JAKARTA – Menghapus semua foto bareng, Vanessa kini menganggap Faye bukan lagi teman. Padahal, dulu sering bilang ‘sister’, dan siap membantu Faye apa saja.
Artis muda Faye Nicole Jones tengah menjadi perbincangan hangat, beberapa pekan terakhir. Namanya mendadak muncul dalam persidangan terdakwa korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut, Wawan diduga menyalahgunakan izin berobat. Bukannya ke rumah sakit, Wawan kabarnya malah menginap bersama seorang wanita cantik di sebuah hotel berbintang di Bandung, Jawa Barat.
Nama Faye Nicole pun ramai disebut sebagai wanita yang ngamar bareng Wawan. Jaksa mengaku punya bukti rekaman CCTV yang menunjukkan keberadaan seorang perempuan di kamar hotel.
Saat namanya terus menjadi spekulasi, Faye Nicole malah menghilang dari media sosial. Akun Instagram pemain FTV yang biasanya aktif merekam aktivitas sehari-harinya ini, kini tak ditemukan lagi.
Tak cuma Faye, Vanessa Angel pun ikutan terseret dalam persoalan ini. Pasalnya, Vanessa diketahui memiliki kedekatan khusus dengan artis berusia 19 tahun itu.
Dalam beberapa kesempatan, Vanessa kerap memajang foto bersama Faye. Keduanya bahkan selalu menyertakan hashtag ‘sister’ yang berarti saudari perempuan dalam setiap foto.
Tak heran banyak yang mengira Faye dan Vanessa merupakan kakak beradik. Benarkah?
“Bukan kok, bukan aku kakaknya dia (Faye Nicole),” kata Vanessa.
Yang mengejutkan, Vanessa juga sudah tak lagi menganggap Faye sebagai teman. Terbukti dengan sikap Vanessa yang telah menghapus semua kebersamaan dirinya dengan pemain sinetron Diam-Diam Suka itu di akun Instagram.
“Dulu teman. Tapi (sekarang) aku sudah enggak anggap teman lagi,” katanya.(*/Ind)
JAKARTA – Artis serba bisa Tamara Geraldine tengah fokus melakukan sosialisasi ke Dapilnya di Jawa Tengah II yakni Kota Kudus, Demak, dan Jepara. Ia fokus untuk memberantas narkoba.
“Perjuangan Tamara dengan memberikan penyuluhan tentang narkoba di pulau-pulau di seluruh Indonesia selama tiga tahun terakhir, akhirnya membuat partai menempatkan Tamara di Kudus yang menjadi kota nomor tiga dengan pengguna narkoba terbesar di Indonesia, sedangkan Jepara berstatus gawat narkoba dan Demak yang masih belum memiliki nomor dan berharap tidak akan pernah kebagian nomor,” kata Juliana Sinujahi, selaku manager Tamara Geraldine dalam keterangannya, (14/12/2018).
Juliana mengatakan, selain sosialisasi, Caleg nomor urut 5 itu juga membagikan buku dan CD gratis kepada anak-anak sekolah dasar. Kegiatan sosial itu sudah kerap dilakukan Tamara jauh sebelum punya pikiran untuk nyaleg.
“Jadi proyek sosialnya tidak akan terganggu dan akan terus berjalan secara paralel dengan kampanye politiknya,” ujar Juliana.
Artis yang memiliki hobi menulis, melukis, membuat patung, dan memasak roti cinnamon lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan sosiak sejak tiga tahun belakangan ini.
Sementara itu, Tamara mengungkap alasan memfokuskan diri dalam memerangi narkoba di Indonesia.
“Salah satu alasan mengapa saya bergerak di dalam bidang narkoba adalah karena kedekatan saya dengan almarhum kakek saya, Elizar Sibarani. Kakek saya adalah salah satu orang yang sangat aware terhadap narkoba. Dulu, beliau sempat duduk di United Nation Office on Drugs and Crime, di PBB,” kata Tamara Geraldine.
“Kakek saya pelopor yang memiliki ide untuk memberantas narkoba jauh sebelum orang-orang berpikir tentang pemberantasan narkoba. Beliau juga yang akhirnya memberikan idenya untuk membuat panti rehabilitasi di Pamardi Siwi,” tutupnya.(*/Ind)
…..KETUA Pemuda Pancasila Jawa Timur La Nyalla sedang naik daun. Keputusannya menyeberang ke kubu Jokowi sampai pengakuannya menjadi penyebar isu PKI, lagi rame di media. Nyalla juga berani bertaruh potong lehernya kalau sampai Jokowi kalah di Madura. Di Madura banyak santri yang sedang ngasah clurit. Kalau saja hukum membenarkan orang boleh memotong leher, nasib Nyalla sudah jelas.
Tapi soal potong leher ini gak usah dianggap terlalu serius. Sebagai preman, atau orang Surabaya menyebutnya Korak, Nyalla memang biasa begitu. Biasa main gertak sambal.
Gara-gara gagal nyagub di Jatim, marahnya Nyalla sampai ke ubun-ubun. Dia menganggap Prabowo yang menggagalkan pencalonannya. Padahal dia sudah diberi tiket Gerindra dengan syarat bisa nambah kursi lagi. Kursi Gerindra gak cukup. Tapi dia tak bisa memenuhi target. Lha kok yang disalahkan Prabowo.
Kalau pun dapat tiket, Nyalla gak bakalan terpilih sebagai Gubernur Jatim. Reputasi buruk Ketua Kadin Jawa Timur ini sudah jadi rahasia umum. Dia juga sebenarnya tidak serius-serius amat mau nyalon. Paling juga dia cuma cari duit nekan para cukong.
Sekarang Nyalla pasang badan untuk Jokowi. Pada Pilpres 2014 dia dukung Prabowo-Hatta. Jokowi yang elektabilitasnya turun, jadi gak selektif. Dia pikir dengan menggandeng Nyalla, dia bakal menang besar di Jatim. Insting dan intelijen politik Jokowi memang parah. Dengan menggandeng Nyalla reputasi Jokowi di Jatim dijamin jeblok. Paling nanti kalau Jokowi kalah dia juga cari cantolan lain. Dia bakal taruhan potong leher lagi untuk capres yang lain. Emang berapa siy jumlah leher Nyalla?
Jokowi seperti psikologi orang yang mau tenggelam. Dia mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkan dia. Dipikirnya Nyalla adalah kayu terapung, padahal buaya yang menyaru. Salah besar dia.
Di luar Nyalla, publik figur yang sekarang pasang badan untuk Jokowi adalah Usamah Hisyam. Mantan wartawan ini baru saja membuka kedoknya sebagai pendukung Jokowi yang pura-pura mendukung ulama.
Kemarin dia mencoba menggagalkan reuni 212. Dengan membangun opini, acara itu ditunggangi aksi politik. Pasti tidak banyak yang tahu kalau Usamah dan La Nyalla ini adalah bersaudara dekat. Dua-duanya keturunan Bugis yang besar di Surabaya.
Dibanding Nyalla permainan Usamah ini jauh lebih dahsyat. Dia bisa melakukan penetrasi kemana-mana. Hampir semua presiden berhasil didekatinya.
Usamah sekarang menjadi Ketua Umum Parmusi. Posisi ini bikin bingung orang-orang yang kenal dekat dengan Usamah. Kok bisa orang seperti dia jadi Ketua Parmusi? Orang Parmusi yang lugu-lugu, berhasil ditipunya?. Tapi itulah hebatnya Usamah.
Sebelum Nyalla, Usamah sudah lebih dulu merapat ke Jokowi. Dia tercatat pernah mejadi ketua rombongan umroh tak lama setelah Jokowi terpilih menjadi presiden. Tapi dia terpental dan tidak mendapat posisi.
Usamah kemudian muncul lagi ketika ramai-ramai aksi 212. Dengan kelicinanannya dan membawa bendera Parmusi, dia berhasil masuk ke dalam lingkaran GNPF Ulama. Kepada wartawan asing dia mengaku punya target menggulingkan Jokowi.
Dari situ dia kemudian bisa menembus ke Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Dia kemudian seolah menjadi mediator antara HRS dan Jokowi. Langkah Usamah hampir berhasil ketika dia membawa sejumlah tokoh GNPF bertemu Jokowi di Istana Bogor.
Untungnya banyak yang mengingatkan HRS, siapa sebenarnya Usamah. Di belakang Usamah ada tokoh besar bernama Surya Paloh. Melalui orang dekat Jokowi inilah Usamah bisa merapat ke Istana.
Jejak kedekatan Usamah dengan Surya Paloh (SP) sudah lama. Sejak menjadi wartawan Media Indonesia dia sering digunakan untuk melakukan operasi politik SP. Tentu ini kerjasama timbal balik. SP punya proxy, Usamah bayak mendapat keuntungan finansial dengan kedekatannya itu. Operasi-operasi politik menjadi spesialis Usamah. Posisinya sebagai wartawan menjadi tiket masuknya kemana-mana. Dia adalah wartawan yang jadi intel, dan intel yang jadi wartawan.
Parmusi 6 Desember lalu melakukan penggalangan dana. Katanya untuk dakwah desa Madani. Ini bagian dari penguatan Revolusi Mental Jokowi. Surya Paloh dan Kapolri Tito Karnavian yang hadir, sama-sama menyumbang.
Sekarang Nyalla dan Usamah sudah membuka kedoknya masing-masing. Mereka secara terbuka pasang badan menyelamatkan Jokowi. Kalau lihat keduanya all out kelihatannya memang benar Jokowi berada di ujung tanduk. Segala macam cara dilakukan. Tim Suksesnya mulai terbuka mengatakan elektabiltas Jokowi stagnan. Itu sebenarnya bahasa lain elektabilitas terus turun. Salah-salah terjun bebas.
Bisakah duo Bugis Van Surabaya ini ikut menyelamatkan Jokowi yang bakal tenggelam? Kalau lihat track record keduanya, hanya tinggal menunggu waktu bagi keduanya melompat menyelamatkan diri.
Nyalla pasti tidak siap dipotong lehernya oleh sahabatnya sendiri Nizar Zahro, atau santri dari Madura. Usamah? Seperti biasa dia akan mencari peluang mendekat kepada kekuasaan. Idiologinya adalah kepentingan pribadinya. *****
Djadjang Nurjaman
Pengamat Media dan Ruang Publik
JAKARTA – Setelah menjajal main film laga di Malaysia, aktris cantik asal Medan, Raline Shah (33) kini mencoba peruntungan di genre komedi.
Lewat film bertajuk “Orang Kaya Baru”, Raline tampil dengan dua karakter, sebagai gadis miskin dan gadis norak sesaat setelah dia kaya mendadak.
Diakui Raline, dirinya melakoni peran sebagai Tika dalam film yang digarap oleh sutradara Ody C. Harahap itu, bukanlah hal mudah.
“Walau komedi, tapi karakter dan dramanya juga sangat kuat. Bayangkan, aku makan banyak dan enak di tempat kondangan, hidup aku susah, pokoknya miskinlah. Penonton nanti aku jamin ngga tahu kalo pemeran Tika itu adalah aku.
Belum pernah aku dapat peran seperti ini, betul-betul di luar zona nyaman aku, di luar kebiasaan dan kehidupanku sehari-hari. Tapi ini keren, betul-betul berkesan, ” kata Raline yang mengidolakan Jim Carrey dan Robin Williams ini.
Raline mengaku, sejak lama dia memang menunggu kesempatan untuk bisa ikut main film komedi. “Ternyata memang sangat menarik, total keluar dari diri sendiri, itu salah satu tantangannya,” terang pemeran Meirose dalam film “Surga Yang Tak Dirindukan” ini.
Selain Raline, film yang akan ditayang Januari tahun depan ini juga dibintangi Cut Mini, Derby Romero, Lukman Sardi, Fatih Unru, Joko Anwar.(*/Ind)
….. PADA Pemilihan Presdien 2019 mendatang, Joko Widodo kembali mencolonkan diri. Sebagai petahana, tentu Jokowi telah memerintah selama 4 tahun lebih, dan sudah ada beberapa kebijakan yang dibuat.
Dari kebijakan-kebijakan yang dibuat, ada sutu kebijakan yang terus menuai kontroversi, yaitu kebijakan investasi Republik Rakyat China (RRC) di Indonesia.
Sebab selain investasi, juga membawa tenaga kerja secara besar-besaran di tengah jutaan angkatan kerja di dalam negeri yang menganggur.
Ini sangat berbahaya bagi masa depan anak cucu dan negeri ini.
Protes demi protes atas kebijakan ini telah dilakukan oleh rakyat dari Sabang sampai Marueke, bahkan telah terjadi bentrokan fisik di beberapa daerah, antara tenaga kerja China dengan pekerja lokal karena perbedaan fasilitas dan gaji yang diberikan.
Tapi itu tidak pernah menjadi pertimbangan bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi permasalahan investasi ini, padahal Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah marah akibat kebijakan ini.
Namun, yang terjadi bukan Jokowi mengevaluasi kebijakan ini, tetapi yang dilakukan melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan, menawarkan proyek baru senilai 60 miliar dolar AS atau setara Rp 870,5 triliun kepada para investor China.
Tawaran itu dimaksudkan untuk memanfaatkan skema kerja sama One Belt One Road (OBOR).
Melihat kebijakan ini, apakah Jokowi layak diteruskan menjadi Presiden pada Pilpres nanti? Mari tanya hati nurani kita sebagai rakyat dan bangsa Indonesia.
Bayangkan bagaimana nasib anak cucu kita di masa depan.
Tulisan ini bukan provokasi maupun agitasi, tetapi sebagai bentuk kecintaan dan tanggung jawab moral serta penyeselan mendalam sebab penulis terlibat menaikan Jokowi pada Pilpres 2014 yang lalu. *****
Amirullah Hidayat
Penulis adalah Koordinator Pusat Relawan Komunitas Sadar (Korsa).
…..JANGAN membuang muka dari penguasa, nanti kena batunya. Apalagi sampai meminta penguasa untuk diganti, bisa panjang urusanya. Karena bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka butuh dikagumi. Mereka butuh ditepuktangani. Mereka butuh dikontroversikan. Dan mereka juga butuh digembar-gemborkan.
Mengapa? Karena mereka hidup dengan itu semua. Mereka bisa besar karena itu semua. Tak lain, karena kekaguman, karena tepuk tangan, karena kontroversi, dan karena digembar-gemborkan. Ibarat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, mereka perlu dicintai untuk tetap menjadi dewa.
Mereka perlu ditakuti untuk tetap menyandang status senagai dewa. Memang demikianlah kekuasaan. Kekuasaan sebagai dewa, kekuasaan sebagai penguasa dan pemimpin, kekuasaan sebagai pemangku otoritas ilahi, dan lain-lain, semuanya perlu pengakuan dalam bentuk-bentuk yang nyata.
Dikagumi, dipuja-puji, digemari, diceritakan di mana-mana, digembar-gemborkan, dibesar-besarkan, dikontroversikan, dan sejenisnya. Dengan begitulah kekuasaan biasanya dipelihara. Jika sudah tak takut lagi, tak kagum lagi, maka itu pertanda mulai pudarlah kekuasaan tersebut.
Oleh karena itu, perlu pembuktian-pembuktian baru agar memunculkan bentuk-bentuk pemujaan baru. Dalam sejarah raja-raja lama, jika alam sudah mulai tak bersahabat, maka pertanda raja tak mendapat kepercayaan lagi dari ilahi. Raja dianggap sudah tak mampu menjaga stabilitas alam dan dianggap tak mampu melindungi rakyat dari murka alam. Itu dianggap sebagai tanda-tanda kejatuhan, tanda-tanda kuasa raja tak lagi dapat ijin dari pihak langit.
Ya, begitulah kekuasaan dimaknai dalam kontek tertentu. Dalam ilmu politik, sarjana-sarjana sering mengutip Robert Dahl untuk memahami apa itu kekuasaan. Dahl mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sebuah intitusi untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai dengan yang dikehendaki.
Semisal si A memiliki kekuasaan terhadap si B. Sehingga si A berkemampuan untuk mempengaruhi si B agar berbuat sesuatu sesuai kepentingan dan keinginan si A. Sementara otoritas bergerak dalam logika yang sama, tapi diperlengkapi dengan kekuatan untuk memaksa (coercive). Oleh karena itu, pemerintah dianggap pemegang otoritas atau wewenang karena pemerintah mempunyai alat dan organisasi untuk memaksakan keinginannya.
Dalam kajian ilmu politik tradisional, kekuasaan adalah episentrum kajian. Ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mengulik segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan. Mulai dari penguasa formal atau semua institusi pemerintah di semua level, sampai pada organisasi dan aktor-aktor masyarakat yang memiliki pengaruh dalam tatanan kenegaraan.
Sumber-sumber kekuasaan pun bisa berasal dari berbagai hal, mulai dari otoritas (dijamin oleh hukum dan perundangan yang ada), adat-istiadat, agama, uang atau kekayaan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan banyak lagi.
Dengan kata lain, memiliki kekuasaan adalah hal yang mengasyikan. Bisa berkehendak yang sekaligus dijalankan oleh orang lain secara sukarela. Banyak yang mengidamkannya. Banyak yang bahkan gila karenanya. Ada yang gila kuasa dengan uangnya. Ada pula yang gila kuasa karena merasa paling cerdas dan paham segala-gala. Ada juga yang gila kuasa karena meyakini Tuhan mempercayakan sesuatu hal kepadanya. Dan banyak lagi.
Namun kekuasaan membuat tatanan jadi berantakan. Leviathan, demikian kata Thomas Hobbes. Kekuasaan yang tak diatur akan membuat “semua memakan semua”. Oleh karena itu dibutuhkan aturan main. Oleh karena itu ada pemilu. Oleh karena itu ada hukum yang mengatur.
Semua orang berhak menjadi presiden. Semua orang berhak jadi ketua DPR. Semua orang juga berhak menjadi gubernur, walikota, bupati, lurah, kepala desa, ketua RT, RW, dan lain-lain. Tapi tak semua orang mampu. Tak semua orang layak. Ada aturan mainnya. Jangankan untuk jadi presiden, untuk jadi calon presiden saja bukanlah sembarang orang.
Hanya yang memenuhi kualifikasi secara politik dan hukum. Mungkin jadi presiden tak butuh kompetensi dari sekolah kepresidenan, tapi menjadi calon presiden bukan ranah sembarang orang. Di dalam sebuah negara dan pemerintahan, presiden adalah pemilik kekuasaan tertinggi, panglima tertinggi.
Dalam ranah sejarah baheula, presiden adalah raja sebuah kerajaan. Presiden adalah kepala negara, yang menyatakan perang dan damai, yang mengangkat menteri dan pejabat-pejabat negara sejenisnya, yang membuat perundangan bersama parlemen, yang menjadi kuasa pengguna anggaran nasional, dan lain-lain.
Karena priveledge dan kemampuan dibalik kekuasaan tersebut, orang-orang jadi sangat tergila-gila untuk berkuasa. Namun kekuasaan tak mesti dimaknai negatif. Dengan kekuasaan, kebaikan dan kebajikan bisa dijalankan lebih masif dan teroganisir. Dengan kekuasaan, kebijakan-kebijakan baik dan yang berpihak kepada masyarakat bisa direalisasikan.
Kendati demikian, kekuasaan bisa berwajah banyak. Bisa oportunis. Bisa munafik. Bisa koruptif. Bisa antagonis, despotis, otoritarian, demokratis, dan lain-lain. Dan yang sering diingatkan, karena kekuasaan bisa berkecenderungan untuk merugikan, maka banyak muncul teori-teori untuk membatasinya. Yang banyak dikenal adalah adanya trikotomi trias politica. Ada pembagian kekuasaan antara pembuat aturan, yang menjalankannya, dan yang mengawasinya.
Semua itu berangkat dari asumsi negatif kekuasaan tadi. Jika tak dibatasi, kekuasaan bisa memakan semua yang layak dimakannya. Jika tak diawasi, kekuasaan bisa sangat koruptif. Lord Action mengingatkan, “Power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely”.
Kemudian muncul pula istilah demokrasi. Kekuasaan tertinggi yang layak diakui dan berhak memerintah dalam sebuah negara haruslah didapat dari rakyat. Kekuasaan sejati adalah milik rakyat alias milik pihak yang banyak. Kemudian lahirlah pemilihan. Pemegang puncak kekuasaan negara dan pemerintahan di semua level haruslah dipilih oleh pihak yang banyak, bukan ditentukan oleh faktor keturunan (askriptif) , faktor ilahi, faktor kepandaian yang didapat di sekolah, dan lain-lain.
Begitulah. Berkuasa nyaris menjadi impian semua orang. Berkuasa berarti menguasai, menguasai yang dikuasai. Jika ingin memiliki kekuasaan seorang presiden sebuah negara, berarti ingin menguasai sebuah negara. Ingin menentukan mau diapakan sebuah negara selama dibawah kekuasaanya.
Begitupula dengan menjadi gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain. Berarti ingin menguasai sebuah provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain. Itulah makna kasarnya. Boleh pula diperhalus, hanya ingin menjadi pelayan rakyat, ingin menjadi wakil rakyat, penyambung lidah rakyat, atau apapun lah. Tapi intinya berkuasa adalah ingin menguasai para pihak yang ada di dalam yuridiksi kekuasaan tersebut.
Artinya sederhana saja. Jika tak ingin sebuah negara dikuasai oleh macan, maka jangan biarkan macan menjadi penguasanya. Jika tak ingin sebuah provinsi dikuasai seekor serigala, maka jangan biarkan serigala mengambil kekuasaan tertinggi dalam sebuah provinsi. Begitupula dengan Kota dan Kabupaten.
Logika tersebut berlaku terbalik. Jika ingin mendudukan malaikat di pucuk pimpinan, maka beri malaikat peluang untuk berkompetisi dan pilihlah. Jika ingin manusia super ada di puncak sebuah kekuasaan, maka beri mereka coblosan. Sesederhana itu saja.
Dan logika tersebut sangat perlu kita ulang-ulang, sangat perlu kita lebarkan, sebarkan, dan ingatkan kepada banyak orang Indonesia yang sebentar lagi akan berhadapan dengan Pilkada serentak, Pemilihan Legislatif, dan pemilihan presiden.
Karena dalam demokrasi, seharusnya tak ada serigala yang jadi penguasa selama serigala tersebut tak dipilih.*****
Jannus TH Siahaan
Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
JAKARTA – Pesinetron Shandy Ishabella (23) kini balik lagi melanjutkan karirnya berakting setelah dua tahun menghilang, karena sibuk mengurus keluarga, selepas melahirkan.
Kini Ruth Chelsea Williams buah cintanya dengan Frans Johan Williams sudah berusia 2 tahun.
Shandy beruntung, perannya sebagai Siska langsung menarik perhatian penggemar serial Tukang Ojek Pengkolan alias TOP. Itu tak lepas dari pengaruh tokoh Purnomo (Furry Setya Raharja) yang kini berupaya mendekatinya pasca ditinggal tokoh Widya.
“Seneng ya, dapat peran di sinetron yang sudah lama jadi favorit penonton teve. Aku nonton terus sih, dan ngga nyangka malah bisa ikut main disini, ” ujar Shandy yang mengawali karirnya lewat sinetron Cinderella (Apakah Cinta Hanyalah Mimpi?) tahun 2007 lampau.
Bagi pemilik nama lengkap Shandy Elizabeth Graceila Ishabella ini, dunia akting tetap menjadi pilihannya. Bahkan dia ingin meneruskan karirnya di film layar lebar yang sudah terhenti selama delapan tahun, yaitu sejak membintangi film Toilet 105.
“Pengalaman aku di film layar lebar memang baru sekali. Aku harap tahun depan ada tawaran dan aku bisa lanjut main film lagi. Sekarang kan produksi film lagi banyak, ” beber pemain sinetron Jakarta Love Story, Sakinah Bersamamu, Centini, Pangeran 2, Cinta 7 Susun, Yusra Dan Yumna, Senggol-Senggol Asmara, Seruni dan lainnya ini.(*/Ind)
….. REZIM pers di negeri ini sudah sungguh keterlaluan. Ukuran atas diksi ini karena acara Reuni 212 di Monas tanggal 2 Desember, Ahad lalu seolah tidak dianggap dan tidak ada. Sehingga tidak perlu dimuat oleh media-media besar televisi maupun media cetak.
Sebut saja. Untung hanya ada TvOne yang live, kalau tidak, peristiwa besar di penghujung tahun 2108 dan besar di abad ini luput dari perhatian publik dalam negeri. Ada sejumlah media cetak pagi dan sore seperti: Republika, Rakyat Merdeka, dan Harian Sore; Harian Terbit Sore yang muat. Untung ada medsos dan media-media online.
Meski demikian pers luar negeri dengan seksama mengikuti dan menyiarkan.
Rezim pers ini sudah sangat keterlaluan; maka wajar bila ada media cetak seperti koran pagi: Kompas (sejumlah kalangan sebut Kompas sebagai Komando Pastur) didesak untuk ditutup. Aktivis HMI dengan militan suarakan itu. Betapa tidak; alih-alih sudah tidak memberitakan peristiwa besar yang dihadiri oleh massa anak-anak bangsa dari dalam dan luar negeri dari berbagai kalangan agama, suku dan ras dalam jumlah mencapai di atas 10 juta itu.
Malah Senin, 4 Desember memuat gambar headline (HL) dengan “sampah plastik”. Kompas seolah mengatakan aksi jutaan manusia di Monas pada 2 Desember itu adalah sampah plastik. Ini penghinaan luar biasa.
Saya sependapat Kompas harus diberi sanksi atas pemberitaan itu. Dewan Pers wajib periksa Kompas. Dan bila perlu Menteri Komunikasi dan Informatika membubarkan Kompas. Karena telah menghina umat dan anak-anak bangsa yang sedang membuat sebuah gerakan damai untuk aksi-aksi dan misi perdamaian dunia.
Dari sisi itu Kompas di bawah rezim pers dalam negeri seolah tidak senang dengan aksi jutaan anak-anak bangsa mengekpresikan diri dengan tertib, aman, damai dengan elegan dan simpatik. Kompas justru tidak memberitakan? Malah menghina dengan HL “sampah plastik”?
Sudah lama saya tidak membaca Kompas karena misi ketidakadilan dan kebenaran yang diembang Kompas. Kompas seolah monopoli kebenaran yang dimilikinya. Dan tidak memberitakan itu tidak benar dan tidak ada. Maka tidak salah dalam sejumlah postingan di akun media sosial FB, Twitter dan IG. Saya kategorikan Kompas dan sejumlah besar pers nasional (sebut saja, Media Indonesia, Tempo dan lain-lain) buta dan tuli atas Reuni 212 itu.
Sengaja tulisan ini baru di buat sekarang; sepekan ini diskursus di publik masih hangat atas ketidakadilan rezim pers nasional ini.
Meski demikian, saya coba pahami apa sebab peristiwa Reuni 212 yang kolosan itu luput dari pemberitaan media nasional itu. Minimal ada sejumlah amatan berikut ini.
Bisa jadi media-media yang tidak liput Reuni 212 itu sudah teken kontrak dengan salah satu pasangan capres atau memang pendukung setia rezim. Atau media tersebut benci dengan Islam dan gerakan yang damai umatnya.
Meski demikian perlu juga disadari kalau tidak dimuat itu karena unsur ketakutan terhadap rezim ini. Maka itu pertanda malapeta pers sedang anda lakukan. Karena tidak adil dan sembunyikan kebenaran. Anda semua di rekam dalam jejak sejarah pers nasional. Jangan sampai karena ambisi dan tuntutan perut (bisnis) anda tidak adil, jujur dan sembunyikan kebenaran. Anda ditertawakan oleh publik dunia. Karena media-media dunia dengan cermat meliputnya.
Dan di alam demokrasi ini justru pers besar nasional dalam rezim pers justru tidak demokratis dan anti demokrasi karena diliputi kegelapan visi dan misinya dalam pemberitaan.
Bahkan, rezim pers semacam itu bisa dikatakan di bawah dan dikomandoi oleh jurnalisme mafia. Ya. Bisa saja kolaborasi mafia pers dan mafia kekuasaan untuk kepentingan bisanis dan politik dan kekuasaan.
Tapi satu hal. Meski rezim pers nasional tidak memberitakan acara Reuni 212. Tapi tumpah ruah jutaan masa mengitari Monas dan sekitarnya; membutikkan rezim pers nasional gagal total. Karena peran anda telah tergantikan oleh medsos dan media-media online.
Jika tidak segera berubah dan perbaiki diri dan minta maaf ke publik atas tidak diliputnya acara kolosal Reuni 212 itu. Media-media anda akan menjadi fosil segera mungkin. Wallahu’alam. *****
Muslim Arbi
Koordinator Gerakkan Perubahan (GarpU).
…..LAMA saya pertimbangkan untuk menuliskan hal ini. Ada rasa yang berbeda dari biasanya, maklum banyak di antara mereka adalah orang-orang yang saya kenal. Tetapi rasa malu yang membuncah membuat saya akhirnya menuliskan juga otokritik ini.
BERITA TERKAIT
Ya, sebagai orang yang pernah bergelut sebagai wartawan, sempat menjadi Pemred, dan Pemimpin Umum di beberapa media cetak nasional, sungguh saya malu melihat apa yang saat ini dilakukan oleh mereka yang masih aktif di media.
Sebagai sesama wartawan, tentu basis keilmuan kita sama. Bagi kita, kebenaran wajib dilaporkan. Bagi kita, berpihak dalam melaporkan fakta (apalagi jika dilakukan karena ada imbalan materi) haram hukumnya. Bagi kita, kebebasan dan netralitas wajib dijaga dan harus terjaga. Untuk itu, kita dilindungi oleh hukum dan dan undang-undang.
Tapi, belakangan ini, tepatnya sekitar dua tahun terakhir, ada yang aneh menyeruak di dunia pers kita. Netralitas seperti tersapu gelombang. Keberpihakan menjadi terang-benderang. Fakta di depan mata, bukan lagi berita. Mereka telah mengubah jatidiri kewartawanan menjadi pedagang. Mereka telah mengkhianati kejujuran.
Mayoritas media mainstream tidak lagi berada di orbit jurnalisme yang sesungguhnya. Mereka ramai-ramai telah -maaf- menjual diri mereka dengan sangat murah. Sungguh memalukan. Mereka telah berubah menjadi WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar) yang hidupnya hanya mengejar amplop.
Hersubeno Arief dan Ilham Bintang adalah dua sahabat saya yang telah lebih dulu menorehkan opininya. Bunuh diri pers, kata Hersu, begitu biasa saya sapa, menuliskan pandangannya. Keras dan tegas. Begitu juga Ilham, menuliskan rakyat telah menemukan cara sendiri untuk menyampaikan berita. “Rakyat telah mencabut media mainstream dari sanubarinya!”
Tak terbayangkan, ada jutaan manusia (saya sengaja tidak menulis umat islam dan umat-umat agama lainnya) berkumpul bersama di satu tempat (saya juga sengaja tidak menuliskan Monas), sangat damai, tertib, dan mampu membersihkan tempat dengan baik, tidak jadi berita. Sungguh aneh, fakta besar dilewati begitu saja. Mereka mengabaikan seolah-olah mata mereka buta dan kuping mereka tuli.
Kawan, sungguh malu rasanya engkau berbuat seperti itu. Sebagai sesama wartawan, aku ingin bertanya di mana nuranimu? Di mana engkau sematkan kejujuranmu? Kawan, engkau boleh memilih siapapun untuk menjadi apa pun, tetapi, ketika engkau menggunakan jubah kewartawanan, engkau wajib menyuarakan kebenaran. Engkau bukan dirimu, tapi englau adalah garda terdepan dari kebenaran.
Pertanyaannya: “Tidakkah engkau melihat jutaan manusia berkumpul di satu tempat Ahad (2/12/18)?” Lalu, kemana engkau berada hingga engkau abaikan semua itu?
Sekali lagi, malu rasanya melihat semua itu. Pertanyaannya, malukah engkau dengan prilakumu?
Beruntung masih ada tvone yang secara gagah meliput detik demi detik seluruh peristiwa itu. Ya, seperti slogannya: tvone memang beda!
Sekali lagi, semoga ada rasa malu di hatimu seperti malu yang menyeruak di dadaku. Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Dan semoga NKRI juga dalam lindunganNya, Aamiin.*****
M. Nigara
Wartawan senior, mantan Wasekjen PWI
JAKARTA – Nama Anya Geraldine awalnya dikenal sebagai seorang selebgram. Namun kini, Anya mengatakan ingin memfokuskan diri ke karir aktingya.
“Mulai sekarang aku ingin fokus main film, menjadi selebgram dan youtuber adalah hal nomor dua, jika ada waktu saja,” ujar Anya Geraldine.
“Aku bener-bener ingin jadi aktris, meski terus terang akting aku dapatkan secara otodidak, nggak pernah kursus akting. Aku hanya pernah kursus modeling, ” sambung pemilik nama asli Nur Amalina Hayati ini.
Tahun 2018, Anya sudah ikut produksi dalam tiga judul film. Anya berharap, ia bisa membuktikan kepada publik Tanah Air bahwa dia bisa akting.
“Dua film lagi ditayang pada tahun depan. Tapi udah ada beberapa film lagi dan tahun depan mulai syuting film lagi,” jelas pemain film ‘Rembulan Tenggelam di Wajahmu’.
“Genrenya beda-beda sih, jadi aku harus ekstra serius dan terus belajar ” kata mantan kekasih Bio One ini.(*Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro