BOGOR - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih kesulitan untuk mengembalikan uang negara yang dicuri korupsi. Hal itu karena UU Tindak pidana korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak mampu menjangkau aset koruptor.
Oleh karena banyaknya aset koruptor yang tidak terjangkau UU Tindak pidana korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendesak segera mensahkan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP).
Hal itu harus dilakukan demi memaksimalkan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyita aset-aset para koruptor.
Belum disahkannya Undang-undang PATP, membuat KPK sulit mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan tindak pidana korupsi hingga mencapai lebih dari 50 persen.
Dalam penelitian sejak tahun 2008 hingga 2011, jaksa yang menangani perkara korupsi rata-rata hanya menuntut 44 persen dari kerugian negara yang ditimbulkan tindak korupsi. Data itu didapat berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Persentase itu bahkan menyusut hingga menjadi hanya 7 persen saat perkara tersebut berkekuatan hukum tetap atau ‘inkracht’.
“Menjelang inkracht, rata-rata hanya 7 persen dr kerugian negara yang dituntut tadi. Di KPK, kita lihat, yang dibayar uang penganti. Ternyata uang penganti yang dibayar terpidana hanya 50 persen, sisanya menjalani penjara. Denda juga sekitar 50 persen,” jelas Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Zulkarnain dalam sebuah acara di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, (20/11).
Selama ini, Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana, belum juga masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas). Benar-benar masih jauh panggang dari api.
“Masih ada keterbatasan, kita melalui penindakan di KPK. Undang-undang ini perlu didorong. Tentu ada aset yang memang tidak terjangkau. Tipikor kemudian TPPU juga tidak menjangkau, meski koruptor juga tidak bisa membuktikan mendapat aset tersebut dengan cara yang sah. Sementara harta yang dimiliki luar biasa,” desaknya.
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, masih dalam tahap sosialisasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dengan menggandeng sejumlah lembaga seperti Kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan KPK serta akademisi dan masyarakat. Pembahasan RUU ini masih perlu didiskusikan, terutama menyangkut institusi yang berwenang terlibat dalam perampasan aset tindak pidana tersebut.
“Sudah ada juga draftnya yang dikerjakan pimpinan, cuma gak dimasukkan dalam Prolegnas,” tandasnya. (Pk/ARS)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro