BOGOR – Proyek pembangunan Gedung Laga Tangkas dan Gedung Laga Satria Kabupaten Bogor tahun anggaran 2017 yang terletak di Kompleks Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor yang menuai kontroversi. Dimana kontraktor proyek Laga Tangkas dan Satria yang dikerjakan PT Prambanan Dwipaka (PD) tahun anggaran 2017 tersebut menjadi perhatian publik.
Sementara awal proyek pembangunan Gedung Laga Tangkas dan Gedung Laga Satria Kabupaten Bogor tahun anggaran 2017 yang terletak di Kompleks Stadion Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor sudah ada dugaan kejanggalan.
Karena hanya untuk konstruksi anggaran yang dihabiskan mencapai Rp77,4 miliar lebih. Adapun perusahaan yang dimenangkan Pemkab Bogor adalah PT PD yang beralamat di Jalan Ngagel Jaya Tengah No24 – 26 Surabaya, Jawa Timur.
Pagu anggaran dan HPS yang ditetapkan Dispora Pemkab Bogor sebesar Rp79,2 miliar, sangat janggal karena kelewat tinggi. Padahal dalam proyek ini sendiri terdapat terdapat empat perusahaan dengan tawaran lebih rendah dari PT PD, bahkan ada yang di angka Rp71 miliar.
“Jika memang tidak ada masalah kenapa hingga saat ini belum juga diresmikan, padahal dilihat dari segi fisik bangunan sudah selesai dan pernah digunakan Porda 2018, kemarin,” kata Ketua Lembaga Pengamat Kebijakan Pemerintah (LPKP) Kabupaten Bogor, Rahmatullah.
Sementara Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor pernah memeriksa PT PD disebabkan diduga ada ketidak beresan dan kejangggalan.
Hal yang sama juga dilakukan PPK proyek Gedung Laga Tangkas dan Satria Yusuf Sadeli yang saat ini sudah pensiun sangat sulit untuk dimintai keterangan.
“Otoritas Pemkab Bogor jangan diam saja, usut tuntas kejanggalan ini karena ini dapat menjadi preseden yang buruk dalam kinerja pembangunan proyek yang ada di Bumi Tegar Beriman,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kabupaten Bogor, Ade Sanjaya mengaku kecewa dengan kinerja Pemkab Bogor yang kerap bermasalah dengan proyek-proyek yang menggunakan anggaran APBD.
“Tentunya Pemkab Bogor dalam hal ini dinas terkait memiliki aturan dan mekanisme yang jelas dalam penyeleksian penyedia jasa yang dipercaya menjalankan mandat pembangunan. Jika memang tidak becus dan dari awal sudah tidak menyakinkan kenapa harus ditunjuk.
Proyek Gedung Laga Tangkas dan Laga Satria harus jadi catatan tersendiri karena sampai saat ini belum juga diresmikan padahal Gedung Laga Tangkas dan Gedung Satria pernah digunakan saat PORDA JABAR 2018 tapi sampai saat ini belum juga diresmikan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor diduga karena ada sesuatu hal yang masih mengganjal,” pungkasnya.(Fuz)
JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengingatkan kepada pemerintah daerah untuk segera memecat pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan masing-masing yang terbukti melakukan korupsi oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
“Data itu munculnya dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), hasil itu kami sampaikan kepada daerah bahwa di daerah ada PNS yang ini, ini, ini (korupsi), tolong segera diproses (diberhentikan),” tegas Tjahjo di Jakarta, (29/1/2019).
Dia menuturkan pemecatan PNS bukanlah kewenangannya, meski terdapat kesepakatan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala BKN.
Sebelumnya, data BKN mengungkapkan, dari 2.357 PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah), baru 393 di antara mereka yang diberhentikan tidak dengan hormat karena terkait kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
Dari 393 PNS itu, sebanyak 42 orang berasal dari instansi pusat, sedangkan 351 lainnya berasal dari instansi daerah.
Para PNS itu diberhentikan melalui Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (SK PTDH) sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) di lingkungan masing-masing instansi. Hingga Januari 2019, proses pemecatan sisa 1.964 PNS yang korup masih belum tuntas.
Padahal, berdasarkan sumber data Wasdalpeg BKN, 2.357 PNS korup itu seharusnya sudah diberhentikan paling lama akhir 2018.(*/Adyt)
JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengingatkan kepada pemerintah daerah untuk segera memecat pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan masing-masing yang terbukti melakukan korupsi oleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
“Data itu munculnya dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), hasil itu kami sampaikan kepada daerah bahwa di daerah ada PNS yang ini, ini, ini (korupsi), tolong segera diproses (diberhentikan),” tegas Tjahjo di Jakarta, (29/1/2019).
Dia menuturkan pemecatan PNS bukanlah kewenangannya, meski terdapat kesepakatan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala BKN.
Sebelumnya, data BKN mengungkapkan, dari 2.357 PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah), baru 393 di antara mereka yang diberhentikan tidak dengan hormat karena terkait kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
Dari 393 PNS itu, sebanyak 42 orang berasal dari instansi pusat, sedangkan 351 lainnya berasal dari instansi daerah.
Para PNS itu diberhentikan melalui Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (SK PTDH) sebagai PNS oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) di lingkungan masing-masing instansi. Hingga Januari 2019, proses pemecatan sisa 1.964 PNS yang korup masih belum tuntas.
Padahal, berdasarkan sumber data Wasdalpeg BKN, 2.357 PNS korup itu seharusnya sudah diberhentikan paling lama akhir 2018.(*/Adyt)
BOGOR – Pemerintah Kabuapten Bogor dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupatem Bogor kewalahan untuk menutup galian tanah ilegal di Kampung Leuwijambe, Desa Kadumangu dan wilayah lain , (28/1/2019).
Camat Babakanmadang, Yudi Santosa mengungkapkan, galian itu telah beroperasi sejak 6 bulan lalu dan sebelumnya sempat disegel oleh Satpol PP.
“Namun bandel nih pengusahanya. Sudah disegel tapi dirusak dan mereka beroperasi lagi. Jadi kita tutup paksa lagi,” kata Yudi, Senin (28/1/2019).
Yudi pun mengancam untuk menyeret pengusaha galian itu ke jalur hukum jika tidak mau taat pada aturan. Dia merujuk Pasal 232 KUHP dengan ancaman kurungan penjara 2 tahun 8 bulan.
“Kalau ada yang berani jadi backing ancaman penjaranya empat tahun. Selain itu, mereka juga tidak berizin,” kata Yudi.
Sementara Kepala Bidang Perundang-Undangan Satpol PP Kabupaten Bogor, Agus Ridho mengaku jika ini merupakan kali kedua galian bodong itu ditertibkan.
“Sekarang masih diselidiki soal pengrusakan segel dengan sengaja. Kalau terbukti tentu bisa diseret ke pidana,” tegas Agus.
Meski secara aturan penertiban galian ada di Pemprov Jawa Barat, Satpol PP masih berhak melakukan sidang tindak pidana ringan terhadap galian golongan C itu dengan melibatkan PNNS Pol PP Provinsi Jawa Barat.
“Karena kita menggunakan perda provinsi untuk menertibkan galian-galian yang ada di Kabupaten Bogor. Jadi harus melibatkan Pol PP provinsi pastinya.
Intinya nanti akan kami telusuri dulu untuk dugaan pelanggaran ini,” tandasnya.(*/Ade)
BANDUNG – Aktivis anti-korupsi Kabupaten Purwakarta, Doni Irawadi, mendesak Kejaksaan Negeri Purwakarta menetapkan tersangka baru kasus dugaan korupsi perjalanan dinas dan bimbingan teknis (bintek) fiktif di DPRD Purwakarta.
Desakan itu terkait terungkapnya fakta persidangan yang menyebut pimpinan DPRD Purwakarta menandatangani surat perintah bintek pada 29 Juli 2016 di Kota Bandung dan diakui 40 anggota dewan.
Bintek tersebut tidak ada sedangkan ada pengeluaran uang terkait bintek tersebut.
“Fakta sidang mengungkap bahwa bintek 29 Juli 2016 di Kota Bandung itu tidak pernah ada. Tapi ada surat perintahnya yang ditanda tangani pimpinan DPRD. Dengan fakta itu, seharusnya Kejari Purwakarta menetapkan tersangka baru,” ujar Doni via ponselnya, Minggu (27/1/2019).
Kasus ini melibatkan dua terdakwa M Ripai dan Heri Hasan Sumardi selaku ASN sekretariat DPRD Purwakarta.
Dalam berkas dakwaan jaksa, keduanya melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara Rp 2,4 miliar.
Doni menambahkan, keterangan saksi anggota DPRD Purwakarta di persidangan termasuk alat bukti yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Kuhap).
Pengakuan anggota dewan di persidangan tidak boleh diabaikan.
“Belum lagi ada alat bukti lain berupa audit kerugian negara serta unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa. Menurut pendapat saya, penyidik kejaksaan sudah punya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka baru, yakni pembuat surat perintah bintek 29 Juli itu,” kata Doni.Ia menambahkan, sebenarnya dari awal penyidik kejaksaan sudah bisa menetapkan tersangka lebih dari dua orang dalam kasus ini.
Pengakuan anggota dewan di persidangan sudah dituangkan dalam berita acara saat pemeriksaan penyidikan.
“Di pemeriksaan penyidikan anggota dewan ini pasti sudah tahu soal adanya surat perintah 29 Juli 2016 yang fiktif. Seharusnya bukan dua tersangka, tapi tiga tersangka yang berturut serta melakukan perbuatan melawan hukum,” ujar dia.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Purwakarta Ade Azhari tidak banyak memberikan tanggapannya soal kemungkinan tersangka baru.
“Kita lihat saja nanti fakta persidangan. Saya tidak bisa menanggapi lebih karena khawatirnya jadi opini,” kata Ade belum lama ini di Pengadilan Negeri Bandung.
Selama dua pekan sebelumnya, persidangan menghadirkan saksi semua anggota dewan dari komisi I hingga IV minus pimpinan.
Menurut informasi , sidang Rabu pekan depan akan menghadirkan saksi pimpinan DPRD untuk mengkonfrontir keterangan para anggota DPRD Purwakarta.(*/Dang)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo sebagai saksi terkait kasus suap perizinan proyek Meikarta. Tjahjo dicecar penyidik KPK perihal rapat yang dilakukan Komisi II DPR dan Ditjen Otda Kemendagri terkait Meikarta.
“Penyidik mendalami terkait proses perizinan dengan mengkonfirmasi sejumlah rapat yang dilakukan di Komisi II DPR RI dan Ditjen Otda Kemendagri,” ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, (25/1/2019).
Selain itu, lanjut Febri, Tjahjo juga ditanya perihal komunikasi dengan Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin. Sebab, saat Neneng bersaksi di persidangan, ia menyebut jika Tjahjo meminta dirinya untuk membantu proyek Meikarta.
“Penyidik juga mengkonfirmasi terkait sejumlah fakta persidangan termasuk komunikasi dengan Bupati Bekasi,” ungkapnya.
Sebelumnya, usai diperiksa KPK, Tjahjo mengaku jika dirinya pernah menghubungi Bupati Bekasi nonaktif, Neneng Hasanah Yasin untuk memproses proyek Meikarta sesuai dengan aturan
Menurut Tjahjo, saat itu ia menghubungi Neneng melalui perantara Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono via telepon. Saat itu, Sumarsono memang tengah rapat bersama Neneng terkait izin Meikarta.
Tjahjo melanjutkan, arahan yang ia berikan tersebut merupakan hal biasa. Tak hanya itu, menurut Tjahjo, arahan itu juga tak didasarkan pada besarnya nilai investasi Meikarta di Kabupaten Bekasi.
“Itu tugas saya sebagai Mendagri,” tuturnya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebagai tersangka. Ia diduga menerima suap terkait izin proyek pembangunan Meikarta.
Neneng diduga akan menerima hadiah atau janji Rp 13 miliar dari pihak swasta sebagai uang ‘pelicin’ perijinan. Namun, hingga kasus terbongkar baru dibayarkan Rp 7 miliar secara bertahap melalui Kepala Dinas terkait.
KPK juga menetapkan delapan tersangka lain yakni Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi, Jamaludi, Kepala Dinas Damkar Pemkab Bekasi, Sahat MBJ Nahar, Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi, Dewi Tisnawati, dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi.
Kemudian, pihak swasta bernama Billy Sindoro yang merupakan Direktur Operasional Lippo Group, dua konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djajaja Purnama, serta Henry Jasmen pegawai Lippo Group. (*/Adyt)
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian frasa nasional dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi tentang aturan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana atau bantuan bencana alam.
“Bahwa adanya kata nasional’setelah frasa bencana alam menyebabkan hukuman mati, hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan dalam keadaan bencana alam, yang mendapatkan status bencana alam nasional oleh pemerintah pusat,” ujar kuasa hukum pemohon, Yohanes Mahatma Pambudianto di Gedung MK Jakarta, (22/1/2019).
Pemohon berpendapat status bencana alam kemudian terkesan melindungi koruptor untuk tidak memiliki rasa takut melakukan korupsi di wilayah yang sedang terkena bencana alam, sepanjang bencana tersebut tidak mendapat status bencana alam nasional.
“Padahal yang menjadi penderita dalam setiap kejadian bencana alam tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan pemenuhan hak yang menjadi tanggung jawab dari negara,” kata Yohanes.
Hal itu kemudian dinilai pemohon sebagai dasar bahwa tidak ada pembedaan atas derita yang dialami oleh masyarakat yang terkena bencana alam, baik berstatus bencana alam nasional maupun tidak.
Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak.
“Maka kata nasional’setelah frasa bencana alam telah menjadi hambatan upaya pemberantasan korupsi dalam hal pemberian sanksi hukuman mati,” kata Yohanes. (*/Wel)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan keterlibatan Menpora Imam Nahrawi terkait kasus dugaan suap pencairan dana hibah ke KONI.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang meminta semua pihak sabar menunggu pengembangan dari penyidik terkait dugaan keterlibatan Imam dalam kasus tersebut.
“Bisa kerja dulu lah penyidik, sabar,” ucapnya, (22/1/2019).
KPK sendiri sudah melakukan pengembangan dengan menggeledah sejumlah ruangan, mulai dari ruangan Imam Nahrawi hingga Sekjen KONI.
Dalam penggeledahan itu, penyidik KPK menyita dokumen dan proposal terkait dana hibah Kemenpora untuk KONI. Diduga dokumen dan proposal itu merupakan catatan dari mulai pembahasan hingga pencairan dana hibah. Namun, sampai saat ini Saut mengaku belum menerima informasi lebih lanjut terkait pendalaman dokumen dan proposal tersebut.
“Saya harus cek penyidik dulu sudah sejauh mana,” tandasnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan suap pencairan dana hibah ke KONI. Mereka ialah, selaku pemberi Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johny E Awuy.
Sementara itu, selaku penerima ialah Deputi IV Kemepora Mulyana, Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto.
Uang Rp 100 juta tersebut berataskan nama Johny E Awuy namun dalam penguasaan Mulyana. Sedangkan mobil Chevrolet Captiva merupakan milik Eko Triyanto.
Dalam kasus ini, diduga ada kesepakatan antara Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan fee sebesar 19,13 persen dari total dana hibah Rp 17,9 miliar, yaitu sejumlah Rp 3,4 miliar. (*/Ag)
JAKARTA – Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir ternyata belum final. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian lebih dalam terkait pembebasan tersebut.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, keluarga Ba’asyir meminta pembebasan sejak 2017 karena usia lanjut dan kesehatan yang terus menurun. Atas dasar alasan kemanusiaan, Presiden Jokowi memahami permintaan tersebut.
Kendati demikian, menurut Wiranto, pembebasan pendiri Pondok Pesantren Al Mu’min, Ngruki, Solo itu juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti kesetiaan terhadap Pancasila, hukum dan lainnya.
“Presiden tidak grusa-grusu, serta merta, tapi perlu mempertimbangkan aspek lainnya. Oleh karena itu presiden memerintahkan pejabat terkait meminta kajian mendalam dan komprehensif merespons permintaan itu,” kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Ba’asyir divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2011. Majelis hakim menilai pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid atau JAT itu terbukti terlibat dalam pelatihan militer kelompok terduga teroris di Aceh.
Ba’asyir berhak bebas bersyarat pada Desember 2018. Namun memilih bertahan di penjara dengan alasan tidak mau menandatangani syarat bebas, yakni mengakui NKRI dan Pancasila.
Jokowi sebelumnya setuju Ba’asyir dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Persetujuan itu disampaikan melalui kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra. Jokowi menegaskan bahwa rencana pembebasan itu sudah dipertimbangkan sejak setahun lalu.
“Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan. Iya, termasuk kondisi kesehatan masuk dalam pertimbangan itu,” ujar Jokowi di Garut, Jawa Barat.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini mengaku, pembebasan tersebut sudah melalui pertimbangan yang panjang. Salah satunya juga terkait keamanan.(*/Adyt)
DEPOK – Tiga anggota Brimob yang didakwa membunuh anggota TNI yang bertugas di Yonkav 7/Sersus Kodam Jaya, yaitu Darma dan melukai Nicholas divonis 9 tahun hingga 15 tahun kurungan penjara.
Terdakwa Bagoes Alamsyah Putra, Rahmat Setyawab dan Iwab Mofu divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Depok yang diketuai Ramon Wahyudi didampingi hakim anggota Rosana Kesuma H dan Darmi Wibowo di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kozar Kertyasa dan AB Ramadhan, Senin (21/1/2019).
Vonis itu lebih berat satu tahun dari tuntutan jaksa yaitu terdakwa Bagoes Alamsyah Putra dari tuntutan 14 tahun menjadi 15 tahun , Iwan Mofu dari tuntutan 12 tahun menjadi 13 tahun penjara dan Rahmat Setyawan dari 8 tahun menjadi 9 tahun kurungan penjara.
Mereka bertiga dinyatakan terbukti bersalah mengeroyok dan menusuk dua anggota TNI itu membuat Serda Darma Aji meninggal dan Serda Nicolaus Boyvianus Kegomoi terluka.
Ketiganya dituduhkan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur pasal 170 ayat (2) ke-3 dan ayat (2) ke-2 KUHP, sementara Rahmat diganjar pasal 170 ayat (2) ke-2 KUHP.
Yang memberatkan terdakwa adalah karena perbuatan mereka meresahkan masyarakat, status mereka sebagai aparat, dan meninggalkan duka bagi keluarga korban.
Seperti diketahui Darma dan Nicolaus dikeroyok sejumlah oknum anggota Brimob di Billiard Al Diablo Jalan Raya Bogor, Cimanggis, Depok, Jawa Barat Kamis (7/6/2018) dini hari.
Nicolaus yang menderita luka tusuk di perut bagian kanan bawah namun berhasil selamat turut jadi saksi dalam sidang tersebut.
Darma tercatat sebagai anggota Yonif Mekanik 203/AK Kodam Jaya, sedangkan Nicoulaus tercatat sebagai anggota Yonkav 7/Sersus Kodam Jaya.
Keduanya sempat dibawa ke RS Tugu Ibu untuk dirawat sebelum akhirnya dirujuk ke RSPAD Gatot Soebroto .Darma dinyatakan meninggal oleh dokter sehari setelah kejadian yaitu Jumat (8/6) sekitar Pk. 13:30 kemudian dimakamkan di Kampung Halaman Kabupaten Bataeng, Sulawesi Selatan.
Usia mendengarkan putusan majelis hakim ketiga terdakwa menyatakan pikir pikir atas vonis tersebut. Sidang vonis dijaga puluhan tim anggota gabungan.(*/Idr)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro