CIKARANG - Sejumlah guru dari berbagai daerah mengeluhkan praktik potongan terhadap gaji mereka demi membayar iuran keanggotaan Persatuan Guru Republik Indonesia. Potongan itu diakui Ketua Pengurus Besar PGRI Pusat Unifa Rosyidi, meski meminta informasi itu tidak dibesar-besarkan.
Hal tersebut diungkapkan saat peringatan HUT PGRI tingkat nasional yang digelar di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Sabtu, 30 November 2019. Selain iuran yang dipotong langsung dari gaji, mereka pun mengeluhkan kewajiban membeli sejumlah produk.
Para guru diwajibkan membeli kalender, seragam batik hingga majalah. Tidak jarang pembelian wajib untuk sejumlah produk itu dipotong pula dari gaji para guru.
“Ada (potongan), biasanya pas sertifikasi cair sering ada. Disuruh beli ini, itu. Buat ulang tahun ini juga ada. Padahal kan iuran bulanan disedot terus,” ujar salah seorang guru asal Bekasi.
Hal serupa diungkapkan guru lainnya asal Kabupaten Bandung. Dia mengaku praktik potongan untuk organisasi guru terbesar ini sudah terjadi sejak lama, baik yang dipotong langsung dari gaji maupun yang ditagih secara tunai.
“Kalau bulanan itu Rp 21.000, itu mah diambil langsung dari slip gaji. (Sebanyak) Rp 11.000 buat cabang, Rp 10.000 buat ranting, catatannya ada di slip gaji. Cuma selain itu juga ada macam-macam iuran lagi,” ucap guru wanita berusia sekitar 55 tahun ini.
Dia membenarkan adanya penjualan kalender tahunan dari PGRI kepada para guru. Meski sifatnya menjual namun mereka diwajibkan membeli. “Kalender tiap tahun Rp 75.000, harus beli. Bisa dicicil sampai tiga bulan, jadi Rp 25.000. Terus juga ada majalah yang juga kudu beli Rp 20.000,” kata dia.Kemudian untuk HUT PGRI tahun ini, dia mengaku dimintai juga iuran yang mencapai Rp 265.000 per orang. Iuran itu ditagih oleh pengurus ranting.
“Katanya untuk musyawarah ranting buat acara ulang tahun. Itu saya kan dipindah ngajarnya dari antar ranting, di ranting yang baru diminta iuran Rp 65.000 buat kaos, itu kaosnya ada. Nah di ranting yang lama diminta iuran lagi Rp 200.000 buat kaos juga, tapi kaosnya sampai sekarang enggak pernah ada. Saya sudah protes tapi tetap saja disuruh bayar,” ucap dia.
Menurut guru sekolah dasar ini, praktik ini sudah terjadi sekian lama. Iuran biasanya muncul di waktu tunjangan sertifikasi cair. “Tolonglah yang iuran-iuran ini ditindak, jangan terus-terus kayak gini. Kami kan sudah bayar itu yang dipotong di gaji, tapi masih juga diminta ratusan ribu. Jadinya kayak kesempatan, pas sertifikasi cair diminta bayar ini itu,” ucap dia.
Menanggapi banyaknya praktik iuran yang dibeban pada para guru, Ketua PB PGRI Pusat Unifa Rosyidi meradang meski dia membenarkan hal tersebut. Karena PGRI tidak mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah sehingga biaya operasional pun digunakan dari iuran yang dibayar para anggota, termasuk acara HUT PGRI. Iuran pun telah disepakati.
“Kami itu iuran sepakat dari dulu, di RT/RW juga ada iuran. Acara begini (HUT) bagaimana kalau tidak ada iuran. (Iuran wajib) nilainya sudah disepakati minimum 6.000 tapi kalau di daerah ya disepakati daerahnya masing-masing di AD/ART,” kata dia dengan nada meninggi.
Dia pun membenarkan praktik penjualan berbagai produk yang wajib dibeli guru. Tapi, dia berkilah sifatnya tidak memaksa dan tidak seluruh daerah terjadi seperti itu. Kendati demikian, Unifa menegaskan hal tersebut menjadi otoritas masing-masing daerah.
“Kalau kalender yang dikasus, jangan dibawa-bawa. Ada memang seperti itu tapi tidak semua. Itu semua otoritas masing-masing daerah. Kalau kami mencetak kalender kami bagikan ke provinsi masing-masing. Kalau misalkan keberatan, jangan beli. Karena tidak ada penjualan kalender yang dipotong dari rekening langsung. ” ucap dia.
Meski mengakui praktik itu terjadi dan membebani guru, Unifa mengatakan hal tersebut tidak perlu dibesarkan. Menurutnya, PGRI kini tengah fokus dalam perubahan menuju lebih baik.(*/Aln)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro