SERANG – Polda Banten bersama Bareskrim Polri hari ini melakukan penyelidikan terkait penambangan ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) penyebab banjir-longsor Lebak.
Beberapa blok penambangan jadi sasaran penyelidikan.
“Kita telah menurunkan tim penyidik langsung ke TKP diperkirakan tempat kegiatan PETI (penambangan emas tanpa izin),” kata Dirkrimsus Polda Banten Kombes Rudi Hananto dalam percakapan pesan WhatsApp dengan awak media di Lebak, Banten, Kamis (9/1/2020).
Tim sendiri dibantu oleh Bareskrim Polri karena lokasi penambangan ilegal ada di 2 wilayah yaitu Bogor dan Lebak. Sasaran di Lebak adalah penambangan emas di Blok Cikidang, Kecamatan Cikotok, Blok Pilar dan Blok Cibuluheun di Kecamatan Lebak Gedong.
Blok penambangan emas di Lebak Gedong katanya ada di aliran sungai Ciberang. Aliran ini yang melintasi Kecamatan Cipanas, Sajira, termasuk Lebak Gedong yang terkena musibah banjir bandang dan longsor.Sasaran peyelidikan juga katanya menyasar pemilik atau pemain termasuk penyandang dana kegiatan tambang ilegal. Selain itu termasuk penelusuran jika ada oknum bermain serta pemasok mercury pada sejumlah tambang emas di sana.
Berdasarkan catatan balai TNGHS, ada total 178 hektare lahan yang digunakan sebagai penambangan emas ilegal oleh gurandil. Penambangan ilegal di lahan seluas ini diduga jadi penyebab banjir dan longsor.
“Di hulu sungai Ciberang atau blok Cibulu sampai dengan Lebak Sampa Desa Lebak Situ terdapat kegiatan penambangan emas tanpa izin dengan luasan sekitar 178 hekare,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah 1 Lebak Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Siswoyo saat ditemui wartawan di kantornya di Cipanas, Lebak, Banten (7/1).
DI TNGHS saja, mengatakan ada 28 titik penambangan emas tanpa izin. Khusus di kabupaten Lebak ada 22 titik yang tersebar di 178 hektare. Beberapa blok dinamai sendiri oleh penambang ilegal atau gurandi. Seperi Gunung Julang, Cibuluh, Sampay, Cidoyong, Cimari, Cirotan, CIkidang, Cisiih, Cimadur, Gang Panjang dan Cikatumbiri.(*/Dul)
JAKARTA – Kasus yang melatari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan belum dibeberkan KPK. Namun ada kabar beredar yang menyatakan ada kaitan dengan pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR dari Fraksi PDIP di balik OTT itu.
Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat tidak menyanggah saat ditanya perihal kabar itu. Dia mendapatkan informasi persis serupa. Namun Djarot memilih melihat perkembangan selanjutnya yang nantinya akan disampaikan resmi oleh KPK.
“Informasinya seperti itu. Ya makanya kita lihat dulu seperti apa. Tapi yang jelas, beri kesempatan aparat penegak hukum untuk mengurai kasusnya,” kata Djarot di JIExpo Kemayoran Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Djarot lantas sedikit memberikan penjelasan mengenai mekanisme PAW. Dia memastikan PDIP tidak akan melanggar prosedur yang ada.
“Kalau PAW mekanismenya selalu diadakan dalam rapat pleno, ada bentuk-bentuk penugasan khusus dan kita selalu mengikuti prosedur yang ada dan kita tidak akan melanggar prosedur itu,” ucapnya.Isu yang beredar menyebutkan kaitan PAW tersebut dengan OTT terhadap Wahyu Setiawan. Bahkan isu itu turut menyeret staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang berembus dari cuitan bernada tanya dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief. Berikut cuitan Andi Arief:
“Jika benar ada dua staf sekjend Hasto Kristiyanto dengan inisial S dan D juga ikut OTT KPK bersama caleg Partai tersebut, maka apa arti sebuah tangisan?” cuit Andi Arief di Twitter.
Dimintai konfirmasi mengenai cuitannya, Andi Arief menyebut apa yang ditulisnya hanyalah berdasarkan info yang diterimanya. Dia masih menunggu konfirmasi resmi KPK.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, kabarnya ada seorang caleg PDIP berinisial HM yang berupaya melobi komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk dapat melenggang ke Senayan via jalur PAW. Dalam proses lobi inilah muncul dugaan suap kepada Wahyu.
Diduga dalam proses pemberian suap itu melibatkan dua orang berinisial D dan S. Wasekjen Demokrat Andi Arief mengaku mendapatkan informasi bahwa D dan S adalah staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. KPK belum memberikan konfirmasi mengenai kabar tersebut.(*/Ag)
JAKARTA – Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menjadi salah satu orang yang diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK), Rabu (8/1/2020). Pria kelahiran Banjarnegara 5 Desember 1973 itu diduga terlibat dalam transaksi suap.
“Komisioner KPU atas nama WS,” kata Ketua KPK Firli Bahuri saat dikonfirmasi, Rabu (8/1/2020).
Selain, WS, Firli mengungkapkan pihaknya juga meringkus sejumlah pihak lain. Para pihak tersebut ditangkap lantaran diduga terlibat dalam transaksi suap, namun Firli tidak mengungkapkan siapa pihak lain itu. “Pemberi dan penerima suap kita tangkap,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengakui, tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta pada Rabu (8/2/2020) siang. Dari OTT tersebut, KPK menangkap beberapa orang, satu di antaranya komisioner KPU berinisial WS.
Kendati demikian dia belum mendapatkan informasi lanjutan dari tim penyelidik apakah ada juga seorang anggota DPR yang ditangkap.
“Informasi awal seperti itu, Komisioner KPU inisial WS diamankan Rabu siang. Tapi apakah ada anggota DPR yang juga diamankan, saya belum dapat informasi,” kata Alexander kepada SINDO ketika ditanya tentang apakah komisioner KPU yang ditangkap adalah Wahyu Setiawan, Rabu (8/1/2020) sore.
Alexander mengatakan, penangkapan terhadap WS tersebut telah melakukan proses penyelidikan termasuk pemantauan di lapangan. WS bersama pihak lain ditangkap setelah terjadi transaksi serah-terima uang.
Hanya Alexander mengaku belum menerima informasi lanjutan jumlah uang tersebut apakah ratusan juta atau miliaran.”Ada barang bukti berupa uang yang juga diamankan tim.
Jumlahnya berapa masih didalami penyelidik dan penyidik,” ungkapnya.(*/Adyt)
SIDOARJO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyegelan kantor Unit Lelang Pengadaan (ULP) Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) Kab. Sidoarjo, Rabu (8/1/2020).
Depan pintu kantor LPSE yang berada di lantai tiga Kantor Pemkab Sidoarjo itu ditempeli segel bertuliskan dalam pengawasan KPK.
Meski ruang LPSE di segel oleh KPK, Sekda Kabupaten Sidoarjo Ahmad Zaini memastikan pelayanan masyarakat di Sidoarjo tidak terganggu.
Proses pengadaan barang dan jasa masih dapat berlangsung. Sementara agenda yang seharusnya berada di Pendopo Delta Wibawa dipindahkan.
“Pelayanan tetap jalan dan tidak terganggu,” katanya, Rabu (8/1/2020).
Sekdakab Sidoarjo juga menambahkan agar PNS tetap menjalankan fungsinya dan tidak terganggu dengan pemeriksaan dari KPK. “Kami harap teman-teman pegawai tetap menjalankan aktifitasnya,” katanya
Ahmad Zaini menyatakan hingga saat ini belum mengetahui soal kasus pengadaan barang dan jasa terkait operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Saya tidak tahu barang dan jasa yang mana?, saya sendiri kaget baru tahu semalam dari teman-teman media,” pungkas Ahmad Zaini.
Selain melakukan penyegelan di kantor ULP LPSE, KPK juga menyegel kantor Kadin PU Bina Marga dan Sumber Daya Air Sunarti Setianingsih dan Kabid Pembangunan Jalan dan Jembatan (PUBM SDA) Yudi Tetra.(*/Gio)
JAKARTA – Cukup mengagetkan, seorang komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) terkena OTT (operasi tngkap tangan) oleh KPK, Rabu (8/1/2020).
Hal itu dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, Rabu. “Iya, benar, siang tadi,” kata Lili Pintauli.
Sejuah ini belum diungkapkan siapa nama komisioner KPU yang terkena OTT tersebut. Belum diketahui pula, dalam kasus apa, komisioner tersebut ditangkap KPK. “Untuk detail kami baru tahu besok,” tambahnya.
KPK memiliki waktu 1×24 jam untuk melakukan pemeriksaan awal terhadap mereka yang terjaring OTT. Setelahnya KPK akan mengumumkan status hukum dari mereka.
Menurut isu yang beredar, komisioner KPU yang ditangkap terkait kasus suap yang berkenaan dengan anggota DPR. “Tunggu besok ya, eksposenya besok,” ujarnya. (*/Ag)
JAKARTA – Tim Satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) perdanananya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/1). Berdasar informasi, salah satu pihak yang turut ditangkap merupakan Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah.
Plt Jubir KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan Saiful Ilah dan sejumlah pihak lain dibekuk lantaran diduga terlibat dalam transaksi ilegal. Transaksi itu berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Sidoarjo.
Lalu, berapakah harta kekayaan yang dimiliki Saiful? Berdasarkan penelusuran Republika situs https://elhkpn.kpk.go.id yang dilaporkan pada 31 Desember 2018, Saiful tercatat memiliki harta kekayaan senilai Rp 60.465.050.509 yang terdiri dari harta bergerak dan harta tidak bergerak.
Untuk harta tidak bergerak Polutikus PKB itu tercatat memiliki tanah dan bangunan yang tersebar di wilayah Sidoarjo dan Pasuruan, Jaw Timur. Total harta tidak bergerak Saiful senilai Rp 32.832.540.100.
Sementara untuk harta bergerak ia tercatat memiliki alat transportasi dan mesin dengan total Rp 570 juta. Untuk harta bergerak lainnya yakni kendaraan roda dua dan roda empat.
Untuk kendaraan roda empat, yakni Mobil Toyota Kijang tahun 2000 senilai, Rp 90 juta, Mobil Honda Accord Sedan tahun 1987 senilai Rp 20 juta, Mobil Toyota Corolla Sedan tahun 1996 senilai Rp 45 juta, Mobil Mercedes Benz Sedan tahun 1997 senilai Rp 150 juta.
Selanjutnya, Mobil Jaguar Sedan tahun 2000 senilai Rp 100 juta, Mobil Nissan Terrano Jeep tahun 2001 ssnilai Rp 60 juta dan Mobil Mercedes Benz Sedan tahun 1989 senilai Rp 45 juta. Sementara kendaraan roda duanya yakni Motor Suzuki Intruder tahun 2001 senilai Rp 25 juta.
Saiful juga tercatat memiliki harta bergerak lainnya senilai Rp 1.444.500.000, serta surat berharga dengan total Rp 63.500.000 hingga kas dan setara kas senilai Rp 25.554.510.409.
OTT ini merupakan operasi senyap perdana yang dilakukan KPK di era Pimpinan KPK Jilid V yang dilantik Presiden Jokowi pada 20 Desember lalu. Tak hanya itu, OTT ini juga perdana sejak UU nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK berlaku pada 17 Oktober 2019 silam.
Diketahui, KPK terakhir kali melancarkan OTT pada pertengahan 2019 lalu. Saat itu, dalam tempo tiga hari berturut-turut yakni pada Senin (15/10) hingga Rabu (17/10). Dari tiga OTT itu, KPK menangkap dan menersangkakan Bupati Indramayu, Supendi, Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII, Refly Ruddy Tangkere serta Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin.(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna mengungkapkan empat proyek di lingkungan Pelindo II merugikan negara lebih dari Rp6 triliun berdasarkan laporan hasil pemeriksaan.
“Maka ini wewenang ada di aparat penegak hukum,” katanya usai menandatangani kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurut dia, empat proyek di Pelindo II yang merugikan negara itu yakni perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, proyek Kalibaru dan juga global bond.
Selain mengidentifikasi kerugian negara, Agung menjelaskan BPK juga mengidentifikasi konstruksi perbuatan melawan hukum dan mengidentifikasi pihak yang tertanggung jawab. “Sisanya apakah ada mens rea di situ, kami serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum,” imbuh Agung.
Agung menyebutkan di Pelindo II, ada juga pemeriksaan kasus mobile crane yang ditangani Bareskrim Polri yang sudah masuk meja hijau dan kasus tindak pidana korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC). Pada dua kasus itu, Agung menyebut berdasarkan laporan hasil pemeriksaan kerugian negara mencapai Rp30-50 miliar.
Sebelumnya, KPK menetapkan Mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sebagai tersangka pada 15 Desember 2015. Di mana, RJ Lino telah ditetapkan KPK sebagai tersangka, karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co Ltd) dari China sebagai penyedia barang.
Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga ketidaksesuaian itu menimbulkan inefisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino selaku Dirut PT Pelindo II demi menguntungkan dirinya atau orang lain.
Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB), estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya US$3.625.922 (sekitar Rp50,03 miliar).
Potensi kerugian itu berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan tiga unit QCC di lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 tanggal 18 Maret 2011.(*/Ag)
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Dinas PUPR Kabupaten Lampung Utara, Syahbudin dalam kasus dugaan suap terkait proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan Pemkab Lampung Utara.
Syahbudin yang telah menyandang status tersangka sedianya diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan Bupati (nonaktif) Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara.
“Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka AIM (Agung Ilmu Mangkunegara),” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Selasa (7/1/2020).
Pada kasus ini, KPK telah menetapkan enam orang sebagai tersangka antara lain; Bupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara; orang kepercayaan Bupati Lampung Utara, Raden Syahril (RSY).
Selanjutnya, Kadis PUPR Lampung Utara, Syahbuddin (SYH); Kadis Perdagangan Lampung Utara, Wan Hendri (WHN); serta dua pihak swasta yakni, Chandra Safari (CHS) dan Hendra Wijaya Saleh (HSW). Ketujuhnya ditetapkan sebagai tersangka setelah dilakukan pemeriksaan intensif.
Agung Ilmu Mangkunegara diduga menerima suap terkait proyek di Dinas PUPR dan Dinas Perdagangan Lampung Utara dari pihak swasta, Chandra Safari dan Hendra Wijaya Saleh. Suap itu diterima melalui dua kadisnya Syahbuddin dan Wan Hendri serta orang kepercayaan Agung, Raden Syahril.
Agung Ilmu Mangkunegara yang juga mantan Ketua Nasdem Lampung Utara diduga menerima uang sejumlah Rp 300 juta dari Hendra Wijaya Saleh terkait proyek di Dinas Perdagangan melalui perantara bernama Raden Syahril.
Uang tersebut diduga terkait dengan tiga proyek di Dinas Perdagangan, yaitu Pembangunan pasar tradisional Desa Comok Sinar Jaya Kecamatan Muara Sungkai Rp 1,073 miliar, Pembangunan pasar tradisional Desa Karangsari Kecamatan Muara Sungkai Rp 1,3 miliar, dan konstruksi fisik pembangunan pasar rakyat tata karya (DAK) Rp 3,6 miliar.
Sementara, untuk proyek pada Dinas PUPR, KPK menduga Agung Ilmu Mangkunegara menerima uang senilai total Rp1 miliar. Uang tersebut merupakan pemberian dari Chandra Safari dalam periode Juli 2019-Oktober 2019.(*/Adyt)
JAKARTA – Ketua Umum Komite Antikorupsi Indonesia (Kaki), Arief Nur Cahyono bersama belasan orang lainnya berdemonstrasi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengadukan Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin.
Dalam aksi hari ini, Senin, 6 Januari 2020, tersebut Kaki menyebut Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin ketika menjabat Ketua Badan Anggaran DPR terlibat kasus korupsi yang menjerat Bupati Lampung Tengah Mustafa.
“Kami mendesak KPK agar memeriksa Saudara Aziz Syamsuddin berkenaan dengan dugaan korupsi di atas,” ujar Arief dalam orasinya.
Menurut Arief, Mustafa pernah menyatakan bahwa Aziz Syamsuddin pernah meminta jatah 8 persen dari pengesahan dana alokasi khusus (DAK) APBN Perubahan 2017.
Mustafa menyampaikannya ketika membesuk ayahnya di Rumah Sakit Harapan Bunda Lampung Tengah pada akhir Desember 2019. Pengakuan itu bahkan telah dimuat di beberapa media massa.
KPK menetapkan Mustafa menjadi tersangka suap dan gratifikasi pada Januari 2019.
Dia disangka menerima suap dan gratifikasi Rp 95 miliar saat menjabat Bupati Lampung Tengah.
Penetapan tersangka tersebut pengembangan perkara suap persetujuan pinjaman daerah untuk APBD Kabupaten Lampung Tengah Tahun Anggaran 2018.
Dalam perkara tersebut KPK menyangka Mustafa memberi suap uang ketok palu sebesar Rp 9,6 miliar kepada sejumlah anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah.
Uang sogokan itu untuk memperlancar persetujuan DPRD atas pinjaman daerah kepadsa PT Sarana Multi Infrastruktur.
Mustafa dinyatakan bersalah dan divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan pada 23 Juli 2018.
Kemudian KPK menemukan dugaan bahwa Mustafa juga menerima fee dari ijon proyek di lingkungan Dinas Marga Lampung Tengah sebesar 10-20 persen dari total nilai proyek.
KPK menaksir jumlah suap dan gratifikasi yang diterima Mustafa Rp 95 miliar dalam kurun waktu Mei 2017 hingga Februari 2018.
Kasus tersebut juga menyeret mantan Pegawai Kementerian Keuangan Yaya Purnomo, yang sudah divonis 6,5 tahun penjara.
Hakim menyatakan Yaya terbukti menerima suap Rp 300 juta dari Bupati Lampung Tengah Mustafa melalui Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah Taufik Rahman.
Uang yang diterima Yaya merupakan bagian terpisah dari suap yang diterima anggota Komisi Keuangan DPR Amin Santono sebesar Rp 2,8 miliar. Amin pun telah divonis 8 tahun penjara.(*/Adyt)
JAKARTA – Mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Djadja Buddy Suhardja, mengaku menyerahkan uang sekitar Rp 700 juta kepada Rano Karno.
Uang kepada Rano yang saat itu masih menjabat Wakil Gubernur Banten diberikan secara bertahap.
“700 an lah pak. Berapa kali pak, sampai lima kali kalau enggak salah. Ada saya langsung ke rumahnya dan kantornya,” kata Djadja Buddy Suhardja saat bersaksi untuk terdakwa Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (6/1/2020).
Awalnya, jaksa KPK mengonfirmasi berita acara pemeriksaan (BAP) Djadja. Dalam BAP, Djaja mengaku menyerahkan uang kepada sejumlah orang termasuk Rano Karno. Djadja menyebut pemberian kepada Rano sebesar 0,5 persen dari nilai proyek di Dinas Kesehatan Banten.
“Kalau tidak salah satu tahun bulan berbeda. Tahun 2012 katanya Pak Rano sudah ketemu Pak Wawan di Ritz Charlton,” tutur Djaja.
Dalam BAP, Djadja menjelaskan bahwa ia beberapa kali dihubungi oleh Yadi, yang merupakan ajudan Rano Karno. Permintaan uang oleh Yadi kemudian ditindaklanjuti oleh Djadja.
Kata Djaja, ia empat kali memberikan uang kepada Rano, yang masing-masing pemberian sebesar Rp 50 juta. Selain itu, terdapat pemberian sebesar Rp 150 juta dan Rp 350 juta, yang total seluruhnya lebih dari Rp 700 juta.
“Iya pak (setiap pemberian dihubungi Yadi). Saya selalu bersama-sama (saat pemberian uang), sama ajudan dan sopir,” tutur Djadja.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK sebelumnya mendakwa Wawan melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan rumah sakit rujukan Provinsi Banten pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten APBD tahun anggaran 2012 dan APBD-P TA 2012.
Wawan juga didakwa melakukan korupsi bersama staf PT Balipasific Pragama (PT BPP) Dadang Prijatna dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan alkes Puskesmas Kota Tangerang Selatan Mamak Jamaksari yang telah divonis bersalah dalam perkara ini. Wawan selain itu juga didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).(*/Ag)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro