Konflik Indonesia-China atas Natuna, mengapungkan ingatan bangsa ini tentang kedigdayaan Sri Maharaja Kertanagara. Dia adalah Raja Singhasari yang naik takhta tahun 1268 dan meninggal tahun 1292. Menurut Pararaton, Kertanagara adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.
Ia melaksanakan ekspedisi Pamalayu. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu bertujuan menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). Pada saat itu, Dinasti Yuan sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.
Pada tahun-tahun itu, Dinasti Yuan berusaha mengadakan perluasan di antaranya ke Jepang dan Jawa. Di sinilah konflik Jawa-China dimulai. Dan Kedigdayaan Kertanagara ditunjukkan ketika Kubilai Khan minta agar Jawa mengakui kedaulatan Kerajaan Mongol. Lewat sang utusan, Meng Qi, Kubilai Khan minta agar Kertanagara secara rutin menyerahkan upeti berupa hasil bumi.
Merah padamlah wajah Kertanagara. "Bilang ke rajamu, orang Jawa tidak sudi dijajah China," teriak Prabu Kertanagara, setelah memotong kuping si Meng Qi dari Chung Kuo (sebutan lain untuk bangsa Mongol atau China).
Sepeninggal Meng Qi, Kertanegara dilengserkeprabonkan oleh Jayakatwang. Maka, ketika beberapa waktu kemudian Kubilai Khan mengirim 20.000 tentaranya ke tanah Jawa (1292), untuk menuntut balas atas perlakuan Kertanagara terhadap utusan Kubilai Khan, Kertanagara sudah tidak duduk di takhta kerajaan.
Prajurit Mongol tak peduli siapa yang berkuasa, tekadnya adalah menaklukkan tanah Jawa. Perang terjadi. Jayakatwang digantung, dibantu Raden Wijaya (menantu Kertanegara).
Raden Wijaya kebetulan juga punya kepentingan sama, menuntut balas atas perlakuan Jayakatwang terhadap Kertanegara. Tentara Mongol berpesta pora atas keberhasilannya menaklukkan Jayakatwang. Melihat tentara Mongol sedang mabuk, Raden Wijaya masuk menyerang. Tentara Mongol dipukul mundur.
Sejarah terus bergerak, hingga tiba saatnya 'Sandyakala ning Majapahit', berdirilah Kesultanan Demak. Demak runtuh, lahirlah Pajang yang bertahan hanya seumur jagung, kemudian lahirlah kejayaan Mataram. Mataram tenggelam, muncullah NKRI.
Nine-Dash Line China
Kini, Indonesia kembali dibuat marah oleh China. Negeri Tirai Bambu itu mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai China (Coast Guard) secara terang-terangan melanggar wilayah Indonesia. China berdalih Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China.
China mengklaim teritorial secara sepihak dengan bentangan seluas 2.000 kilometer dari dataran China sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang Pendiri Republic of China). Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan.
Negeri itu berupaya menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II. China membuat sebelas garis demarkasi putus-putus. Kemudian mereka sebut dengan Eleven-Dash Line. Masalah ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan, di antaranya Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunai Darussalam.
Setelah Kuomintang kalah dalam perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut.
Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut dirinya Republik of China. Mata uangnya Dolar Taiwan, dengan sistem ekonomi kapitalis. Secara de facto Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum.
Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus. China mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line. Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional di Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
Rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang. Bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, yang membahas mengenai perairan.
Tanggal 29 April 1958, Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatangani empat konvensi dan protokol opsional. Berbagai pertimbangan muncul dalam konferensi ini. Tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik.
Selanjutnya tanggal 10 Desember 1982, Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Konvensi ini untuk menggantikan perjanjian internasional mengenai laut yang dibuat tahun 1958.
Pada 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan laut di antara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia. Terkenal dengan sebutan “Deklarasi Djuanda”. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil.
Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat, dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional.
Bukan Kali Pertama
Insiden antara Indonesia dengan China di Natuna Utara sudah terjadi beberapa kali sejak Joko Widodo berkuasa. Pada 2016, konflik terjadi setelah awak kapal Patroli Hiu 11 Kementerian Kelautan dan Perikanan mencoba menangkap KM Kway Fey 10078 yang diduga mencuri ikan di perairan Natuna. Namun, saat kapal patroli Indonesia tengah menggiring kapal nelayan milik China ke wilayah Indonesia, muncul kapal penjaga perbatasan China.
Pasca kejadian itu, Kementerian Luar Negeri RI melayangkan nota protes. Sekretaris kabinet kala itu, Pramono Anung, menyebut insiden di perairan Natuna sudah selesai setelah bertemu dengan delegasi China. "Hal itu sudah dianggap selesai dan dianggap kesalahpahaman," ujar Pramono Anung, kala itu.
Kemudian pada 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman membuat peta baru yang mengganti nama di kawasan perairan sekitar Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara. Pergantian nama diperlukan untuk mengurai ketidakjelasan batas wilayah dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Hanya saja, China keberatan karena dianggap berpotensi mengganggu stabilitas keamanan di wilayah itu.
Terakhir pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal penangkap ikan milik China memasuki perairan Natuna. Tak cuma itu, kapal penjaga China juga melanggar kedaulatan di sana.
Sebagai negara yang berdaulat, perilaku klaim sepihak China itu adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Selain itu, tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku.
Anehnya, pejabat Indonesia terkesan ragu dan minder berhadapan dengan China. Negeri ini memang sudah sangat bergantung dengan China. Ada kekhawatiran urusan investasi dan utang menjadi terganggu jika Indonesia terlalu galak. Wajar saja jika ada yang mengeluh, “tidak adakah pewaris keberanian Kertanagara di bumi Indonesia ini?*****
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro