DEPOK – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, setelah pembangunan infrastruktur, pemerintah akan membangun sumber daya manusia (SDM) secara besar-besaran. Untuk itu, Jokowi mengingatkan pentingnya peran insan-insan pendidikan bertanggung jawab atas berhasil tidaknya pembangunan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia secara besar-besaran.
“Kita harus berubah, infrastruktur kita harus baik, sumber daya manusia kita harus baik,” kata Jokowi saat membuka Rembuk Nasional (Rembuknas) Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2019 di Pusdiklat Kemendikbud, Sawangan Depok, Jawa Barat, Selasa (12/2) siang.
Dua hal itu, infrastruktur dan sumber daya manusia, tegas Presiden, menjadi prasyarat supaya kita tidak terjebak pada negara dengan pendapatan menengah, dan tidak bisa melompat kepada negara maju.
Oleh sebab itu, menurut Jokowi, mulai tahun ini dan mungkin tahun depan, pemerintah akan besar-besaran refocusing anggaran untuk masuk kepada pembangunan sumber daya manusia.
“Apa yang kita kerjakan? Pelatihan vokasi, pendidikan vokasi, politeknik, upgrading skill, BLK pondok pesantren, semuanya harus kita kerjakan,” ujarnya.
Untuk itu, okowi meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar kewenangan pendidikan, urusan pendidikan daerah (kabupaten, kota, provinsi) dan pusat ini harus betul-betul jelas.
“Apa yang menjadi tanggung jawab provinsi, kota dan kabupaten, apa yang menjadi tanggung jawab menteri. Harus jelas, terkonsolidasi, dan terkoordinasi dengan baik,” tegas Presiden Jokowi.
Presiden meminta sekolah vokasi, SMK-SMK, guru-gurunya harus diupgrade, terutama yang berkaitan dengan kemampuan skill, kemampuan guru-guru dalam melatih siswanya. Guru yang terampil harus lebih banyak daripada guru yang normatif.
“Guru normatif misalnya guru agama, guru Pancasila, guru Bahasa Indonesia. Guru normatif di SMK juga penting, tapi informasi yang saya terima, guru normatif ini justru persentasenya lebih banyak yaitu 65 persen.
Ini tugas kementerian, tugas Bapak-Ibu sekalian untuk menyiapkan ini, meng-upgrade agar guru-guru yang bisa melatih, guru-guru yang terampil itu lebih banyak,” paparnya.(*/Idr)
MAMUJU – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, tradisi membaca atau literasi yang baik akan melahirkan masyarakat yang berkarakter, cerdas dan kritis.
“Saya ini orang kampung. Walau dulu membaca di kampung hanya pakai pelita, tetapi literisasi yang kuat jadi modal kuat bagi saya berkompetisi di Jakarta. Tradisi membaca dengan kuat itulah modal yang aku miliki,” kata Fahripada acara Ngobrol Inspiratif “Bincang Literasi” di warung kopi Teras Mamuju di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (11/2).
Dahulu, tambah Fahri, orang membaca buku ada pengantar, pendahuluan, isi dan kesimpulan namun saat ini muncul tradisi menulis pendek melalui media sosial.
Menurut dia, tradisi menulis pendek itu akan melahirkan manusia berpikiran pendek, tidak mengerti bagaimana melahirkan sintesa dan memunculkan kesimpulan sehingga tidak ada alur diskusi dan dialektika yang baik.
Karena itu, dia mengkritisi kurangnya dukungan dari pemerintah melalui arah kebijakan turut merendahkan budaya literasi di masyarakat.
Salah satu yang menghambat munculnya budaya literasi, menurut Fahri, adalah pelarangan buku dan tidak adanya contoh dari pemerintah bagaimana membudayakan membaca di masyarakat.
“Bagaimana mau mengampanyekan literasi kalau konsepnya saja tidak ada. Itu yang membuat kita sulit. Kegandrungan nasional akan literasi masih rendah, lalu sekarang ditambah dengan hilangnya buku,” terang Fahri.
Kondisi ini pun, lanjut legislator dari Dapil NTB itu, diperparah dengan munculnya upaya kriminalisasi terhadap seorang yang menuliskan gagasannya dalam tradisi teks pendek dengan dikenakan pasal pidana pelanggaran UU ITE.
“Seharusnya, pemerintah menyadarkan masyarakat untuk kembali kepada tradisi literasi, misalnya buku apa yang harus dibaca masyarakat seperti menggandrungi teks lama dan membaca sejarah secara utuh,” harapnya.
Fahri berpendapat pemimpin bangsa seharusnya mengambil posisi penting dalam tradisi literasi yaitu berbicara secara lantang terkait arah bangsa dan mengirimkan sinyal tersebut kepada bangsa lain.
“Soekarno ketika di dalam penjara dan di pengasingan di Bengkulu, Ende dan Bandung, mampu mengirimkan sinyal kepada bangsa lain. Kita butuh pemimpin raksasa dalam ide dan pemikiran yang memukau dunia,” katanya.(*/Im)
JAKARTA – Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Bowo Irianto mengatakan pihaknya akan merehab total 132 sekolah pada tahun 2019. Dalam pembangunansekolah yang direhab, Pemprov akan menonjolkan kearifan budaya lokal dengan sentuhan kedaerahan.
“Ya kita memang memiliki nuansa dan sentuhan kedaerahan,” katanya di Jakarta,(7/2/2019).
Ia menjelaskan, di setiap sekolah yang direhab nantinya akan dipasangi ornamen-ornamen khas budaya Betawi. Ini dilakukan karena Jakarta adalah tuan ruymah budaya Betawi.
“Seperti itu. Sekolah yang direhab dan dibangun baru di Jakarta akan ada ornamen-ornamen Betawi. Jakarta menjadi tuan rumah budaya Betawi. Kita adaptif terhadap masukan-masukan siapa pun,” ulasnya.
Diberitakan sebelumnya, Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Bowo Irianto mengatakan tahun 2019 ini Pemprov DKI sudah menargetkan untuk melakukan rehabilitasi atau renovasi sebanyak 123 sekolah.
“Rehap total 132 sekolah. SD, SMP dan SMA. Tetapi mayoritas itu SD,” katanya.
BEKASI – Atap dua kelas di SDN 01 Cicau, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi ambruk. Akibatnya, kegiatan belajar-mengajar kini diungsikan ke ruang olah raga di kantor desa setempat. Tidak ada meja dan kursi di ruangan tersebut.
Kedua ruangan yang beratap ambruk itu biasa digunakan siswa kelas IV dan V. Menurut kepala sekolah, ambruknya atap terjadi pada Jumat 1 Februari 2019. Ketika itu, hujan lebat mengguyur sejumlah wilayah di Kabupaten Bekasi, terutama di Cikarang Pusat.
“Untungnya, memang saat ambruk itu malam jadi ruangan kosong. Kalau siang, mungkin ceritanya berbeda,” kata Kepala SDN 01 Cicau, Endah Sulyana, Selasa (5/2/ 2019).
Endah mengatakan, ada 120 siswa yang belajar di dua kelas tersebut. Kini mereka terpaksa belajar di lantai karena ruang guru yang digunakan tidak memiliki kursi dan meja yang memadai.
Menurut Endah, ruangan yang ambruk itu merupakan bangunan lama yang telah berumur 14 tahun. Dua ruangan tersebut dibangun pada 2005 dan tak pernah dibenahi hingga kini. Akibatnya, terdapat kerusakan di sejumlah bagian, terutama di kerangka atap dan genting.
Endah mengatakan, kayu yang menyangga atap telah keropos. Sebelum peristiwa ambruknya atap, sekolah telah melaporkan kondisi tersebut kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi.
Tidak ada tanggapan hingga atap akhirnya ambruk.
“Saat keropos, sudah kami laporkan, sampai saat ambruk pun sudah kami laporkan. Karena belum ada respons, jadi kami biarkan agar saat Disdik datang dapat melihat kondisi atap yang ambruk. Untungnya tidak terkena siswa,” ucapnya.
Endah menjelaskan, pada 2015 lalu, sekolah telah mengajukan penambahan ruang kelas baru. Namun, ketika itu muncul wacana pelebaran jalan di depan sekolah.
Sekolah lantas mengajukan relokasi agar saat dilakukan pelebaran jalan, aktivitas sekolah tidak terganggu. Hanya, kedua pengajuan tersebut tidak ditindaklanjuti.
“Memang ada rencana pelebaran jalan, makanya sekolah perlu direlokasi ke lapangan sepak bola Wijaya Kusuma yang lokasinya berada di belakang sekolah.
Jika tidak direlokasi, kami perlu penambahan ruang kelas karena jumlah siswa dan ruang kelas tidak seimbang, tapi penambahan tidak, relokasi juga tidak, sampai ambruk. Kami harap ada titik terang karena siswa perlu fasilitas yang memadai untuk belajar,” tandasnya.(*/Eln)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin menghapus sistem pemeringkatan akreditasi sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kastanisasi antarsekolah yang menjadi inti dari semangat digulirkannya penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi. Kendati demikian, wacana menghapus pemeringkatan akreditasi ini perlu persetujuan dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM).
Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, ke depan, kualitas sekolah cukup diklasifikasikan dalam kelas terakreditasi dan tak akreditasi. Bukan seperti sekarang, kualitas sekolah dibagi ke dalam akreditasi A, B, C dan tak terakreditasi. Menurut dia, mengganti sistem akreditasi juga akan berdampak pada pemerataan distribusi kursi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
“Sudah saya minta, mudah-mudahan segera ditindaklanjuti, tidak ada lagi nanti akreditasi A B C itu. Yang ada hanya accredited dan non-accredited. Sehingga nanti kami akan fokus membenahi yang non-accredited, dan nanti diberi tempo sekian lama,” kata Muhadjir di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis 31 Januari 2019.
Ia menjelaskan, sekolah yang tidak memiliki sarana prasarana memadai, infrastruktur, kecukupan guru dan elemen lainnya akan dikategorikan tak terakreditasi. Ia yakin, dengan sistem tersebut, kastanisasi kualitas sekolah akan hilang.
“Selama ini kan di masyarakat suka beranggapan begini, misalnya, nilai 8 di sekolah yang akreditasi B atau C, sama dengan nilai 4 di sekolah akreditasi A. Kan ini tidak benar,” ujarnya.
Berdasarkan data dari BAN-SM, akreditasi tingkat sekolah dasar dan menengah sederajat hingga Desember 2018 didominasi peringkat B, yakni sebesar 55,31%. Dari 51.979 sekolah yang terakreditasi, hanya 20,51% sekolah yang mengantongi akreditasi A. Dengan rincian, pada jenjang SD/MI hanya 19,77%, SMP/MTs 20,85%, SMA/MA 27, 29% dan SMK 18,06%.
Ketua BAN-SM Toni Toharudin menyatakan, berdasarkan hasil tersebut, pihaknya meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kualitas guru selain fokus menggenjot pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Pasalnya, kualitas guru dan tenaga kependidikan, terutama pada jenjang SD/MI masih di bawah nilai rata-rata standar nasional.
“Tingkat pemenuhan standar yang rendah pada pendidik di antaranya karena rendahnya guru yang memiliki sertifikat pendidik. Selain itu, rendahnya kepemilikian sekolah terhadap tenaga perpustakaan yang memenuhi kualifikasi,” tandasnya.(*/Ind)
BOGOR – Sangat tidak mendidik apa yang dilakukan oleh pihak sekolah disebabkan terlambat untuk membayar SPP.
Bupati Bogor, Ade Yasin merespon tegas adanya kabar siswa yang dihukum push up karena belum membayar SPP di Bojonggede, Kabupaten Bogor.
Bahkan, Ade Yasin sudah memerintahkan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor untuk melakukan peneguran terhadap sekolah.
Menurutnya, hal tersebut masih bagian dari tanggungjawabnya meskipun sekolah tersebut merupakan sekolah Islam yang kewenangannya di bawah Kemenag.
“Disdik (Dinas Pendidikan) sudah diperintahkan untuk menegur. Itu gak boleh terjadi lagi di Kabupaten Bogor,” kata Ade saat ditemui wartawan di Pendopo Bupati Bogor, (29/1/2019).
• Penjelasan Kepsek di Bojonggede Terkait Adanya Siswa yang Dihukum Push Up Karena Belum Lunasi SPP
• Kabar Siswa SD Disuruh Push Up, Orangtua Sebut Anaknya Trauma dan Ungkap Kejadian Sebenarnya
Ia mengatakan bahwa pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan Pihak Kemenag.
Ia berharap, peristiwa ini tidak kembali berulang terlebih ia kini tengah menggalakan progam agar anak-anak di Kabupaten Bogor mau sekolah.
“Ke Kemenag juga sudah disampaikan, akan ditindak lanjuti. Kan kita juga lagi program supaya anak-anak mau sekolah sudah kita galakkan, jangan sampai yang sudah sekolah jadi begini, tidak hanya Kemenag, tapi tugas kita juga,” tandasnya.(*/DP Alam)
BOGOR – Sangat terlalu perlakuan dari pihak sekolah seorang siswi sekolah dasar (SD) swasta dihukum push-up 100 kali karena belum melunasi uang sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP.
Orangtua GNS tak punya biaya sehingga belum melunasi biaya pendidikan. Karena hukuman tersebut, GNS (10) trauma berat hingga tidak mau lagi datang ke sekolah.
GNS mengatakan, peristiwa itu dialaminya pada pekan lalu, di salah satu sekolah kawasan Bojonggede, Kabupaten, Bogor.
“Lagi belajar tiba-tiba dipanggil kakak kelas, untuk menghadap kepala sekolah, enggak tahu kenapa,” ucap GNS di di kawasan Kampung Sidamukti, RT 005 RW 010, Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Setelah menghadap ke kepala sekolah, GNS diminta push-up 100 kali.
“Yang nyuruh kepala sekolah. katanya belum dapat kartu ujian soalnya belum bayaran,” kata GNS dengan mata berkaca-kaca.
Menurut dia, hukuman push-up bukan kali ini diterimanya. Ia sudah dua kali dihukum seperti itu. Selain itu, kata dia, siswa lain pun ada yang dihukum sama dengannya.
“Pernah lagi waktu itu dihukum push up, tetapi cuma disuruh 10 kali. Dari kelas aku ada dua orang lagi yang disuruh push-up,” ucap dia.Akibat push-up ini, GNS mengalami sakit pada perutnya.
Ia pun takut bersekolah lagi.
“Saya takut, takut disuruh push-up lagi (kalau datang ke sekolah),” ujar dia.
Kejadian yang menimpa GNS ini membuat pihak keluarga berencana memindahkannya ke sekolah lain.
Pihak keluarga berharap, tidak ada lagi siswa di sekolah tersebut yang diperlukan demikian.
“Semoga tidak ada lagi yang diperlakukan seperti adik saya ini. Kasihan sudah 10 hari enggak mau sekolah dan enggak mau ketemu orang,” ucap kakak dari GNS yang enggan disebutkan namanya.
Kepala Sekolah SDIT Bina Mujtama, Budi, membenarkan adanya hukuman push-up yang dilakukan oleh pihaknya kepada GNS.
Budi mengatakan, hukuman tersebut dilakukan karena GNS belum melunasi SPP selama berbulan-bulan.
“Sudah sangat banyak sih hampir 10 bulan lebih sih belum bayaran bahkan sudah sampai setahun dua tahun gitu,” ucap Budi.
Ia mengatakan, hukuman tersebut sebagai bentuk shock therapy pada GNS agar orang tuanya hendak melunasi SPP.
“Jadi hanya shock therapy kita panggil saja, jadi memang kita lakukan (suruh push up) tapi tidak sampai sebanyak itu (100 kali) cuma 10 kali kok terus kita ajak ngobrol lagi anaknya.
Kita juga mengerti kondisinya anak-anak masak kita suruh sampai sebanyak itu,” tutur Budi.(*/DP Alam)
BOGOR – Para siswa SDN 5 Neglasari, Dramaga, Kabupaten Bogor terpaksa belajar bergilir saat mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah mereka, (28/1/2019).
Selain itu, sekolah tempat mereka belajar pun masih terdapat banyak puing-puing bangunan yang berserakan pasca ambruk pada Jumat (25/1/2019) lalu.
“Belajar mengajar (shift) di pagi dan siang. Pagi itu kelas 1, 2, 5 dan 6, terus siang itu kelas 3 dan 4,” kata salah satu guru SDN 5 Neglasari, Dudi Setiawan, kepada wartawan, Senin (28/1/2019).
Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan belajar mengajar juga cukup memakan waktu.
Karena selian bergiliran antar kelas, para siswa juga harus bergiliran antar rombongan belajar (rombel).
“Yang kelas 1, 2, 5, 6 itu dua kali masuk. Pertama kelas A baru kelas B,” katanya.
Ia mengaku belum tahu pasti sampai kapan kondisi ini akan berlangsung.
Selain itu, ia juga berharap perbaikan atap kelas yang ambruk diterpa hujan deras ini bisa segera diperbaiki agar belajar mengajar para siswa kembali normal.
Diberitakan sebelumnya, atap bangunan kelas SDN 5 Neglasari, di Kampung Cikiruh Kaum, RT 05/02, Desa Neglasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor roboh, Jumat (25/1/2019).
Pantauan dilapangan, atap bangunan sekolah yang roboh ini berjumlah 4 ruangan terdiri dari 3 kelas dan 1 ruang guru.(*/Ade)
BANDUNG – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberi lampu hijau kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menyesuaikan mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sesuai dengan kondisi setempat. Jalur zonasi kemungkinan tak diterapkan 90 persen seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku sudah bertemu dengan Mendikbud Muhadjir Effendy. “Arahannya, sesuaikan dengan kondisi di daerah, jadi tidak saklek,” katanya saat ditemui usai membuka Pameran Foto Arke di Kantor Berita Antara Bandung, Kamis, 24 Januari 2019.
Ia mengatakan, teknis PPDB yang menjadi kewenangan Pemprov Jabar baru akan dirapatkan pekan ini. “Masih akan dirapatkan, saya belum punya jawaban teknis,” ujarnya.
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 menyebut tiga jalur pendaftaran PPDB yaitu zonasi paling sedikit 90 persen, prestasi paling banyak 5 persen, dan perpindahan tugas orang tua paling banyak 5 persen.
Mekanisme PPDB ini tidak berlaku untuk SMK, sekolas swasta, sekolah layanan khusus, sekolah pendidikan khusus, sekolah berasrama, dan sekolah di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Permendikbud ini juga memuat sanksi atas pelanggaran ketentuan ini. Kementerian Dalam Negeri bisa menegur kepala daerah yang membuat aturan tidak sesuai dengan mekanisme. Pemerintah pusat juga bisa mengurangi dana bantuan dari pemerintah pusat ataupun Bantuan Operasional Sekolah untuk pelanggaran di pasal tertentu.
Ridwan mengatakan, jika diterapkan sama percis dengan Permendikbud, sekolah-sekolah yang dibangun sejak masa kolonial seperti SMA 3 dan SMA 5 tidak akan mendapat siswa. Sebab sekolah-sekolah itu tidak berada di are pemukiman warga.
“Kalau menggunakan 90 persen zonasi, SMA 3 dan 5 enggak ada siswanya. Kalau teorinya jarak kilometer, SMA itu enggak ada siswanya,” tuturnya.
Meski begitu, Emil tetap menyatakan kesetujuannya PPDB dengan sistem zonasi ini. Menurut dia, biaya pendidikan tertinggi di Jawa Barat untuk kebutuhan transportasi. Jarak yang jauh antara rumah dan sekolah membuat orangtua harus mengeluarkan biaya lebih untuk ongkos. Selain itu, jarak yang jauh menyebankan tingkat stres anak tinggi.
“Aturan itu betul, tapi akan disesuaikan,” pungkasnya.(*/Hend)
JAKARTA – Pengawasan ketat harus dilakukan terhadap dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah pusat. Langkah ini untuk mengantisipasi dana bantuan itu menjadi bancakan oknum pendidik.
Permintaan tersebut dilontarkan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, mengingat besarnya kucuran dana bantuan pendidikan yang diberikan pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta.
“Harus diawasi ketat karena dananya begitu besar. Dana BOS rawan diselewengkan. Kami mendengar penggunaan dana bantuan itu banyak yang bocor,” tegas Prasetyo, (24/1).
Politisi PDI Perjuangan ini mengungkapkan adanya kebocoran terhadap dana BOS bisa saja terjadi.
“Dana BOS diberikan kepada sekolah untuk menunjang operasional pendidikan. Bagaimana pengawasannya. Apakah besaran dana BOS yang diberikan sesuai dengan apa yang digunakan?,” tanyanya.
Seperti yang diterima siswa di Jaktim. Dana BOS saat ini digunakan sekolah untuk menyediakan buku pelajaran tematik. Buku yang dipinjamkan ke siswa itu, digunakan agar anak-anak sekolah tak perlu repot membeli buku pelajaran lain.
“Karena sekolah dapat dana BOS, ya jadinya siswa nggak perlu membeli buku lagi,” tutur Reina, 35, orangtua siswa.
Sebelumnya, para siswa dibebani dengan membeli lembar kerja siswa (LKS) yang dirasakan cukup berat. “Sekarang anak sekolah. modal kami cuma kasih ongkos saja. Nggak ada beli apa-apa,” ucap Reina.
Menurut orangtua siswa kelas 3 SD ini, selama anaknya duduk di sekolah di kawasan Makasar, Jaktim, tak dipungut biaya serupiah pun. Bahkan bantuan dari Pemprov DKI Jakarta seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga dirasa sangat membantu.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bowo Irianto mengaku telah mengambil langkah adanya upaya penyelewengan dana BOS di sekolah. Upaya itu melalui aplikasi Siap BOS.
Dimana melalui aplikasi tersebut setiap sekolah wajib melaporkan berbagai kegiatan belanja yang menggunakan dana bantuan pemerintah pusat tersebut. “Dengan aplikasi ini semua bisa terpantau,” tegasnya.
Lebih lanjut Bowo menjelaskan, dana BOS berbeda dengan KJP Plus. Dana BOS tidak diberikan langsung ke siswa. Melainkan diberikan kepada sekolah untuk mendukung proses belajar mengajar.
Besarannya pun masing-masing sekolah disesuaikan dengan jumlah siswa yang ada. “Uang yang diberikan ke siswa hanya KJP Plus,” ungkapnya.
Kendati demikian Bowo mengajak warga untuk turut mengawasi dana BOS tersebut. “Biaila mengetahui ada penyimpangan, silakan langsung lapor ke dinas, pasti ditindak tegas,” tandasnya. (*/Nia)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro