JAKARTA – Mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana divonis 10 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (19/8). Dia dinyatakan terbukti bersalah menerima suap terkait pembahasan APBN-P Kementerian ESDM 2013 sebesar 140 ribu dolar AS dari mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Waryono Karno, dan menerima gratifikasi uang 200 ribu dolar AS dari eks Ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini.
Selain pidana penjara, Sutan juga dikenakan pidana denda Rp500 juta dengan ketentuan, apabila tidak dibayar maka diganti kurungan selama satu tahun. “Menyatakan terdakwa Sutan Bhatoegana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama primer dan kedua lebih subsider dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim, Artha Theresia, membacakan vonis untuk Sutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (19/8).
Tak hanya itu, Sutan juga dinilai terbukti menerima hadiah lain berupa tanah dan rumah seluas 1.194 meter persegi di Jl. Kenanga Raya Tanjungsari, Medan, Sumut, dari Komisaris PT SAM Mitra Mandiri, Saleh Abdul Malik. Dikatakan, seluruhnya diterima Sutan ketika menjabat Ketua Komisi VII DPR RI periode 2009-2014.
Meski demikian, vonis tersebut masih lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Sutan divonis 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Majelis hakim yang beranggotakan Casmaya, Syaiful Arif, Alexander Marwata, dan Ugo itu juga tidak meluluskan tuntutan jaksa agar Sutan dicabut hak politiknya selama tiga tahun.
“Mengenai hak dipilih, majelis hakim tidak sependapat karena pemilihan tergantung pada rakyat yang memilihnya,” kata anggota majelis hakim, Ugo.
Hal-hal meringankan hukuman terhadap Sutan, hakim mengatakan, karena politisi Partai Demokrat itu masih memiliki keluarga. Sementara, hal-hal memberatkan, lantaran perbuatannya bertentangan dengan upaya pemerintah memberantas korupsi, dan bertentangan dengan slogan yang selama ini dia dengung-dengungkan terkait pemberantasan korupsi.
“Terdakwa juga tidak mengakui perbuatan dan berbelit di persidangan, serta sikap terdakwa di persidangan tidak mencerminkan anggota DPR,” kata Ugo.
Sutan lantas terkejut dan mengaku keberatan atas putusan tersebut. Terlebih sebelum vonis itu dibacakan, ia merasa percaya diri bisa bebas dari jeratan hukum. Sebab, ia merasa sempat diberikan harapan oleh hakim. Atas itu, ia memastikan untuk banding.
“Dikasih angin segar kami waktu itu, dan praperadilan akan dipertimbangkan. Tapi satupun tidak ada yang diungkapkan. Kemudian saksi ahli tidak ada, pledoi sama sekali enggak dianggap. Dan semua hampir 70 persen saya dengar, saya simak, copy paste daripada tuntutan dakwaan. Hampir enggak ada apa-apanya. Ya terus terang saja harus kami lawan. Kami harus banding,” ujarnya selepas persidangan.
Soal banding ini juga ditegaskan oleh kuasa hukum Sutan, Eggie Sudjana. Ia pun mengaku heran dengan sikap Ketua Majelis Hakim Artha yang langsung menutup persidangan dan tidak memberikan kesempatan Sutan dan penasihat hukumnya menanggapi putusan.
“Sikap kami pasti banding ya. Banding kami ini sebenarnya kalau menurut tata krama yang biasa, hakim harusnya mempertanyakan dulu bagaimana sikap terdakwa. Ini kan tidak, ini suatu kejanggalan,” pungkasnya. (*Adyt)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro