SI MISKIN MAKIN DILARANG SAKIT
BOGOR - Istilah orang miskin kembali mencuat. Penyulutnya tak lain adalah keputusan Pemerintah menaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hal itu berlaku untuk semua segmen peserta BPJS. Bahkan hingga masyarakat yang mendapatkan bantuan atau BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dari informasi yang didapat, kenaikan iuran hampir menyentuh angka 100 persen. Untuk Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas 3, dari Rp25.000 menjadi Rp42.000. Iuran peserta kelas 2, dari Rp51.000 menjadi Rp110.000.
Dan untuk Kelas 1, dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Sedangkan untuk peserta PBI, dari Rp23.000 menjadi Rp42.000. Kenaikan iuran PBI ini yang berasal dari anggaran pemerinyah ini berlaku surut pada 1 Agustus 2019.
Menyikapi hal ini, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bogor, Ruhiyat Sujana mengaku miris. Sebab, kebijakan ini dinilainya kian menguatkan stigma buruk terkait implementasi 'kartu sakti' dibidang kesehatan tersebut. Dimana anekdot 'orang miskin dilarang sakit' semakin jadi gambaran jika kebijakan pemerintah sangatlah tidak berpihak terhadap masyarakat bawah.
Kondisi ini diperburuk dengan tak sebandingnya kualitas pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS, khususnya warga kelas III. Sebab, diakui Ruhiyat, sejauh ini pelayanan rumah sakit terhadap masyarakat peserta BPJS masih sangat banyak catatan negatif.
Terbukti dari laporan yang diterimanya, yang paling parah adalah ketidakpastian pelayanan rumah sakit saat melayani peserta BPJS terlebih dengan dalih adanya tunggakan yang dilakukan peserta BPJS.
"Artinya, dengan iuran yang semula pun banyak masyarakat yang tidak mampu membayar hingga berdampak kepada ditolaknya peserta karena menunggak pembayaran. Mereka baru bisa dilayani kalau sudah membayar," cetus Ruhiyat.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan Cibinong belum lama ini, di Kabupaten Bogor dari 3.367.585 peserta, ada sekitar 253 ribu Kepala Keluarga atau sekitar 593 ribu orang yang masih melakukan tunggakan.
Kata Ruhiyat, jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan bertambah seiring naiknya iuran BPJS ini. Maka, perlu formulasi yang harus diambil pemerintah agar pelayanan terhadap masyarakat tetap bisa berjalan.
"Data penerima bantuan juga harus diperbaharui setiap tahunnya. Karena kondisi di lapangan masih banyak masyarakat yang seharunya dapat, malah tidak dapat bantuan. Ini menjadi PR kita," kata Ruhiyat.
Bahkan, sambungnya, semenjak BPJS terbentuk, masyarakat malah terkesan ketakutan. Karena mau tidak mau mereka harus membuat BPJS demi mendapatkan pelayanan dengan harapan pembayaran dengan harga murah bahkan ditanggung pemerintah.
Ruhiyat menilai, sistem BPJS sangat jauh dengan apa yang dulu telah diterapkan pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesmas-Jamkesda) yang sudah terbukti berhasil dan tidak pernah defisit sejak 2005 hingga 2013.
"Kenyataannya BPJS malah tidak seperti yang diharapkan. Menurut saya ini jelas membebankan masyarakat. Kami ingin ada peran pemerintah daerah masuk memberikan jaminan untuk tidak memberatkan. Kami di dewan siap mendorong untuk kesejahteraan khususnya di sektor pelayanan kesehatan. Dan kami ingatkan pelayanan prima harus tetap diberikan. Sebab saya harap aturan bisa berjalan fleksibel sesuai keadaan," tegas Politisi Demokrat ini.
Sementara itu, Humas BPJS Kesehatan Cibinong, Wahyo Biantoro saat dimintai tanggapan terkait hal ini menjawab akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kepala Cabang. "Nanti saya jadwalkan dengan Kacab ya," singkatnya dalam pesan WhatsApps. (Fuz)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro