JAKARTA – Untuk kali pertama, pesinetron asal Palembang, Isel Fricella (20) menjajal film layar lebar bergenre horor. Isel yang sebelumnya membintangi serial ‘Ummi’ dan ‘Seleb’, didapuk menjadi pemeran utama dalam film horor bertitel ‘Tabu: Membuka Gerbang Iblis’.
“Baru pertama dapat pengalaman main film serem, syutingnya di hutan, nggak kebayang sebelumnya. Aku kaget dan takut beneran lho, jadi teriak-teriak histeris gitu,” kata Isel yang memulai karirnya di industri hiburan lewat Miss Celebrity Indonesia 2014 ini.
Berperan sebagai ‘Keyla’, gadis si pembuka pintu gerbang iblis yang sudah puluhan tahun lamanya dikerangkeng di sebuah hutan.
“Ceritanya aku dan teman-teman sekolah tanpa sengaja masuk dan terjebak dalam hutan terlarang,” ungkap Isel yang pernah ikut main serial populer ‘Dunia Terbalik’ dan berperan sebagai tokoh Asih.
Film besutan sutradara Angling Sagaran yang diproduksi Starvision Plus ini, sudah rampung dan siap diputar di bioskop.
“Sudah nggak sabar pengen nonton hehe, netizen juga udah rame nanyain, ” tandas Isel yang baru bertunangan dengan Miqdad Addausy.(*/Ind
….. MAHAL! Politik itu berat diongkos, terutama ketika perhelatan politik sebagaimana yang terjadi sekarang. Meski tampak tidak terlihat, proses kontestasi untuk kursi legislative diberbagai tingkat mulai dari level daerah hingga nasional terjadi. Hiruk pikuk hajat politik yang digelar secara bersamaan kali ini, memang seolah tertutupi oleh ajang Pilpres, sebagai pusat perhatian publik.
Pembiayaan kegiatan politik, khususnya terkait dengan proses pemilihan terjadi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam aktifitas kampanye politik domestik. Jelas bahwa kunjungan seorang kandidat kesuatu lokasi basis pemilihan membutuhkan biaya, tetapi disitulah letak esensi keterwakilan yang representative, bukan hanya persoalan yang tampak terbaca dari angka-angka statistik, tetapi wujud dari aspirasi langsung melalui interaksi fisik.
Pertanyaannya, mengapa kemudian politik kita bisa dikategorikan sebagai “high cost politics”? Tentu saja terkait dengan model kampanye yang dilakukan. Apa maknanya? Konsepsi gagasan dan interaksi fisik secara langsung, tampak menjadi prioritas sekunder dibandingkan dengan penempatan alat peraga kampanye, semisal spanduk, poster dan baliho. Dalam kaidah estetik, alat peraga sedemikian, justru mendapatkan pengistilahan negative, sebagai “sampah visual” yang memenuhi ruang publik.
Lantas, dimana letak muara permasalahan ongkos politik ini? Kita dapat telusur kebiasaan ini dari bentuk uang pamrih kepada calon pemilih, yang sering disebut sebagai “politik uang” untuk membeli kepastian dukungan. Meski hal tersebut telah menjadi sebuah kondisi yang nampak “tertinggal” di era sosial media, tetapi praktik ini tetap dilangsungkan oleh kandidat untuk mendapatkan komitmen suara secara riil. Mengapa begitu? Faktornya terletak diperangkat berpikir para kandidat itu sendiri.
Rasionalisasinya dapat dipahami, dalam logika (a) politik uang adalah hal yang nampak lazim, karena telah berlangsung lama, (b) bila prinsip politik uang dihilangkan dalam konteks kampanye, maka seolah tidak ada jaminan untuk mendapatkan suara dukungan, dan akhirnya (c) jika kandidat tidak menjalankan hal tersebut, maka ada kandidat lain yang akan melakukannya, dan situasi ini dinilai sebagai indikasi kekalahan. Kita lalu terjebak dalam rantai tidak berkesudahan, politik transaksional.
Politik Berlogika Ekonomi
Biaya kampanye yang semakin membengkak, juga diakibatkan dari keinginan alias syahwat, untuk mempergunakan berbagai kanal media dalam mempromosikan figure individual. Maka kemudian, ongkos politik pun bertambah. Terlebih, kita juga terjatuh pada upaya mengerek popularitas secara instan, dimana fase kaderisasi partai tidak lagi menjadi standar dalam kerangka memajukan seorang calon, tetapi lebih disebabkan oleh kemampuan untuk mempersiapkan logistik kampanye.
Politik instan menghasilkan ketidakmatangan. Terdapat andil kegagalan partai politik dalam melakukan pendidikan politik. Hal yang kemudian muncul adalah fenomena “candidate base oriented” alih-alih pembentukan identitas ideologis yang melekat pada garis partai politik. Dengan menguatnya politik berbasis kandidat, maka partai politik ditempatkan hanya sebagai wadah formal, yang bisa berganti bila kemudian dirasakan tidak mampu memnuhi ambisi politik individu.
Logika ini menjelaskan mengapa seorang kandidat, dengan sangat mudah melakukan perpindahan gerbong partai, atau dikenal sebagai “kutu loncat”, merupakan pertanda mekanisme demokrasi diinternal partai tidak berjalan untuk menyelesaikan persoalan tujuan politik individu dan organisasi. Maka kalkulasi ekonomi yang dipergunakan dalam panggung politik, menjadi racun yang mematikan kehidupan demokrasi. Terlebih ketika ongkos politik yang tinggi, mengharuskan upaya pengembalian investasi yang telah dikeluarkan.
Situasi tersebut mampu menjawab masalah kondisi wajah politik jelang momentum perhelatan pemilihan, yang diwarnai dengan semakin sering terjadinya operasi tangkap tangan oleh KPK. Tidak hanya bagi kandidat yang berlatar pengusaha, juga bagi calon yang diusung oleh kekuatan pengusaha hasilnya pun serupa. Lantas, ketika terpilih nantinya, maka terjadi upaya “balas jasa” dengan pemberian konsesi sebagai kompensasi atas kekuasaan yang dimiliki.
Jadi apakah kandidat yang kemudian disokong oleh kapasitas dana kampanye besar dapat dipercayai memenangkan kontestasi? Tidak ada jawaban pasti akan hal ini, karena basis pemilih terbagi menjadi berbagai lapis, setidaknya (a) massa tradisional yang ideologis sehingga telah memiliki pihan pasti, (b) basis rasional yang masih belum menentukan pilihan, dan (c) segmen apatis yang tidak peduli dengan isu politik. Kemampuan mengolah dana kampanye menjadi bahan material untuk dapat mempengaruhi aspek kognisi -pengetahuan publik, afeksi -psikologi massa, hingga pada akhirnya mengubah konasi -tindakan memilih, jelas merupakan bagian dari strategi yang harus dipersiapkan.
Tetapi kita harus paham, bila publik memiliki kecerdasan politik yang tidak dapat dianggap remeh, terlebih karena akses informasi diera internet menghadirkan kemudahan untuk melakukan pencarian informasi sesuai ketertarikan publik itu sendiri. Jelas sudah, kini saatnya publik untuk memastikan hal-hal penting dalam mencermati aktor politik, yakni: (a) ethos -kredibilitas, (b) pathos -kemampuan pengelolaan emosi psikologis, dan (c) logos -berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ingat ini bukan lagi saatnya “membeli kucing dalam karung.*****
Yudhi Hertanto
Saat ini sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid.
JAKARTA – Pasca-menikah dengan Edward Akbar, pada 26 Agustus 2018, artis Kimberly Ryder kini kembali disibukkan dengan aktivitasnya di dunia hiburan dengan membintangi film ‘Koki Koki Cilik 2’.
“Ini film perdana setelah menikah, pasti akan ingat terus, terlebih syuting juga pernah ditemanin suami,”tutur Kimberly Ryder.
Bintang film ‘Chika’ ini mengatakan, meski sudah berumah tangga dirinya harus tetap aktif bekerja dan belum berpikir meninggalkan dunia hiburan. Apalagi wanita kelahiran Jakarta, 6 Agustus 1993 itu juga baru menyelesaikan kuliahnya.
“Aku kan habis kuliah S2 cukup lama juga jalanin di London, Inggris. Sayang banget aja gitu kalau habis selesai kuliah, nikah, terus tiba-tiba kuliahnya nggak diapa-apain. Pengennya terus berkarir agar ilmunya bisa bermanfaat,”ungkapnya.
Karena ingin fokus pada pekerjaan, Kimberly Ryder mengaku belum mau buru-buru memiliki momongan. Namun, bukan berarti Kim menolak jika dirinya ditakdirkan untuk cepat dapat momongan.
“Kalau aku punya anak nanti tunggu Allah ngasih saja ya. Kalau sekarang masih mau kerja,” kata Kimberly Ryder.
Meski tahu bakal sibuk bekerja di lokasi syuting, bintang film ‘Winter In Tokyo’ ini menjamin tidak akan melupakan perannya sebagai seorang istri.
“Pastinya sekarang sudah nikah jadi tinggalnya bareng suami. Jadi nggak bisa cuma mikirin diri sendiri aja, harus mikirin suami, bersihin rumah, kamu tahulah sebagai istri harus ngapain aja. Terus saling mengerti aja sih, nggak bisa mikirin diri sendiri aja,”tandasnya.
Film ‘Koki Koki Cilik 2’ direncanakan tayang Lebaran Idul Fitri 2019.(*/Nia)
….. KEPUTUSAN Ketua KPU Arief Budiman terkait dengan penghentian penyampaian visi-misi jelang debat perdana Pilpres 2019 yang semula dijadwalkan 9 Januari 2019 dapat dipastikan tidak berjalan.
Arief menyebut keputusan ini diambil pada Jumat (4/1) malam usai rapat dengan tim pemenangan dari masing-masing pasangan calon.
“Soal sosialisasi visi misi, tadi malam sudah diputuskan. Silahkan dilaksanakan sendiri-sendiri. Tempat dan waktu mereka yang tentukan sendiri. Jadi tidak lagi difasilitasi oleh KPU,” kata Arief.
Keputusan Ketua KPU ini tentu patut diduga bahwa KPU tidak paham tentang aturan hukum terutama terkait UU Pemilu.
Pasal 274 ayat (2) UU Pemilu menyebutkan bahwa “Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik”.
Apa makna dari ketentuan tersebut diatas ? Bahwa ketentuan tersebut secara jelas meyebutkan bahwa fasilitasi yang dilakukan oleh KPU terhadap kedua paslon dalam penyampaian visi dan misi adalah sesuatu yang wajib.
Jika KPU tidak melaksanakan atau tidak memfasilitasi penyampaian visi dan misi yang sudah terjadwal tanggal 9 Janiari 2019 ini, maka dapat dikatakan KPU lalai menjalankan perintah UU.
Hal yang terpenting dari penyampaian visi dan misi kedua paslon ini adalah selain karna amanat UU dan terlebih lagi adalah hak masyarakat untuk ingin mengetahui sejauh mana visi dan misi dari kedua paslon untuk membangun dan mengelola republik ini.
Lebih-lebih lagi kondisi ekonomi dan penegakan hukum saat ini yang kurang menggembirakan. Masyarakat berpandangan bahwa penegakan hukum di pemerintahan Pak Jokowi kurang berjalan dengan baik.
Dalam perspektif ekonomi, terutama terhadap paslon nomor urut satu sebagai petahana, perlu dijelaskan kepada publik secara nasional, bagaimana kondisi ekonomi saat ini yang pada awalnya memberikan janji manis kepada masyarakat bahwa pentumbuhan ekenomo di 2018 dan 2019 sebesar 8 persen, namun kini hanya berkisar pada angka 5%.
Begitu juga dengan janji pak Jokowi bahwa jika terpilih menjadi presiden dollar akan turun dari Rp 12.000 sebelum menjadi presiden ke Rp 10.000 jika terpilih. Sekarang malah dollar memantapkan diri di kisaran Rp 14.000 sampai Rp 15.000.
Hal lain yang perlu untuk dijelaskan kepada rakyat adalah kondisi utang negara saat ini. Selama masa pemerintahan Jokowi, utang baru tercipta sebesar Rp 3.200 triliun. Angka yang lebih besar dua kali dari pemerintahan-pemerintahan senelumnya.
Selain itu, Jokowi juga perlu menjelaskan bagaimana manajemen pengelolaan utang negara yang terbilang sangat besar ini? Kemana saja uang itu dibelanjakan? Tentu harus dijawab oleh Pak Jokowi melalui penyampaian visi dan misinya.
Demikian juga dalam konteks penegakan hukum, yang tidak mencerminkan adanya rasa keadilan masyarakat. Proses penegakan hukum korupsi yang masih terkesan tebang pilih. Hukum terkesan hanya digunakan sebagai alat politik, dan lain-lain.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu ingin mengetahui bagaimana visi dan misi paslon untuk memperbaiki dan menata kembali kondisi ekonomi maupun kondisi hukum negara ini ke arah yang lebih baik. Penegakan hukum yang sesuai dengan amanat dan harapan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara.
Dari penyampaian visi misi inilah masyakat akan menentukan pilihannya kepada siapa rakyat akan menjatuhkan pilihan politiknya. Oleh karena itu, Perlu ditegaskan kembali bahwa jika penyampaian visi dan misi paslon ditiadakan maka dapat dikatakan KPU telah salah memahami perintah UU tentang Pemilu. Jika visi misi tidak dilaksanakan, maka sebaiknya debat juga ditiadakan saja. Toh, debat capres cawapres adalah pengembangan dari visi dan misi cawapres.
KPU seharusnya memahami posisinya sebagai lembaga yang independent. Tugas KPU hanya menjalankan amanat rakyat susai perintah UU. KPU bukan dalam posisi menafsirkan UU atau membuat aturan hukum tidak jelas.
Jika KPU tidak independet. Bila KPU tidak jujur dalam melaksanakan tugasnya, maka sangat beralasan bila ada warga masyarakat yang hendak menggugat eksistensi KPU. Sebab tidak menjalankan fungsinya untuk mengatur jalannya proses pemilu yang jujur, adil dan demokratis. *****
Ismail Rumadan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
JAKARTA – Vega Darwanti naik daun sejak jadi pendamping Tukul Arwana sebagai host di acara talkshow Empat Mata yang berganti nama jadi Bukan Empat Mata.
Sejak itu, namanya populer di dunia hiburan. Tak sedikit tawaran kerja sebagai MC berdatangan.
“Ditawar sering lho, kalau budget-nya mahal ditawar. Kan nge-MC cuma 3 sampai 4 jam, masa mahal banget, gitu,” kata Vega Darwanti ditemui di kawasan Jalan Kapten P Tendean, Jakarta Selatan, Senin (7/1/2019).
Disinggung soal prostitusi online, Vega Darwanti membeberkan mengaku sama sekali tak pernah mendapat tawaran tersebut.
Ia menduga, statusnya yang sudah menikah menjadi alasan tak pernah ditawari hal demikian.
“Mungkin sebelum nikah banyak yang nawar, tapi nawar mahal,” candanya disusul tawa.
“Enggaklah kalau tawar-tawar “bobok” atau yang aneh-aneh enggak pernah. Aku nego sama suami aja sih, hihihi,” tambah dia.
Vega Darwanti turut berkomentar terkait prostitusi online yang melibatkan Vanessa Angel.
Soal itu, ia tak ingin menduga-duga apa yang menjadi alasan Vanessa untuk mengikuti bisnis tersebut. Sebab, menurut Vega, belum tentu Vanessa melakukan hal itu demi mendulang uang.
“Contoh misalnya Vanessa Angel kan banyak program tv-nya, dia juga kan sinetron, FTV, gitu. Jadi aku enggak tahu persis,” katanya.(*/Ind)
….. RAKYAT makin geram terhadap sikap KPU. Awalnya curiga kok KPU bikin kotak surat suara dari kardus. Itu terjadi di saat kepercayaan rakyat sedang anjlok.
Otomatis muncul kecurigaan adanya rencana kecurangan. Rasa curiga ini berawal dari data DPT (Daftar Pemilih Tetap) masih bermasalah. Lalu muncul fakta KTP berceceran di berbagai tempat. Tiada ujung dalam pengusutan. Tak ada terduga, apalagi tersangka.
Berbagai alasan normatif dibuat. Pertama, karena adanya aturan yang membolehkan. Kedua, untuk menekan anggaran negara. Jelas terkesan mengada-ada. Ganjil, alias tak masuk di akal.
Hajat demokrasi yang sangat penting dan ditunggu rakyat karena akan menentukan masa depan bangsa seolah dipermainkan. Ini bukan soal kardus. Ini masalah akses dan potensi kecurangan. Bukan rahasia umum bahwa pemilu kita selama ini sarat kecurangan. Eh, malah diperlebar aksesnya dengan kotak suara dari bahan kardus.
Belum selesai soal ini, muncul kebijakan baru KPU: penyampaian visi dan misi dibatalkan. Alasannya? Dua pihak tak ada kesepakatan. Petahana minta diwakili oleh timses, sementara kubu Prabowo-Sandi menuntut paslon yang menyampaikan. Akhirnya, batal! Aneh, aturan KPU diserahkan pada kesepakatan paslon. Kalau nggak disepakati, nggak jadi.
Kalau aturan diserahkan ke paslon, kenapa dua paslon nggak suit aja. Humpimpah alaikum gambreng. Lahirlah presiden dan wakil presiden baru. Kelar negeri ini.
Nampak sekali kalau KPU tidak punya standar bagaimana membuat aturan dan kebijakan untuk mengawal pemilu agar berkualitas. Jangan sampai rakyat bilang bahwa standar KPU sudah disesuaikan dengan standar kemenangan Paslon. Kalau benar begitu, KPU telah berubah fungsi jadi pemain, bukan wasit. Dan ini akan jadi pembunuhan pelan-pelan dan sistematis terhadap demokrasi. Dengan begitu, masa depan bangsa akan terancam.
Masalah pembatalan visi dan misi sedang hangat diperbincangkan publik, datang lagi kebijakan baru yang tak kalah anehnya. KPU membuat keputusan untuk mengirimkan bocoran pertanyaan ke paslon seminggu sebelum debat dimulai. Apa alasanya? Agar paslon punya waktu mempelajari dan menyiapkan jawabannya dengan detil.
Kita bisa bayangkan jika pemimpin dihadapkan pada berbagai masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Tak terduga, dan keluar dari rencana. Kalau dihadapkan pada pertanyaan spontan panelis saja gak siap, bagaimana mau menghadapi problem besar bangsa yang tiba-tiba?
Justru yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menghadapi masalah. Bagaimana di tengah masalah itu ia tampil untuk memberikan solusi.
Banyak masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Gempa dan tsunami bertubi-tubi di saat dolar naik, utang mulai sulit dan APBN defisit. Bagaimana cara mengatasinya? Di sinilah kecerdasan dan insting seorang pemimpin akan menentukan. Misal, musibah datang, pemimpin hadir ke pengungsian, ke rumah sakit, untuk pertama, memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin yang selalu hadir di tengah rakyat yang terdampak bencana.
Kedua, instruksikan kepada kementerian dan dinas terkait untuk mendata dan menyelesaikan kebutuhan mereka. Bila perlu, gunakan anggaran dari pos lain. Ini darurat. Jadi, datang tepat waktu, tepat sasaran dan tepat kebijakan. Bagaimana jadi pemimpin jika tidak siap untuk reaksi tanggap darurat?
Rencana Oktober produksi mobil Esemka. Lalu, uji emisi nggak lolos. Bagaimana solusi alternatifnya agar rakyat tak kecewa? Disinilah seorang pemimpin dituntut kecerdasan, kecekatan dan ketegasannya. Jangan bilang: itu bukan urusan pemerintah. Itu urusan perusahaan swasta. Loh!
Rupiah anjlok dan dolar melambung tinggi. Padahal janjinya diangka 10 ribu rupiah. Das sain gak sesuai das sollen. Ekspektasi tak seindah kenyataan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdas dan bertanggung jawab dalam menyikapi. Tidak boleh diam, apalagi berlagak lupa.
Masalah bangsa ada yang predictable, mudah diprediksi, tapi banyak yang unpredictable, tak bisa diprediksi. Karena itu, butuh pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pemimpin adalah eksepsional person. Manusia yang berbeda.
Debat capres-cawapres yang selama ini berlaku yaitu mendayagunakan para panelis untuk membongkar isi otak capres-cawapres itu sangat bagus.
Para panelis mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan kondisi bangsa, dan menguji sejauhmana para calon pemimpin bangsa ini mengerti dan menguasai problem bangsa yang akan dipimpinnya. Lalu memberi solusi cepat dan tepat. Ini on the track. Dari sini rakyat bisa menilai kemampuan para calon pemimpin.
Anehnya, KPU mau mengubahnya. Rencananya, pertanyaan lebih dulu dikirim ke capres-cawapres. Ini jadi kesempatan bagi capres-cawapres untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu ke timses. Jawabannya tinggal dihafal dan disampaikan saat debat.
Kalau begitu, lalu apa gunanya nyapres dan nyawapres kalau untuk menjawab pertanyaan saja harus menghafal dari timsesnya? Ini modus menghindar. Jangan sampai bilang: saya mau ngetes para timses saya. Silahkan timses anu…. Lah pripun toh mas…
Keputusan KPU tentang pembatalan penyampaian visi-misi dan mengirim pertanyaan ke Paslon sebelum jadual debat, ini sangat berbahaya. Pertama, akan melahirkan pemimpin yang boleh jadi tak paham dengan visi dan misinya. Karena, tanggung jawabnya diserahkan kepada timses. Kedua, akan lahir pemimpin yang tidak siap dengan masalah. Ketiga, membuat pemimpin akan kehilangan legitimasi dari rakyatnya.
Dugaan publik terus tumbuh bahwa KPU tidak sedang menjadikan demokrasi sebagai ikhtiar untuk melahirkan kepemimpinan yang berkualitas, tapi KPU ada untuk melayani paslon tertentu.
Jika kecurigaan ini menguat, legitimasi KPU makin lemah dan Pemilu terancam. Rakyat akan berpikir, untuk apa pemilu diselenggarakan jika KPU tak netral? *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
….. KEIKUTSERTAAN KH. Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019 pada awalnya diharapkan bisa meneduhkan dinamika perpolitikan, yang sejak jauh hari memang sudah menunjukkan tensi tinggi. Kiai Ma’ruf diharapkan bisa menjadi contoh bagaimana berpolitik secara islami, pancasilais, yang intinya politik yang beretika dan berkeadaban.
Harapan itu dianggap tepat mengingat posisinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sehingga dia dinilai paling paham bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam dan Pancasila dalam kehidupan termasuk dalam politik.
Misalnya materi kampanye yang benar dan disampaikan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Kalau pun menyanggah lawan, juga dengan cara-cara yang baik dan elegan. Seperti digariskan dalam Alquran. Pancasila juga menjunjung tinggi nilai-nilai seperti itu.
Dengan demikian, tidak ada caci maki, sumpah serapah, fitnah, dusta, provokatif, dan kebohongan di ruang publik. Suara yang terdengar pun akhirnya hanya voice yang penuh makna, bukan sound apalagi noise yang berisik dan hanya mengundang keributan. Pilpres pada akhirnya benar-benar menjadi tempat adu gagasan, menawarkan yang terbaik kepada rakyat sebagai pemilih.
Namun sayang, Kiai Ma’ruf tampaknya masih jauh dari nilai-nilai ideal tersebut. Gaya komunikasinya malah ketus, nyinyir. Kiai Maruf juga tidak tampil sebagaimana kebanyakan ulama NU yang selalu guyon, humor, dan penuh canda, sesuatu yang diharapkan agar pelaksanaan Pilpres 2019 ini bisa berlangsung riang, gembira, dan penuh rasa persaudaraan.
Kiai Ma’ruf kerap pula asal klaim seperti politisi kebanyakan, tidak peduli benar atau tidak, demi menonjolkan dirinya dan pasangannya hanya untuk mendongkrak elektabilitas. Misalnya mengklaim sebagai penggerak aksi besar umat Islam 212 dan menyebut Jokowi yang membawa zikir ke Istana.
Untuk yang terakhir ini, tidak usah jauh-jauh menelisik ke belakang untuk menegasikan klaimnya. Cukup masa SBY saja. Karena ketika itu, Istana juga selalu menggelar acara zikir. Apalagi dia mempunyai Majelis Zikir SBY Nurussalam. Jangan-jangan Kiai Maruf punya andil dalam pelaksanaan zikir masa SBY. Mengingat Kiai Maruf merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang keagamaan. Bahkan jabatan tersebut ia emban dalam dua periode Pemerintahan SBY.
Belum lagi isu-isu lainnya. Seperti mobil Esemka yang ia sebut akan diluncurkan pada bulan Oktober, yang nyatanya tidak ada. Dan yang membuat umat semakin mempertanyakan adalah sikapnya yang berubah terhadap fatwa atau kebijakannya sebelumnya selaku Ketua Umum MUI.
Kita sebut dua contoh saja. Pertama, soal ucapan Natal. Meski memang tidak ada fatwa MUI yang mengharamkan ucapan selamat Natal, tapi Kiai Ma’ruf secara pribadi mengimbau umat Islam untuk tidak mengucapkannya. Tapi sekarang, malah dia sendiri yang menabrak imbauannya tersebut.
Kedua, dan ini yang terbaru, adalah soal pengakuannya yang menyesal telah memiliki andil dalam menjebloskan Basuki T. Purnama ke penjara terkait kasus penistaan agama. Bahkan dia mengaku terpaksa untuk hadir sebagai saksi dalam persidangan. Itu artinya pula, Kiai Ma’ruf menyesal dan merasa terpaksa mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terkait kasus Ahok.
Apa yang dilakukan Kiai Ma’ruf tersebut, termasuk soal Natal, sulit untuk tidak mengatakan, bahwa itu bermotif politik. Dia ingin merebut hati para Ahoker, yang sebelumnya memang menunjukkan resisten kepadanya. Apalagi sebelumnya disebutkan pada Januari ini Kiai Ma’ruf akan membuat kejutan. Kejutan ini sebagai jawaban atas penilaian bahwa Kiai Ma’ruf belum memberikan insentif elektoral kepada Jokowi. Bahkan keberadaan Kiai Ma’ruf justru menjadi beban, yang menggembosi elektabilitas sang petahana. Karena itu, boleh jadi pengakuan penyesalan tersebut sebagai kejutan pembuka di awal Januari.
Publik dan terutama umat Islam tentu sangat menyangkan sikap Kiai Ma’ruf tersebut. Karena bukan tidak mungkin pula, akan banyak fatwa atau kebijakan Kiai Ma’ruf sebelumnya yang dianulir atau dikoreksi demi mengejar kekuasaan. Salah satu Fatwa MUI yang akan jadi korban boleh jadi adalah fatwa haram atau tidak boleh memilih pemimpin yang ingkar janji.
Padahal Buya HAMKA sudah memberi contoh, bagaimana mempertahankan sebuah fatwa. Dia bahkan rela mundur sebagai Ketua MUI ketika diminta Pemerintah untuk mencabut sebuah fatwa. Karena ulama, kata Buya HAMKA, tidak dapat dibeli. Sebab sudah lama sudah lama terjual. Pembelinya adalah Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran.
Tidak Mengejutkan
Berbagai kontroversi yang mengikuti perjalanan Kiai Ma’ruf sejak ditetapkan sebagai cawapres sebenarnya tidak mengejutkan. Manuvernya jelang detik-detik Jokowi mengumumkan siapa yang akan mendampinginya menjadi penunjuk yang jelas. Manuver Kiai Ma’ruf bahkan dengan terang benderang dibongkar oleh Mahfud MD, orang yang sedianya akan menjadi cawapres Jokowi. Salah satu manuvernya adalah lewat ancaman NU akan meninggalkan Jokowi kalau bukan kader NU yang jadi cawapres.
Belum lagi kalau membaca tulisan Buya Syafii Maarif Drama Mahfud MD dan Peta Politik Nasional di media nasional. Seiring menguatnya nama Mahfud MD, tulisnya ketika itu, beberapa anggota BPIP juga ikut bergerak dan mengutus seorang anggota untuk menemui tokoh berpengaruh di negeri ini agar mempertimbangkan nama Mahfud.
Namun pada akhirnya, Mahfud MD tersingkir secara tragis. Yang menggantikannya adalah sesama anggota BPIP seperti Mahfud MD dan Buya Syafii. Yaitu KH Maruf Amin.
Dari luar, publik hanya bergumam bahwa di kalangan para tokoh bangsa ternyata juga terjadi intrik, manuver, penelikungan, bahkan mungkin juga pengkhianatan.
Karena itulah tampaknya, harapan publik agar Kiai Ma’ruf bisa menjadi teladan mulai kandas. Karena ternyata Kiai Ma’ruf tidak ada bedanya dengan politikus kebanyakan. Bahkan, malah tidak sedikit yang menilai, Kiai Ma’ruf sejatinya adalah seorang politikus. Karena dia punya pengalaman panjang juga di partai politik sebelumnya bahkan sejak Orde Baru. Malah sempat juga berkonflik di sebuah partai, yang membuatnya keluar dan kemudian mendirikan partai baru.
Apalagi Kiai Ma’ruf Amin tidak memberikan contoh dengan mundur dari semua jabatan publik begitu ditetapkan sebagai cawapres. Karena dia masih menjadi Ketua Umum MUI, tetap menjadi anggota BPIP dan termasuk masih menjabat di OJK serta sejumlah Bank Syariah.
Malah Sandiaga Uno layak menjadi teladan. Meski bisa cuti, tapi dia memilih mundur sebagai Wagub DKI karena maju di Pilpres. Demikian juga Dahnil Anzar Simanjuntak. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menanggalkan status PNS begitu ditunjuk sebagai Koordinator Jubir Prabowo-Sandi. Gaya komunikasi keduanya, yang santun, tertata, fokus pada gagasan dan perang ide, pantas juga untuk dicontoh para politisi.
Tapi apapun itu, rakyat berharap, semua calon dan tim sukses untuk menampilkan gaya politik yang elegan. Terutama Kiai Ma’ruf agar marwah ulama tetap terjaga di mata umat dan rakyat pada umumnya.*****
Zulhidayat Siregar
JAKARTA – Ada dua artis Ibukota yang ditangkap polisi Polda Jatim saat menggerebeg kasus prostitusi online, Sabtu (5/1/2019). Semula polisi menyebut inisial VA dan FA, kemudian mengiyakan bahwa VA adalah Vanessa Angel.
“Itu benar Vanessa Angel yang ditangkap prostitusi. Tapi dari Wadir Krimsus Polda Jatim ya, AKBP Arman Asmara. Tulis saja itu,” ucap Frans dihubungi Sabtu (5/1/2019).
Frans menegaskan jika nanti akan dirilis langsung oleh pihak Kriminal Khusus Polda Jawa Timur. Tapi dirinya menegaskan kalau itu memang benar Vanessa Angel. “Sudah pasti itu sudah pasti, karena semua bikin kasus ini kok,” katanya
Kini Polda Jatim sudah melakukan penahanan terhadap VA dan FA karena diduga terlibat kasus prostitusi online). Polisi menggelandang keduanya dari salah satu hotel di Surabaya sekitar pukul 12.30 WIB.
Kedua perempuan itu diciduk saat tengah berkencan di dalam satu kamar hotel. Namun, polisi belum menyatakan dengan siapa mereka berhubungan badan.
Wadirkrimsus Polda Jawa Timur, AKBP Arman Asmara mengatakan, VA adalah salah satu artis FTV. Dia mematok tarif Rp 25 juta sekali kencan. Sedangkan FA, adalah model majalah dewasa. FA sendiri mematok tarif Rp 80 juta untuk sekali kencan.
“Tapi masih penyidikan ya. Karena kami tangkap di salah satu hotel di Surabaya. Bukan suami istri, sedang berhubungan badan,” kata Arman di Mapolda Jawa Timur, Sabtu (5/1).
Arman belum memberikan keterangan lebih rinci terkait dengan terbongkarnya aktivitas yang diduga prostitusi online itu. Dia menyatakan, pihaknya masih melakukan pengembangan terhadap kelima orang yang diamankan.
Selain FA dan VA sebagai korban, polisi juga mengamankan 2 orang saksi dan seorang lainnya yang diduga mucikari. Dari hasil interogasi sementara, VA dan FA diketahui telah bolak-balik melakukan perjalanan dengan rute Jakarta – Surabaya.
Namun belum diketahui pasti apakah dalam rangka menerima job atau terlibat aktivitas prostitusi online. “Sudah sebulan kami menyelidiki via media sosial. Mereka sudah bolak balik Jakarta Surabaya,” kata Arman.
Sebagai Informasi, VA bukan artis pertama yang terciduk polisi di Surabaya. Sebelumnya, artis dan model Anggita Sari pernah berurusan dengan Polrestabes Surabaya. (*/Ind)
JAKARTA – Punya kekuatan supernatural justru membikinnya tambah repot, harus berhadapan dengan teror di dunia mistis. Itulah yang dirasakan aktris belia Caitlin Halderman (19) dalam film horor Dreadout yang siap tayang dalam waktu dekat.
“Padahal sebenarnya aku nggak punya kekuatan supernatural, bahkan aku cenderung penakut. Jadi kebalikan dengan karakter Linda yang aku perankan,” ujar Caitlin.
Aktris berdarah Belanda-Indonesia ini juga harus melakoni adegan fighting, terjatuh dari ketinggian, menabrak tembok tanpa peran pengganti.
“Semua aku lakukan sendiri. Aku mempersiapkan diri dengan berlatih fisik hampir dua bulan lho. Bener-bener total menguras tenaga tapi seru banget,” bebernya.
DreadOut The Movie merupakan film bergenre horor yang diangkat dari game horor PC buatan developer Indonesia pertama yang sukses secara internasional.
“Game ini sudah terkenal, apalagi dulu waktu game-nya keluar aku masih kecil malah, belum tahu apa-apa,” katanya.(*/Ind)
….. SAYA sengaja tak membuat catatan akhir tahun. Banyak yang sudah melakukan, sambil berharap tahun 2019 ini lebih baik. Profesi sebagai wartawan yang bertahun-tahun saya geluti juga berubah lebih baik.
Sayang harapan itu menjadi sirna. Hari terakhir di tahun 2018 diawali dengan status nyinyir wartawan super senior Goenawan Mohammad yang selama ini cukup saya hormati. Melalui akun twitternya @gm_gm menyerang capres Prabowo.
GM adalah tipikal wartawan sekaligus sastrawan partisan yang kelasnya sudah jatuh ke titik nadir, sekelas buzzer bayaran. Sangat disayangkan.
Saya yakin banyak orang seperti saya yang dulu mengidolakan GM. Saya tak pernah absen mengikuti catatan pinggirnya. Sebuah tulisan berupa perenungan berbagai hal tentang aspek kehidupan. Tulisan yang hanya bisa dihasilkan seorang empu yang berdiri lebih tinggi di atas birahi kuasa, dan dunia.
Sekarang kekaguman itu, terpaksa harus saya tarik ulang. Saya harus membuat catatan kaki. Banyak catatan kaki atas perilaku Mas GM. Saya tak mau terjebak pada isu-isu kehidupan pribadinya yang banyak miringnya. Biarlah itu urusan dirinya dengan keluarga dan Tuhannya.
Saya mengamati sejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan sekarang menjelang Pilpres 2019, GM adalah Jokower dan Ahoker kelas berat. Die hard. Sayang dukungannya itu tidak dilakukan melalui tulisan-tulisan mendalam yang menjadi keahliannya. Dia terjebak dalam wacana nyinyir media sosial. Kelasnya sekarang sama dengan Denny JA yang rajin menyebar meme dungu.
Wajar banyak yang curiga, dukungan itu dilakukan atas motif kuasa, bahkan imbalan harta. Sejumlah media mengabarkan atas nama Kongres Kebudayaan, GM baru saja mendapat bantuan dari Presiden Jokowi sebesar Rp 5 triliun untuk para seniman.
Wartawan, ulama dan seniman yang baik itu punya standar perilaku hidup yang sama. Mereka adalah manusia merdeka, yang hidupnya harus berjarak dari kekuasaan.
Dalam Islam sampai diajarkan : “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama.”
Begitu pula dengan seniman. Mereka adalah manusia-manusia merdeka, bebas terbang di angkasa. Mereka mengamati dari kejauhan perilaku para penguasa dengan waspada. Seniman besar si “burung merak” WS Rendra sepanjang hidupnya, tetap menjaga sikap kritisnya terhadap penguasa. Dia tak pernah tergoda oleh kursi dan kuasa.
Wartawan, demikian pula adanya. Dia harus berjarak dari penguasa. Saya sepakat dengan wartawan senior Hersubeno Arief yang menyebut laku hidup seorang wartawan itu seperti ulama dan para pemuka agama. Laku asketis, menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Mantan aktivis mahasiswa dari ITB DR Syahganda Nainggolan menyebut mereka “orang-orang merdeka.”
Dulu ketika baru menjadi wartawan, kami diberi indoktrinasi. “Tidak boleh terlalu jauh, dan tidak boleh terlalu dekat dengan nara sumber, utamanya dengan para pejabat.” Terlalu jauh, tidak akan pernah mendapat informasi dan berita. Terlalu dekat, bisa mengaburkan obyektivitas.
Saking hati-hatinya, secara berkala dilakukan rotasi terhadap watawan yang nge-pos di satu departemen atau instansi pemerintah. Tujuannya supaya tetap bisa menjaga jarak, obyektif.
Mereka yang terlalu lama nge-pos di satu tempat dikhawatirkan akan kehilangan obyektivitasnya. Hubungan yang baik dengan seorang penguasa, akan membuat nalurinya sebagai seorang jurnalis yang kritis, tumpul. Mereka akan berubah dari seorang wartawan menjadi seorang petugas humas.
Semua batasan dan sikap ideal itu saat ini seakan menguap di luar angkasa. Sepanjang tahun 2018 kita menyaksikan ulama, seniman, wartawan berlomba-lomba mendekati kekuasaan. Berebut saling sikut untuk masuk dalam kekuasaan. Yang tidak bisa masuk, yang penting dekat dan bisa menikmati berkah dari kuasa.
Boleh Memihak
Bukan berarti wartawan tidak boleh memihak. Wartawan bahkan harus memihak. Dia harus berpihak kepada kepentingan publik. Berpihak kepada tegaknya keadilan. Dia harus melakukan advokasi ketika penguasa menginjak-injak kepentingan publik.
Dalam konteks politik dan pilpres, media juga boleh berpihak. Selama motifnya bukan ekonomi dan kuasa. Praktik semacam ini sudah biasa di Amerika Serikat. Pada Pilpres 2016 sejumlah media secara terbuka berkampanye menentang Trump.
Pada bukan Agustus 2018 sejumlah media di AS bersatu melakukan kampanye menentang Trump. Kampanye yang dipimpin oleh Harian Boston Globe itu diikuti sejumlah media, termasuk Harian The New York Times. Mereka menyabut aksi tersebut sebagai perang kotor terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintahan Trump.
Pada Pilpres 2014 Harian Jakarta Post secara terbuka mendukung Jokowi melawan Prabowo. Dalam artikel berjudul Endorsing Jokowi yang dimuat dalam edisi Jumat, 4 Juli 2014 menyebut pilihannya karena menentang penyalagunaan kekuasaan dan hak asasi.
Kita tunggu apakah Jakarta Post akan mengambil sikap yang sama sekarang ini. Para pengamat asing secara tegas menyebut rezim Jokowi adalah Neo Orba, otoriter dan anti demokrasi. Seharusnya Jakarta Post berani menyatakan kembali sikapnya yang memasang pertaruhan tinggi, tidak ada netralitas terhadap Jokowi.
Sikap ini harus terus dijaga pada Pilpres 2019 apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya. Andai saja Prabowo yang menang dan terpilih sebagai presiden, maka media harus bersikap sama. Mereka juga harus tetap kritis dan berani berpihak kepada kebenaran.
Media adalah salah satu fitur utama demokrasi. Salah satu pilar penting yang harus kita jaga tegak dan berdirinya. Tanpa media yang bersikap independen dan berjarak dari penguasa, tidak ada demokrasi. *****
Djadjang Nurjaman
Pemerhati Media dan Ruang Publik
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro