INDRAMAYU – Menghadapi potensi terjadinya bencana alam pergerakan tanah yang menyebabkan banjir dan longsor, Pemkab Indramayu, Rabu (18/12/2019) melakukan mitigasi bencana bagi 21 Sekolah Dasar (SD) Negeri dan Swasta di Pendopo Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN) melalui aplikasi Inarisk, Kabupaten Indramayu memiliki resiko bahaya yang tinggi terhadap bencana banjir dan resiko bahaya sedang bencana gempa bumi.
Di sisi lain Kemendiknas tahun 2018 mencatat 10 sekolah di 4 kecamatan Kabupaten Indramayu yaitu; Terisi, Gantar, Kertasemaya dan Sukagumiwang, rawan terjadinya banjir bandang. Sedangkan 11 sekolah memiliki rawan gempa bumi di 8 kecamatan yaitu; Gantar, Terisi, Widasari, Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat, Sliyeg dan Sindang.
Oleh sebab itu Pemkab Indramayu memiliki kewaspadaan dalam upaya mengurangi risiko akibat bencana. Sosialisasi yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Indramayu ini sangat penting agar diketahui para siswa.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Ali Hasan mengatakan, sebagai keseriusan Pemkab Indramayu dalam mitigasi bencana di sekolah saat ini telah dibentuk sebanyak 20 sekolah aman bencana di berbagai wilayah kecamatan. Selanjutnya dengan kegiatan ini semua sekolah di Kabupaten Indramayu bisa melaksanakan program sekolah aman bencana.
Kepala BPBD Kabupaten Indramayu, Edi Kusdiana mengatakan, selama tahun 2019 telah terjadi beberapa kali bencana di Kabupaten Indramayu. Rinciannya; bulan April, bencana banjir di 5 kecamatan dan merendam 7.815 rumah.
“Kemudian bencana kekeringan yang mengancam puso tanaman padi seluas 12.358 hektar. Bencana tanggul longsor di Desa Kertasemaya dan beberapa hari lalu, bencana angin puting beliung yang menimpa Kecamatan Jatibarang, Widasari dan Cikedung,” tandasnya. (*/Asp)
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengganti sistem Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kemendikbud mengatakan penggantian sistem UN ini bukan kajian coba-coba.
“Jadi pengganti asesmen berbasis kompetensi, penalaran ini sudah dirintis. Kita sudah punya embrionya sejak awal dan sudah mulai dilakukan uji coba. Jadi nggak coba-coba. Sangat berbahaya pendidikan itu coba-coba,” kata Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno, di fX Sudirman, Jalan Jenderal Sudirman, Gelora, Jakarta Pusat, (17/12/2019).
Totok mengatakan Kemendikbud bukan hanya sekadar melakukan kajian. Namun juga telah melakukan uji coba praktek, salah satunya seperti program Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).
“Tidak sekadar kajian tapi sudah praktek. Sudah praktek di antaranya mirip AKSI,” ucap Totok.Menurut Totok sistem pendidikan saat ini kurang melatih kompetensi penalaran anak. Dia yakin asesmen pengganti UN yang baru ini lebih fokus mengarah pada penguasaan kompetensi penalaran.
“Kami punya keyakinan kalau asesmen model ini yang mengarahkan pada penguasaan kompetensi bernalar, ini sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya menguasai konten mata pelajaran. Pendidikan itu sebuah proses melatih berpikir anak. Dan ini yang selama ini kurang,” ujar Totok.
Totok juga menegaskan anggaran UN saat ini bukan alasan utama dalam kajian pengganti UN. Menurutnya, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter nantinya juga akan membutuhkan anggaran.
“Apakah itu (pengganti UN) tidak berbiaya? Berbiaya. Jadi biaya bukan alasan utama untuk mengganti UN untuk menjadi asesmen karakter dan literasi dan numerasi ini. Kalau soal biaya sebenarnya UN pun hanya berapa ribu peranak. Jadi pertimbangan biaya bukan alasan untuk mengganti ini,” jelas Totok.
Lebih lanjut, Totok menjelaskan bentuk Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan bervariasi. Mulai dari pilihan ganda, pilihan benar salah, hingga pilihan esai.
“Untuk pengganti UN, asesmen kompetensi itu dimulai tahun 2021. Bentuknya tetap ada multiple choice, ada multiple choice kompleks, benar salah itu kan multiple choice kompleks juga, jadi nggak hanya sekadar memilih A, B, C. Benar salah juga, mengurutkan, misalnya. Jadi multiple choice kompleks, diupayakan juga isian, dan jika memungkinkan ada sedikit esai. Tapi ini masih dalam pengembangan ya,” tutur Totok.
Totok mengatakan konsep UN saat ini hanya terpaku pada soal pilihan ganda. Menurut Totok ini merupakan bentuk belenggu dalam proses belajar yang tidak seusai dengan ide dari ‘Merdeka Belajar’.
“Jangan selalu mutliple choice. Kalau bukan kuncinya guru pasti salah. Itu salah satu belenggu dan melawan merdeka belajar tadi. Dan tidak sesuai ide merdeka belajar,” tandasnya.(*/Tya)
JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi (Mendikbud Dikti) Nadiem Makariem telah memaparkan 4 program kerja “Merdeka Belajar” di hadapan Anggota dan Pimpinan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019) kemarin.
Salah satu program kerja yang dipaparkan adalah penggantian Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dengan Ujian Sekolah (US) yang formatnya sepenuhnya pada guru dan sekolah. Namun, hal ini sangat bergantung motivasi guru dan Kemendikbud harus membuat para guru termotivasi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian yakin bahwa program ini, khususnya perubahan USBN menjadi US akan memiliki kemungkinan dampak yang paling signifikan.
“Saat guru diberikan kebebasan lebih, daya kreativitasnya akan muncul. Mereka akan memikirkan cara-cara bagaimana panduan yang ada dalam kurikulum K-13 itu dapat diterjemahkan dan diserap lebih baik oleh peserta didik, sesuai konteksnya masing-masing,” kata Hetifah dalam siaran pers .(13/12/2019).
Hetifah juga mengapresiasi Menurutnya, jika ada sekolah-sekolah yang masih harus beradaptasi dan belum memiliki kemampuan untuk membuat soal sendiri, harus diakomodir oleh Kemendikbud.
“Untuk sekolah-sekolah yang sudah siap melesat, biarkan saja mereka memaksimalkan potensinya, tidak boleh kita tahan. Sementara untuk sekolah-sekolah yang mungkin belum siap, saya dengar Kemendikbud tetap menyiapkan bank soal. Itu bisa menjadi opsi yang sangat baik,” ujarnya.
Meski demikian Hetifah mengingatkan, selain dari kompetensi, motivasi guru juga harus menjadi faktor yang dipertimbangkan. Karena setiap guru, memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam mengajar.
“Tingkat motivasi guru itu berbeda-beda. Ada yang memang idealis dan memiliki semangat mengajar tinggi, dengan kebijakan ini jadi semangat untuk berinovasi. Tapi ada juga yang tidak,” papar politikus Partai Golkar itu.
Karena itu, Hetifah menyarankan agar Kemendikbud menyiapkan mekanisme untuk memotivasi guru dalam berinovasi dan memberikan pengajaran terbaik bagi murid-muridnya.
“Bisa dengan pemberian insentif, penghargaan, atau mekanisme lainnya. Agar guru-guru yang rajin dan mau berusaha lebih bisa terapresiasi,” jelasnya.(*/Ind)
JAKARTA – Tidak semua daerah siap untuk sistem polisi zonasi yang sangat rigid (kaku), karena itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, bakal melonggarkan sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru.
Nadiem mengungkapkan, komposisi kuota akan diubah sehingga siswa berprestasi bisa memilih sekolah favorit.
“Kami sadar, nggak semua daerah itu siap untuk suatu policy zonasi yang sangat rigid (kaku),” kata Nadiem di Rapat Koordinasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jl Jenderal Gatot Subroto, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/12/2019).
Sistem zonasi sebelumnya membagi jatah-jatah kuota penerimaan siswa baru, yakni 80% kuota suatu sekolah diberikan untuk anak-anak yang bermukim di kawasan zonasi sekolah, 15% kuota untuk siswa yang berprestasi, dan 5% kuota untuk siswa perpindahan.
Komposisi kuota ini akan diubah Nadiem supaya lebih longgar, khususnya untuk anak berprestasi yang memfavoritkan sekolah tertentu.
“Arahan kebijakan kedepan akan sedikit dilonggarkan di zonasi. Yang tadinya prestasi 15% sekarang jalur prestasi kami perbolehkan sampai 30%. Jadi bagi orang tua yang semangat mem-push anaknya untuk mendapatkan angka-angka yang baik untuk mendapatkan prestasi yang baik, ini jadi kesempatan mereka untuk mendapat sekolah yang mereka inginkan,” tutur Nadiem.
Selanjutnya, kuota untuk siswa yang berada dalam zonasi sekolah bakal dikecilkan dari 80% menjadi 50%. Kuota jalur afirmasi untuk pemegang Kartu Indonesia Pintar tidak diubah Nadiem alias tetap 15%. Kuota untuk jalur perpindahan domisili orang tua juga tetap 5%.(*/Nia)
JAKARTA – Rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, disambut positif sejumlah guru atau para pendidik. Mereka menilai, Assessment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter sebagai pegantinya akan jauh lebih baik.
“Tentunya apa yang menjadi keputusan Pak Menteri ini telah melalui kajian, baik strategis maupun kebutuhan anak sehingga baik untuk kebaikan dunia pendidikan,” ucap Rose Rini, pengajar di sekolah Marie Joseph, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (11/12/2019).
Dikatakannya, pengukuran yang berdasarkan literasi sebagai pengganti UN tersebut jauh lebih nyata bagi siswa untuk dapat menerapkan apa yang dipelajarinya selama ini. “Sehingga siswa tidak hanya sekadar baca dan menghafal, seperti yang banyak terjadi pada siswa sekarang ini,” ujarnya.
Dalam hal survei karakter, Rose juga melihat bahwa hal tersebut lebih pada pendidikan membangun suasana. Tak hanya itu, melalui penguatan karakter ini tentunya dapat membentuk pribadi siswa agar menjadi lebih baik dan siap bersaing di era yang sangat global dengan caranya yang lebih kontekstual.
Tanggapan serupa juga diungkapkan Ratna Suminar, Kepala Sekolah SDN Cideng 07, Gambir, Jakarta Pusat. Menurutnya, rencana penghapusan UN oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, dirasa sangat tepat.
Pasalnya, kata Ratna, UN sendiri dinilai tidak efektif karena terkadang memang banyak siswa yang gugup pada saat hari pelaksanaan. Sehingga pada nilai harian, siswa mendapat nilai tinggi, tapi pada saat ujian karena tidak bisa percaya diri atau gugup tersebut mengakibatkan nilainya jatuh.
“Selain itu dalam segi efisiensi anggaran, ini dapat meminimalisir . Dan anggaran yang ada pun bisa dialokasikan ke siswa, juga siswa-siswa yang mempunyai bakat tertentu,” ungkapnya. (*/Nia)
BOGOR – Tindakan Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 1 Cibinong yang memecat lima orang siswanya, menuai kecaman. Ketua LSM Aspirasi Sosial Masyarakat Centre (ASMC), Mochammad Nurul Nasruli menilai, langkah tersebut dianggap semena-mena.
Tak tanggung-tanggung, pria yang akrab disapa Buyung ini bahkan akan melaporkan tindakan tersebut ke Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia pun mengancam, jika hal ini dibiarkan, pihaknya akan melakukan aksi besar-besaran.
“Pendidikan adalah hak semua masyarakat. Jika memang ada pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, sekolah seharusnya melakukan pembinaan terlebih dahulu sesuai dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Tidak melakukan pemecatan secara semena-mena,” tegas Buyung.
Lebih lanjut, ia juga menjabarkan, jika terjadi hal-hal yang kurang wajar terhadap siswa, seharusnya pihak sekolah melakukan pemanggilan kepada orangtua masing-masing. Baru setelah orangtua tersebut tidak sanggup melakukan pembinaan baru dikembalikan lagi kepada sekolah.
“Intinya, sekolah tidak boleh memutuskan cita-cita dan masa depan siswa, apapun dalihnya. Terkecuali ada tindakan hukum atau pidana yang dikuatkan dengan surat pernyataan dari kepolisian,” sebutnya.
Sebelumnya, Ketua Umum DPP Aliansi Masyarakat Perduli Pendidikan, Biyan Firmansyah juga menolak tindakan yang semena – mena kepala sekolah SMA Negeri 1 Cibinong Kabupaten Bogor yang memecat siswa, pemecatan 5 siswa ini melanggar Permendikbud No. 82 tahun 2015.
DPP AMPP bahkan mendesak Gubernur Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Ketua DPRD Jawa Barat segera memberi sanksi atau mutasi kepada kepala sekolah tersebut.
”Dampak pemecatan itu bisa menimbulkan traumatik bagi siswa, seharus kepala sekolah bisa membina dan mendidik siswa menjadi baik kalau tidak bisa mendidik dan membina tidak usah jadi kepala sekolah bisanya hanya pecat siswa semena-mena,” paparnya.
AMPP juga menjelaskan, secara undang-undang tidak diperbolehkan mengeluarkan siswa dari sekolah. “Semestinya pihak sekolah tetap mempertahankan sampai siswa lulus ujian,” ungkap Biyan
Hingga berita diturunkan, belum ada konfirmasi dari pihak sekolah terkait dugaan pemecatan terhadap lima siswanya tersebut. (Fuz)
CIKARANG – Sejumlah guru dari berbagai daerah mengeluhkan praktik potongan terhadap gaji mereka demi membayar iuran keanggotaan Persatuan Guru Republik Indonesia. Potongan itu diakui Ketua Pengurus Besar PGRI Pusat Unifa Rosyidi, meski meminta informasi itu tidak dibesar-besarkan.
Hal tersebut diungkapkan saat peringatan HUT PGRI tingkat nasional yang digelar di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Sabtu, 30 November 2019. Selain iuran yang dipotong langsung dari gaji, mereka pun mengeluhkan kewajiban membeli sejumlah produk.
Para guru diwajibkan membeli kalender, seragam batik hingga majalah. Tidak jarang pembelian wajib untuk sejumlah produk itu dipotong pula dari gaji para guru.
“Ada (potongan), biasanya pas sertifikasi cair sering ada. Disuruh beli ini, itu. Buat ulang tahun ini juga ada. Padahal kan iuran bulanan disedot terus,” ujar salah seorang guru asal Bekasi.
Hal serupa diungkapkan guru lainnya asal Kabupaten Bandung. Dia mengaku praktik potongan untuk organisasi guru terbesar ini sudah terjadi sejak lama, baik yang dipotong langsung dari gaji maupun yang ditagih secara tunai.
“Kalau bulanan itu Rp 21.000, itu mah diambil langsung dari slip gaji. (Sebanyak) Rp 11.000 buat cabang, Rp 10.000 buat ranting, catatannya ada di slip gaji. Cuma selain itu juga ada macam-macam iuran lagi,” ucap guru wanita berusia sekitar 55 tahun ini.
Dia membenarkan adanya penjualan kalender tahunan dari PGRI kepada para guru. Meski sifatnya menjual namun mereka diwajibkan membeli. “Kalender tiap tahun Rp 75.000, harus beli. Bisa dicicil sampai tiga bulan, jadi Rp 25.000. Terus juga ada majalah yang juga kudu beli Rp 20.000,” kata dia.Kemudian untuk HUT PGRI tahun ini, dia mengaku dimintai juga iuran yang mencapai Rp 265.000 per orang. Iuran itu ditagih oleh pengurus ranting.
“Katanya untuk musyawarah ranting buat acara ulang tahun. Itu saya kan dipindah ngajarnya dari antar ranting, di ranting yang baru diminta iuran Rp 65.000 buat kaos, itu kaosnya ada. Nah di ranting yang lama diminta iuran lagi Rp 200.000 buat kaos juga, tapi kaosnya sampai sekarang enggak pernah ada. Saya sudah protes tapi tetap saja disuruh bayar,” ucap dia.
Menurut guru sekolah dasar ini, praktik ini sudah terjadi sekian lama. Iuran biasanya muncul di waktu tunjangan sertifikasi cair. “Tolonglah yang iuran-iuran ini ditindak, jangan terus-terus kayak gini. Kami kan sudah bayar itu yang dipotong di gaji, tapi masih juga diminta ratusan ribu. Jadinya kayak kesempatan, pas sertifikasi cair diminta bayar ini itu,” ucap dia.
Menanggapi banyaknya praktik iuran yang dibeban pada para guru, Ketua PB PGRI Pusat Unifa Rosyidi meradang meski dia membenarkan hal tersebut. Karena PGRI tidak mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah sehingga biaya operasional pun digunakan dari iuran yang dibayar para anggota, termasuk acara HUT PGRI. Iuran pun telah disepakati.
“Kami itu iuran sepakat dari dulu, di RT/RW juga ada iuran. Acara begini (HUT) bagaimana kalau tidak ada iuran. (Iuran wajib) nilainya sudah disepakati minimum 6.000 tapi kalau di daerah ya disepakati daerahnya masing-masing di AD/ART,” kata dia dengan nada meninggi.
Dia pun membenarkan praktik penjualan berbagai produk yang wajib dibeli guru. Tapi, dia berkilah sifatnya tidak memaksa dan tidak seluruh daerah terjadi seperti itu. Kendati demikian, Unifa menegaskan hal tersebut menjadi otoritas masing-masing daerah.
“Kalau kalender yang dikasus, jangan dibawa-bawa. Ada memang seperti itu tapi tidak semua. Itu semua otoritas masing-masing daerah. Kalau kami mencetak kalender kami bagikan ke provinsi masing-masing. Kalau misalkan keberatan, jangan beli. Karena tidak ada penjualan kalender yang dipotong dari rekening langsung. ” ucap dia.
Meski mengakui praktik itu terjadi dan membebani guru, Unifa mengatakan hal tersebut tidak perlu dibesarkan. Menurutnya, PGRI kini tengah fokus dalam perubahan menuju lebih baik.(*/Aln)
BOGOR – Mantan Waka Polri Komjen (Pol) Purnawirawan Drs. Nanan Sukarna bersama rombongan, kembali datang ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Misbahul Afhtal yang berada di Kampung Cileuleuy RT 03 RW 06 Desa Cibentang Kecamatan Ciseeng Kabupaten Bogor, Sabtu (30/11/2019).
Kunjungan kedua kali dari mantan Waka Polri tersebut dalam rangka menghadiri acara syukuran sekaligus meresmikan selesainya kegiatan bakti sosial gabungan (Baksosgab) rehabilitasi gedung sekolah dan penyediaan berbagai sarana pendukung pendidikan seperti mebeulair berupa 126 set meja dan kursi belajar, sumur bor serta kamar mandi dan toilet.
“Bantuan bakti sosial gabungan ini dilakukan oleh 3 Komunitas yaitu Harley Davidson Club Indonesia (HDCI), Willys Owner Indonesia (WOI) dan Volkswagen Indonesia Association (VIA). Pesan saya, semoga pihak pengelola sekolah ini dapat menjaga dan merawatnya dengan baik demi kemajuan pendidikan masyarakat Indonesia,” ungkap Komjen (Pol) Purnawirawan Drs.Nanan Soekarna selaku Ketua sekaligus Pembina Komunitas tersebut, Sabtu (30/11/2019).
Dalam giat tersebut, Komjen (Pol) Purnawirawan Drs.Nanan Soekarna selaku perwakilan donatur, didampingi Teti Sugiharti selaku Kepala MI Misbahul Athfal menandatangani prasasti peresmian rehab sekolah madarah tersebut.
Turut hadir dalam kegiatan ini, Kapolsek Parung Kompol Parmin, Danramil Parung Kapten (inf) Iwan, perwakilan Pendiri MI Misbahul Athfal Sopyan Hadi, Pengawas Dikmad MI Kecamatan Ciseeng Saeful Bahri, beserta dewan guru serta pengurus pemerintahan setempat.
Kepala MI Misbahul Athfal Teti Sugiharti mengatakan, sangat berterima kasih atas pemberian bantuan yang diterima sekolahnya berupa biaya renovasi gedung sekolah, pengadaan bangku dan meja belajar untuk siswa dan guru serta pengadaan alat – alat penunjang pendidikan lainnya yang sangat dibutuhkan. “Tentu kami mewakili pendiri, para dewan guru serta semua wali murid, sangat berterimakasih atas bantuan yang sangat bermanfaat bagi MI Misbahul Athfal,” ucapnya.
Seperti diketahui, kabar tentang adanya kekurangan sarana mebeulair, serta adanya beberapa ruang kelas dan ruang guru di MI Misbahul Athfal sempat mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan hangat di tengah publik.
Madrasah Ibtidaiyah ini diresmikan pada tahun 2017 dan sebelumnya adalah Madrasah Diniyah. Ada 6 ruang kelas dengan jumlah murid sebanyak 130 orang siswa yang ditangani oleh 7 orang guru tenaga pengajar. (Fuz)
BOGOR – Bawaslu Provinsi Jawa Barat, menggelar kegiatan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) di setiap kabupaten dan kota. SKPP dilaksanakan secara bertahap dimasing-masing daerah.
Dalam kesempatan tersebut Wakil Bupati Bogor berkesempatan membuka kegiatan tersebut yang diikuti 90 peserta dari 40 Kecamatan se-Kabupaten Bogor bertempat di new karwika hotel & resort, Cisarua pada Senin (25/11/2019).
Wakil Bupati Bogor, Iwan Setiawan mengatakan dirasa penting untuk diadakannya kegiatan sekolah kader pengawasan partisipatif bawaslu Kabupaten Bogor tahun 2019 guna menyiapkan kader yang siap untuk terlibat dalam pesta demokrasi yang akan datang.
“Kegiatan ini pun menjadi wadah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dan semua elemen dalam pengawasan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sangat dibutuhkan untuk bersam-sama melaksanakan pengawasan partisipatif untuk mencegah dugaan potensi pelanggaraan pada setiap tahapan,” ujarnya.
Iwan juga menambahkan hal ini merupakan upaya perbaikan pengawasan pemilu tentu harus mendapatkan dukungan baik oleh penyelenggara pemilu lainnya (KPU dan DKPP), peserta pemilu dan masyarakat.
“Saat ini salah satu fokus bawaslu terkait pengawasan pemilu adalah tertuju pada perlibatan masyarakat untuk aktif ambil bagian menjadi pengawas pemilu partisipatif,”katanya.
Wakil Bupati Bogor juga berharap Bawaslu Kabupaten Bogor berkomitmen melakukan pendidikan sekolah kader pemilu kepada masyarakat dan generasi muda di Kabupaten Bogor dengan membentuk wadah pendidikan pengawasan pemilu yang berkesinambungan.
Sementara itu, ketua Bawaslu Provinsi Jawa Barat, mengatakan perintisan sekolah kader pengawasan ini memiliki 2 pesan penting. Pertama, spektrum rakyat adalah peran penting dalam pemilu. Kedua, SKPP menjadi ajang konsolidasi dalam menata pemilu partisipatif.
“Bawaslu hadir sebagai institusi harus menghadirkan visi jujur, adil, dan berintegrtas. Realitasnya, harus kita akui masih ada peserta pemilu yang melakukan keterpilihan bahkan dengan cara yang tidak prosedural seperti politik uang dan Bawaslu tidak berdiri sendiri. Kedua, sekolah kader ini antitesa dari politik transaksional tadi dan kita harus menyusun konsolidasi yang terstruktur, siatematis, dan massif. Kategorinya, masyarakat sadar & berani melaporkan pelanggaran,” papar Abdullah. (Fuz)
JAKARTA – Ikatan Guru Indonesia (IGI) mengkritisi penyelenggaraan pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan mandiri yang hanya diperuntukkan bagi sarjana baru lulus (fresh graduate). Hal tersebut dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap guru honorer.
Ketua Umum Pengurus Pusat IGI Muhammad Ramli Rahim menilai, guru honorer yang mayoritas masih berusia muda seharusnya diberi kesempatan meningkatkan mutu melalui PPG. Dengan demikian, mereka akan mendapat kesempatan besar untuk jadi guru pegawai negeri sipil (PNS). Pasalnya, ucap dia, guru honorer kerap dianggap kurang berkualitas sehingga selalu gagal tes calon PNS.
Ramli menegaskan, untuk mengganti guru pensiun yang tahun ini mencapai 63.000 orang di seluruh Indonesia, pemerintah seharusnya mengutamakan merekrut guru honorer yang memenuhi persyaratan. Menurut dia, diskriminasi terhadap guru honorer dalam segala aspek harus segera dihentikan karena peran mereka yang begitu besar dalam membantu menutupi kekurang guru di sekolah.
“Saat ini masih banyak guru honorer yang dinyatakan belum lulus PPG. Ini (PPG untuk sarjana baru lulus) pukulan telak bagi para honorer. Padahal selama ini masih banyak juga guru honorer yang tidak sejahtera. Hanya digaji Rp 100.000 per bulan,” ucap Ramli, dihubungi di Jakarta, Senin, 18 November 2019.
Ramli menyatakan, selain mendorong peningkatan mutu, IGI juga meminta pemerintah menuntaskan masalah kesejahteraan guru honorer. Ia berharap, pemerintah tidak “meninggalkan” guru honorer dengan memprioritaskan calon guru berstatus sarjana baru lulus untuk mengisi kekurangan jumlah guru yang mencapai sekitar 400.000 orang.
“IGI ingin menarik segala potensi anggaran negara untuk memperjelas status guru dan memberikan pendapatan layak bagi guru honorer di seluruh wilayah Indonesia. IGI bahkan bersedia mengambil tanggung jawab peningkatan kompetensi guru sehingga anggaran pemerintah untuk peningkatan kompetensi guru dialihkan untuk mengangkat guru baik dengan status PNS maupun status PPPK,” katanya.
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperpanjang pendaftaran PPG prajabatan mandiri hingga 2 Desember 2019. Hal tersebut dilakukan karena kuota 12.225 kursi PPG yang didistribusikan kepada 63 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum terpenuhi hingga batas waktu pendaftaran yang semula akan ditutup pada 11 November lalu.
Direktur Jenderal Pembelajaran Ditjen Belmawa Kemendikbud Paristiyanti Nurwardani menuturkan, hingga Jumat (15/11/2019) pendaftar sudah mencapai 10.000 orang. Ia optimistis, kuota yang disediakan akan terpenuhi pada akhir bulan ini. “Mereka (63 LPTK) yang meminta perpanjangan karena dirasa masih kurang sosialisasi. Setiap pekan pendaftarnya bertambah 3.000 – 5.000 orang,” kata Paristiyanti.
Dalam proses penyelenggaraannya, Ditjen Belmawa dan LPTK menyepakati hanya lulusan sarjana atau D-IV dengan IPK 3.0 yang bisa mengikuti PPG prajabatan mandiri. Syarat IPK minimal 3.0 menjadi aturan baru dengan harapan dapat melahirkan guru yang lebih kompeten dan profesional.
“Ada 4 tahapan tes. Administratif, bakat, minat dan panggilan jiwa. Jadi LPTK yang ditunjuk ini diharapkan merekrut calon guru sesuai regulasi yang berstandar nasional. Guru prajabatan yang ikut PPG ini juga akan mengikuti kurikulum dan modul baru yang kami buat,” katanya.
Sebelumnya, Pengamat Pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji menilai, penyelenggaraan PPG tidak akan mampu melahirkan guru profesional dan berkualitas. Pasalnya, mutu dosen di LPTK masih rendah.
Menurut dia, seharusnya, Kemendikbud menuntaskan dulu program peningkatan mutu dosen di LPTK. “Mutu dosen di LPTK itu parah. Itulah sumber dari kenapa susah sekali melahirkan guru berkualitas. Mahasiswanya yang ikut PPG menjadi tidak penting lagi karena mutu dosennya sudah parah. Kalau dosennya saja gak mengeri pedagogi, andragogi bagaimana calon guru bisa mendidik anak era sekarang?,” kata Indra.(*/Na
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro