KASUS dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Jiwasraya memasuki babak baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima tersangka dan menahan mereka sekaligus.Kelima tersangka itu adalah Komisaris PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (Tram) Heru Hidayat, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim serta mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan pada PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.
Tentu semua pihak berharap, aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada penetapan tersangka atau menahannya. Disebut babak baru karena diharapkan langkah Kejagung tersebut terus bergulir dan mengusut tuntas kasus yang diduga merugikan negara Rp13 triliun itu.
Langkah ini sebagai harapan agar mereka yang merasa dirugikan bisa kembali mendapatkan hak-haknya. Nasabah PT Jiwasraya yang uangnya hingga sekarang belum jelas pengembaliannya tentu berharap ke depan bisa mendapatkan kembali hak-haknya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berharap penyelesaian kasus ini bisa tuntas hingga dana nasabah dikembalikan. Artinya penyelesaian kasus ini jangan hanya berkutat pada persoalan hukum saja.
Namun langkah penetapan tersangka dan penahanan ini juga bisa berujung pada pengembalian uang nasabah. Hal lain adalah kepercayaan politik. Ini karena ada tudingan bahwa uang hasil kasus ini dipakai untuk kepentingan politik. Dengan membuka kasus ini diharapkan juga membuka apakah ada kepentingan politik di dalamnya.
Meskipun tampaknya sulit, karena akan banyak kepentingan yang nimbrung , hal ini harus dilakukan.Baik kasus hukum, pengembalian dana nasabah maupun pengungkapan tentang tudingan adanya kepentingan politik harus selesai. Penetapan tersangka dan penahanan harus menjadi babak baru melalui penyelesaian tiga hal di atas.
Babak baru juga bisa diartikan sebagai langkah bagi Kementerian BUMN untuk “bersih-bersih” perusahaan pelat merah. Menteri BUMN Erick Thohir menyambut baik langkah Kejagung. Langkah tersebut selaras dengan kebijakan-kebijakan Kementerian BUMN yang ingin menata BUMN untuk hari ini dan masa depan yang lebih baik.
Seperti diketahui Erick tengah melakukan perombakan perusahaan-perusahaan BUMN. Bahkan beberapa kasus yang mencoreng nama BUMN seperti kasus maskapai Garuda Indonesia juga menjadi upaya “bersih-bersih” BUMN. Namun yang menarik adalah pernyataan Erick bahwa penyelesaian kasus PT Jiwasraya ini adalah upaya mengembalikan kepercayaan publik pada korporasi di BUMN.
Penyelesaian kasus hukum dan pengembalian dana nasabah memang hal yang krusial. Namun mengembalikan kepercayaan publik adalah yang tersulit dalam kasus ini. Keberhasilan mengembalikan kepercayaan sangat ditentukan keberhasilan penyelesaian dalam bidang hukum dan pengembalian dana nasabah. Dua-duanya harus benar-benar tuntas. Tidak boleh hanya satu. Harus dua-duanya. Jika tidak, harapan Erick agar pengungkapan kasus ini sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik akan gagal total.
Kepercayaan publik bukan hanya kepada perusahaan-perusahaan BUMN, tetapi juga terhadap pemerintahan saat ini. Kita semua tahu, BUMN adalah perusahaan milik negara. Adapun negara dikelola dari uang rakyat. Ini berarti pendanaan BUMN adalah berasal dari rakyat.
Tentu rakyat tidak akan bisa menerima begitu saja jika uang yang mereka bayarkan kepada negara justru dikelola dengan cara-cara yang tidak benar, bahkan dengan cara-cara kotor. Ini pertaruhan bukan hanya bagi aparat penegak hukum ataupun Kementerian BUMN, tetapi juga bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jika benar-benar bisa mengungkap kasus ini dari sisi hukum, nasabah, dan politik, kepercayaan publik akan kembali tumbuh meskipun jika kasus ini tuntas, pasti ada pihak-pihak yang tidak puas.
Rasa trauma masyarakat tentang penyelesaian kasus-kasus korupsi kelas kakap masih dirasakan. Kasus BLBI dan Bank Century adalah contoh bagaimana masyarakat saat ini masih sangsi atas kinerja aparat penegak hukum dan ujungnya pada keberpihakan pemerintah.*****
Konflik Indonesia-China atas Natuna, mengapungkan ingatan bangsa ini tentang kedigdayaan Sri Maharaja Kertanagara. Dia adalah Raja Singhasari yang naik takhta tahun 1268 dan meninggal tahun 1292. Menurut Pararaton, Kertanagara adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.
Ia melaksanakan ekspedisi Pamalayu. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu bertujuan menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). Pada saat itu, Dinasti Yuan sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.
Pada tahun-tahun itu, Dinasti Yuan berusaha mengadakan perluasan di antaranya ke Jepang dan Jawa. Di sinilah konflik Jawa-China dimulai. Dan Kedigdayaan Kertanagara ditunjukkan ketika Kubilai Khan minta agar Jawa mengakui kedaulatan Kerajaan Mongol. Lewat sang utusan, Meng Qi, Kubilai Khan minta agar Kertanagara secara rutin menyerahkan upeti berupa hasil bumi.
Merah padamlah wajah Kertanagara. “Bilang ke rajamu, orang Jawa tidak sudi dijajah China,” teriak Prabu Kertanagara, setelah memotong kuping si Meng Qi dari Chung Kuo (sebutan lain untuk bangsa Mongol atau China).
Sepeninggal Meng Qi, Kertanegara dilengserkeprabonkan oleh Jayakatwang. Maka, ketika beberapa waktu kemudian Kubilai Khan mengirim 20.000 tentaranya ke tanah Jawa (1292), untuk menuntut balas atas perlakuan Kertanagara terhadap utusan Kubilai Khan, Kertanagara sudah tidak duduk di takhta kerajaan.
Prajurit Mongol tak peduli siapa yang berkuasa, tekadnya adalah menaklukkan tanah Jawa. Perang terjadi. Jayakatwang digantung, dibantu Raden Wijaya (menantu Kertanegara).
Raden Wijaya kebetulan juga punya kepentingan sama, menuntut balas atas perlakuan Jayakatwang terhadap Kertanegara. Tentara Mongol berpesta pora atas keberhasilannya menaklukkan Jayakatwang. Melihat tentara Mongol sedang mabuk, Raden Wijaya masuk menyerang. Tentara Mongol dipukul mundur.
Sejarah terus bergerak, hingga tiba saatnya ‘Sandyakala ning Majapahit’, berdirilah Kesultanan Demak. Demak runtuh, lahirlah Pajang yang bertahan hanya seumur jagung, kemudian lahirlah kejayaan Mataram. Mataram tenggelam, muncullah NKRI.
Nine-Dash Line China
Kini, Indonesia kembali dibuat marah oleh China. Negeri Tirai Bambu itu mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai China (Coast Guard) secara terang-terangan melanggar wilayah Indonesia. China berdalih Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China.
China mengklaim teritorial secara sepihak dengan bentangan seluas 2.000 kilometer dari dataran China sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang Pendiri Republic of China). Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan.
Negeri itu berupaya menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II. China membuat sebelas garis demarkasi putus-putus. Kemudian mereka sebut dengan Eleven-Dash Line. Masalah ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan, di antaranya Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunai Darussalam.
Setelah Kuomintang kalah dalam perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut.
Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut dirinya Republik of China. Mata uangnya Dolar Taiwan, dengan sistem ekonomi kapitalis. Secara de facto Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum.
Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus. China mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line. Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional di Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang. Bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, yang membahas mengenai perairan.
Tanggal 29 April 1958, Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatangani empat konvensi dan protokol opsional. Berbagai pertimbangan muncul dalam konferensi ini. Tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik.
Selanjutnya tanggal 10 Desember 1982, Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini untuk menggantikan perjanjian internasional mengenai laut yang dibuat tahun 1958.
Pada 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan laut di antara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia. Terkenal dengan sebutan “Deklarasi Djuanda”. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil.
Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat, dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional.
Bukan Kali Pertama
Insiden antara Indonesia dengan China di Natuna Utara sudah terjadi beberapa kali sejak Joko Widodo berkuasa. Pada 2016, konflik terjadi setelah awak kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna. Namun, saat kapal patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.
Pasca kejadian itu, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes. Sekretaris kabinet kala itu, Pramono Anung, menyebut insiden di perairan Natuna sudah selesai setelah bertemu dengan delegasi China. “Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman,” ujar Pramono Anung, kala itu.
Kemudian pada 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman membuat peta baru yang mengganti nama di kawasan perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara. Pergantian nama diperlukan untuk mengurai ketidakjelasan batas wilayah dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Hanya saja, China keberatan karena dianggap berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di wilayah itu.
Terakhir pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna. Tak cuma itu, kapal penjaga China juga melanggar kedaulatan di sana.
Sebagai negara yang berdaulat, perilaku klaim sepihak China itu adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Selain itu, tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku.
Anehnya, pejabat Indonesia terkesan ragu dan minder berhadapan dengan China. Negeri ini memang sudah sangat bergantung dengan China. Ada kekhawatiran urusan investasi dan utang menjadi terganggu jika Indonesia terlalu galak. Wajar saja jika ada yang mengeluh, “tidak adakah pewaris keberanian Kertanagara di bumi Indonesia ini?*****
SERING DIKATAKAN PENDIDKAN adalah sepanjang masa, sejak manusia lahir hingga tutup usia. Itulah sebabnya pendidikan harus dimulai sejak usia dini, dikenal dengan Pendidikan Usia Dini ( PAUD) yang sudah merambah ke seluruh pelosok negeri.
Begitu pentingnya pendidikan usia dini, maka pemerintah pun memberi perhatian khusus dengan membentuk struktur kelembagaan yang disebut Direktorat Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tentu, tugas dan tanggung jawabnya adalah menangani, membina dan mengembangkan pendidikan usia dini dan pendidikan masyarakat.
Lembaga dunia pun sangat konsen terhadap pendidikan pra sekolah dan pendidikan masyarakat yang dikembangkan di Indonesia karena manfatnya bagi peningkatakan kuailitas hidup masyarakat, lebih luas masa depan bangsa dan negara.
Kita memahami, pembentukan karakter bangsa harus dimulai sejak usia dini. Sebut saja soal etika, sopan santun, bentuk kepedulian lingkungan, saling toleransi, menghargai orang yang lebih tua/orang lain, saling menyayangi dan saling berbagi.
Kita sepakat nilai – nilai luhur Pancasila ini akan lebih efektif ditanamkan kepada anak sejak usia dini.
Presiden Jokowi pun berkomitmen bahwa penanaman nilai ideologi Pancasila harus dilakukan sejak di bangku sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau pra TK. Yang kemudian harus terus dilanjutkan secara terus menerus di setiap tingkat pendidikan hingga universitas. Komitmen ini diungkapkan ketika debat capres keempat tentang cara menanamkan Pancasila kepada generasi muda tanpa melalui indoktrinasi.
Ini dapat dimaknai bahwa penalaran etika, moral, termasuki nilai – luhur yang terkandung dalam daasar negara kita perlu diajarkan, ditularkan dan dikembangkan kepada generasi muda sejak balita.
Jika kemudian pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan reorganisasi terhadap struktur kelembagaa, hendaknya tidak mengabaikan pembinaan PAUD. Struktur organisasi boleh dirombak, nama boleh diganti sesuai dengan kebutuhan era kekinian, tetapi pendidikan usia dini mutlak keberadaannya.
Begitu pun pendidikan masyarakat. Sebab, pendidikan tak harus ditempuh melalui jalur formal ( sekolahan yang berstruktur dan berjenjang), bisa juga lewat jalur non formal. Lazimnya pendidikan non formal dilakukan oleh masyarakat seperti kursus, bimbingan belajar, kelompok belajar yang tujuannya melengkapi pendidikan formal. Tak sedikit pula pendidikan non formal bertujuan memberi pengetahuan atau keterampilan kepada mereka yang tidak tertampung atau tidak berkesempatan mengikuti pendidikan di jalur formal.*****
PENDAFTARAN Peserta Didik Baru ( PPDB) tahun ajaran 2019/2020 dengan sistem zonasi masih menuai kritik. Bukan saja dari orangtua murid yang merasa kesulitan ketika mendafarkan anaknya, juga dari beberapa kepala daerah. Setidaknya Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dan Gubernur Banten, Wahidin Halim menilai, sistem zonasi dalam penerimaan murid baru, pada satu sisi kurang efektif.
Jatah 5 persen untuk siswa berprestasi terlalu sedikit akibatnya banyak siswa berprestasi yang tidak tertampung di sekolah berkualitas – sering disebut favorit.
Belum lagi tingkat kepadatan penduduk di satu daerah belum didukung dengan jumlah sekolah yang tersedia.Akibatnya tidak semua sekolah dapat menampung semua peserta didik dalam jangkauan zonasinya.
Menyadari kondisi tersebut, membuat orangtua murid ( siswa) berlomba adu cepat mendapatkan formulir pendaftaran. Ini dapat dipahami karena seleksi tidak lagi menggunakan standar nilai Ujian Nasional (UN), tetapi berdasarkan jarak terdekat rumah calon siswa dengan sokolah sebagaimana ketentuan Permendikbud No.51 Tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020.
Nilai UN hanya digunakan untuk siswa yang menempuh jalur prestasi dengan kuota 5 persen, perpindahan orangtua wali sebesar 5 persen. Sedangkan zonasi sekolah sebesar 90 persen. Maknanya, siswa yang lebih dekat dengan sekolah favorit berpeluang diterima, ketimbang yang lebih jauh, apalagi di luar zonasi yang ditetapkan.
Jalur prestasi bisa digunakan untuk menyeberang, tetapi peluangnya kecil karena kuota hanya 5 persen.
Sistem zonasi diterapkan dengan maksud mengedepankan prinsip objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan dalam layanan pendidikan. Sistem zonasi juga dimaksudkan menghapus label ‘sekolah favorit’ yang kerap dibanjiri pendaftar, sementara sekolah ‘tidak favorit’ kurang peminat.
Jika targetnya pemerataan kualitas pendidikan melaui pemerataan siswa berprestasi, sistem zonasi efektif diterapkan. Yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai siswa berprestasi tidak tertampung hanya karena tersekat zonasi. Juga, jangan sampai siswa berpretasi menjadi tidak berprestasi karena bersekolah di sekolah yang tidak berprestasi.
Karena itu yang perlu dikembangkan adalah mencetak “sekolah berprestasi” sebagai upaya pemerataan kualitas pendidikan.*****
….. KABARNYA akan ada aksi massa besar-besaran. Di mana? Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya. Benarkah? Perlu klarifikasi dan investigasi. Jika benar, ini harus jadi perhatian serius.
Lalu, apa yang dituntut? Mendiskualifikasi Paslon 01. Kenapa? Karena telah melakukan Kecurangan. Ada yang mengatakan itu bukan sekadar kecurangan, tapi extra ordinary crime. Kejahatan pemilu yang luar biasa.
Pasca reformasi, baru kali ini pemilu masif dengan kecurangan. Demokrasi yang menjadi hasil perjuangan reformasi mendadak mati. Tepatnya dimatikan. Oleh siapa? Hanya penguasa yang bisa melakukan itu.
Ulama dikejar-kejar, pers dibungkam, mahasiswa dibuat diam dan tak berkutik, semua aparat, birokrasi dan institusi negara dikendalikan untuk memperpanjang kekuasaan. Seolah tak tersisa!
Rakyat marah, bahkan teramat marah. Hanya dua hal yang bisa mendorong kemarahan itu untuk meledak: pertama, komando. Jika Prabowo, atau para ulama dan tokoh pendukung Prabowo memberi komando, people power ini bergerak. Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia akan dipenuhi massa yang membludak.
Kedua, jatuhnya korban. Jika jatuhnya Orde Baru menelan 7 nyawa jadi korban, maka gerakan people power, jika benar-benar terjadi saat ini diprediksi lebih mengerikan.
Dari mana tahu? Pola berpolitik penguasa selama ini yang menghalalkan segala cara dan mengintimidasi semua yang tak “satu langkah” dan tunduk padanya. Di sisi lain, rakyat sudah kehilangan batas kesabarannya. Urat takut rakyat sudah putus untuk menghadapi pressure kekuasaan.
Jika Jokowi itu arif, dan memiliki sensitivitas kerakyatan dan kebangsaan yang tinggi, lebih baik mengalah. Serahkan negara ini kepada Prabowo, maka Jokowi akan jadi bapak bangsa yang terhormat.
Dikenang sebagai pemimpin yang lebih mendahulukan bangsa dan rakyatnya. Kenapa bukan Prabowo yang mengalah? Prabowo bisa mengalah, tapi rakyat yang di bawah tak bisa terima Jokowi jadi presiden lagi. Kepercayaan mereka terhadap Jokowi sudah punah.
Anda nonton video saat Jokowi diteriakin rakyat, “curang, curang”? Sungguh tak lagi ada rasa hormat kepada Jokowi sebagai presiden. Hukuman sosial ini akan terus berlanjut sebelum Jokowi lengser dari kursi presiden. Jika dipaksakan, tak akan kondusif untuk menjalankan pemerintahan yang akan datang. Sebab, pemerintah tanpa kepercayaan rakyat akan rapuh.
Lebih baik Jokowi mengalah daripada harus berhadapan dengan people power yang jika salah respon dan reaksi aparat, bisa berakibat jatuhnya banyak korban dari anak bangsa. Korban yang semestinya tak perlu ada.
Siapapun yang ganggu pemilu, tembak di tempat, kata polisi. Rakyat sepertinya sudah tak lagi takut pada peluru. Kemarahan rakyat tak lagi bisa dibendung oleh nasehat dan ancaman peluru. Mereka siap mati syahid.
Upaya Jusuf Kalla (JK) dan sejumlah tokoh, termasuk para jenderal dari kubu 01 untuk memanggil, membujuk, dan merayu para ulama dari kubu 02 agar menahan adanya people power, sepertinya tak berhasil.
Bahkan sebagian besar menolak untuk bertemu. Coba anda bayangkan, wapres saja ingin bertemu, ditolak sama mereka. Ini menunjukkan adanya satu tekad mereka; mendeligitimasi dan mendiskualifikasi Jokowi.
Intel bisa cek di semua wilayah dimana pendukung Prabowo mayoritas. Para aktivis masjid, pesantren, majlis talim dan para ulamanya dari berbagai daerah menyatakan tak akan mundur menghadapi kekuasaan yang dianggap curang ini. Kabarnya sudah ada komando berantai di kelompok ulama ini. Satu ditangkap atau dibunuh, satu lagi pegang kendali. Ditangkap dan dibunuh lagi, yang lainnya pegang kendali. Dan seterusnya. Ini warning buat bangsa. Ngeri kali? Begitulah situasinya sekarang.
Ini semua karena rakyat sudah muak dengan tingkah polah kekuasaan. Dan klimaksnya adalah pemilu yang masif kecurangan. Telanjang di depan mata, dan telah melampui batas dinding pertahanan psikologi rakyat.
Jokowi tak lagi legitimed di mata rakyat setelah kecurangan demi Kecurangan yang terakumulasi jadi perlawanan rakyat. Perlawanan ini diperkirakan akan sangat masif. Ancaman rakyat untuk meninggalkan Prabowo jika ia mau bertemu dengan orang dari kubu Jokowi, itu tanda nyata dari kemarahan itu. Jika Prabowo paksakan, ia pun akan mendapatkan kutukan yang sama.
People power seperti harga mati. Rakyat siap menghadapi kekuatan Jokowi dengan semua risiko, termasuk kematian. Narasi “mati Sahid” para ulama di Solo Raya seolah mewakili suara umat. Jika sudah seperti ini, siapa yang mau mengalah untuk keberlangsungan masa depan bangsa dan negara? *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
….. BERBAGAI seruan baikot makan nasi Padang viral di dunia maya beberapa hari terakhir ini. Pasalnya, petahana Joko Widodo tidak dipilih hampir 100 persen orang Minang. Orang Padang yang bukan Minang memang menyisakan sekitar 10 persen ke Jokowi. Dulu, 2014, masih ada orang Minang ke Jokowi, karena faktor Jusuf Kalla orang sumando (beristri Minang).
Kebencian pendukung Jokowi terhadap orang Minang ditantang di dunia maya. Para nitizen mengatakan, “silakan kalau tidak mau makan nasi Padang, tapi apa gak rindu?”
Dari sejarah politik, orang Minang sangatlah besar pengaruhnya terhadap kemerdekaan kita. Pengaruhnya ini meliputi spektrum pemikiran sosial ideologis pergerakan anti penjajahan. Kalau di ekstrim Islam, ada Mohammad Natsir, Agus Salim, Buya Hamka, Rasuna Said dan lain seterusnya. Kalau di ekstrim kiri, ada Sutan Malaka alias Tan Malaka. Kalau di tengah, ada Mohammad Hatta, Dr. Sutan Syahrir dan Muhammad Yamin.
Orang-orang tersebut di atas bukan soal sejumlah nama dalam pengertian number, namun mereka adalah ideolog-ideolog besar bangsa kita. Umpamanya, suatu hari Datuk Anwar Ibrahim, tokoh perjuangan Malaysia, menceritakan, ketika dia mau direkrut menjadi bagian pergerakan Ikhwanul Muslimin, yang didirikan Hasan Albana, di Mesir, dia menolak sambil mengatakan, “guru saya adalah Mohammad Natsir, di Indonesia, dia tidak kalah dengan Hasan Albana”.
Di kubu kiri, Tan Malaka malah tak kalah legendarisnya. Suatu hari Bung Karno menceritakan kepada seorang tamu yang datang dari Banten, dalam situasi pergolakan kemerdekaan. “Bung, kata Sukarno pada dia, seandainya ada orang yang lebih pantas dari saya menjadi presiden di Indonesia, maka orang itu pastinya adalah Tan Malaka”. Bung Karno tidak tahu bahwa orang yang dia ajak bicara adalah Sutan Malaka, dalam penyamaran. Tan Malaka adalah manusia yang ditakuti Belanda, dikejar di seluruh dunia. Dia pemuda Indonesia yang berpidato dalam Kongres Komunis International di Soviet Russia, dia ikut mendirikan Partai Komunis China, dia anggota Komintren (Komunis Internasional), yang buku-buku atau klipping pikiran-pikirannya “meracuni” Sukarno dan kaum pergerakan menentang Belanda.
Selain cerita di atas, tentu Mohammad Hatta tak kalah pentingnya. Dia adalah bapak ekonomi kita. Manusia politik yang paling jujur. Hampir bertahun-tahun dia menyisihkan gajinya dalam tabungan untuk membeli sepatu merk Belly, sampai akhir hayat, tidak berhasil dibelinya. Bagaimana Wakil Presiden RI pertama tak bisa beli sepatu?
Lalu Dr. Syahrir apa perannya? Tentu Syahrir-lah yang berunding dengan Amerika dan Barat untuk memuluskan kemerdekaan kita. Kita bisa bilang bambu runcing penting melawan Belanda, tapi fakta mengatakan Belanda hanya takut dengan Amerika yang mengalahkan Hitler di Eropa kala itu. Peran Syahrir adalah berunding dengan Amerika untuk kita bisa merdeka.
Orang-orang Minang adalah manusia yang berjalan dengan pikirannya.
Falsafah “adat bersandi syarak, syarak basandi Kitabullah” telah membuat hampir semua orang Minang hidup dalam religiusitas. Bahkan, Tan Malaka pun dalam pidato internasional Komunisnya di Moskow menganjurkan agar Komunis menerima Islam. Atau orang-orang menterjemahkan Tan Malaka adalah Komunis yang bertuhan.
Religiusitas orang-orang Minang dan sifat merantaunya telah menjadikan mereka pusat jaringan Islam di berbagai wilayah-wilayah Indonesia.
Belum lagi profesor-profesor di kampus-kampus terkemuka, seperti ITB, setidaknya di era 80-an, didominasi orang-orang Minang.
Bagaimana orang-orang pro Jokowi mau memboikot masakan Padang? Tahukah kalian sejarah orang Minang dan kemerdekaan kita yang saya ulas di atas?
BACA JUGA
Tidak Ada Yang Salah Pelawak Menjadi Presiden
Orang-orang Minang adalah masyarakat rasional. Mereka tidak akan tunduk pada tekanan kekuasaan atau pemboikotan nasi Padang. Kalau mereka 100 persen kurang sedikit tidak mendukung Jokowi, pastilah pikiran mereka yang membimbingnya. Orang-orang seperti ini hanya bisa ditundukkan dengan kebenaran dan kelembutan.*****
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.(*/Ag)
….. Banyak yang bertanya-tanya, kalau benar Jokowi menang mengapa wajahnya terlihat murung, bahkan tegang.
Tidak ada semburat kegembiraan, apalagi eforia kemenangan. Wajah Jokowi bukan wajah seorang petarung yang baru saja berjaya.
Padahal Pilpres 2019 merupakan kontestasi terkeras sepanjang era demokrasi pasca reformasi.
Ketika menyampaikan pidato mengomentari hasil quick count di Jakarta Theater Rabu (17/4) wajah Jokowi terlihat datar. Begitu juga para petinggi TKN lain yang berada di belakangnya.
Wajah Jokowi juga masih terlihat tegang hingga dua hari berselang. Media menayangkan wajah Jokowi yang membeku ketika akan menunuaikan salat Jumat (20/4) di Istana Bogor.
Misteri itu terjawab ketika kita mencermati hasil suara quick count per provinsi. Jokowi dinyatakan menang oleh lembaga survei, namun sesungguhnya dia kalah. Dia menang jumlah suara, namun kalah secara wilayah/provinsi.
Bila meminjam istilah yang berlaku dalam pilpres di AS, Jokowi menang secara popular vote. Tapi dia kalah electoral vote.
Beberapa lembaga survei menyebut jumlah provinsi Jokowi menderita kekalahan cukup bervariasi antara 18-21 provinsi.
Charta Politika: Jokowi 16- Prabowo 18. Indo Barometer : Jokowi 15-Prabowo 19. Kedai Kopi: Jokowi 13-Prabowo 21.
Mencermati data quick count yang disajikan, Jokowi tampaknya sangat menyadari, walaupun dinyatakan menang, namun dia menghadapi problem yang sangat besar.
Sebuah sumber menyebutkan, Jusuf Kalla bahkan sampai harus meyakinkan Jokowi.
“Yang penting Bapak kan sudah menang.” Ekspresi Jokowi tetap tak berubah.
Pertama, dia menyadari data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia sudah tak menghendakinya kembali menjadi presiden.
Berbagai survei sebelumnya menunjukkan pemilih yang menghendaki ganti presiden jauh lebih besar dibandingkan yang menginginkannya kembali menjadi presiden.
Sejumlah lembaga survei sampai beberapa pekan sebelum hari H menyatakan tingkat keterpilihan Jokowi di bawah 50 persen ( Litbang Kompas, Median).
Dia tahu bila tanpa kecurangan, mobilisasi besar-besaran, maka dia akan kalah.
Kedua, hasil quick count itu sangat mengecewakan Jokowi karena selisih suaranya hanya berkisar antara 7-9 persen. Selama ini dia dininabobokan oleh lembaga survei dengan keunggulan di atas 25 persen.
Hasil itu sungguh sangat mengagetkan. Sudah kampanye habis-habisan selama lima tahun, mengerahkan habis-habisan aparat negara, menguras habis anggaran bansos dan CSR, namun hasilnya hanya seperti itu.
Ketiga, kemenangan Jokowi kurang dari separuh jumlah provinsi menunjukkan basis legitimasinya sangat lemah.
Lebih dari separuh wilayah Indonesia tak menghendakinya kembali. Di Aceh dan Sumbar angkanya bahkan sangat kecil di bawah 20 persen.
Dia hanya menang di Jateng, Jatim di luar Madura, dan provinsi dengan mayoritas non muslim seperti Bali, NTT, Sulut, Maluku dll
Perolehan suara ini menjadi persoalan serius bila bicara masalah representasi. Indonesia bukan hanya Jateng, Jatim, sebagian wilayah Nusra, dan Indonesia Timur.
Persepsi yang terbentuk Jokowi hanya akan menjadi presiden untuk Jateng, Jatim dan wilayah mayoritas non muslim. Ini bisa berbahaya.
Keempat, menangnya Jokowi di Jateng dan Jatim memperkuat posisi tawar PDIP dan PKB/NU atas Jokowi. Sebab kedua wilayah itu merupakan basis kedua partai/ormas.
Dengan fakta-fakta itu seandainya, sekali lagi seandainya, dia tetap dinyatakan menang oleh KPU, maka dia akan menjadi presiden yang sangat lemah. Jauh lebih lemah dibandingkan saat ini.
Posisi tawarnya terhadap Megawati akan semakin lemah. Sebagai figur yang sangat populer pada Pilpres 2014 saja Jokowi diposisikan sebagai “petugas partai.” Apalagi saat ini ketika pesonanya sudah meredup.
PDIP berhak mengklaim bahwa posisi Jokowi bisa diselamatkan, hanya karena kuatnya mesin politik PDIP di Jateng, dan Jatim. Saham politik Jokowi sudah terdelusi.
Jokowi juga akan menjadi sandera politik PKB/NU, Golkar, bahkan Nasdem, karena ketiga partai itu bisa mengklaim memiliki saham besar atas kemenangan Jokowi.
Dia juga harus berkompromi dan memberi kompensasi yang setimpal terhadap kelompok-kelompok oligarki-pengusaha, elit politik, aparat keamanan, akademisi, lembaga survei dll-yang dengan susah payah mengerek dan mengamankan elektoralnya.
Sebagai presiden, pada periode kedua Jokowi pasti menginginkan posisi politiknya kian menguat. Dia ingin keluar dari bayang-bayang politik kelompok kepentingan yang selama ini mengendalikannya.
Sayang tidak semua skenario yang dia rancang berjalan mulus. Hasil Pilpres kali ini menunjukkan sebaliknya.
Arus besar publik sudah menunjukkan secara nyaring dan jelas (loud and clear) tidak lagi menghendakinya sebagai presiden.
Kalau tetap dipaksakan juga menjadi presiden, maka dia akan menjadi presiden terlemah sepanjang sejarah.*****
*Penulis adalah Pemerhati Ruang Publik. Artikel ini khusus dikirim ke Kantor Berita Politik RMOL
….. ROMI kena OTT (15/3). Operasi Tangkap Tangan. Diduga kasus suap jabatan. Secara personal, Romi adalah pelaku. Biarlah proses pengadilan nanti yang akan memutuskan vonisnya.
Sebagai ketua partai, Romi itu korban. Korban dari sistem politik yang sangat-sangat mahal. Romi adalah ketum partai kelima yang ditangkap KPK, setelah Anas Urbaningrum, Lutfi Hasan Ishaaq, Surya Darma Ali dan Setya Novanto.
Ada yang bilang: “Penangkapan Romi itu bukti Jokowi tak tebang pilih.” Capek deh! Ini OTT bos! Tak ada yang bisa intervensi kasus OTT. Pimpinan KPK sekalipun, tak bisa ikut cawe-cawe. Tidakkah penyidik KPK lapor pimpinan sebelum OTT? Kadang-kadang. Seringkali tangkap dulu, baru lapor. Kalau begitu, bisa apa pimpinan KPK? Apalagi Jokowi? Paham?
Sejumlah pengurus PPP, ada juga ketua DPC telephon saya: “kok Jokowi biarkan Romy ditangkap KPK?” Saya jawab: kecolongan! Soal ini, Jokowi gak bisa berbuat apa-apa juga bos. Jangan salahkan Jokowi, kataku. Wuih… Bela Jokowi niye… ini obyektif.
Beda OTT dengan kasus e-KTP. Rumit dan berbelit-belit. Kalau saja kasus e-KTP ini ditangani dengan cepat dan tuntas, Jokowi akan dapat poin. Semua nama yang disebut di persidangan dipanggil, diperiksa, kalau terbukti salah, maka harus divonis. Itu baru top! Termasuk Puan Maharani? Kalau disebut namanya di persidangan, ya harus dipanggil dong. Mintai keterangan. Soal salah atau tidak, itu urusan nanti.
Namanya juga praduga bersalah. Itu baru tidak tebang pilih. Kalau kasus e-KTP ini dituntaskan, apalagi jelang pilpres, sepuluh jari harus diangkat. Keren banget Jokowi. Ah, ngayal loh! Sesekali boleh. Hehe
Gimana menyimpulkan “tak tebang pilih”, protes publik. Kasus Novel Baswedan sampai sekarang gak kelar. 11 April nanti genap dua tahun. 27 kasus terkait ujaran kebencian yang dilaporkan lawan politik, tak ada tindak lanjut. Lurah Mojokerto sambut Sandi, divonis dua tahun penjara.
Enam guru honorer di Banten dicopot. 53 penyuluh di DKI diancam pemecatan. Tiga pegawai hotel di Lombok kabarnya digelandang ke Polsek gara-gara selfie dua jari di depan baliho Jokowi. Kasus Kemenpora juga belum jelas ujungnya. Protes ini merupakan PR yang harus dihadapi Jokowi.
Kalau Jokowi mau tuntaskan ini, dijamin akan banjir apresiasi. Mungkinkah? Entahlah. Masyarakat sepertinya sudah terlalu apatis.
Kembali soal OTT Romy, apakah berpengaruh terhadap elektabilitas? Terhadap PPP, pasti. Para caleg PPP sekarang kewalahan. Kalau sedang kampanye, lalu diteriakin Romi…Romi…Romi… Repot! Image sebagai partai pendukung penista agama saja belum betul-betul dilupakan. Datang lagi kasus OTT ketumnya.
Mereka juga kerepotan turunin baliho dan spanduk yang ada fotonya Romy. Turunkan dan menggantikan baliho, perlu biaya lagi. Duit dari mana? Siapa yang akan gantikan Romi cari logistik?
Program kampanye dengan memobilisasi guru madrasah dan penyuluh di jajaran kemenag untuk pilih dan kampanye PPP, sebagaimana yang disinggung Mahfudz MD di ILC, tak akan efektif lagi. Undecided voters (masyarakat yang belum menentukan pilihan) tak akan tertarik. Swing voters (pemilih yang masih ragu) besar kemungkinan akan berpindah ke lain hati.
Dari sejumlah survei, elektabilitas PPP masih belum aman. Kurang dari 4 persen. Itu angka sebelum Romi ditangkap. Setelah Romi ditangkap? Makin sulit bagi PPP untuk sampai batas minimal elektoral threeshold. Bukan mustahil untuk mencapai target minimal, tapi dibutuhkan kerja super keras dan cerdas. Tak mudah! Apalagi jika sidang kasus Romy digelar sebelum pilpres. Makin repot!
Bagaimana dampaknya terhadap elektabilitas Jokowi? Ini yang menarik. Publik menunggu analisis ini. Mengingat pertama, PPP adalah salah satu partai pengusung Jokowi-Ma’ruf. Kedua, Romi punya hubungan “sangat dekat” dengan Jokowi. Jokowi bilang: setiap minggu, bahkan setiap hari, bertemu dengan Romi. Ini hubungan spesial. Kayak martabak aja, pakai spesial.
Sebagai kawan dekat dan pimpinan salah satu partai pengusung, Romy tidak hanya aktif, tapi atraktif. Ingat ketika terjadi ralat doa Mbah Moen? Setelah itu, Romi pun ajak Jokowi masuk ke ruang khusus kiai kharismatik ini untuk selfie.
Viral video Romi satu mobil dengan Jokowi saat mantan walikota Solo ini lempar-lempar bingkisan dari dalam mobil. Romi yang merekam itu. Dan Jokowi tak marah. Padahal, itu tak etis untuk ditonton rakyat. Sangat merugikan Jokowi dari sisi elektabilitas. Tapi, Romi berhasil memberi pesan kepada rakyat bahwa dia memang sangat dekat dengan Jokowi. Dan pesan itu betul-betul sampai.
Image keakraban dan kedekatan Jokowi-Romy tak lekang dari benak rakyat. Romi kena OTT, pasti sedikit banyak akan berpengaruh kepada suara Jokowi. Swing voters lari, dan undecided voters tak lagi tertarik. Belum lagi protes pengurus dan konstituen PPP. Kenapa Jokowi tak melindunginya? Ya, memang gak akan bisa melindungi. Sekali lagi, ini OTT bos.
Bukan saya mau belain Jokowi, tapi memang gak akan bisa. Kalau bukan OTT? Tanyakan pada Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Mereka orang-orang dekat Jokowi. Tentu lebih tahu.
Jadi, jika ditanya apakah tertangkapnya Romi berpengaruh terhadap elektoral Jokowi? Ngaruh bos. Apalagi jika plt Ketum cabut dukungan dari Jokowi, makin besar pengaruhnya. Kapan? Jika kasus OTT Romi telah serius dianggap mengganggu elektabilitas Jokowi-Ma’ruf. Goodbye! *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
….. NGGAK habis pikir! Semua aktivitas negara ini didominasi untuk kepentingan Pilpres. Seolah tak tersisa ruang untuk kegiatan yang lain.
Rakyat terbelah dan dibenturkan. Isu-isu sensitif dijadikan trigger permusuhan. Opini tentang HTI, wahabi, ISIS dan Islam radikal terus diproduksi untuk memancing kebencian, kekhawatiran dan kemarahan sekelompok ormas dan massa.
Politik identitas telah melampaui batas kewajaran. Sudah tak waras! Anehnya, kok ya percaya.
Rakyat menonton video sejumlah gubernur, walikota, bupati dan camat ramai-ramai memberi dukungan kepada capres-cawapres tertentu. Video itu sengaja diviralkan, baik via media mainstrean maupun medsos.
Kita juga temukan tanda tangan beberapa lurah untuk mendukung dan memenangkan paslon tertentu. Dukungan yang terbuka.
Para menteri jadi dirjen yang bertugas untuk menyeragamkan dukungan itu. “Kalau saya bilang dana desa…, jawab… Jokowi…, gitu ya,” ajak seorang menteri.
Lurah, camat, walikota/bupati dan gubernur itu pemimpin rakyat. Mestinya mereka netral, demi menjaga situasi agar kondusif. Seperti ASN, TNI dan Polri, mereka milik rakyat dan digaji oleh rakyat.
Mereka kemungkinan ingin netral. Karena posisi mereka adalah pemimpin untuk semua rakyatnya. Bukan pemimpin bagi pendukung paslon tertentu.
Para kepala daerah ini tak ingin berhadapan dengan warganya sendiri. Dengan begitu, rakyat merasa diayomi, dan suasana menjadi kondusif. Tidak gaduh. Posisi paling pas bagi mereka adalah berada di tengah dan netral.
Keberpihakan kepala daerah kepada paslon tertentu justru berpotensi jadi sumber kegaduhan bagi warganya.
Para kepala daerah tentu ingin bisa selalu berinteraksi dengan -dan dapat partisipasi dari- semua warganya yang beragam pilihan. Mesti berada di tengah dan mendamaikan.
Sikap ini akan lebih menarik simpati. Malah bisa jadi investasi, khususnya bagi walikota/bupati dan gubernur yang ingin nyalon lagi di periode berikutnya.
Lebih baik mereka sibuk dengan program pembangunan daerah, dari pada buang-buang waktu, energi dan dana untuk kampanye yang bukan bagian dari kepentingannya.
Tapi, mengapa mereka ikut kampanye? Ada yang tak beres. Seperti ada kekuatan besar yang membuat mereka “terpaksa” harus melakukan itu semua.
Lalu, apa bedanya dengan masa rezim Orde Baru? Semua dikontrol dan dikendalikan secara terang-terangan. Inikah yang disebut dengan perang total itu? Begitulah kira-kira yang ada di kepala rakyat.
Anda bayangkan, jika nanti Prabowo-Sandi yang menang. Bagaimana sikap para kepala daerah itu, setelah beramai-ramai berada di kubu sebelah. Dan bagaimana pula nasib mereka di Pilkada berikutnya? Apakah rakyat masih akan memilih mereka?
Tidak saja Pilkada, dalam menjalankan tugas pemerintahan, mereka hampir pasti akan kehilangan kepercayaan dan dukungan dari rakyat yang telah memenangkan Prabowo-Sandi. Apakah situasi ini sudah mereka pikirkan?
Kami terpaksa! Kenapa terpaksa? Berani jadi pemimpin, berani ambil risiko. Pemimpin kok mudah dipaksa-paksa. Cemen! Pemimpin itu bekerja pakai nurani rakyat, bukan kerja paksa.
Ketika sejumlah kepala daerah dinyatakan melanggar karena memberi dukungan kepada paslon tertentu, hanya dapat teguran. Ketika salah seorang kepala desa melakukan hal yang sama, dapat hukuman. Apakah karena yang didukung berbeda? Memori rakyat tak akan pernah lupa atas ketidakadilan ini.
Selain dana desa, THR juga mau dimajukan. Soal waktu, tak ada masalah. Mau kapan saja bisa. Bagi ASN, itu berkah. Mereka pasti senang.
Hanya saja, apa alasan rasional THR dimajukan? Kalau alasannya untuk menyenangkan ASN, agar mereka berterima kasih lalu pilih paslon tertentu, tentu keputusan ini tak semestinya dilakukan. Mengapa semua harus diarahkan untuk kepentingan Pilpres?
Jika ini terus dipaksakan, rakyat justru akan kehilangan simpati. Ini berpotensi jadi hukuman di 17 April 2019 nanti.
Viral video pasukan hitam yang membawa rangsel besar berisi sembako. Ada emak-emak yang paksa warga untuk terima bantuan. Mereka keliling kampung, bagi-bagi sembako kepada warga yang sudah ada daftar namanya. Untuk apa? Dukung paslon tertentu. Meski banyak warga menolaknya.
Artinya, rakyat masih punya nurani, kendati dalam keadaan susah ekonomi. Suaranya gak bisa dibeli dengan semangkok sarimi.
Tukang ojek juga ambil bagian tugas ini. Antar sembako ke rumah-rumah sesuai daftar yang sudah diberikan. Banyak juga yang menolak, begitu kata Abang Ojek. Tujuannya sama: pilih Paslon tertentu. Dimana Bawaslu? Begitulah pertanyaan warga selama ini.
Entah dimana akal sehat kini berada. Pilpres menelan dan menghancurkan tidak saja norma dan etika, tapi juga akal sehat rakyat. Aturan diabaikan dan tak lagi berfungsi. Dan rakyat terus dibenturkan.
Pers yang seharusnya berperan jadi alat kontrol sosial tak lagi berdaya. Bungkam! Aparat? Terkait dengan Pilpres, agak sulit untuk bisa diharapkan netral dan berada di tengah.
Walaupun demikian, rakyat harus tetap dan terus berharap. Karena hanya itu yang bisa dilakukan.
Bahkan Dwi fungsi TNI mau dihidupkan kembali. Tidakkah salah satu hasil reformasi adalah mengembalikan TNI ke barak? Kenapa harus dihidupkan kembali? Demi Pilpres? Ironis!
Bagi rakyat, siapapun yang akan terpilih jadi presiden, mereka terima. Legowo. Yang terpenting, pilpres berjalan dengan jujur dan adil. Menghargai hak-hak demokrasi rakyat tanpa tekanan dan intimidasi. Juga tanpa money politic dan bagi-bagi sembako. Itu saja harapan rakyat.
Jangan sampai, demi ambisi kemenangan, demokrasi dikorbankan. Jangan biarkan reformasi yang dibangun bangsa ini selama 20 tahun terakhir dikorbankan hanya untuk Pilpres.
Tidakkah hasil nyata dari reformasi adalah demokrasi? Di antara bagian dari demokrasi adalah kebebasan rakyat, kemerdekaan pers, netralitas ASN dan aparatur negara serta mengembalikan TNI ke barak untuk bertugas kembali sebagai penjaga kedaulatan NKRI.
Itulah produk reformasi. Jika semua itu pun dikendalikan, itu artinya demokrasi juga telah mati. Lalu, masih adakah yang tersisa dari reformasi? *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
….. MENANG ! Itulah tujuan debat Pilpres. Benarkah? Secara pragmatis, iya. Setiap capres ingin menang di Pilpres. Di antara caranya melalui debat.
Apakah debat di-setting hanya semata-mata agar capres bisa menang? Tak perlu sikap moral dan narasi kebangsaan?
Jika dijawab iya, anda tidak bermoral. Jawaban ini akan membuat anda yang terlibat dalam debat menghalalkan segala cara dan mengabaikan semua bentuk norma, nilai dan aturan. Selama ada celah, anda akan lakukan. Persetan apa kata orang. Yang penting, anda menang.
Sayangnya, bangsa ini adalah bangsa yang bermoral. Tidak selalu melihat siapa yang “merasa menang” dalam debat. Tapi, faktor kejujuran, kesantunan, ketaatan pada aturan dan jiwa kerakyatan menjadi variabel yang tak kalah penting di mata rakyat.
Terbukti, sejumlah orang jadi bupati, gubernur dan bahkan presiden karena kerendahan hati dan kesantunannya.
SBY adalah bagian dari contoh itu. Orang lihat prestasinya? Tidak! Karena 2004 rakyat belum terlalu pintar dan cermat untuk mengukur prestasi SBY. Tapi dia menang. Kenapa? Dia sabar dibilang Jenderal kanak-kanak, dia santun, dia Jawa, dan dia ganteng. Cerdas? Tentu. Cukup! Itu yang membuat SBY menang.
Apakah keadaan ini akan menular ke Prabowo? Bisa jadi. Sangat mungkin. Bukankah ada yang menganggap, Jokowi pemenangnya di debat? “Merasa menang” di debat, tak berarti akan menang di pilpres. Apalagi, debat kedua kemarin menyisakan sejumlah persoalan. Apa itu?
Pertama, Jokowi dianggap overclaim. Bilang bahwa dia telah membangun 191.000 km infrastruktur jalan. Menurut data, itu tak benar. 191.000 km itu akumulasi dari infrastruktur jalan yang dibangun sejak zaman Belanda.
Ada kontribusi Jepang, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Terbiasa overclaim, Jokowi dianggap kurang pandai mengakui dan menghargai prestasi para pemimpin sebelumnya. Inilah yang juga seringkali dikeluhkan SBY.
Kedua, Jokowi dianggap berbohong soal data. Mungkin tepatnya, salah menyebut data dan angka. Soal kebakaran hutan, misalnya. Tiga tahun terakhir tak ada kebakaran hutan, katanya.
Paginya, sejumlah media dan berbagai tulisan artikel mengkritik habis-habisan. Data itu salah! Kebakaran hutan tak pernah berhenti. Jumlahnya ratusan ribu hektar. Bahkan foto Jokowi ada di sekitar lokasi kebakaran hutan jadi viral. Sejumlah media mengkritiknya dengan keras.
Belum lagi data terkait impor jagung, sosial conflict soal pembebasan tanah, dan lain-lain. Banyak bersalahan. Kritik terkait kesalahan banyak data ini, tak ada yang bantah. Termasuk oleh pihak timses dan pendukung Jokowi.
Artinya, sementara terkonfirmasi bahwa itu salah.
Apakah itu berarti berbohong? Jika itu disengaja, berarti bohong. Kalau tak sengaja, berarti salah masukan, atau salah update data. Minimal salah menghafal data. Tapi, kesalahannya kok banyak? Diem loh!
Emang dihafal? Bukannya ada alat pembisik di telinganya? Stop! Jangan menuduh sebelum semua terbukti. Kalau toh terbukti, belum tentu itu pelanggaran. Soal etika, lain masalah. Intinya, lihat yang sudah pasti-pasti. Abaikan praduga yang belum terbukti.
Ketiga, Jokowi dianggap tak patuh aturan KPU. Dimananya? Disepakati bahwa debat tak menyerang pribadi. Jokowi serang Prabowo. Soal hak milik ratusan hektar di Kalimantan dan Aceh. Padahal, itu HGU, bukan hak milik. Salah lagi!
Ini serangan kedua kalinya kepada Prabowo. Di debat pertama, Jokowi juga menyerang personal Prabowo soal caleg mantan korupsi dari Gerindra. Faktanya, Golkar, partai pendukung Jokowi, yang paling banyak caleg mantan napikornya.
Tim Prabowo protes. Tampak di video yang viral, ada Jansen (Demokrat), Ferdinand (Demokrat), Prio Budi Santoso (Berkarya), Daniel (PAN), Ustaz Sambo (guru ngaji Prabowo) dan sejumlah nama lain berdiri dan menghampiri KPU. Bertanya kenapa KPU tidak mencegah dan menegur Jokowi? Mereka juga menuntut KPU komitmen dan tegas.
Sempat terjadi cekcok mulut dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Tim Prabowo mengancam bubar dan tidak melanjutkan debat. Apa respon Prabowo? “Sudahlah. Gak apa-apa. Sabar saja.”
Super sekali! Kata Mario teguh. Sungguh sangat bijak. Watak asli Prabowo muncul. Selama untuk bangsa dan dengan anak bangsa, harus mengalah. Itulah kata-kata yang seringkali diucapkan Prabowo.
Tapi, jangan sekali-kali ada pihak luar (Asing dan Aseng) yang merusak dan ancam bangsa ini, dia pasti marah besar. Prabowo sebut ini sebagai sikap seorang nasionalis dan patriot.
Sebelumnya, Jenderal (purn) Joko Santoso (Joksan), ketua BPN Prabowo-Sandi juga protes. Pasalnya? Soal pengambilan kertas soal. Kenapa harus di kotak yang berbeda. Kalau beda tempat mengambilnya, kenapa harus diundi? Joksan curiga. Ada permainan KPU.
Inilah sejumlah masalah yang tersisa dari debat kedua capres. Dengan semua dinamikanya, Jokowi “dikesankan” publik sebagai capres yang ingin mengahabisi Prabowo di debat.
Dalam konteks ini, Jokowi dan tim tak sadar bahwa kemenangan itu ditentukan oleh apa yang ada di kepala rakyat.
Itulah yang dinamakan dengan persepsi! Capres tampil lebih jujur, punya integritas, berkomitmen kepada rakyat, rendah hati dan memiliki kompetensi, akan lebih kuat meraih simpati rakyat
Malam pasca debat, juga pagi harinya, justru yang ramai di media dan medsos, Jokowi kalah. Data dan sikapnya dikritik, bahkan ditelanjangi oleh media dan publik. Termasuk oleh Kompas yang selama ini dianggap berpihak padanya.
Dalam berbagai polling, Jokowi kalah jauh dengan Prabowo. Rata-rata 20 persen vs 80 persen untuk Prabowo. Begitu juga kejadian di stadion Si Jalak Harupat sore harinya. Saat Ridwan Kamil, gubernur Jabar yang getol dukung Jokowi ini memutari stadion, ribuan penonton teriak: Prabowo… Prabowo… Prabowo…
Nampaknya, debat kedua justru menambah suplai militansi rakyat untuk semakin memberikan dukungan kepada Prabowo yang dianggap telah berulangkali terzalimi.
Ini menyangkut masalah integritas, kejujuran dan kerendahan hati Prabowo yang berpotensi besar menarik empati dan simpati undecided voter (rakyat yang belum menemukan pilihan) dan swing voter (pemilih yang bisa pindah dan berubah pilihannya).
Jika asumsi ini benar, maka peluang Prabowo untuk menang semakin besar.*****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro