..... REZIM pers di negeri ini sudah sungguh keterlaluan. Ukuran atas diksi ini karena acara Reuni 212 di Monas tanggal 2 Desember, Ahad lalu seolah tidak dianggap dan tidak ada. Sehingga tidak perlu dimuat oleh media-media besar televisi maupun media cetak.
Sebut saja. Untung hanya ada TvOne yang live, kalau tidak, peristiwa besar di penghujung tahun 2108 dan besar di abad ini luput dari perhatian publik dalam negeri. Ada sejumlah media cetak pagi dan sore seperti: Republika, Rakyat Merdeka, dan Harian Sore; Harian Terbit Sore yang muat. Untung ada medsos dan media-media online.
Meski demikian pers luar negeri dengan seksama mengikuti dan menyiarkan.
Rezim pers ini sudah sangat keterlaluan; maka wajar bila ada media cetak seperti koran pagi: Kompas (sejumlah kalangan sebut Kompas sebagai Komando Pastur) didesak untuk ditutup. Aktivis HMI dengan militan suarakan itu. Betapa tidak; alih-alih sudah tidak memberitakan peristiwa besar yang dihadiri oleh massa anak-anak bangsa dari dalam dan luar negeri dari berbagai kalangan agama, suku dan ras dalam jumlah mencapai di atas 10 juta itu.
Malah Senin, 4 Desember memuat gambar headline (HL) dengan "sampah plastik". Kompas seolah mengatakan aksi jutaan manusia di Monas pada 2 Desember itu adalah sampah plastik. Ini penghinaan luar biasa.
Saya sependapat Kompas harus diberi sanksi atas pemberitaan itu. Dewan Pers wajib periksa Kompas. Dan bila perlu Menteri Komunikasi dan Informatika membubarkan Kompas. Karena telah menghina umat dan anak-anak bangsa yang sedang membuat sebuah gerakan damai untuk aksi-aksi dan misi perdamaian dunia.
Dari sisi itu Kompas di bawah rezim pers dalam negeri seolah tidak senang dengan aksi jutaan anak-anak bangsa mengekpresikan diri dengan tertib, aman, damai dengan elegan dan simpatik. Kompas justru tidak memberitakan? Malah menghina dengan HL "sampah plastik"?
Sudah lama saya tidak membaca Kompas karena misi ketidakadilan dan kebenaran yang diembang Kompas. Kompas seolah monopoli kebenaran yang dimilikinya. Dan tidak memberitakan itu tidak benar dan tidak ada. Maka tidak salah dalam sejumlah postingan di akun media sosial FB, Twitter dan IG. Saya kategorikan Kompas dan sejumlah besar pers nasional (sebut saja, Media Indonesia, Tempo dan lain-lain) buta dan tuli atas Reuni 212 itu.
Sengaja tulisan ini baru di buat sekarang; sepekan ini diskursus di publik masih hangat atas ketidakadilan rezim pers nasional ini.
Meski demikian, saya coba pahami apa sebab peristiwa Reuni 212 yang kolosan itu luput dari pemberitaan media nasional itu. Minimal ada sejumlah amatan berikut ini.
Bisa jadi media-media yang tidak liput Reuni 212 itu sudah teken kontrak dengan salah satu pasangan capres atau memang pendukung setia rezim. Atau media tersebut benci dengan Islam dan gerakan yang damai umatnya.
Meski demikian perlu juga disadari kalau tidak dimuat itu karena unsur ketakutan terhadap rezim ini. Maka itu pertanda malapeta pers sedang anda lakukan. Karena tidak adil dan sembunyikan kebenaran. Anda semua di rekam dalam jejak sejarah pers nasional. Jangan sampai karena ambisi dan tuntutan perut (bisnis) anda tidak adil, jujur dan sembunyikan kebenaran. Anda ditertawakan oleh publik dunia. Karena media-media dunia dengan cermat meliputnya.
Dan di alam demokrasi ini justru pers besar nasional dalam rezim pers justru tidak demokratis dan anti demokrasi karena diliputi kegelapan visi dan misinya dalam pemberitaan.
Bahkan, rezim pers semacam itu bisa dikatakan di bawah dan dikomandoi oleh jurnalisme mafia. Ya. Bisa saja kolaborasi mafia pers dan mafia kekuasaan untuk kepentingan bisanis dan politik dan kekuasaan.
Tapi satu hal. Meski rezim pers nasional tidak memberitakan acara Reuni 212. Tapi tumpah ruah jutaan masa mengitari Monas dan sekitarnya; membutikkan rezim pers nasional gagal total. Karena peran anda telah tergantikan oleh medsos dan media-media online.
Jika tidak segera berubah dan perbaiki diri dan minta maaf ke publik atas tidak diliputnya acara kolosal Reuni 212 itu. Media-media anda akan menjadi fosil segera mungkin. Wallahu'alam. *****
Muslim Arbi
Koordinator Gerakkan Perubahan (GarpU).
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro