JAKARTA – Jessica Mila mengalami penyiksaan hingga badannya penuh lebam. Tubuhnya sempat dibanting berulang kali sehingga ia merasa kelelahan.
Peristiwa itu merupakan bagian dari adegan dalam film horor Mata Batin 2. Dara 26 tahun ini kembali terlibat dalam film sekuel berjudul sama yang sebelumnya meraih 1,2 juta penonton.
“Kalau luka itu pasti biru-biru dan lebam-lebam. Tapi enggak apa-apa, aku sudah biasa,” kata Jessica Mila di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat, (4/12/2018).
Dalam film ini, Jessica berperan sebagai Alia. Pada film sekuelnya, dia banyak melakukan adegan laga yang cukup menguras energi.
“Film yang kedua ini lebih capek karena banyak action-nya banyak adegan lari dan teriak. Terus aku dibanting-banting, jadi kayaknya itu capek banget film ini sampai lemas,” ujarnya.
Meski banyak adegan yang cukup menantang, Jessica mengaku antusias. Terlebih setelah melihat trailer film tersebut.
“Aku ada scene yang berat. Kayak kesurupan, itu kan menguras energi banget dan menurut aku itu amat menantang walaupun capek disiksa sampai lemas,” ujarnya lagi.
“Syuting juga sampai malem. Ada adegan yang berat banget dan itu scene yang terakhir, aku sampai harus loncat, dibanting, dilempar, dan segala macem. Sampai kondisi badan aku lemas,” imbuhnya.
Selain Jessica Mila, film Mata Batin 2 juga dibintangi oleh Sophia Latjuba, Jeremy Thomas, Nabilah Ayu eks JKT48, dan Bianca Hello. Film ini dijadwalkan tayang bioskop Tanah Air pada 17 Januari 2019. (*Ind)
CALON Presiden petahana Joko Widodo sepertinya sedang galau, bagaimana tidak upaya kubu petahana dalam satu tahun terahir untuk mencitrakan diri terkesan dekat dengan umat Islam tiba-tiba saja buyar dalam sekejap. Reuni Akbar Mujahid 212 adalah salah satu pokok perkaranya.
Upaya serius Jokowi untuk meredam citra negatif terhadap pemerintahannya satu tahun terakhir sangat gencar dilakukan. Citra rezim anti Islam dan tuduhan mengkriminalisasi ulama menjadi titik lemah Jokowi untuk kembali terulang pertarungan lama head to head antara Jokowi vs Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang.
Sadar akan citra negatif tersebut, Jokowi dan partai pengusungnya melakukan pendekatan yang intensif kepada simpul-simpul basis massa pemilih muslim.
Kunjungan ke pesantren menjadi agenda rutin sang presiden dengan intensitas yang cukup tinggi untuk kembali meyakinkan para ulama dan kiai di pesantren bahwa pemerintahannya berpihak pada umat dan bukan anti Islam seperti yang dituduhkan selama ini.
Salah satu bukti keberpihakan Jokowi terhadap umat, menit-menit terahir (last minute) Jokowi memutuskan memilih ulama yaitu Kiai Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendampingnya.
Pilihan politik ini tentu punya motif yang sangat jelas, Jokowi ingin meredam sentimen anti Islam yang dicitrakan pada dirinya dan sekaligus merespons isu SARA yang dituduhkan selama ini.
Apakah Ma’ruf Amin sebetulnya gagal atau berhasil dongkrak elektabilitas Jokowi di mata umat? Saya mencermati Kiai Ma’ruf Amin yang diharapkan Jokowi mampu mengambil empati ceruk segmen pemilih muslim dianggap belum berhasil, belum menemukan isu dan momentumnya, kesimpulan yang tidak terlalu prematur.
Apakah ada aroma politis dalam Reuni 212? Saya katakan tentu ada, gerakan moral melawan kriminalisasi ulama, penistaan agama dan ghiroh persaudaraan, persatuan sesama umat adalah agenda utamanya. Sementara konsolidasi politik mengarah pada salah satu capres hanya bagian dari bonus saja.
Penolakan secara halus dengan pelbagai alasan penyelenggara Reuni 212 sehingga tidak jadi mengundang Jokowi dalam acara tersebut jelas bau amis aroma politisnya. Hilang aroma politisnya apabila Jokowi dan Prabowo hadir dalam reuni tersebut, menyusun kata dan diksi yang meneduhkan, menyejukkan dan menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Prabowo hadir, apakah Prabowo diuntungkan secara elektoral? Prabowo mendapat panggung sehingga tercitrakan sebagai capres yang empati, peduli dan bagian dari umat, hadir memberikan semangat, menyapa dan menyalami massa Reuni 212.
Prabowo angkat topi dan sangat bangga dengan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Itu yang saya maksud bahwa Prabowo cukup berhasil memainkan, mengelola perasaan sentimen umat.
Pertanyaan sederhana, seberapa besar pengaruh massa alumni 212 dalam Pilpres 2019? Benarkah suara mereka lebih cenderung ke Prabowo? Sulit secara logika sehat massa reuni 212 memilih Jokowi.
Ada hubungan kausalitas sebab akibat, karena pemerintah terkesan membiarkan kriminalisasi terhadap ulama dan penistaan agama terus berlanjut, sehingga memantik gerakan reuni massa 212 terulang dan nampaknya akan terus membesar sampai menemukan titik momentumnya, yang jelas massa reuni 212 anti tesis dari Jokowi, mereka menyampaikan pendapat, pikiran, aspirasi dan berkumpul dalam peristiwa tersebut.
Ketidakhadiran Jokowi dalam Reuni 212 apakah merugikan elektabilitas Jokowi? Tentu sangat merugikan dirinya, dimana panggung “gratis” umat Islam menjadi milik Prabowo, alumni 212 dan umat Islam semakin solid menguatkan dukungannya pada Prabowo karena soal sikap dan keberpihakan Prabowo terhadap umat.
Tidak bisa dinatikan show of force Reuni 212 mengerdilkan Jokowi, acara peringatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal dihadiri sedikit orang. Jokowi tidak bisa menandingi ghiroh Reuni 212. Lagi-lagi langkah keliru, salah langka (jebakan batman) menggapa Jokowi harus menghadiri hajatan Maulid Nabi di Masjid Istiqlal yang waktunya bersamaan dengan konsolidasi massa Reuni 212?
Semestinya Jokowi jangan membiarkan panggung “besar” umat Islam tersebut dinikmati Prabowo. Dengan kehadiran Jokowi dapat dipastikan panggung itu akan menjadi miliknya layaknya aksi 212 terdahulu, semua sorot mata dan kamera akan tertuju pada Jokowi, Prabowo hanya akan menjadi pelengkap saja.
Tidak hanya itu, kehadiran Jokowi dalam Reuni tersebut bisa menjadi pertimbangan kembali sebagian massa Reuni 212 memilih Jokowi. Namun setelah Jokowi tidak hadir dalam peristiwa monumental Reuni 212, sudah dipastikan massa Reuni 212 dan umat Islam semakin mantap meninggalkan Jokowi.
Nasi sudah jadi bubur, momentum politik sudah berlalu dan Prabowo mendapat poin istimewa. Selain Prabowo menemukan momentumnya dan berhasil melakukan konsolidasi politik menjelang hajatan Pilpres lima tahunan.
Jokowi dan timnya harus harus mengakui kepiawaian dan kemahiran tim lingkaran Prabowo menggoreng sintemen dan berselancar dengan papan isu.
Tidak ada kata lain selain tim Jokowi segera berbenah diri dan lebih jeli membaca fenomena dan peristiwa penting hajatan politik jika tidak ingin terus-terusan tergilas oleh kuatnya arus yang meng-inginkan perubahan.
Kita juga patut apresiasi sikap pemerintah yang tidak menghalang-halangi, tidak represif dan reaktif, menjamin keamanan peserta Reuni 212 sehingga pulang dengan selamat ke rumah masing-masing.
Pemerintah sudah memberikan ruang yang cukup luas bagi umat Islam untuk kebebasan berpendapat (freedom of expression), kebebasan berbicara (freedom of speech), bergerak dalam persaudaraan (solidarity) sesama umat dengan tetap menyematkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Semoga, Islam rahmatal lil alamin terwujud di Bumi Indonesia, setia menjaga Pancasila, persatuan, kebhinnekaan, toleransi, pluralisme dan keberagaman.*****
Pangi Syarwi Chaniago
Analis politik, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
SAYA pemegang polis asuransi Prudential dengan nomor kartu 09249671. Saya sangat kecewa sekali dengan layanan Prudential. Pada hari Selasa tepatnya 16 Desmber 2014 saya mendatangi kantor pusat Prudential di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan untuk melakukan penutupan polis asuransi saya.
Hingga kini saya sudah ikut asuransi Prudential selama 2 tahun dan dalam perjanjian asuransi, saya berhak mengambil uang tabungan saya jika saya sudah membayar asuransi selama 2 tahun. Alasan saya menutup polis dikarenakan saya tidak mampu lagi membayar asuransi tersebut dan ingin menutupnya. Karena perjanjian asuransi tersebut selama 10 tahun maka jelas jika saya menutup polis uang asuransi jiwa saya dinyatakan hilang namun tidak untuk uang tabungan saya.
Pada saat saya mendatangi counter 6, pihak Prudential menyatakan bahwa saya akan menerima Rp. 1,3 juta. Namun bila saya berhenti saya tidak dapat satu sen pun. Sementara jumlah uang tabungan yang harusnya saya terima dalam perjanjian bukan demikian jumlahnya.
Yang saya pertanyakan mengapa jika saya berhenti saya tidak dapat satu sen pun padahal saya sudah membayar selama 2 tahun dan mengapa jika saya lanjut saya hanya menerima Rp 1,3 juta? Jelas sebagai nasabah saya merasa sangat dipermainkan dan dirugikan secara moral dengan jawaban seperti itu. Saya hanya meminta hasil keringat saya dalam tabungan. Mudah-mudahan dengan adanya surat yang saya kirim mendapat informasi yang detail mengenai pengaduan saya. Terima kasih kepada sudah menayangkan keluhan saya.
Nila Melati,
Pondok Ungu Permai, Kaliabang Bekasi Utara
Editor: Andy Pribadi
APA pesan penting yang sampai kepada Presiden Jokowi pasca Reuni 212 yang sangat sukses? Pertama, Jokowi gagal mengkooptasi sekaligus memecah soliditas umat. Kedua, kekuasaan tidak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat. Ketiga, Jokowi dan pemerintah tengah menghadapi pembangkangan dari masyarakat (civil disodibience).
Kubu pendukung pemerintah pasti sangat kaget dengan fakta bahwa reuni 212 kali ini dihadiri oleh peserta jumlah luar biasa besar. Ada yang menyebut lebih besar dari Aksi 212 yang dulu diklaim mencapai 7 juta peserta.
Lepas berapapun jumlahnya, satu hal yang tidak bisa dibantah, jumlahnya benar-benar bikin kaget. Monas dan kawasan sekitarnya benar-benar berubah menjadi lautan putih.
Bagaimana tidak mengagetkan? Jokowi secara sistematis mencoba mematahkan perlawanan umat dengan strategi rangkul dan pukul. Mereka yang tidak bisa dirangkul akan menghadapi pukulan keras yang sering disebut sebagai kriminalisasi.
Jokowi berhasil merangkul Kyai Ma’ruf Amin sebagai cawapres. Ma’ruf adalah pentolan GNPF MUI. Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf mengeluarkan fatwa Ahok telah menista agama. Fatwa itulah yang mendorong serangkaian Aksi Bela Islam (ABI) dan puncaknya adalah Aksi 212.
Ma’ruf dipilih karena latar belakangnya sebagai pengurus puncak Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, Jokowi berharap mendapat dukungan dari warga nadliyin.
Melihat suasana pada reuni 212 terlihat jelas mayoritas warga yang hadir berlatar belakang nahdliyin. Warga berbondong-bondong memadati Monas sambil melantunkan salawat nabi yang menjadi salah satu tradisi penting kaum nahdliyin. Sejumlah anak cucu pendiri NU yang dikenal sebagai kubu kultural diketahui juga hadir dalam reuni tersebut.
Jokowi juga merangkul sejumlah ulama berpengaruh yang sebelumnya menjadi pendukung Aksi 212 seperti TGB Zainul Majdi, dan Yusuf Mansur. Terakhir Jokowi juga berhasil merangkul Yusril Ihza Mahendra. Semua tokoh tidak berhasil menggoyahkan konsolidasi umat. Yang terjadi mereka malah ditinggalkan umat.
Figur seperti TGB, Yusuf Mansur, dan Yusril menjadi bulan-bulanan caci maki, dan bullyan di media sosial. Secara politik mereka sudah tidak ada gunanya bagi Jokowi. Baik sebagai endorser, apalagi menjadi penarik suara (vote getter). Yusril bahkan terancam dikudeta dari posisi Ketua Umum PBB. Mereka menjadi kartu mati.
Jokowi juga tidak berhasil melumpuhkan perlawanan para ulama. Rezim Jokowi berhasil membuat Habib Rizieq tokoh sentral gerakan 212 hijrah ke Arab Saudi, karena berbagai kriminalisasi. Posisi Habib Rizieq bahkan semakin penting. Posisinya kira-kira mulai mirip dengan pemimpin spiritual Iran Ayatulloh Khomenei ketika mengasingkan diri ke Paris.
Saat ini di GNPF MUI yang telah berubah menjadi GNPF Ulama muncul sejumlah figur idola baru di kalangan umat. Figur-figur seperti Habib Bahar Bin Smith yang memilih jalan keras, atau figur yang kocak namun tak kalah kritis dan nylekit ketika menyampaikan kritik model Ustadz Haikal Hasan Baraas.
Sejumlah akademisi dan pengamat asing menyebut Jokowi anti demokrasi dan mulai otoriter. Dia mencoba menekan para lawan politik dan pengritiknya dengan cara menakut-nakuti melalui kriminalisasi. Korbannya selain para ulama, juga para aktivis dan pegiat medsos yang kritis terhadap dirinya. Namun langkah ini tidak menyurutkan perlawanan.
Munculnya sejumlah figur kritis pasca hijrahnya Habib Rizieq menunjukkan scare management, manajemen menakut-nakuti yang dterapkan Jokowi tidak berhasil. Kesadaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, membuat banyak aktivis terus menggelorakan perlawanan.
Satu poin lain yang sampai kepada Jokowi dari Reuni 212 adalah munculnya pembangkangan masyarakat. Para peserta reuni tidak mau lagi mendengarkan himbauan para pejabat, maupun ulama yang meminta mereka untuk tidak hadir.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo misalnya telah meminta warganya untuk tidak pergi ke Jakarta. Namun ribuan warga Jatim berbondong-bondong hadir di Monas.
Nasib yang dialami oleh Ketua MUI Jabar Rahmat Syafei meminta warga Jabar tidak hadir pada reuni. Faktanya warga Jabar tercatat sebagai peserta yang paling banyak hadir di Monas, setelah warga Jakarta.
Begitu pula berbagai langkah polisi yang mencoba menghambat warga datang, mulai dari sekedar imbauan, sampai pelarangan pengusaha bus menyewakan armadanya, tak diindahan warga.
Yang paling menyedihkan adalah kegagalan Panglima TNI Hadi Tjahjanto menakut-nakuti warga dengan mengerahkan pasukan besar-besaran ke Monas, juga tidak berhasil. Yang terjadi langkah Hadi malah banyak dipertanyakan karena dikhawatirkan menyeret kembali TNI ke ranah politik praktis, dan membuat prajurit berhadapan dengan warganya sendiri.
Untungnya para peserta reuni tidak terpancing. Aparat TNI-Polri juga tidak melangkah terlalu jauh dengan melakukan provokasi yang tidak perlu.
Dari semua pesan, ada satu lagi pesan yang jauh lebih penting yang harus ditangkap Jokowi, bahwa dia sudah mulai kehilangan basis legitimasinya, setidaknya di kalangan jutaan kaum muslim, dan kelompok-kelompok agama lain yang bersimpati kepada gerakan 212. *****
Djadjang Nurdjaman
Pemerhati Politik
JAKARTA – Akris jelita Amanda Manopo (19) baru saja merampungkan perannya di film horor Leak: Kajang Kliwon. Selama syuting di Bali, dia fokus pada karakter dr Agni, sosok peran yang dilakoninya.
“Cukup sulit juga, soalnya aku harus tampil sebagai seorang dokter berusia 27 tahunan, jauh dibanding usia aku sebenarnya,” ujar Amanda.
Meski lawan mainnya adalah Crist Laurent, pacarnya sendiri, Amanda mengaku tetap profesional.
“Tentu lebih nyaman, pas kebetulan scene romantis, ya terbantulah. Pas adegan marahan kita profesional, seperti marahan beneran,” ujarnya.
Amanda yang penakut, kali ini mengaku lebih berani. “Dulu waktu syuting film horor juga, aku sampai ngga berani ke toilet sendiri.
Anehnya, aku masih terima juga film horor, apalagi kali ini bareng sama Crist, bisa lebih nyaman. Udah mulai berani dan kebetulan syuting kami lancar terus, makanya cepat kelarnya, ” terang pemain film horor Bisikan Iblis, Sajen, Boneka Abadi ini.
Selepas film Leak, Amanda langsung tancap gas siap membintangi sejumlah film baru di awal tahun depan. “Tapi jelang akhir tahun ini aku mau istirahat dulu sebentar sampai tahun baru. Udah itu baru syuting lagi, ”pungkasnya.(*Ind)
Saya nasabah dengan nomor polis3 atas nama Heriyanto sangat kecewa dengan layanan Prudential. Permasalahannya begini, saya beserta keluarga besar dan teman-teman ikut membeli polis dengan seorang salah seorang agent. Alasan kami membeli polis dengan Agent tersebut karena agen tersebut menjalin hubungan dengan saudara kami dan segera menikah karena sudah 5 tahun menjalin hubungan dan kami ingin membantu usaha mereka. Ternyata Agent itu menipu seluruh keluarga besar kami dan hanya memanfaatkan saudari kami.
Setelah tabungan dan bonus selama 8 tahun kerja habis disikat dan tidak ada nasabah lagi yang bisa direkrut dia tidak mau menikah dengan saudari kami dengan alasan malas, jorok, berdoa hanya kalo ada maunya dan sebagainya. Ternyata setelah diselidiki dia sudah menjalin hubungan dengan wanita lain selama 3 tahun dan berjanji menikahi wanita tersebut karena sudah melakukan hubungan yang terlalu jauh. Yang lebih parah lagi wanita itu masih ada hubungan family dengan kami. Dia mengatakan tidak ada hati dengan saudari kami setelah menguras habis-habisan harta saudari kami, bahkan harus berhutang sebesar Rp. 50,000,000,- kepada perusahaannya. Karena masalah ini kami ingin memindahkan polis kami ke cabang lain dan tidak mau berurusan dengan agen tersebut.
Ketika saya dan keluarga besar menghubungi kantor pusat958888 dan menceritakan masalah ini mereka mengatakan tidak bisa karena ada kode etiknya. Kemudian saya mencoba telepon lagi dan mengatakan akan mencabut polis kalau tidak diperbolehkan pindah service agent, Bu Eri yang saat itu mengangkat telepon mengatakan coba dulu minta persetujuan agent untuk pindah ke agent lain.
Masalahnya kami harus mencari dia dimana karena kalau ketemu kami pasti minta pertanggung jawaban atas semuanya. Kami sangat amat kecewa sekali karena kami harus melakukan semuanya sendiri. Sebagai nasabah kami tidak mengerti mengenai kode-kode etik agen. Perlu diketahui sebagai nasabah kami tidak pernah mengabaikan kewajiban kami untuk membayar polis tepat waktu. Kira-kira kepada siapa kami harus meminta bantuan karena kami sebagai nasabah yang sudah mau menginvestasikan uang di prudential kami sangat kecewa sekali. Untuk para pembaca yang terhormat atau mungkin ada yang pernah mengalami masalah yang pernah saya alami mohon petunjuknya.
Heriyanto
Perum Puri Kencana Blok K/15
Bandar Lampung
JAKARTA – Banyak kasus pelecehan yang menimpa kaum hawa, baik dari kalangan masyarakat biasa hingga selebritis. Artis Lala Karmela merasakan hal pahit yaitu korban pelecehan seksual oleh pria yang tak bertanggungjawab.
“Ada orang terdekat yang pernah mengalami pelecehan seksual, bahkan saya sendiri pun pernah mengalami pelecehan dan saya juga udah mulai berbagi cerita saya,”tutur Lala Karmela.
Artis kelahiran Jakarta, 2 April 1985 ini menceritakan hingga kini masih saja sering kali mengalami pelecehan seksual. “Masih kayak sehari-hari, diskriminasi saja karena kita perempuan. Atau misalnya aku penyanyi, i look good, dress like this dan itu jadi judgement itu saja sudah jadi bentuk pelecehan, kalau setiap hari kita merasakan itu maka akan menjadi normalisasi,” tutur Lala.
Meski pernah mengalami pelecehan seksual, bintang film ‘Bukaan 8’ ini mengaku tidak trauma secara mental. Namun tetap memberikan sesuatu yang tak menyenangkan pada dirinya.
“Alhamdulillah nggak pernah yang sampai aku trauma secara mental, tapi pengalamannya memberi aku suatu dampak yang aku pilih untuk aku bagi ke teman-teman yang punya pekerjaan yang sama kayak aku atau perempuan yang mungkin juga pernah merasakan apa yang aku rasain dan aku milih untuk bercerita karena aku tahu aku nggak sendirian aja yang mengalami ini then again kita bisa melawan ini bersama-sama,” tandasnya .(*Nia)
DISKURSUS tentang Reuni 212 menyita perhatian media massa, baik cetak, radio, TV, maupun online. Yang lebih seru lagi tentu di media sosial, mengingat media ini tidak memiliki filter maupun kontrol memadai. Karena itu, tidak mengherankan jika perdebatan di media sosial menimbulkan berbagai bentuk insiden dan korban.
Bagi ilmuwan politik, yang lebih menarik untuk dicermati adalah bagaimana perdebatan menyongsong Pilpres kali ini jauh lebih seru dan lebih keras dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Bahkan sampai mengakibatkan adanya nyawa yang melayani, sesuatu yang tidak pernah kita dengar selama ini.
Perdebatan masalah pilpres terjadi hampir di semua tempat dan semua waktu. Dari warung kopi di pinggir jalan sampai di kafe-kafe di mal atau hotel berbintang. Dan yang paling seru tentu di berbagai grup media sosial, karena ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan berlangsung sepanjang hari tanpa jeda.
Walaupun fenomena ini secara teoritis telah dijelaskan dan difahami oleh para ilmuwan politik sebagai fenomena populisme yang dipicu dan dipacu oleh munculnya teknologi internet yang kemudian melahirkan berbagai platform media sosial yang murah, mudah, dan cepat sehingga digunakan oleh semua lapisan masyarakat secara masif.
Fenomena ini menjadi masalah ketika diisi atau ditumpanginya oleh diksi dan narasi yang berbau primordial yang di Indonesia dikenal dengan akronim SARA. Apalagi tim sukses kemudian memproduksi berbagai artikel, meme, sampai mengkapitalisasi berbagai peristiwa yang terjadi sesuai dengan persepsi subjektifnya, ditambah narasi yang menguntungkan jagonya atau merugikan lawannya.
Dalam situasi seperti inilah Reuni 212 dilaksanakan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Reuni Akbar, karena inilah reuni terakhir yang bisa dilaksanakan sebelum Pilpres. Keadaan semakin serius disebabkan narasi yang dimainkan adalah “agama” yang merupakan sisi paling sensitif di antara unsur SARA.
Dalam masalah agama seringkali orang kehilangan rasionalitas maupun objektifitas dalam menilai maupun mengambil keputusan, sehingga seringkali para cendekiawan atau professional tidak beda dengan pengangguran yang tidak sempat mengenyam pendidikan memadai. Akibatnya terjadi pembelahan yang tajam dari seluruh lapisan masyarakat, dari atas sampai yang paling bawah.
Bagi para pemegang kekuasaan dan tokoh panutan masyarakat, sejatinya kini sedang diuji kecintaan dan ketulusannya dalam mengabdi pada negri tercinta ini. Apakah lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan golongan yang bersifat jangka pendek, atau pada kepentingan bersama yang bersifat jangka panjang.
Dalam kontek demokrasi mestinya ritual lima tahunan pemilu tidak boleh mengorbankan kepentingan bersama, khususnya kepentingan jangka panjang. Masalah Reuni 212 tidak perlu lagi diperdebatkan atau didiskusikan apakah ini kegiatan keagamaan atau kegiatan politik. Karena bukan di situ masalahnya.
Dari perspektif ilmuwan politik, fenomena ini dipandang sebagai bentuk aspirasi politik dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang merasa kurang diuntungkan atau bahkan dirugikan oleh berbagai bentuk kebijakan yang diambil. Karena itu, Reuni 212 tidak lebih dari unjuk rasa yang lazim dilakukan di negara-negara demokratis.
Dengan cara pandang seperti ini, maka bagimana menghadapi kelompok ini menjadi ringan dan mudah. Kini dituntut kreatifitas penanganan jangka pendek dalam bentuk pengamanan di lapangan, setelah itu respon jangka panjang dalam bentuk berbagai kebijakan yang lebih adil, kalau perlu dalam bentuk affirmative policies.
Sementara ini berbagai bentuk penanganan di lapangan cukup sukses, misalnya dengan tidak menggunakan pendekatan represif, ditambah dengan polisi yang berkopiah haji atau polwan yang berjilbab. Bila pendekatan seperti ini dilakukan, saya yakin tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Akan tetapi, hal ini harus diikuti dengan berbagai kebijakan jangka panjang yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar di lapisan terbawah. [***]
Dr. Muhammad Najib
Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)
JAKARTA – Titi Kamal tampil sebagai biduan dangdut di film terbarunya, Sesuai Aplikasi. Dalam film itu, dia berperan sebagai Sofiyah alias Sofaya, seorang biduan dangdut manja dan centil.
Istri Christian Sugiono itu mengaku geli sendiri saat melihat filmnya.
“Geli aku, geli lihat akting aku sendiri. Biasanya kan aku jaim, kalem. Terus tiba-tiba kayak gitu,” kata Titi di Senayan City, Jakarta Pusat, (29/11/2018).
Selama proses syuting berlangsung, Titi harus menahan malu karena penampilan dan pembawaan dirinya berbeda jauh dengan sifat aslinya. Bahkan terkesan berlebihan aktingnya.
“Tapi pede aja sih. Memang harus tahan malu. Soalnya aku tahu aku bakal malu sih karena lebay banget di situ akunya,” ujarnya.
Kendati demikian, karakter Sofiyah cukup menantang bagi Titi. Ia pun berusaha totalitas dalam akting.
“Ini pelampiasan sisi lain dari aku. Kayak aji mumpung, ya sudah gue pol-polin sekalian. Dari gerakan ngomongnya gue dari apanya, bodo amat gitu. Biar totalitas,” ujarnya lagi. (*Ind)
JAKARTA – Dian Sastrowardoyo, saat ini telah sukses menjadi aktris papan atas Indonesia. Namanya mulai dikenal publik Tanah Air ketika dirinya sukses berperan sebagai Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta? Pada 2002 lalu.
Setelah sukses di dunia seni peran, Dian Sastro saat ini telah fokus ke profesi barunya yakni menjadi seorang co produser. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Dian saat ditemui awak media.
“Saya senang banget karena hari ini saya bisa share ke teman-teman media bahwa saya akhirnya di waktu yang sekarang ini saya memberanikan diri masuk ke ranah belakang layar yakni sebagai co produser,” kata Dian di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 27 November 2018.
Aktris kelahiran Jakarta itu mengaku alasan dirinya tertarik menjadi seorang produser film adalah ia sudah lama terjun dan berkarier di dunia seni peran, maka dari itu Dian merasa sudah siap menjadi seorang produser.
“Pertama-tama industri ini adalah industri yang membesarkan saya, kalau saya enggak main film saya enggak akan ada di tempat saya sekarang. Saya dibesarkan di industri ini. I was raised by this industry. Basicly, belajar banyak tentang kerja sama, tentang kerja, tentang value dan segala macam,” ujar Dian.
Ia mengaku ingin ambil bagian untuk menjadi orang-orang yang bisa membentuk industri ini. “Kayaknya itu hanya bisa saya lakukan dengan mengambil peran yang lebih besar daripada hanya sekadar main (film),” ujarnya menambahkan.
Untuk merealisasikan keinginannya itu, Dian Sastro bekerja sama dengan BASE Entertainment. Tidak tanggung-tanggung ia dan BASE Entertainment akan memulai debutnya menjadi produser film panjang ini pada 2019 mendatang.(*Ind)
JAKARTA – Dian Sastrowardoyo, saat ini telah sukses menjadi aktris papan atas Indonesia. Namanya mulai dikenal publik Tanah Air ketika dirinya sukses berperan sebagai Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta? Pada 2002 lalu.
Setelah sukses di dunia seni peran, Dian Sastro saat ini telah fokus ke profesi barunya yakni menjadi seorang co produser. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh Dian saat ditemui awak media.
“Saya senang banget karena hari ini saya bisa share ke teman-teman media bahwa saya akhirnya di waktu yang sekarang ini saya memberanikan diri masuk ke ranah belakang layar yakni sebagai co produser,” kata Dian di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa, 27 November 2018.
Aktris kelahiran Jakarta itu mengaku alasan dirinya tertarik menjadi seorang produser film adalah ia sudah lama terjun dan berkarier di dunia seni peran, maka dari itu Dian merasa sudah siap menjadi seorang produser.
“Pertama-tama industri ini adalah industri yang membesarkan saya, kalau saya enggak main film saya enggak akan ada di tempat saya sekarang. Saya dibesarkan di industri ini. I was raised by this industry. Basicly, belajar banyak tentang kerja sama, tentang kerja, tentang value dan segala macam,” ujar Dian.
Ia mengaku ingin ambil bagian untuk menjadi orang-orang yang bisa membentuk industri ini. “Kayaknya itu hanya bisa saya lakukan dengan mengambil peran yang lebih besar daripada hanya sekadar main (film),” ujarnya menambahkan.
Untuk merealisasikan keinginannya itu, Dian Sastro bekerja sama dengan BASE Entertainment. Tidak tanggung-tanggung ia dan BASE Entertainment akan memulai debutnya menjadi produser film panjang ini pada 2019 mendatang.(*Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro