JAKARTA - Chusnul Mari’ah, mantan Komisioner KPU membeberkan potensi-potensi kecurangan yang terjadi pada Pelimu 2019 yang digelar secara serentak.
Hal itu dia sampaikan dalam diskusi dengan tema ‘Menginventarisir Potensi Kecurangan di Pilpres 2019’.
Potensi kecurangan yang pertama yakni pemilu yang dilakukan secara serentak akan menyedot tenaga ekstra para penyelengara pemilu, utamanya saat penghitungan suara.
Saking banyaknya suara yang harus dihitung memungkinkan terjadi kesalahan, apalagi penghitungan suara Pilpres dilakukan terahir setelah legislatif.
“Anda bayangkan jam 11 malam semua sudah capek, terahir mari kita hitung surat suara Pilpres, kira-kira apa yang terjadi sementara sekarang dengan sistem pemilihan serentak legislatif,” kata dia di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, (25/2/2019).
Dia mengaku salah satu yang tidak sepakat Pemilu dilakukan secara serentak. Karena penghitungan legislatif akan terpinggirkan karena kalah populer dari Pilpres. Dia berpendapat jika mau Pilpres dijadikan satu dengan pemilihan tingkat DPR-DPD kemudian Provinsi dan DPRD di gelar sendiri. “Aturan main saja kita sudah bisa bermasalah,” ucap dia.
Chusnul melanjutkan, potensi kecurangan bisa terjadi pada tingkat penyelenggara. Kemudian tentu saja peserta Pemilu itu sendiri yang kemungkinan ingin menang sehingga melakukan kecurangan.
“Peserta juga mau menang kalau bisa menang tidak dengan cara halal kayak gitu. Padahal prinsip pemilu free and fair, bebas dan jujur,” ucap Chusnul.
Dari sudut peserta, imbuh Chusnul, yang harus di awasi adalah petahana baik tingkat eksekutif maupun legislatif. Karena mereka dianggap bisa mengakses dan menguasai aparatur negara, APBN, dan APBD yang menguntungkan mereka.
“Jadi bukan hanya eksekutif saja yang diawasi karena legislatif juga banyak petahana kan, incumben maju lagi untuk jadi anggota DPR, DPRD kota provinsi kabupaten, ini harus diawasi bagaimana akses menggunakan anggaran APBN APBD untuk kemudian itu bisa menguntungkan,” papar dia.
Selanjutnya, adalah dari pemilih itu sendiri karena dia menuding saat ini banyak bukan warga negara Indonesia tapi bisa memiliki e-KTP sehingga memiliki hak pilih. “Persoalan sekarang e-KTP bisa dimiliki oleh orang-orang asing misalnya, nah itu nanti bisa menghasilkan potensi kecurangan,” kata dia.
Kemudian yang harus diawasi, lanjut Chusnul, yakni formulir C1, C1 Plano, dan formulir C7. Formulir C7 adalah semua informasi mulai dari jumlah pemilih, jumlah surat suara, hasil dari surat suara, dan sebagainya.
Untuk itu dia berharap sejak sekarang sudah ada pengawasan terhadap panitia pemilihan kecamatan (PPK) larena logistik KPU sudah mulai bergerak.
“Lima anggota PPK wajib tahu dia diawasi, karena transaksi-transaksi sekarang akan sudah mulai didaerah kecamatan. Makanya dulu jamannya IT KPU 2004 yang kita bentuk IT KPU tingkat kecamatan. Kita kirim aktivis-aktivis mahasiswa. Jadi kalau dilihat dari situ semua potensi untuk melakukan kecurangan,” kata Chusnul.
Sekarang Chusnul menegaskan semua tergantung dari penyelenggara Pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam melaksanakan dan mengimplementasikan Undang-undang sehingga tercipta Pemilu yang bersih, jujur, dan adil. (*/Na)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro