….. SUDAH banyak bencana alam yang menimpa negeri ini, mulai dari tanah longsor, erupsi gunung berapi, gempa bumi hingga pesawat jatuh. Tahun 2018 bisa dibilang sebagai tahun yang penuh ujian untuk Indonesia. Musibah bencana alam silih berganti sepanjang tahun ini.
Bencana teranyar adalah tsunami di Selat Sunda, yang menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga pukul 13.00 WIB hari Selasa (25/12) ini, tercatat telah menelan korban jiwa sebanyak 429 orang.
Sebelum tsunami di Banten dan Lampung, bencana tsunami dan gempa dahsyat juga melanda wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada bulan September lalu.
Waktu itu, BMKG menyatakan tsunami setinggi 1,5 meter terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pasca Gempa Bumi 7,4 Skala Richter menghantam pada pukul 17.02 WIB, berada pada kedalaman 10 kilometer dengan koordinat 0.18 LS dan 119.85 BT.
Sebulan sebelum gempa dan tsunami di Sulteng, terjadi gempa bumi besar yang menerjang Nusa Tenggara Barat (NTB). Bencana di NTB ini menewaskan lebih dari 500 orang, dan sebagian besar terjadi di sisi utara Pulau Lombok.
Pada peristiwa bencana alam tersebut, tidak terlihat adanya direction yang jelas dari Joko Widodo sebagai Kepala Negara dan Presiden RI.
Dalam setiap tragedi tersebut, Jokowi hanya sekedar datang untuk foto-foto dan berpose didepan kamera para wartawan. Misalnya, kedatangan Jokowi ke wilayah tsunami Selat Sunda, di Banten dia malah jalan-jalan sendirian di pinggir pantai seperti orang kebingungan.
Sehingga kedatangan Jokowi ke lokasi bencana terkesan seperti sedang melakukan pencitraan. Oleh karena itu wajar kalau banyak masyarakat yang menilai kedatangan Jokowi ke lokasi bencana alam tidak terlalu memberi banyak manfaat.
Alih-alih bersungguh empati bertemu dengan para korban bencana tsunami di Banten dan Lampung, Jokowi malah lebih viral dengan kegiatan untuk “shooting di pinggir pantai”.
Rakyat sekarang sudah semakin cerdas. Tidak gampang dibodohi oleh aksi-aksi murahan “sutradara film politik”.
Seorang kepala negara yang berwibawa dan memiliki kemampuan leadership yang mumpuni, seharusnya cepat tanggap dan responsif dalam setiap menghadapi krisis yang bersifat mendadak seperti kasus bencana alam ini.
Pada saat menerima informasi terjadi tsunami di Selat Sunda, Presiden Jokowi seharusnya bisa dengan cepat mengumpulkan para menteri serta pimpinan lembaga serta badan yang terkait dengan penanganan bencana alam. Misalnya, seperti Menteri Sosial, Menteri PUPR, Kepala Basarnas, Kepala BMKG dan Kepala BNPB.
Tujuannya, untuk mengumpulkan data dan informasi mutakhir dari lapangan. Nah dari pengumpulan informasi tersebut, Presiden lalu membuat arahan dan instruksi kepada intansi lain, seperti TNI atau Polri untuk melakukan pencarian korban bencana.
Jika Presiden mampu bekerja cepat tanggap, dengan sendirinya masyarakat bisa melihat kesungguhan pemerintah dalam membantu korban bencana alam.
Dalam situasi krisis, Presiden juga perlu menguasai pengetahuan umum tentang bencana alam. Hal-hal seperti ini tampaknya tidak dipunyai Jokowi. Padahal dia sudah menjadi Presiden selama empat tahun dan telah beberapa kali menghadapi bencana alam. Tapi masyarakat tidak melihat adanya kesungguhan dari Presiden Jokowi dalam menangani tragedi kemanusiaan akibat bencana alam.
Setidaknya seorang Presiden bisa memahami tahapan-tahapan dalam penanganan bencana alam. Tahap pertama, berupa aksi tanggap darurat yakni kegiatan evakuasi korban dan analisa kebutuhan.
Kedua, tahap rekonsturksi antara lain pembangunan shelter, dan lain-lain. Tahap ketiga, pemulihan kembali dan pemberdayaan masyarakat korban bencana alam.
Dalam setiap bencana alam di Tanah Air selama ini, yang pertama terjun ke lokasi umumnya para relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan.
Mereka bergerak atas inisiatif sendiri dan seringkali mereka datang lebih dulu dibandingkan lembaga pemerintah yang terkait dengan masalah kebencanaan.
Jika melihat korban serta kerusakan akibat bencana tsunami di Banten dan Lampung, sebaiknya penanganan bencana ini ditangani secara nasional. Bukan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Banten dan Pemprov Lampung. Apalagi diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten yang daerahnya terdampak bencana alam.
Kecuali jika Presiden Jokowi tidak mau pusing dan tidak peduli dengan derita yang dirasakan masyarakat Banten dan Lampung. Jika ingin mendapat apresiasi masyarakat, sekaranglah saatnya Jokowi menunjukkan kepeduliannya. Tabik*****
Penulis: Tjahja Gunawan,wartawan senior
….. ANAK-anak muda sekarang nyalinya bener-bener gede. Tidak ada yang ditakuti. Istana dan Presiden Jokowi sudah kehilangan aura magisnya. Perlawanan arus bawah sudah menembus batas dinding kesakralan.
Aksi mereka, kian hari kian berani. Salam dua jari sudah menjadi teror yang menghantui Jokowi, bahkan istana kepresidenan.
Sebuah foto yang beredar massif di medsos menunjukkan beberapa remaja yang berfoto di tangga Istana bersama Jokowi mengacungkan salam dua jari. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikannya. Apakah anak-anak ini tidak mengenal rasa takut, atau istana dan presiden yang sudah kehilangan wibawa?
Para remaja ini benar-benar bernyali besar. Mereka adalah rombongan pelajar NU yang dibawa Sekjen Pengurus Besar (PB) NU Helmy Faisal Zaini dan sejumlah pengurus PBNU, bersama Menteri Pemuda Imam Nahrowi bertemu Jokowi di Istana Merdeka.
Seusai acara mereka diajak melakukan sesi foto resmi di tangga Istana. Ini pose formal. Pose kehormatan seperti pose para menteri yang baru dilantik.
Helmy Faisal dan pengurus PBNU terlihat mengacungkan 1 jari, diikuti sejumlah pelajar. Beberapa diantaranya memilih pose netral mengepalkan tinju. Yang buat kaget beberapa pelajar putri, berani mati mengacungkan dua jari.
Sebuah pukulan telak langsung di pusat kekuasaan. Sebuah perlawanan heroik yang menunjukkan nyali besar, sekaligus hancurnya wibawa istana dan Presiden Jokowi.
Perlawanan arus bawah ini menunjukkan posisi Jokowi sudah gawat darurat. Rakyat berani mengatakan langsung kepada Jokowi di istana, bahwa dia sudah tidak dikehendaki. Kami punya pilihan berbeda.
Dalam berbagai kunjungan di daerah Jokowi diteror remaja pengusung salam dua jari. Remaja mengacungkan salam dua jari ketika foto bersama (welfie) belakangan ini sudah jamak terjadi. Kemanapun Jokowi pergi sejumlah remaja sengaja mencari celah meledek Jokowi dan para petugas Paspampres.
Di Riau sejumlah remaja malah mengacungkan salam dua jari di depan Jokowi yang dikawal Kepala BIN Budi Gunawan dan Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksana.
Di Madura sejumlah remaja menimpali seruan pembawa acara Jokowi Pole (sekali lagi) menjadi Jokowi Mole (pulanglah). Hal itu terjadi pada deklarasi dukungan para kyai kepada Jokowi-Ma’ruf.
Bukan hanya Jokowi yang menjadi sasaran. Cawapres Ma’ruf Amin juga jadi korban keisengan. Sebuah video tengah viral ketika seorang ibu-ibu sengaja mengajak Ali Muchtar Ngabalin dan istrinya bicara soal Pilpres. Si Ibu dengan santainya mengacung-acungkan salam dua jari, dan merekamnya.
Wartawan senior Hersubeno Arief menyebut fenomena ini sebagai bentuk pembangkangan sosial (social disobedience) yang berubah menjadi perlawanan sosial.
Arus perlawanan ini seharusnya menyadarkan Jokowi dan tim kampanye sedang terjadi arus balik. Dilihat dari eskalasinya, dalam beberapa bulan ke depan, arus ini bisa berubah menjadi gelombang. Sebuah gelombang besar rakyat yang menghendaki perubahan.*****
Djadjang Nurjaman
Pengamat Media dan Ruang Publik
…..SEBAGAI seorang prajurit Prabowo Subianto memiliki nalar pertahanan yang sempurna dalam konteks menjaga kedaulatan negara dari dominasi asing, dan penguasaan asing.
Hal ini diperkuat dari penyataannya yang berbentuk warning bagi bangsa Indonesia, seperti peringatan Indonesia Bubar tahun 2030. Pernyataan itu bukan tidak mungkin, bahkan pernah terjadi dalam sejarah Indonesia sendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 kita bisa melihat Indonesia terpecah menjadi negara-negara kecil yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara, itulah yang dikenal sebaga Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dan baru menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah Mosi Integral Muhammad Natsir 3 April 1950.
Negara RIS yang lahir dari hasil konferensi Meja Bundar akibat dari Agresi militer Belanda Kedua adalah pelajaran penting bagi Indonesia, bahwa diplomasi internasional itu sangat penting. Pemerintah dituntut tidak hanya pandai mencitrakan diri di rakyatnya dengan mengambilalih kewenangan lurah dan camat, tetapi pemimpin yang mampu untuk mengkonsolidasikan ideologi dan pandangan negara dalam forum internasional untuk memberikan warning bahwa negara ini adalah negara yang kuat dan berwibawa.
Wibawa di mata internasional menjadi modal bagi bangsa untuk berdaulat di mata dunia. Jadi, sangat beralasan ketika Prabowo berpidato bahwa Indonesia akan bubar dan bangkrut itu bisa menjadi kenyataan kalau yang memimpin negara adalah ‘boneka’ yang tidak tahu cara berdiplomasi untuk mengangkat wibawa dan martabat bangsa di kancah pergaulan internasional.
Begitulah cara pandang bernegara seorang prajurit yang berbeda dari cara pandang ‘boneka’. Boneka hanya pajangan, sementara prajurit menyiapkan diri menjadi ‘tumbal’ demi membela keutuhan dan kedaulatan bangsannya.
Pandangan Prabowo tentang bubarnya sebuah negara bukanlah pesimisme. Dalam sejarah dapat kita saksikan, negara sekuat Romawi, sehebat Persia bisa tenggelam dalam sejarah dan jejaknya tinggal kita lihat dalam buku-buku sejarah. Begitu pula negara yang pernah mendominasi Perang Dunia I dan Perang Dunia II, yaitu Negara Uni Soviet yang sekarang sudah bubar yang tertinggal hanya di rawa sejarah.
Tapi kenapa di Indonesia, warning yang serius seperti ini dianggap sebagai ancaman? Apakah negara ini sudah dikuasai oleh penjajah, sehingga pidato yang menggelorakan altruisme itu dianggap sebagai pesimisme? Hal ini patut kita teliti lebih dalam dan cermati lebih baik lagi.
Kebangkrutan Sebuah Bangsa
Negara gagal dan bangkrut kemudian bubar bisa oleh beberapa hal:
Pertama, dikarenakan oleh kecongkakan penguasa, yang mendalihkan dirinya sebagai pengendali kebenaran, kemudian bertindak otoriter terhadap bangsanya sendiri. Penguasa-penguasa seperti ini adalah pemegang api dalam sekam, yang setiap saat mengancam keutuhan bangsa. Di bawah kendali penguasa seperti ini, ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar, kriminalisasi terhadap perbedaan menjadi lumrah, sebuah ancaman bagi demokrasi.
Penguasa yang congkak, berbaju secuil, kekuasaan kerdil, bukanlah fenomena baru, melainkan fenomena kuno yang bisa diambil hikmahnya. Dimana ketika kekuasaan melampaui batas, maka yang terjadi adalah permusuhan abadi dan balas dendam tanpa henti.
Hal ini akan menjadi beban berat bagi sebuah bangsa. Penguasa-penguasa yang seperti ini akan melahirkan protes dan disintegrasi yang menyebabkan perpecahan dalam sebuah negara.
Kedua, terbukannya peluang bagi warga-warga negara asing untuk bebas masuk di Indonesia dan menetap di dalamnya. Kebebasan ini bahkan mendorong suatu kejadian yang lebih jauh lagi, yaitu terjadinya invansi kekuatan-kekuatan asing di wilayah kedaulatan RI.
Kita dapat menyaksikan, eksodus warga China ke Inonesia sangat terasa. Mereka datang sebagai tenaga kerja untuk proyek-proyek yang diserahkan ke China (Kereta Cepat, Jalan Tol dan Infraatruktur lannya). Kasus skorsing atas Lion Air (ketahuan mengangkut warga dari China tetapi mendarat di bandara domestik sehingga tidak ada pemeriksaan dokumen) menjadi tanda bahwa China mulai memindahkan warganya ke Indonesia. Akankah kita menjadi seperti Singapura? Warga negara asli Singapura saat ini telah tergususur dan Singapura menjadi seperti provinsi China.
Bukankah ini sebuah ancaman akan kedaulatan negara? Kebijakan pemerintah memberikan kemudahan bagi tenaga kerja Asing, kemudian diikuti dengan kebijakan memperbolehkan warga asing memiliki property, bahkan menguasai 35 bidang usaha setelah keluar kebijakan paket ekonomi x di Indonesia. Selanjutnya dipermudah lagi memberikan kewarganegaraan, diberi ruang untuk membikin organisasi di Indonesia, hingga nanti diberikan hak untuk memilih. Semua menjadi muqaddimah dari pengambilalihan negara oleh bangsa lain.
Ketiga, musnah dan bubarnya suatu negara bisa terjadi, apabila rakyat sudah tidak memperhatikan keadaan negaranya. Efek ini sudah terlihat jelas di dalam kehidupan kebangsaan kita. Oknum-oknum lembaga-lembaga negara merenggut kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga itu dengan cara-cara tertentu.
Elit politik menampilkan konstalasi politik yang paling buruk, mulai dari saling menjatuhkan hingga menyerang lawan secara membabi buta. Dari hal ini akan mengawali kekecewaan publik hingga mereka mulai pesimis terhadap negara. Apabila pesimisme itu meluas atau yang saya istilahkan pesimisme kolektif, yang terjadi adalah kekacauan dalam masyarakat, seperti tindakan kriminal hingga main hakim sendiri, menolak konsensus politik, trauma masyarakat untuk ikut dalam politik dan birokrasi pemerintahan, menjadi bagian jalan melemahkan negara.
Dengan demikian, negara diisi oleh antek-antek asing, hukum dipermainkan oleh penegak hukum, birokrasi dijadikan sebagai alat untuk menstimulus agenda kolonialisme.
Keempat, ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Kekayaan nasional Indonesia masih dikuasai segelintir orang. 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,8 persen kekayaan nasional. Kekayaan nasional terkonsentrasi di segelintir penduduk. Proporsi total kekayaan yang dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya menguasai 45,4 persen kekayaan nasional.
LSM Oxfam pada Februari 2017 menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan ketimpangan paling parah di dunia. Oxfam mencatat, harta empat taipan terkaya di negara ini sama dengan harta yang dimiliki oleh 100 juta orang miskin. Harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai USD 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sementara total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar USD24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun.
Penguasaan ekonomi seperti ini adalah buah karya kebijakan. Yaitu kebijakan neoliberal yang pro utang luar negeri, pro investor asing, pro lembaga internasional, pro pemodal, pro konglomerat, dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme yang dikembangkan cenderung kapitalisme kroni.
Tanggapan Prabowo sebagai Prajurit
Bagaimana mungkin seorang prajurit dengan semangat bela negara tega melihat keadaan ini. Tega melihat penguasa yang congkak dan dengan muka pencitraan? Bagaimana mungkin Prabowo sebagai prajurit Abdi Negara tega melihat bangsa lain diberikan tempat untuk bekerja di tengah bangsa sendiri yang ‘memproduksi pengangguran’. Tidak mungkin pula Prabowo diam melihat rakyat Indonesia sudah mulai putus asa akibat tingkah laku elit politik dan penguasa. Bagaimana ia harus berpangku tangan, sementara ia menyaksikan kekayaan bangsa Indonesia dieksploitasi, rakyat miskin makin susah dan kehidupan rakyat banyak masih miskin, sedangkan ‘mafia-mafia’ dan bandit ekonomi ongkang-ongkang kaki?
Inilah mengapa dengan Prabowo mengatakan bahwa negara ini bisa bubar apabila ini dibiarkan penguasa yang congkak dan yang memegang kendali negara orang mengerti mengelola negara. Itulah makna pidato Prabowo pada hakikatnya.
Tetapi dalam konteks politik, pidato yang memancing adrenalin untuk berpikir itu dianggap sebagai pesimisme, dan dijawab dengan cemooh oleh politisi yang tidak sejalan dengannya. Mereka bukan menjawabnya secara ilmiah melainkan dengan tuduhan-tuduhan yang mengarah pada pribadi dan keluarga.
Indonesia Bisa Punah
Prabowo dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Senin, 17 Desember 2018, menyebutkan bahwa negara ini akan punah apabila dia tidak menang.
Benarkah Indonesia bisa Punah? Saya secara pribadi sependapat dengan argumentasi tersebut. Sebab kebijakan-kebijakan pemerintah selama 4 tahun terakhir ini menandakan adanya sebuah gelombang besar masuknya kekuatan asing. Sementara ketidakadilan, kriminalisasi, dan pengkotak-kotakan masyarakat telah terjadi. Kejadian ini hanya terjadi dalam empat tahun terakhir, dan apabila ini diperpanjang menjadi 10 tahun bisa saja 2030 Indonesia akan punah.
Pernyataan bahwa Indonesia akan punah disebabkan hanya ada dua alternatif pilihan yaitu pasangan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maaruf. Tidak ada alternatif calon presiden lain kecuali dua pilihan itu. Dalam konteks dua pilihan inilah Prabowo menyanpaikan bahwa negara bisa musnah apabila masyarakat memberikan kesempatan bagi kegagalan satu periode memperpanjang kegagalannya hingga tahun 2024 yang akan datang.
Menimbang Track record
Prabowo Subianto memang belum pernah memegang jabatan pemerintahan sipil, tapi bukan berarti ia tidak mengerti bagaimana menjalankan pemerintahan itu. Seperti halnya presiden-presiden sebelumnya, seperti Soekarno dan Soeharto, mereka tidak pernah memegang jabatan sipil, tetapi penguasaannya terhadap masalah kenegaraan sudah tuntas.
Begitu pula Prabowo, ia paham dan mengerti bagaimana mengelola negara dengan baik, ketimbang memperpanajang yang amatiran. Semua orang tahu, reputasinya sebagai seorang Perwira TNI sangat gemilang. Prabowo berhasil mengamankan Presiden Fretilin, Nicolau Lobato, dalam operasi penangkapan pada tanggal 31 Desember 1978. Waktu itu, Prabowo Subianto bertindak sebagai kapten yang memimpin 28 pasukan elit. Prabowo berhasil memimpin operasi penyelamatan peneliti Ekspedisi Lorentz 95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka dalam operasi pembebasan sandera mapenduma pada tahun 1996. Waktu itu, Prabowo Subianto bertindak sebagai komandan.
Spirit altruisme yang tertanam dalam dada Prabowo diwariskan dari keluarga besarnya. Karena itulah kecintaannya pada Indonesia bukanlah kecintaan semu untuk meraih kekuasaan. Bapaknya adalah tokoh politik dan ekonom yang paling cemerlang pikirannya serta gurubesar Universitas Indonesia.
Gelora politik dengan pidato yang menggugah nurani, mencerminkan sikap kecintaannya pada Tanah Air. Peringatan-peringatan kerasnya tentang keadaan Indonesia yang sedang dalam ‘ambang krisis’ merupakan bentuk sikap yang wajar. Pernyataannya tentang pragmatisme yang secara vulgar tanpa untuk mencari simpati menjadi arah pembaharuan politik Indonesia.
Sumbangan-sumbagannya dalam bidang olahraga dan bidang militer, serta keterlibatannya dalam dunia ekonomi telah memberikan konstribusi besar bagi bangsa dan negara. Memang tidak kelihatan sebagaimana yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, tapi dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.
Sebagai kesimpulan, bahwa pengetahuan politik, ekonomi dan pertahanan menjadikan pribadi Prabowo sebagai harapan untuk memimpin Indonesia menjadi negara yang kuat, negara yang adil dan makmur ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur’. Wallahualam bis shawab. *****
Dr. Ahmad Yani
Calon Anggota DPR RI dari PBB Dapil DKI Jakarta 1 Jakarta Timur.
….. SEJAK Joko Widodo berkuasa 2014, sebagian umat Islam Indonesia merasakan adanya tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman politis, hukum dan bahkan keamanan. Semula umat Islam mengira bahwa puncak tekanan dan ancaman adalah ketika Pilgub DKI. Kenyataannya berlanjut sampai sekarang.
Pelan tapi pasti, tekanan, ancaman dan ketidakadilan yang diterima justru telah menyatukan umat Islam yang diwujudkan antara lain dalam bentuk Aksi Damai 411 dan 212 tahun 2016. Kegigihan umat Islam ini menarik perhatian dan simpati banyak kalangan, sehingga mampu memenangkan pilgub DKI yang sebelumnya dilukiskan Ahok tidak mungkin terkalahkan. Ahok didukung kekuasaan, dana yang besar, media, lembaga survey dan konsultan serta macam-macam jaringan ini itu.
Ujian demi demi ujian atau ketidak-adilan demi ketidak-adilan yang diterima umat Islam dan mereka non muslim yang bersimpati kepadanya telah memfilter mana, siapa tokoh dan aktivis yang munafik, oportunis, dan bayaran yang “berguguran” termasuk yang bergelar ulama atau tokoh dengan sebutan terhormat seperti kiai haji, buya, tuan guru, guru besar dan lain-lain.
Ujian, godaan, tekanan dan ancaman yang dihadapi umat Islam dan non-muslim simpatisan perjuangan mereka memang berat dan kadang menakutkan. Terutama label anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika, anti Pancasila, SARA, radikalisme, intoleran dan lain-lain. Tuduhan atau Laporan yang umumnya asbun, yang diyakini semata mata hanya untuk menakut nakuti dan membungkam gerakan atau perjuangan umat yang tidak mendukung Jokowi atau Ahok.
Sebelumnya untuk memadamkan gerakan perlawanan, penguasa mencoba menggunakan “bom nuklir” dengan tuduhan upaya makar. Upaya ini kandas. Sementara aktor aktor intelektual Aksi Akbar (Aksi Damai) umat islam 411 tahun 2016 utamanya Habib Rizik Syihab (HRS) “dikerjain” menjadi TSK chatting porno sehingga hijrah ke Makkah sampai sekarang. Dengan pertolongan Allah SWT, kondisi HRS yang sempat tersudut dan mencekam, kini alhamdullilah telah aman dan mampu menggerakkan Reuni Akbar 212.
Hingga saat ini tidak henti hentinya kami menerima laporan dari para ustad pendukung 212 yang notabene pendukung Paslon 02 Prabowo-Sandi bahwa rejeki mereka dihabisi. Tempat-tempat (masjid dan lain-lain) dimana para ustad ini biasa mengisi termasuk kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, BUMN/ BUMD seperti ada yang mengomando tiba-tiba menghentikan/menolak mereka. Dalam kepedihan dan tangisannya, mereka berdoa dan tetap Istiqomah. Insha Allah doa para terdholimi ini makbul. Allah SWT akan membukakan pintu rejeki halal yang lain, dan para penista ustad menerima hukuman yang setimpal.
Dugaan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh penguasa ditengarai telah merambah ke semua lini kekuasaan dan menjadi sorotan kritis dari banyak kalangan, antara lain dari tulisan-tulisan rutin jurnalis senior Hersubeno Arief, dan Selamat Ginting (Republika) pada 12 Desember 2018. Demikian pula analisis Dr. Thomas Powell yang juga membahas penyalahgunaan polisi dan TNI untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres. Menurut dia, Presiden Jokowi telah menjadi atau mengarah sebagai penguasa otoriter.
Tetapi banyak para purnawirawan TNI dan polisi di kubu Prabowo yang percaya bahwa lebih banyak perwira dan prajurit yang sapta margais setia membela negara, bukan penguasa. Justru yang profesional itulah yang “mencatat atau mendata” penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan para pelakunya. Selain itu, menurut para purnawirawan senior TNI dan polisi di kubu Prabowo bahwa mereka yang masih aktip juga kecewa dan gelisah dengan promosi jabatan dan pangkat yang beraroma politis dan nepotisme.
Langkah-langkah kubu Jokowi yang tengah berkuasa ini ternyata kontra produktif sehingga menggerus elektabilitas Jokowi-Maruf Amin. Di sektor perikanan, kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti juga telah lama membuat nelayan gusar. Kebijakan impor tenaga kerja China telah membangkitkan kemarahan publik khususnya buruh. Demikian pula kebijakan impor pangan khususnya beras, ditengarai telah memicu kemarahan petani. Walhasil hampir semua kebijakan pemerintahan Jkw termasuk pengaturan jilbab untuk pegawai negeri sipil dan pengaturan dibukanya sektor usaha UKM untuk asing dinilai tidak pro-rakyat, sewenang-wenang dan kontra produktif.
Di tengah suasana yang serba babak belur dan kepanikan akan kalah, kebijakan pemerintah Jokowi justru semakin represif terhadap kubu lawannya. Para pejuang pro Prabowo masih saja dihadapkan dengan berbagai macam macam laporan rekayasa tuduhan atau fitnah hukum dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan berat sebelah dalam urusan atau pelayanan hukum.
Sering merasa dikriminalisasi, yang selalu di bantah oleh pemerintah. Meski tidak terlihat nyata, umat juga merasakan adanya permainan intelijen, dan cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, adanya keluhan bahwa permohonan izinnya dipersulit, atau tidak bisa diperpanjang atau pembatasan tayang dlsb. Sayangnya mereka yang berkeluh kesah ini belum bersedia membawa keluhannya ke ruang publik. Mereka selalu berharap perbaikan dan keadilan nanti setelah ada pergantian rezim.
Untuk menghentikan perjuangan para ulama, habaib, dan dai, Kemenag mengeluarkan sejenis sertipikat layak khotib yang kontroversial dan alhamdulillah program ini layu sebelum berlanjut. Demikian pula ketika ada upaya paparan masjid masjid yang di cap radikal yang disambut dingin dan sinis.
Hebatnya, meskipun merasakan serangan ini itu, “sisa” umat dan tokoh non muslim yang bersimpati yang sudah teruji atau lulus ujian bukannya berkurang tetapi malah bertambah besar, solid, dewasa dan militan seperti yang antara lain terlihat ketika Reuni 212 tahun 2018.
Apa yang membuat umat Islam semakin solid dan luas dukungannya selain perasaan bahwa pemerintahan Jokowi tidak friendly terhadap Islam dan tokoh-tokoh Islam? Umat Islam dan para simpatisan yakin bahwa mereka bukanlah seperti yang di tuduhkan sebagai intoleran dan lain sebagainya itu. Bahkan umat yakin sebagai kelompok yang amat toleran. Sebaliknya umat merasakan ketidakadilan dan tindakan represif. Umat merasa bahwa untuk memenangkan pilpres 2019, penguasa sudah main kayu yang mengancam kehidupan berdemokrasi seperti yang dianalisa Dr. Powell.
Umat Islam merasa bahwa pemerintahan Jokowi intoleran terhadap pengkritik beliau tetapi toleran terhadap pelaku korupsi sehingga banyak koruptor yang kabur, perdagangan narkoba sehingga tetap marak dan tidak ada lagi eksekusi, terhadap penista agama yang pro Jokowi sehingga tidak diproses hukum.
Memasuki tahun politik 2019 khususnya pilpres dengan hanya ada dua pasang, sikap umat islam dan pendukung perubahan rezim (baru) semakin percaya diri bahwa cahaya kemenangan sudah di depan mata. Bukan saja karena blunder demi blunder yang dibuat kubu Jokowi-Ma’ruf Amin, tapi merapatnya (meski sebagian masih diam diam) sel sel kubu Jokowi ke kubu Prabowo-Sandi, semakin meyakinkan bahwa dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin tengah rontok.
Kampanye Jokowi dan MA umumnya sepi pengunjung. Pengarahan politik oleh kubu Jokowi-MA baik melalui jalur Timses (TKN) maupun jajaran birokrasi agar memilih Paslon 01 kabarnya ditolak atau dilawan rakyat baik diam diam maupun terbuka, bahkan ada yang dilaporkan ke Bawaslu.
Begitu pula klaim klaim sukses pembangunan oleh Jkw dan jajarannya mulai di bongkar oleh rakyat, terakhir klaim pembangunan jalan Trans Papua di bantah oleh Natalius Pigai dan viralnya rekaman video pidato Presiden Suharto.
Akibatnya elektabilitas Jokowi-MA terus menurun sementara elektabilitas Prabowo-Sandi terus meningkat. Trend ini begitu pasti sehingga tidak terbendung. Bisik bisik di kalangan asingpun sudah merata bahwa akan ada presiden baru. Prediksi yang dapat di percaya, walau masih bisik bisik sampai pada angka 40/42% – 60/58% untuk kemenangan Prabowo-Sandi.
Upaya-upaya ala band-wagon effects yang gencar dilakukan oleh surveyors tertentu yang sudah dikenal tidak independen, mulai dicibir dan dicuekin publik. Publik sudah mencatat bahwa surveyors itu sudah tidak kredibel. Kami meyakini mereka hanya menjalankan bisnis upahan. Publik masih ingat bagaimana surveyors itu meramal kemenangan Ahok, atau memprediksi perolehan suara Cagub Jabar Sudrajat dan Cagub Jateng Sudirman Said yang ternyata meleset jauh diluar margin of error. Karena itu tidaklah salah bila publik mencibir bahwa survey-survey itu adalah pesanan berbayar.
Semua ini sedang mengantarkan karir politik Jokowi dalam pilpres 17 April 2019 akan senasib dengan Ahok, kalah meyakinkan.*****
FUAD BAWAZIER
Penulis adalah pengamat ekonomi dan politik.
…..Kenangan bagaimana umat Islam pada malam hari berduyun-duyun mendatangi kawasan Monas agar bisa mengikuti qiyamul lail, pembuka dari semua rangkaian kegiatan yang telah disiapkan panitia. Sementara umat Islam dari berbagai daerah sudah tiba sejak sore atau sehari sebelumnya.
Saya sendiri bersama beberapa teman berangkat dari kawasan Gunung Sindur, Bogor, pukul 03.00 WIB dini hari. Beruntung masih terkejar salat subuh berjamaah. Namun karena umat sudah penuh sesak, kami hanya bisa melaksanakan salat wajib dua rakaat tersebut di bundaran Indosat.
Jumlah umat Islam yang mengikuti aksi reuni 212 benar-benar di luar perkiraan banyak orang. Sampai-sampai koran Rakyat Merdeka menurunkan headline dengan judul 212 Makin Lama Makin Besar, Kenapa Ya? RM memperkirakan jumlah massa yang hadir mencapai 8 juta orang. Melebihi aksi dua tahun lalu. Karena massa yang terus berdatangan tidak berhenti bahkan sampai siang hari.
Semua yang hadir menyimpan sejuta kenangan. Misalnya bagaimana kekhusu’an dalam berdoa, kebersamaan antara sesama, saling mengingatkan kalau ada yang menginjak rumput dan buang sampah sembarangan, hingga yel-yel dan orasi dari para tokoh yang membangkitkan semangat persatuan.
Kita juga menyaksikan bagaimana ramahnya para relawan, mulai dari menyajikan makanan hingga relawan kebersihan. Setiap orang ingin ikut berpartisipasi bahkan termasuk tokoh-tokoh, tak peduli apapun perannya apakah harus di atas panggung atau tidak, seperti tokoh muda nasional Dahnil Anzar Simanjuntak turut yang ikut menjadi pemungut sampah.
Tapi aksi ini juga memunculkan satu pertanyaan, kekuatan apa yang mendorong umat Islam melangkahkan kaki dari berbagai penjuru menuju Monas? Padahal sebelumnya, berbagai upaya telah dilakukan banyak kalangan untuk menggembosi aksi reuni 212 tersebut. Termasuk sejumlah ulama dan pimpinan ormas yang melarang warganya untuk ikut. Dengan bermacam-macam alasan dimunculkan. Misalnya acara tersebut tidak ada gunannya, rawan disusupi aksi radikal, bahkan ada yang menyebutkan kegiatan tersebut tidak sesuai dengan anjuran agama.
Namun hal itu tidak menyurutkan langkah umat. Malah Pondok Pesantren Darussalam, Wanaraja, Garut memohon maaf tidak bisa menerima kedatangan Ketua Umum MUI yang juga cawapres, KH Maruf Amin pada hari itu mengingat mereka juga mengikuti reuni 212. Tingginya antusiasme umat membuat aksi reuni 212 pecah, membludak. Mereka tidak peduli dengan berbagai cara yang bermaksud untuk merintangi.
Penolakan terhadap kegiatan aksi reuni 212 termasuk dilakukan oleh tokoh-tokoh agama tersebut terutama saat aksi 2 tahun lalu sebenarnya bukan hal yang mengagetkan. Karena sejak dulu selalu ada saja ulama yang pro pemerintah dan ikut berhadap-hadapan dengan umat. Bahkan sejak zaman penjajahan Belanda.
Kita ingat dulu bagaimana upaya pihak Belanda menghalangi, menghambat, bahkan ingin menghancurkan Sarekat Islam. SI merupakan organisasi pertama yang menyuarakan kemerdekaan. Apalagi jumlah anggotanya pernah mencapai dua juta orang lintas etnis, daerah, dan kelas sosial. Sehingga keberadaan SI sangat mengkhawatirkan Belanda.
Karena berbagai upaya telah gagal, Belanda juga menggunakan sebuah pamflet yang ditulis Sayid Othman bin Jahja al-Alawi, seorang sekutu pemerintah kolonial, untuk menjauhkan masyarakat dari Sarekat Islam. Pamflet yang ditulis dalam bahasa Arab dan berjudul “Menghentikan Rakyat Biasa Dari Bergabung Dengan Sarekat Islam” menuduh Sarekat Islam sebagai tidak Islam sama sekali. Dan para pemimpinnya, terutama Tjokroaminoto tidaklah hidup sesuai dengan norma-norma Islam. Pamflet ini disebarkan pemerintah kepada guru-guru agama di Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia (Noer, 1990).
Namun langkah pemerintah tersebut lagi-lagi berujung kegagalan. Terutama karena propaganda ulama pro Pemerintah Belanda tersebut mendapat perlawanan dari ulama lainnya. Misalnya Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Muhammad Muchtar bin Attarid dari Jawa. Keduanya bahkan menganjurkan umat Islam bergabung dengan SI.
Menariknya, terkait aksi 212 yang disulut karena adanya kasus penistaan agama juga terjadi sebelumnya. Pada tahun 1918 atau persis 1 abad yang lalu, organisasi-organisasi Islam dihadapkan pada kasus penodaan agama. Koran Djawi Hisworo menebitkan tulisan Joyodikoro yang menggambarkan Nabi dalam keadaan mabuk sewaktu menerima wahyu. SI membentuk Comite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad untuk membela Nabi dalam penghinaan tersebut. Di banyak tempat juga diselenggarakan rapat-rapat umum agar penulis dan redakturnya, Martodarsono diadili (Kuntowijoyo, 1995).
Aksi Reuni 212 ini sendiri juga tidak terbendung karena umat merasa pemerintah kerap mempertontonkan ketidakadilan. Apalagi mereka selalu distigmakan sebagai kelompok intoleran, radikal, pemecah belah dan lain sebagainya.
Propaganda yang kerap dibesar-besarkan terutama paska Al Maidah 51 mencuat. Karena itu, umat ingin menunjukkan lagi bahwa mereka cinta damai. Terbukti dengan aksi yang lebih besar dari dua tahun lalu sekalipun, tetap berjalan dengan tertib, tanpa kericuhan.
Namun harus diakui bahwa umat Islam merasakan adanya ketidakadilan tersebut karena faktor politik. Karena itulah umat ini semakin sadar pentingnya politik agar dikuasai oleh orang-orang yang mempunyai komitmen dan keberpihakan. Apalagi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memberikan pesan yang tegas kepada umat yang hadir.
“Karena itu saudara-saudara sekalian, jangan pernah anggap enteng proses politik. Karena disitulah tanda tangan nanti akan menentukan arah kebijakan,” kata Anies setelah menyampaikan kesuksesannya menghentikan reklamasi, menutup tempat maksiat, dan melaksanakan program rumah DP 0 persen.
Pesan Anies ini semakin menyadarkan umat Islam agar melek politik. Umat pun akan ikut berikhtiar dan berdoa agar lahir pemimpin nasional yang memiliki kedekatan dan keberpihakan kepada umat dan rakyat Indonesia pada umumnya.*****
Zulhidayat Siregar
Alumni 212
…..KETUA Pemuda Pancasila Jawa Timur La Nyalla sedang naik daun. Keputusannya menyeberang ke kubu Jokowi sampai pengakuannya menjadi penyebar isu PKI, lagi rame di media. Nyalla juga berani bertaruh potong lehernya kalau sampai Jokowi kalah di Madura. Di Madura banyak santri yang sedang ngasah clurit. Kalau saja hukum membenarkan orang boleh memotong leher, nasib Nyalla sudah jelas.
Tapi soal potong leher ini gak usah dianggap terlalu serius. Sebagai preman, atau orang Surabaya menyebutnya Korak, Nyalla memang biasa begitu. Biasa main gertak sambal.
Gara-gara gagal nyagub di Jatim, marahnya Nyalla sampai ke ubun-ubun. Dia menganggap Prabowo yang menggagalkan pencalonannya. Padahal dia sudah diberi tiket Gerindra dengan syarat bisa nambah kursi lagi. Kursi Gerindra gak cukup. Tapi dia tak bisa memenuhi target. Lha kok yang disalahkan Prabowo.
Kalau pun dapat tiket, Nyalla gak bakalan terpilih sebagai Gubernur Jatim. Reputasi buruk Ketua Kadin Jawa Timur ini sudah jadi rahasia umum. Dia juga sebenarnya tidak serius-serius amat mau nyalon. Paling juga dia cuma cari duit nekan para cukong.
Sekarang Nyalla pasang badan untuk Jokowi. Pada Pilpres 2014 dia dukung Prabowo-Hatta. Jokowi yang elektabilitasnya turun, jadi gak selektif. Dia pikir dengan menggandeng Nyalla, dia bakal menang besar di Jatim. Insting dan intelijen politik Jokowi memang parah. Dengan menggandeng Nyalla reputasi Jokowi di Jatim dijamin jeblok. Paling nanti kalau Jokowi kalah dia juga cari cantolan lain. Dia bakal taruhan potong leher lagi untuk capres yang lain. Emang berapa siy jumlah leher Nyalla?
Jokowi seperti psikologi orang yang mau tenggelam. Dia mencoba menggapai apapun yang bisa menyelamatkan dia. Dipikirnya Nyalla adalah kayu terapung, padahal buaya yang menyaru. Salah besar dia.
Di luar Nyalla, publik figur yang sekarang pasang badan untuk Jokowi adalah Usamah Hisyam. Mantan wartawan ini baru saja membuka kedoknya sebagai pendukung Jokowi yang pura-pura mendukung ulama.
Kemarin dia mencoba menggagalkan reuni 212. Dengan membangun opini, acara itu ditunggangi aksi politik. Pasti tidak banyak yang tahu kalau Usamah dan La Nyalla ini adalah bersaudara dekat. Dua-duanya keturunan Bugis yang besar di Surabaya.
Dibanding Nyalla permainan Usamah ini jauh lebih dahsyat. Dia bisa melakukan penetrasi kemana-mana. Hampir semua presiden berhasil didekatinya.
Usamah sekarang menjadi Ketua Umum Parmusi. Posisi ini bikin bingung orang-orang yang kenal dekat dengan Usamah. Kok bisa orang seperti dia jadi Ketua Parmusi? Orang Parmusi yang lugu-lugu, berhasil ditipunya?. Tapi itulah hebatnya Usamah.
Sebelum Nyalla, Usamah sudah lebih dulu merapat ke Jokowi. Dia tercatat pernah mejadi ketua rombongan umroh tak lama setelah Jokowi terpilih menjadi presiden. Tapi dia terpental dan tidak mendapat posisi.
Usamah kemudian muncul lagi ketika ramai-ramai aksi 212. Dengan kelicinanannya dan membawa bendera Parmusi, dia berhasil masuk ke dalam lingkaran GNPF Ulama. Kepada wartawan asing dia mengaku punya target menggulingkan Jokowi.
Dari situ dia kemudian bisa menembus ke Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Dia kemudian seolah menjadi mediator antara HRS dan Jokowi. Langkah Usamah hampir berhasil ketika dia membawa sejumlah tokoh GNPF bertemu Jokowi di Istana Bogor.
Untungnya banyak yang mengingatkan HRS, siapa sebenarnya Usamah. Di belakang Usamah ada tokoh besar bernama Surya Paloh. Melalui orang dekat Jokowi inilah Usamah bisa merapat ke Istana.
Jejak kedekatan Usamah dengan Surya Paloh (SP) sudah lama. Sejak menjadi wartawan Media Indonesia dia sering digunakan untuk melakukan operasi politik SP. Tentu ini kerjasama timbal balik. SP punya proxy, Usamah bayak mendapat keuntungan finansial dengan kedekatannya itu. Operasi-operasi politik menjadi spesialis Usamah. Posisinya sebagai wartawan menjadi tiket masuknya kemana-mana. Dia adalah wartawan yang jadi intel, dan intel yang jadi wartawan.
Parmusi 6 Desember lalu melakukan penggalangan dana. Katanya untuk dakwah desa Madani. Ini bagian dari penguatan Revolusi Mental Jokowi. Surya Paloh dan Kapolri Tito Karnavian yang hadir, sama-sama menyumbang.
Sekarang Nyalla dan Usamah sudah membuka kedoknya masing-masing. Mereka secara terbuka pasang badan menyelamatkan Jokowi. Kalau lihat keduanya all out kelihatannya memang benar Jokowi berada di ujung tanduk. Segala macam cara dilakukan. Tim Suksesnya mulai terbuka mengatakan elektabiltas Jokowi stagnan. Itu sebenarnya bahasa lain elektabilitas terus turun. Salah-salah terjun bebas.
Bisakah duo Bugis Van Surabaya ini ikut menyelamatkan Jokowi yang bakal tenggelam? Kalau lihat track record keduanya, hanya tinggal menunggu waktu bagi keduanya melompat menyelamatkan diri.
Nyalla pasti tidak siap dipotong lehernya oleh sahabatnya sendiri Nizar Zahro, atau santri dari Madura. Usamah? Seperti biasa dia akan mencari peluang mendekat kepada kekuasaan. Idiologinya adalah kepentingan pribadinya. *****
Djadjang Nurjaman
Pengamat Media dan Ruang Publik
….. PADA Pemilihan Presdien 2019 mendatang, Joko Widodo kembali mencolonkan diri. Sebagai petahana, tentu Jokowi telah memerintah selama 4 tahun lebih, dan sudah ada beberapa kebijakan yang dibuat.
Dari kebijakan-kebijakan yang dibuat, ada sutu kebijakan yang terus menuai kontroversi, yaitu kebijakan investasi Republik Rakyat China (RRC) di Indonesia.
Sebab selain investasi, juga membawa tenaga kerja secara besar-besaran di tengah jutaan angkatan kerja di dalam negeri yang menganggur.
Ini sangat berbahaya bagi masa depan anak cucu dan negeri ini.
Protes demi protes atas kebijakan ini telah dilakukan oleh rakyat dari Sabang sampai Marueke, bahkan telah terjadi bentrokan fisik di beberapa daerah, antara tenaga kerja China dengan pekerja lokal karena perbedaan fasilitas dan gaji yang diberikan.
Tapi itu tidak pernah menjadi pertimbangan bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi permasalahan investasi ini, padahal Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah marah akibat kebijakan ini.
Namun, yang terjadi bukan Jokowi mengevaluasi kebijakan ini, tetapi yang dilakukan melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan, menawarkan proyek baru senilai 60 miliar dolar AS atau setara Rp 870,5 triliun kepada para investor China.
Tawaran itu dimaksudkan untuk memanfaatkan skema kerja sama One Belt One Road (OBOR).
Melihat kebijakan ini, apakah Jokowi layak diteruskan menjadi Presiden pada Pilpres nanti? Mari tanya hati nurani kita sebagai rakyat dan bangsa Indonesia.
Bayangkan bagaimana nasib anak cucu kita di masa depan.
Tulisan ini bukan provokasi maupun agitasi, tetapi sebagai bentuk kecintaan dan tanggung jawab moral serta penyeselan mendalam sebab penulis terlibat menaikan Jokowi pada Pilpres 2014 yang lalu. *****
Amirullah Hidayat
Penulis adalah Koordinator Pusat Relawan Komunitas Sadar (Korsa).
…..JANGAN membuang muka dari penguasa, nanti kena batunya. Apalagi sampai meminta penguasa untuk diganti, bisa panjang urusanya. Karena bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka butuh dikagumi. Mereka butuh ditepuktangani. Mereka butuh dikontroversikan. Dan mereka juga butuh digembar-gemborkan.
Mengapa? Karena mereka hidup dengan itu semua. Mereka bisa besar karena itu semua. Tak lain, karena kekaguman, karena tepuk tangan, karena kontroversi, dan karena digembar-gemborkan. Ibarat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, mereka perlu dicintai untuk tetap menjadi dewa.
Mereka perlu ditakuti untuk tetap menyandang status senagai dewa. Memang demikianlah kekuasaan. Kekuasaan sebagai dewa, kekuasaan sebagai penguasa dan pemimpin, kekuasaan sebagai pemangku otoritas ilahi, dan lain-lain, semuanya perlu pengakuan dalam bentuk-bentuk yang nyata.
Dikagumi, dipuja-puji, digemari, diceritakan di mana-mana, digembar-gemborkan, dibesar-besarkan, dikontroversikan, dan sejenisnya. Dengan begitulah kekuasaan biasanya dipelihara. Jika sudah tak takut lagi, tak kagum lagi, maka itu pertanda mulai pudarlah kekuasaan tersebut.
Oleh karena itu, perlu pembuktian-pembuktian baru agar memunculkan bentuk-bentuk pemujaan baru. Dalam sejarah raja-raja lama, jika alam sudah mulai tak bersahabat, maka pertanda raja tak mendapat kepercayaan lagi dari ilahi. Raja dianggap sudah tak mampu menjaga stabilitas alam dan dianggap tak mampu melindungi rakyat dari murka alam. Itu dianggap sebagai tanda-tanda kejatuhan, tanda-tanda kuasa raja tak lagi dapat ijin dari pihak langit.
Ya, begitulah kekuasaan dimaknai dalam kontek tertentu. Dalam ilmu politik, sarjana-sarjana sering mengutip Robert Dahl untuk memahami apa itu kekuasaan. Dahl mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sebuah intitusi untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai dengan yang dikehendaki.
Semisal si A memiliki kekuasaan terhadap si B. Sehingga si A berkemampuan untuk mempengaruhi si B agar berbuat sesuatu sesuai kepentingan dan keinginan si A. Sementara otoritas bergerak dalam logika yang sama, tapi diperlengkapi dengan kekuatan untuk memaksa (coercive). Oleh karena itu, pemerintah dianggap pemegang otoritas atau wewenang karena pemerintah mempunyai alat dan organisasi untuk memaksakan keinginannya.
Dalam kajian ilmu politik tradisional, kekuasaan adalah episentrum kajian. Ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mengulik segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan. Mulai dari penguasa formal atau semua institusi pemerintah di semua level, sampai pada organisasi dan aktor-aktor masyarakat yang memiliki pengaruh dalam tatanan kenegaraan.
Sumber-sumber kekuasaan pun bisa berasal dari berbagai hal, mulai dari otoritas (dijamin oleh hukum dan perundangan yang ada), adat-istiadat, agama, uang atau kekayaan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan banyak lagi.
Dengan kata lain, memiliki kekuasaan adalah hal yang mengasyikan. Bisa berkehendak yang sekaligus dijalankan oleh orang lain secara sukarela. Banyak yang mengidamkannya. Banyak yang bahkan gila karenanya. Ada yang gila kuasa dengan uangnya. Ada pula yang gila kuasa karena merasa paling cerdas dan paham segala-gala. Ada juga yang gila kuasa karena meyakini Tuhan mempercayakan sesuatu hal kepadanya. Dan banyak lagi.
Namun kekuasaan membuat tatanan jadi berantakan. Leviathan, demikian kata Thomas Hobbes. Kekuasaan yang tak diatur akan membuat “semua memakan semua”. Oleh karena itu dibutuhkan aturan main. Oleh karena itu ada pemilu. Oleh karena itu ada hukum yang mengatur.
Semua orang berhak menjadi presiden. Semua orang berhak jadi ketua DPR. Semua orang juga berhak menjadi gubernur, walikota, bupati, lurah, kepala desa, ketua RT, RW, dan lain-lain. Tapi tak semua orang mampu. Tak semua orang layak. Ada aturan mainnya. Jangankan untuk jadi presiden, untuk jadi calon presiden saja bukanlah sembarang orang.
Hanya yang memenuhi kualifikasi secara politik dan hukum. Mungkin jadi presiden tak butuh kompetensi dari sekolah kepresidenan, tapi menjadi calon presiden bukan ranah sembarang orang. Di dalam sebuah negara dan pemerintahan, presiden adalah pemilik kekuasaan tertinggi, panglima tertinggi.
Dalam ranah sejarah baheula, presiden adalah raja sebuah kerajaan. Presiden adalah kepala negara, yang menyatakan perang dan damai, yang mengangkat menteri dan pejabat-pejabat negara sejenisnya, yang membuat perundangan bersama parlemen, yang menjadi kuasa pengguna anggaran nasional, dan lain-lain.
Karena priveledge dan kemampuan dibalik kekuasaan tersebut, orang-orang jadi sangat tergila-gila untuk berkuasa. Namun kekuasaan tak mesti dimaknai negatif. Dengan kekuasaan, kebaikan dan kebajikan bisa dijalankan lebih masif dan teroganisir. Dengan kekuasaan, kebijakan-kebijakan baik dan yang berpihak kepada masyarakat bisa direalisasikan.
Kendati demikian, kekuasaan bisa berwajah banyak. Bisa oportunis. Bisa munafik. Bisa koruptif. Bisa antagonis, despotis, otoritarian, demokratis, dan lain-lain. Dan yang sering diingatkan, karena kekuasaan bisa berkecenderungan untuk merugikan, maka banyak muncul teori-teori untuk membatasinya. Yang banyak dikenal adalah adanya trikotomi trias politica. Ada pembagian kekuasaan antara pembuat aturan, yang menjalankannya, dan yang mengawasinya.
Semua itu berangkat dari asumsi negatif kekuasaan tadi. Jika tak dibatasi, kekuasaan bisa memakan semua yang layak dimakannya. Jika tak diawasi, kekuasaan bisa sangat koruptif. Lord Action mengingatkan, “Power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely”.
Kemudian muncul pula istilah demokrasi. Kekuasaan tertinggi yang layak diakui dan berhak memerintah dalam sebuah negara haruslah didapat dari rakyat. Kekuasaan sejati adalah milik rakyat alias milik pihak yang banyak. Kemudian lahirlah pemilihan. Pemegang puncak kekuasaan negara dan pemerintahan di semua level haruslah dipilih oleh pihak yang banyak, bukan ditentukan oleh faktor keturunan (askriptif) , faktor ilahi, faktor kepandaian yang didapat di sekolah, dan lain-lain.
Begitulah. Berkuasa nyaris menjadi impian semua orang. Berkuasa berarti menguasai, menguasai yang dikuasai. Jika ingin memiliki kekuasaan seorang presiden sebuah negara, berarti ingin menguasai sebuah negara. Ingin menentukan mau diapakan sebuah negara selama dibawah kekuasaanya.
Begitupula dengan menjadi gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain. Berarti ingin menguasai sebuah provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain. Itulah makna kasarnya. Boleh pula diperhalus, hanya ingin menjadi pelayan rakyat, ingin menjadi wakil rakyat, penyambung lidah rakyat, atau apapun lah. Tapi intinya berkuasa adalah ingin menguasai para pihak yang ada di dalam yuridiksi kekuasaan tersebut.
Artinya sederhana saja. Jika tak ingin sebuah negara dikuasai oleh macan, maka jangan biarkan macan menjadi penguasanya. Jika tak ingin sebuah provinsi dikuasai seekor serigala, maka jangan biarkan serigala mengambil kekuasaan tertinggi dalam sebuah provinsi. Begitupula dengan Kota dan Kabupaten.
Logika tersebut berlaku terbalik. Jika ingin mendudukan malaikat di pucuk pimpinan, maka beri malaikat peluang untuk berkompetisi dan pilihlah. Jika ingin manusia super ada di puncak sebuah kekuasaan, maka beri mereka coblosan. Sesederhana itu saja.
Dan logika tersebut sangat perlu kita ulang-ulang, sangat perlu kita lebarkan, sebarkan, dan ingatkan kepada banyak orang Indonesia yang sebentar lagi akan berhadapan dengan Pilkada serentak, Pemilihan Legislatif, dan pemilihan presiden.
Karena dalam demokrasi, seharusnya tak ada serigala yang jadi penguasa selama serigala tersebut tak dipilih.*****
Jannus TH Siahaan
Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
….. REZIM pers di negeri ini sudah sungguh keterlaluan. Ukuran atas diksi ini karena acara Reuni 212 di Monas tanggal 2 Desember, Ahad lalu seolah tidak dianggap dan tidak ada. Sehingga tidak perlu dimuat oleh media-media besar televisi maupun media cetak.
Sebut saja. Untung hanya ada TvOne yang live, kalau tidak, peristiwa besar di penghujung tahun 2108 dan besar di abad ini luput dari perhatian publik dalam negeri. Ada sejumlah media cetak pagi dan sore seperti: Republika, Rakyat Merdeka, dan Harian Sore; Harian Terbit Sore yang muat. Untung ada medsos dan media-media online.
Meski demikian pers luar negeri dengan seksama mengikuti dan menyiarkan.
Rezim pers ini sudah sangat keterlaluan; maka wajar bila ada media cetak seperti koran pagi: Kompas (sejumlah kalangan sebut Kompas sebagai Komando Pastur) didesak untuk ditutup. Aktivis HMI dengan militan suarakan itu. Betapa tidak; alih-alih sudah tidak memberitakan peristiwa besar yang dihadiri oleh massa anak-anak bangsa dari dalam dan luar negeri dari berbagai kalangan agama, suku dan ras dalam jumlah mencapai di atas 10 juta itu.
Malah Senin, 4 Desember memuat gambar headline (HL) dengan “sampah plastik”. Kompas seolah mengatakan aksi jutaan manusia di Monas pada 2 Desember itu adalah sampah plastik. Ini penghinaan luar biasa.
Saya sependapat Kompas harus diberi sanksi atas pemberitaan itu. Dewan Pers wajib periksa Kompas. Dan bila perlu Menteri Komunikasi dan Informatika membubarkan Kompas. Karena telah menghina umat dan anak-anak bangsa yang sedang membuat sebuah gerakan damai untuk aksi-aksi dan misi perdamaian dunia.
Dari sisi itu Kompas di bawah rezim pers dalam negeri seolah tidak senang dengan aksi jutaan anak-anak bangsa mengekpresikan diri dengan tertib, aman, damai dengan elegan dan simpatik. Kompas justru tidak memberitakan? Malah menghina dengan HL “sampah plastik”?
Sudah lama saya tidak membaca Kompas karena misi ketidakadilan dan kebenaran yang diembang Kompas. Kompas seolah monopoli kebenaran yang dimilikinya. Dan tidak memberitakan itu tidak benar dan tidak ada. Maka tidak salah dalam sejumlah postingan di akun media sosial FB, Twitter dan IG. Saya kategorikan Kompas dan sejumlah besar pers nasional (sebut saja, Media Indonesia, Tempo dan lain-lain) buta dan tuli atas Reuni 212 itu.
Sengaja tulisan ini baru di buat sekarang; sepekan ini diskursus di publik masih hangat atas ketidakadilan rezim pers nasional ini.
Meski demikian, saya coba pahami apa sebab peristiwa Reuni 212 yang kolosan itu luput dari pemberitaan media nasional itu. Minimal ada sejumlah amatan berikut ini.
Bisa jadi media-media yang tidak liput Reuni 212 itu sudah teken kontrak dengan salah satu pasangan capres atau memang pendukung setia rezim. Atau media tersebut benci dengan Islam dan gerakan yang damai umatnya.
Meski demikian perlu juga disadari kalau tidak dimuat itu karena unsur ketakutan terhadap rezim ini. Maka itu pertanda malapeta pers sedang anda lakukan. Karena tidak adil dan sembunyikan kebenaran. Anda semua di rekam dalam jejak sejarah pers nasional. Jangan sampai karena ambisi dan tuntutan perut (bisnis) anda tidak adil, jujur dan sembunyikan kebenaran. Anda ditertawakan oleh publik dunia. Karena media-media dunia dengan cermat meliputnya.
Dan di alam demokrasi ini justru pers besar nasional dalam rezim pers justru tidak demokratis dan anti demokrasi karena diliputi kegelapan visi dan misinya dalam pemberitaan.
Bahkan, rezim pers semacam itu bisa dikatakan di bawah dan dikomandoi oleh jurnalisme mafia. Ya. Bisa saja kolaborasi mafia pers dan mafia kekuasaan untuk kepentingan bisanis dan politik dan kekuasaan.
Tapi satu hal. Meski rezim pers nasional tidak memberitakan acara Reuni 212. Tapi tumpah ruah jutaan masa mengitari Monas dan sekitarnya; membutikkan rezim pers nasional gagal total. Karena peran anda telah tergantikan oleh medsos dan media-media online.
Jika tidak segera berubah dan perbaiki diri dan minta maaf ke publik atas tidak diliputnya acara kolosal Reuni 212 itu. Media-media anda akan menjadi fosil segera mungkin. Wallahu’alam. *****
Muslim Arbi
Koordinator Gerakkan Perubahan (GarpU).
…..LAMA saya pertimbangkan untuk menuliskan hal ini. Ada rasa yang berbeda dari biasanya, maklum banyak di antara mereka adalah orang-orang yang saya kenal. Tetapi rasa malu yang membuncah membuat saya akhirnya menuliskan juga otokritik ini.
BERITA TERKAIT
Ya, sebagai orang yang pernah bergelut sebagai wartawan, sempat menjadi Pemred, dan Pemimpin Umum di beberapa media cetak nasional, sungguh saya malu melihat apa yang saat ini dilakukan oleh mereka yang masih aktif di media.
Sebagai sesama wartawan, tentu basis keilmuan kita sama. Bagi kita, kebenaran wajib dilaporkan. Bagi kita, berpihak dalam melaporkan fakta (apalagi jika dilakukan karena ada imbalan materi) haram hukumnya. Bagi kita, kebebasan dan netralitas wajib dijaga dan harus terjaga. Untuk itu, kita dilindungi oleh hukum dan dan undang-undang.
Tapi, belakangan ini, tepatnya sekitar dua tahun terakhir, ada yang aneh menyeruak di dunia pers kita. Netralitas seperti tersapu gelombang. Keberpihakan menjadi terang-benderang. Fakta di depan mata, bukan lagi berita. Mereka telah mengubah jatidiri kewartawanan menjadi pedagang. Mereka telah mengkhianati kejujuran.
Mayoritas media mainstream tidak lagi berada di orbit jurnalisme yang sesungguhnya. Mereka ramai-ramai telah -maaf- menjual diri mereka dengan sangat murah. Sungguh memalukan. Mereka telah berubah menjadi WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar) yang hidupnya hanya mengejar amplop.
Hersubeno Arief dan Ilham Bintang adalah dua sahabat saya yang telah lebih dulu menorehkan opininya. Bunuh diri pers, kata Hersu, begitu biasa saya sapa, menuliskan pandangannya. Keras dan tegas. Begitu juga Ilham, menuliskan rakyat telah menemukan cara sendiri untuk menyampaikan berita. “Rakyat telah mencabut media mainstream dari sanubarinya!”
Tak terbayangkan, ada jutaan manusia (saya sengaja tidak menulis umat islam dan umat-umat agama lainnya) berkumpul bersama di satu tempat (saya juga sengaja tidak menuliskan Monas), sangat damai, tertib, dan mampu membersihkan tempat dengan baik, tidak jadi berita. Sungguh aneh, fakta besar dilewati begitu saja. Mereka mengabaikan seolah-olah mata mereka buta dan kuping mereka tuli.
Kawan, sungguh malu rasanya engkau berbuat seperti itu. Sebagai sesama wartawan, aku ingin bertanya di mana nuranimu? Di mana engkau sematkan kejujuranmu? Kawan, engkau boleh memilih siapapun untuk menjadi apa pun, tetapi, ketika engkau menggunakan jubah kewartawanan, engkau wajib menyuarakan kebenaran. Engkau bukan dirimu, tapi englau adalah garda terdepan dari kebenaran.
Pertanyaannya: “Tidakkah engkau melihat jutaan manusia berkumpul di satu tempat Ahad (2/12/18)?” Lalu, kemana engkau berada hingga engkau abaikan semua itu?
Sekali lagi, malu rasanya melihat semua itu. Pertanyaannya, malukah engkau dengan prilakumu?
Beruntung masih ada tvone yang secara gagah meliput detik demi detik seluruh peristiwa itu. Ya, seperti slogannya: tvone memang beda!
Sekali lagi, semoga ada rasa malu di hatimu seperti malu yang menyeruak di dadaku. Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Dan semoga NKRI juga dalam lindunganNya, Aamiin.*****
M. Nigara
Wartawan senior, mantan Wasekjen PWI
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro