta, Saeful (SAE).
Wahyu dan Agustiani ditetapkan sebagai pihak penerima suap. Sedangkan Harun dan Saeful merupakan pihak yang memberikan suap.(*/Ag)
CIREBON – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Barat, menggerebek sebuah gudang kosmetik ilegal yang berada di Desa Ciledug Tengah, Kabupaten Cirebon, dan menyita beberapa barang bukti.
“Kita melakukan pemeriksaan salah satu gudang yang berada di Ciledug. Dan setelah dilakukan pemeriksaan kita temukan kegiatan repack produk kosmetik,” kata Staf Penindakan BPOM Jawa Barat Edward Siahaan di Cirebon, Jumat.(28/2/2020)
Edward mengatakan saat dilakukan pemeriksaan atau penggerebekan, karyawan gudang kosmetik tersebut ternyata sedang melakukan pengepakan produk dan juga penempelan lebel.
Namun semua itu tidak melalui izin dari BPOM, sehingga bisa dikatakan bahwa produk-produk yang ada di gudang tersebut adalah ilegal.
“Saat diperiksa ada beberapa bahan baku yang siap di ‘repack’ dan ada juga sudah diberi lebel,” ujarnya.
Selain itu ada juga barang-barang atau kosmetik yang sudah siap diedarkan dan dari keterangan karyawan, gudang tersebut sudah beroperasi selama beberapa bulan.
Ketika ditanya terkait pemasaran produk kosmetik ilegal tersebut, Edward tidak mengetahui secara pasti, karena saat ini masih dilakukan pendalaman lebih lanjut.
Dia menambahkan barang-barang atau kosmetik ilegal yang disita belum diketahui jumlah pastinya karena sampai saat ini masih dilakukan pendataan.
“Sampai saat ini kita masih dalam proses penghitungan dan masih memilah, jadi belum diketahui secara pasti ada berapa produk dan jumlahnya,” jelasnya.(*/Eln)
JAKARTA – Terdakwa mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi memberikan kesaksianya dalam lanjutan sidang suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Dalam kesempatan itu, ia membantah bahwa dirinya meminta adanya penambahan dana operasional menteri melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum sebesar Rp70 juta.
“Saudara saksi (Bambang), pernahkah saya minta tambahan dana operasional menteri kepada saudara saksi secara langsung maupun pada sekretaris Menpora?,” tanya Imam kepada eks Kabiro Keuangan Rumah Tangga Kemenpora Bambang Tri Joko di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2020).
Bambang pun mengamini bahwa tidak pernah ada penambahan dana operasional menteri yang diminta Imam saat jadi Menpora.
“Tidak pernah,” ujarnya.
Kemudian, Imam melanjutkan pertanyaan soal apakah dirinya pernah meminta adanya revisi anggaran program Satlak Prima Kemenpora. Kemudian, Bambang pun mengaku tidak pernah mengetahui hal tersebut lantaran bukan merupakan kewenangannya.
“Saya tidak tahu, karena itu ranah perencanaan,” kembali jawab Bambang
Lebih lanjut, Imam mengatakan, bahwa selama ini dirinya kerap memperkenalkan para staf maupun asisten pribadinya. Sehingga, bila ada orang dekatnya yang meminta sejumlah uang yang mengatasnamakan dirinya agar ditolak atau pun dilaporkan kepada dirinya.
“Dalam forum rapat pasti saya kenalkan satu-persatu termasuk siapa saja dan pasti saya katakan, bilamana ada seorang pun mengaku atas nama saya meminta sesuatu maka tolak dan langsung laporkan kepada saya. Dan sejauh itu tidak pernah ada laporan ke saya siapapun,” tutur Imam.
Sebelumnya, eks Kabiro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora RI, Bambang Tri Joko mengatakan bahwa asisten pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum pernah meminta dana tambahan untuk biaya operasional kunker.
Biaya tambahan itu, menurut Bambang, memotong dari anggaran Satlak Prima sebesar Rp 50-75 juta. “Saudara tahu nggak berapa anggaran Satlak Prima yang diambil untuk kunker terdakwa?” tanya jaksa KPK Ronald ke Bambang.
“Ya saya me-reverse, anggaran yang diminta setiap kunjungan itu antara Rp 50 juta sampai Rp 75 juta. Itu yang diminta saudara Ulum kepada Pak Sesmen,” jawab Bambang.
Imam Nahrawi didakwa menerima aliran dana sebesar Rp11,5 miliar untuk mempercepat persetujuan dana hibah KONI ke Kemenpora.
Dia didakwa melakukan suap bersama-sama dengan mantan Asisten Pribadi Menpora Miftahul Ulum. Imam dan Ulum menerima uang dari eks Sekretaris Jendral KONI Ending Fuad Hamidy dan eks Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy.(*/Tub)
BOGOR – Dalam dugaan kasus renovasi asal jadi terhadap sarana ibadah Masjid Agung Baitul Faidzin yang berlokasi di Komplek Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bogor dengan menghabiskan anggaran hingga Rp26 miliar bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor tahun 2017, penegak hukum terkait bakal segera menindaklanjuti indikasi tersebut.
Melalui Kasi Intel pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibinong, Kabupaten Bogor, Juanda menuturkan, untuk menindak lanjuti kasus tersebut, pihaknya meminta waktu untuk mempelajari terlebih dulu dalam mengungkap dugaan kasus ini.
“Nanti saya pelajari dulu ya,” ujar Juanda saat dihubungi wartawan, Kamis (27/2/20).
Menurutnya, dirinya yang baru mengemban tugas di Seksi Intelijen Kejari Cibinong terhitung sejak November 2019 lalu.
“Saya baru empat bulan juga disini kan, saya harus memahami semuanya dulu. Seperti halnya dalam menangani kasus dugaan tersebut,” jelasnya.
Juanda menambahkan, dalam beberapa hari kedepan dirinya meminta kepada media massa agar ia mempelajari kasus dugaan renovasi asal jadi terhadap bangunan Masjid Agung Baitul Faidzin di komplek Pemkab Bogor.
“Kalau mau wawancara hari Senin pada 2 Maret 2020 nanti, dimana saya minta waktu itu untuk mempelajari terlebih dulu kronologis perkaranya itu,” tukasnya.
Sekedar diketahui, baru setahun usianya, plafon masjid agung Baitul Faidzin di Komplek Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bogor sudah jebol.
Padahal, bangunan yang dibangun dari APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp26 miliar ini baru selesai direnovasi pada 2019 lalu namun pembangunan masjid tersebut dikatakan kontraktor abal – abal oleh Bupati Bogor sampai saat ini belum diresmikan.(*/T Abd)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro