Bulog Harus Antisipasi Kenaikan Harga Beras Akhir Tahun Ini
JAKARTA - Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, Bulog harus memiliki strategi yang pas dalam mengamankan stok beras dan mendistribusikannya ke masyarakat. Peran utama Bulog adalah penyeimbang harga pangan.
Kenaikan harga beras belakangan ini dan dominannya beras impor dalam gudang Bulog adalah bukti tidak antisipatifnya Bulog dalam menyerap beras petani. “Waktu saya (pimpin Bulog) itu stok 3.645.000 ton, tertinggi selama Bulog berdiri. Kenapa bisa seperti itu, Karena ada produksi yang berlebih, dan strategi kita pas," ujar Sutarto di Jakarta, Kamis 22 November 2018.
"Bagaimana strategi yang tepat saat produksi tinggi? Saat itu kami (Bulog) beli karena harga turun. Kalau strategi tidak pas, tidak dapat barang. Jadi begitu, jangan hanya asal tampil beda,” ujar Sutarto lagi seusai diskusi bertema "Mengurai Polemik Data Produksi Beras", di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta.
Dikatakan Sutarto, kenaikan harga beras di akhir tahun ini harus diantisipasi dengan menggelontorkan beras melalui Operasi Pasar Bulog. Ia mengatakan, kebutuhan perbulan saat ini sekitar 3 juta ton. Dengan rata-rata lahan produksi 500 ribu hektar yang panen, kata dia, maka di pasaran akan ada sekitar 1,5 juta ton.
“Berarti kan kurang 1,5 juta ton, itu dimana? Ada di stok masyarakat yang masih punya atau menyimpan beras. Sisanya, Bulog harus gelontor, sudah selesai itu (kenaikan harga),” jelasnya.
Defisit pasokan, juga menurutnya bukan hal baru. Indonesia kerap mengalami defisit beras pada periode tertentu, yakni pada masa paceklik yang kerap datang pada Oktober hingga Desember. Pada masa itu, angka produksi tentu lebih kecil dibandingkan kebutuhan masyarakat. Ini pula yang terjadi pada kondisi di pasar kini.
Berdasarkan pemantauan, harga beras medium IR-64 kualitas I tercatat Rp 10.550 per kilogram (kg). Pada bulan lalu, harga beras jenis tersebut masih di angka Rp 10.350 per kg. IR-64 kualitas II juga melonjak dari Rp 9.625 per kg menjadi Rp 9.925 per kg.
Bahkan, IR-64 kualitas terendah harganya sudah mencapai Rp 9.200 per kg dari bulan sebelumnya yang hanya Rp 8.825 per kg. Untuk beras medium kualitas I dan II kini sudah melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 9.450 per kg.
Dosen FEB UI dan pengamat kebijakan beras, Prof Mohamad Ikhsan menambahkan, kisruh data beras yang terjadi di Kementerian Pertanian harus terus dibenahi. Ia mengatakan, penelitian sederhana terhadap Pasukan Pengaman Presiden saja, konsumsi perkapita per tahun hanya di angka 60 sampai 80 kilogram per tahun. Sedang data kementan overestimated.
“Jadi angka konsumsi 130-an kilogram per tahun yang dipakai Kementan tidak masuk akal. Tentara saja tidak makan sebanyak itu, kita harus lihat konsumsi beras itu semakin menurun,” ujarnya.
Ikhsan menganggap buruknya data pangan sebagai darurat matematika. Ia juga menegaskan, tidak ada anomali kali ini. Yang terjadi, pasokan beras minim sekali dari dalam negeri. “Harga di pasar itu berbanding terbalik dengan stok Bulog. Kalau kurang, ya harus impor. Enggak usah malu, dari 1961 Indonesia sudah impor. Hanya pada 1985-1988 saja pernah swasembada,” tukasnya,
Pada saat seperti inilah, lanjutnya, pemerintah melalui Perum Bulog harus turun ke pasar dengan menggelontorkan stok yang dimiliki. Jika terus didiamkan, harga beras dipastikan terus menanjak naik bahkan hingga awal tahun mendatang.
Hal serupa diutarakan Direktur Statistik Tanam Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Badan Pusat Statistik, Hermanto bin Ashari Prawito. Berdasarkan pantauan BPS selama ini, Hermanto menyebut harga beras pada medio Oktober hingga Desember cenderung mengalami eskalasi.
“Itu terjadi pada masa-masa dimana produksi berkurang. Itu memang pasti akan diikuti kenaikan harga, itu konsisten terjadi. Hukum ekonominya seperti itu,” Ujarnya.(*Adit)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro