JAKARTA – Tidak hanya peserta pemilu, rakyat Indonesia memang sudah semestinya khawatir dengan Pemilu khususnya soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jelang pemilu, DPT selalu menjadi polemik.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta dalam diskusi bertajuk “Pilpres Jujur dan Adil, Ilusi atau Harapan?” di Kantor Seknas Prabowo-Sandi, Jalan Hos Cokroaminoto Nomor 93, Menteng, Jakarta Pusat, (11/12).
Pembicara lain dalam diskusi itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh; peneliti senior LIPI, Siti Zuhro; Wakil Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati; dan Wakil Direktur Data dan Informasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Nur Iman Santoso.
Kaka melihat ada yang tidak beres dengan DPT Pemilu serentak 2019. Harusnya DPT sudah ditetapkan pada 5 September lalu tapi karena permohonan berbagai pihak seperti Bawaslu dan partai politik sehingga diundur.
“Di UU tidak ada dan belum pernah kita lakukan sebelumnya. Biasanya pada saat penetapan selesai. Tapi KPU tidak mau katakan “tidak ditetapkan”, tapi sudah ditetapkan dengan pencermatan. Di hari ke-10 terjadi lagi permintaan dari KPU dengan tambahan waktu 60 hari. Dan terulang 30 hari. Saya hitung 100 hari.
Angka-angka geserannya cukup besar,”kata Kaka.
Jelas dia, awalnya Kemendagri menyerahkan Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) di kisaran angka 191 juta kepada KPU. Kemudian saat penetapan turun menjadi 185 juta pemilih.
“Kemudian Dukcapil (Kemendagri) mempunyai catatan, ada 31 juta yang ditenggarai diduga invalid kegandaan dan sebagainya. Tetapi di luar itu, ada 25 juta yang belum masuk ke DPT. Ini sesuatu yang mengagetkan,” ungkapnya.
Terakhir, Kaka berharap saat penetapan 15 Desember nanti polemik DPT sudah tuntas. (*/Ag)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil empat saksi dalam penyidikan kasus suap terkait kegiatan mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
KPK total telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu, yakni Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra (SUN) dan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Gatot Rachmanto (GAR).
“Hari ini, dijadwalkan pemeriksaan terhadap empat orang saksi untuk tersangka SUN terkait kasus suap kegiatan mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 10 Desember 2018,
Empat saksi itu antara lain Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Cirebon Dede Sudiono, Kepala Bidang Sumber Daya Air PUPR Kabupaten Cirebon Rahman, Kepala Bidang Irigasi PUPR Kabupaten Cirebon M Rizal, dan Camat Ciwaringin Kabupaten Cirebon Bambang Sudaryanto.
Dalam penyidikan kasus itu, KPK masih terus mendalami pengetahuan saksi tentang pemberian-pemberian lainnya untuk tersangka Sunjaya Purwadisastra terkait mutasi, rotasi, dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Dalam kegiatan tangkap tangan dalam kasus tersebut, KPK meyita sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang rupiah sebesar total Rp385,65 juta dengan rincian Rp116 juta dan Rp269,965 juta dalam pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu rupiah.
Selanjutnya, bukti transaksi perbankan berupa slip setoran dan transfer senilai Rp6,425 miliar.
Diduga pemberian oleh GAR kepada SUN melalui ajudan Bupati sebesar Rp100 juta terkait “fee” atas mutasi dan pelantikan GAR sebagai Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon.
Diduga Sunjaya sebagai Bupati juga menerima pemberian Iainnya secara tunai dari pejabat-pelabat di lingkungan Pemkab Cirebon sebesar Rp125 juta melalui ajudan dan sekretaris pribadi Bupati.
Modus yang diduga digunakan adalah pemberian setoran kepada Bupati setelah pejabat terkait dilantik. Nilai setoran terkait mutasi ini diduga telah diatur mulai dari jabatan lurah, camat hingga eselon III.
Selain pemberian tunai terkait mutasi jabatan, diduga Sunjaya juga menerima “fee” total senilai Rp6,425 miliar yang tersimpan dalam rekening atas nama orang lain yang berada dalam penguasaan Bupati yang digunakan sebagai rekening penampungan terkait proyek-proyek di lingkungan Pemkab Cirebon Tahun Anggaran 2018.(*/Adyt)
BANDUNG – Mantan Bupati Tasikmalaya yang kini menjabat Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum akan dihadirkan menjadi saksi di persidangan kasus korupsi dana hibah Kabupaten Tasikmalaya. Sidang tersebut telah bergulir dengan melibatkan mantan anak buahnya, Abdul Kodir (Mantan Sekda) dan terdakwa lainya.
Uu perlu dimintai keterangannya dipersidangan karena dia menandatangani akta hibah tersebut.
“Kami akan ajukan mantan bupati Tasik untuk jadi saksi dalam persidangan kasus ini. Saya kira perlu Pak Uu itu dimintai keterangannya agar kasus ini menjadi terang benderang,” ujar penasehat hukum terdakwa Abdul Kodir, Bambang Lesmana. Ia mengatakan hal itu usai sidang pembacaan dakwaan terhadap 9 terdakwa kasus korupsi hibah kabupaten Tasikmalaya yang digelar di Ruang VI Pengadilan Tipikor Bandung, Senin 10 Desember 2018.
Bambang secara gamblang menyebut Wakil Gubernur Jabar harus menjadi saksi di persidangan kasus korupsi dana hibah karena dia saat menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya menandatangani akta hibah tersebut. “Kita akan buka semuanya. Ada yang samar samar, kita bikin terang benderang di persidangan ini,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai tidak diperiksanya mantan bupati Tasik oleh penyidik Polda Jabar, Bambang Lesmana menyatakan bahwa itu merupakan hak penyidik Polda Jabar. Tapi menurut Bambang, pihaknya memandang perlu mantan Bupati untuk diperiksa di persidangan ini.
“Kami tidak memandang penyidik keliru atau kurang cermat, karena itu kewenangan penyidik yang tentu saja sudut pandangnya beda. Tapi kami memandang harus dimintai keterangannya dipersidangan.. ini harus dibuka, yang masih tertutup di Polda Jabar kita ungkap semuanya di persidangan,” ujarnya.
Lebih lanjut Bambang menerangkan bahwa SK hibah itu ditandatangi oleh bupati selaku pengambil kebijakan. “Setelah mencermati, dan melihat saksi yang diajukan dari pihak kejaksaan tidak ada nama Pak Uu. Makanya saya memutuskan untuk mengusulkan ke majelis hakim supaya beliau dihadirkan menjadi saksi,” ujarnya.
Bambang juga sempat menyinggung mengenai dakwaan yang telah dibacakan di ruang persidangan. Dalam dakwaan disebutkan bahwa hibah itu dikeluarkan sesuai dengan SK bupati. Tapi kenapa bupatinya tidak masuk daftar saksi yang akan dihadirkan dipersidangan oleh jaksa. Itu juga menjadi dasar kami untuk mengajukan wakil gubernur jabar ini menjadi saksi.
Menurutnya, dakwaan terhadap kliennya sudah selesai dibacakan, nanti akan kami counter dari saksi saksi dan bukti bukti. Kita sudah siapkan bukti buktinya, apakah benar dakwaannya atau tidak. “Kita punya saksi mahkota, ada saksi dari luar juga lah, sekarang yang penting ada saksinya. Tidak boleh disebutkan satu persatu nanti terbuka. Jangan jangan nanti kalau terbuka dihalang halangi atau segala macem. Pokoknya ada saksi dari dalem maupun dari luar. Bukti juga kita lengkapi,” ujarnya.
Atas dakwaan tersebut, Bambang menyatakan, tidak akan mengajukan eksepsi sehingga sidang selanjutnya akan akan digelar pemeriksaan saksi saksi. “kita akan langsung masuk ke materi dakwaan, kita akan buktikan dalam proses persidangan selanjutnya yaitu saksi jaksa, bukti dari jaksa, dan saksi dari saya dan bukti dari saya, kita sudah siapkan. Apakah benar ceritanya seperti itu,” pungkasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Biaya politik tinggi yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) mendorong mereka melakukan penyimpangan seperti, korupsi, menerima suap dan akhirnya mereka menjadi sasaran operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Demikian disampaikan mantan Menteri Keuangan era Orde Baru, Fuad Bawazier yang dihubungi di Jakarta, Minggu (8/10). “Belum lagi mereka harus membayar mahar kepada partai politik (parpol) yang mendukungnya, ‘ kata Fuad.
Menurut Fuad, inilah yang mendorong mereka melakukan korupsi dan praktik suap. Praktik penyimpangan tersebut juga yang menghambat investasi di daerah, karena bukan tidak mungkin mereka menghambat perizinan investasi di daerahnya hanya untuk kepentingan uang bagi kepala daerah tersebut.
“Ini semua seperti saya sebutkan tadi biaya politik yang tinggi yang dikeluarkan saat kampanye, dan juga pemberian mahar bagi parpol pendukungnya yang menjadi kepala daerah korupsi,” terang Fuad.
Ia menambahkan sebaiknya sistem rekrutmen kepala daerah diubah, tidak lagi melalui pemilihan langsung. Namun melalui pemilihan tidak langsung di DPRD untuk calon bupati dan walikota, sedangkan untuk calon gubernur ditunjuk langsung oleh presiden.
Fuad juga mengakui pemilihan kepala daerah tidak langsung mungkin tidak bebas dari korupsi, tapi lebih mudah mengawasi kalau terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh anggota DPRD.
“Sebab itu, saya mengusulkan sebaiknya pemilihan kepala daerah untuk bupati dan walikota dilakukan di DPRD dan calon gubernur ditunjuk langsung presiden,” pinta Fuad.
Ia menambahkan dengan pemilihan kepala daerah di DPRD, maka biaya politik tinggi yang harus ditanggung para calon dapat dihindari sehingga mereka tidak seperti dikejar-kejar hutang setelah terpilih menjadi kepala daerah.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mencatat 77 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendagri juga mencatat ada 300 lebih kepala daerah yang pernah bermasalah dengan hukum.(*/ Im)
JAKARTA – Ditemukannya kasus jual beli blangko e-KTP di situs online dan Pasar Pramuka, Jakarta mendapat perhatian khusus Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya, kasus ini, bersama dengan kasus 31 juta pemilih yang belum masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), bisa membuat kredibilitas penyelenggaraan Pemilu 2019 menghadapi tantangan besar.
Menurutnya, harus ada audit terhadap proses pembuatan e-KTP dan ekspose terbuka dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas kasus ini. Jika tidak, Kemendagri bisa dianggap gagal mengamankan data kependudukan.
“Apapun isu terkait e-KTP memang bisa menjadi bola panas Pemilu 2019. Sebab, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa e-KTP menjadi syarat sah bagi pemilih. Syarat ini bagus jika administrasi kependudukan kita terjaga ketat. Namun sebagaimana bisa kita lihat, administrasi Kemendagri cukup buruk menangani hal ini,” ujarnya ,(8/12/2018).
Dia menuturkan kasus jual beli blangko e-KTP ini bukan kasus pertama yang menunjukkan buruknya standar kerja Kemendagri terkait proses perekaman data, pendistribusian, dan kontroling pencetakan e-KTP. Pada Mei lalu, misalnya ada kasus temuan ribuan e-KTP tercecer di Bogor.
“Sebelumnya, pada 18 Maret 2017, di tempat sampah bekas Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, juga pernah ditemukan kasus serupa,” kata dia.
Jadi, kata Fadli, Kemendagri sepertinya tak punya prosedur ketat dan terkontrol menjaga seluruh lini terkait proses pembuatan e-KTP ini. Padahal ini potensial diselewengkan.
“Di bank saja, misalnya jika ada ATM rusak langsung digunting pihak bank karena rentan disalah-gunakan. Ini bagaimana bisa blanko e-KTP keluar tanpa terdeteksi secara internal? Mengingat e-KTP merupakan instrumen penting dalam penggunaan hak pilih, Kemendagri seharusnya tak boleh bekerja amatiran. Apalagi ‘raw material’ data pemilih kan asalnya memang dari Kemendagri,” jelasnya.
Untuk menjaga kredibilitas Pemilu 2019, sambung dia, kita perlu menjaga administrasi data kependudukan dan pemilih ini. Merujuk data kependudukan di Kemendagri saat ini dari 261 juta penduduk yang wajib memiliki KTP berjumlah 189 juta.
Akan ada sekitar 7 juta jiwa berusia 17 tahun pada April 2019 nanti maka Kemendagri pada Desember 2017 lalu menetapkan total DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) untuk Pileg dan Pilpres 2019 berjumlah 196.545.636. Dari daftar itu, sejak Agustus lalu KPU telah beberapa kali menetapkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) dan merevisinya.
Pada akhir September 2018, sesudah ada masukan, koreksi dan sejenisnya data pemilih dalam negeri ditetapkan sebanyak 185.084.629 pemilih. Sementara, jumlah TPS sebanyak 805.068. Adapun untuk pemilih luar negeri, jumlahnya ditetapkan 2.025.344 pemilih. Ini menjadi DPT Hasil Perbaikan Tahap 1.
“Sebagai catatan, sejak Pleno KPU tanggal 5 September 2018, hingga perbaikan tahap 1 tadi, Gerindra bersama dengan beberapa partai koalisi telah mengajukan penolakan penetapan DPT (Daftar Pemilih Tetap), karena ada sekitar 25 juta data ganda dalam DPS yang kami temukan. Ini harus dibersihkan dulu datanya,” jelas Waketum Gerindra ini.
Fadli berpandangan celakanya awal Oktober lalu Kemendagri malah memberikan catatan ada 31 juta orang yang sudah melakukan perekaman e-KTP tapi belum masuk dalam DPT. Padahal, menurut Kemendagri angka 31 juta yang disebut itu sudah masuk dalam DP4. Ini telah membuat proses penyusunan DPT jadi meraba-raba lagi, sehingga hingga kini kita masih belum punya DPT.
“Untuk melindungi hak pilih, serta menjaga kredibilitas Pemilu 2019, saya ingin meminta masyarakat luas ikut proaktif melakukan pengecekan data pemilih di lingkungannya. Minimal mengecek keikutsertaannya sendiri sebagai pemilih. Jangan sampai administrasi kependudukan yang buruk dan tidak terkontrol melahirkan potensi penyelewengan. Masih ada waktu hingga pekan depan melakukan perbaikan DPT.”
Dia pun mengajak masyarakat mengawal proses koreksi DPT. Dia mengingatkan jangan sampai demokrasi dan suara rakyat dinodai oleh DPT siluman.
“Itu sebabnya setiap proses pelanggaran administrasi kependudukan, termasuk jual beli blangko e-KTP, harus diusut dan dihukum berat. Dan Kemendagri harus siap diaudit, agar kasus ini jadi transparan dan tidak terulang kembali,” tandasnya.(*/Im)
BOGOR – Suhu politik jelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 makin panas. Bupati Bogor terpilih yang juga Ketua DPW PPP Jawa Barat Ade Yasin, meminta masyarakat tetap rasional menyikapinya.
Menurut Ade Yasin, menjaga persaudaraan antar sesama masyarakat menjadi begitu penting.
“Oleh karena itu, saya serahkan sepenuhnya pilihan untuk Pilpres kepada masyarakat. Saya tidak akan mengintervensi.
Biar masyarakat sendiri yang menilai dan memberikan dukungannya,” kata Ade Yasin dalam Rapat Koordinasi relawan Capres nomor 01 yang tergabung dalam Superjo (Suara Pergerakan Rakyat Untuk Jokowi) di IPC Sentul, Bogor, Kamis (6/12/2018).
Rapat Koordinasi Superjo ini dihadiri sekitar empat ratus lima puluh orang relawan. Selain itu, juga terlihat Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy.
Ade Yasin yang akan dilantik menjadi Bupati Bogor periode 2018-2023 pada 30 Desember mendatang, mengaku langkah yang diambilnya ini demi terciptanya iklim demokrasi yang sejuk.
Karena itu, dia bersama Wakil Bupati Bogor Terpilih Iwan Setiawan sepakat untuk tetap menjaga komitmen menciptakan Pilpres 2019 yang damai tanpa hoaks dan ujaran kebencian.
“Saya dengan pak Iwan sepakat untuk mensukseskan pilihan masing-masing. Tapi tetap dalam bingkai persaudaraan. Menciptakan Pilpres yang damai sejuk, tanpa hoaks dan ujaran kebencian,” pungkasnya. (*/P Alam)
JAKARTA – Masyarakat atau para pendukung pasangan Prabowo-Sandi diimbau terus mengawal data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait 31 juta pemilih yang belum masuk daftar pemilih tetap (DPT).
Pasalnya, simpang siurnya data pemilih bisa memicu kecurangan Pemilu.
“Semua elemen masyarakat yang menginginkan demokrasi Indonesia berjalan baik dan lancar harus mengawal isu ini. DPT harus kita pastikan akurat,” kata Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, (7/12/2018).
Selain itu, dia menilai persoalan tambahan DPT itu bisa menjadi pintu masuk bagi petahana untuk memainkan hasil Pemilu. Sebab, DPT menjadi kunci terwujudnya Pemilu yang berkualitas.
Maka itu kata Wakil ketua Komisi II DPR ini, dibutuhkan partisipasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengawal DPT agar akurat. “Tambahan DPT ini bukan hanya masalah parpol, atau capres/cawapres, namun masalah semua anak bangsa,” ujarnya.
Dia melanjutkan, kualitas demokrasi bisa rusak dan mundur ke belakang karena kacaunya sistem administrasi pemerintahan. Sehingga, Riza mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama para pemangku kepentingan untuk melakukan verifikasi bersama.
“Sebaiknya KPU kembali duduk bersama parpol untuk memverifikasi agar duduk persoalannya lebih jelas dan data pemilih lebih akurat,” pungkasnya.(*Adyt)
LAMPUNG – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia maupun organisasi kemasyarakatan Islam ikut berperan menjaga persatuan, persaudaraan dan kerukunan di tahun politik.
“Tadi sudah disampaikan juga oleh ketua umum ICMI bahwa negara ini sudah majemuk.
Negara ini berbeda-berbeda, warna-warni baik suku, ras, agama, adat dan tradisi yang memiliki bahasa daerah dan semuanya itu berbeda-beda,” jelasnya saat pembuka Silaknas ke-28 ICMI di Bandar Lampung, Kamis malam (6/12).
Jokowi mengatakan, baik ICMI maupun ormas-ormas Islam memiliki peran sangat sentral di bidang politik menjelang Pemilu dan Pilpres 2019. ICMI bisa memberikan pencerahan-pencerahan terutama kepada masyarakat mengenai pentingnya kerukunan, persatuan, dan persaudaraan.
“Peran-peran seperti itu yang kita harapkan dan bisa menjelaskan secara gamblang betapa pentingnya persatuan, persaudaraan dan kerukunan di antara kita,” tandasnya. (*kris)
JAKARTA – Pro kontra terkait adanya sikap beberapa media mainstream, khususnya media cetak yang tidak memberitakan di halaman depan acara Reuni Akbar 212 di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (2/12) mencuat ke permukaan. Intinya banyak pihak yang kecewa dan mengecam hal itu.
“Terus terang memang ada masalah besar yang menimpa dunia pers sejak era reformasi, terkait akurasi berita, kredibilitas pemilik media dan rancunya keberpihakan media kepada masalah ketidakadilan yang dialami rakyat kecil di akar rumput, khususnya yang tidak punya kepada kekuasaan,” kata wartawan senior Zainal Bintang, (7/12).
Bintang menganggap di dalam dunia pers juga terjadi semacam korupsi yang cukup masif. Yakni korupsi moralitas. Mantan pemimpin umum dan pemimpin redaksi sebuah mingguan di era Orde Baru itu menjelaskan, korupsi moralitas adalah korupsi atas hak-hak rakyat untuk mendapatkan informasi atas apa yang terjadi di masyarakat.
Namun demkian, mantan Pengurus PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jakarta itu mengatakan, tidak adil jika masyarakat atau elit serta merta menyalahkan sang wartawan. Karena penentu kebijakan dimuat atau tidaknya sebuah berita di meja redaksi adalah redakur.
Bintang yang mengaku berkali-kali menyaksikan kerja keras wartawan di lapangan atau di sebuah lokasi berburu berita dan narasumber, namun pada kenyataannya berita itu berubah di tangan redaktur. Alasan klasik yang sering diucapkan oleh redaktur sebuah media adalah menyangkut kebijakan pemimpin media atau pemilik media.
Namun demikian, Bintang meminta semua pihak tidak usah risau atau marah atas perubahan paradigma dunia pers di Indonesia sekarang. Sejalan dengan kemajuan perkembangan teknologi sarana media sosial atau medsos, ternyata memiliki kemampuan penyebaran informasi dari tangan ke tangan yang malah lebih cepat.
“Menurut saya, pada akhirnya media mainstream yang meremehkan hak rakyat kecil akan surut ditinggal pergi oleh rakyat. Apakah itu media cetak atau elektronik yang kebanyakan dikuasai kapitalis atau konglomerat lambat laun akan memasuki senjakala,” ucapnya.
Sebesar apapun kemampuan subsidi yang dipompakan tidak akan mampu mengembalikan hati rakyat yang sudah luka kepada media cetak. Namun Bintang tetap mewanti-wanti agar wartawan sejati tidak melakukan korupsi hak informasi rakyat.
“Meniadakan informasi yang aktual yang menjadi hak rakyat dengan alasan yang melawan akal sehat, itu identik korupsi moralitas namanya. Dan menjadi ancaman bagi dunia pers ke depan,” pungkasnya.(*Im)
CIBINONG – Hari ini Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya merilis Laporan Akhir Hasil Penyelidikan (LAHP) terkait pencemaran Sungai Cileungsi, Kabupaten Bogor, Kamis (6/12/2018).
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho, menjelaskan bahwa hasil pemeriksaan menunjukan bahwa pencemaran Sungai Cileungsi sudah terjadi sejak awal 2017 lalu.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor, kata dia, juga sempat memberikan sanksi administratif kepada perusahaan yang melakukan pencemaran terhadap sungai namun pencemaran masih berlangsung hingga Oktober 2018.
“Terdapat ketidakkonsistenan dalam jangka waktu pengawasan setelah teguran diterbitkan namun terjadi pembiaran. DLH Kabupaten Bogor tidak kompeten karena pengawasan terhadap izin lingkungan yang telah diterbitkan tidak dilakukan secara konsisten,” kata Teguh , (6/12/2018).
Teguh menjelaskan bahwa DLH Kabupaten Bogor dinilai kurang kompeten menindak lanjuti pengaduan masyarakat terkait pencemaran tersebut.
Sebab, lanjut dia, setiap pengaduan belum teregistrasi dengan baik dan lengkap sebagaimana pasal 10 ayat (5) permen lingkungan hidup dan kehutanan nomor 22 tahun 2017.
Serta pengadu tidak mendapat informasi perkembangan dari status pengaduan.
“Ombudsman berpendapat bahwa DLH Kabupaten Bogor tidak kompeten dalam menindak kanjuti pengaduan masyarakat terkait pencemaran Sungai Cileungsi,” katanya.
Teguh menuturkan bahwa DLH Kabupaten Bogor tidak kompeten dalam menganalisis dan pemantauan terhadap laporan terkait baku mutu lingkungan dari perusahaan di sekitar Sungai Cileungsi.
“Hasil laporan perusahaan berbeda dengan hasil uji lab DLH Kabupaten Bogor dan DLH Provinsi Jawa Barat. DLH Kabupaten Bogor tidak cermat mengolah data hasil pemantauan Sungai Cileungsi dan analisis terhadap pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan,” tandasnya.(*Dav)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro