….. SAYA sengaja tak membuat catatan akhir tahun. Banyak yang sudah melakukan, sambil berharap tahun 2019 ini lebih baik. Profesi sebagai wartawan yang bertahun-tahun saya geluti juga berubah lebih baik.
Sayang harapan itu menjadi sirna. Hari terakhir di tahun 2018 diawali dengan status nyinyir wartawan super senior Goenawan Mohammad yang selama ini cukup saya hormati. Melalui akun twitternya @gm_gm menyerang capres Prabowo.
GM adalah tipikal wartawan sekaligus sastrawan partisan yang kelasnya sudah jatuh ke titik nadir, sekelas buzzer bayaran. Sangat disayangkan.
Saya yakin banyak orang seperti saya yang dulu mengidolakan GM. Saya tak pernah absen mengikuti catatan pinggirnya. Sebuah tulisan berupa perenungan berbagai hal tentang aspek kehidupan. Tulisan yang hanya bisa dihasilkan seorang empu yang berdiri lebih tinggi di atas birahi kuasa, dan dunia.
Sekarang kekaguman itu, terpaksa harus saya tarik ulang. Saya harus membuat catatan kaki. Banyak catatan kaki atas perilaku Mas GM. Saya tak mau terjebak pada isu-isu kehidupan pribadinya yang banyak miringnya. Biarlah itu urusan dirinya dengan keluarga dan Tuhannya.
Saya mengamati sejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan sekarang menjelang Pilpres 2019, GM adalah Jokower dan Ahoker kelas berat. Die hard. Sayang dukungannya itu tidak dilakukan melalui tulisan-tulisan mendalam yang menjadi keahliannya. Dia terjebak dalam wacana nyinyir media sosial. Kelasnya sekarang sama dengan Denny JA yang rajin menyebar meme dungu.
Wajar banyak yang curiga, dukungan itu dilakukan atas motif kuasa, bahkan imbalan harta. Sejumlah media mengabarkan atas nama Kongres Kebudayaan, GM baru saja mendapat bantuan dari Presiden Jokowi sebesar Rp 5 triliun untuk para seniman.
Wartawan, ulama dan seniman yang baik itu punya standar perilaku hidup yang sama. Mereka adalah manusia merdeka, yang hidupnya harus berjarak dari kekuasaan.
Dalam Islam sampai diajarkan : “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama.”
Begitu pula dengan seniman. Mereka adalah manusia-manusia merdeka, bebas terbang di angkasa. Mereka mengamati dari kejauhan perilaku para penguasa dengan waspada. Seniman besar si “burung merak” WS Rendra sepanjang hidupnya, tetap menjaga sikap kritisnya terhadap penguasa. Dia tak pernah tergoda oleh kursi dan kuasa.
Wartawan, demikian pula adanya. Dia harus berjarak dari penguasa. Saya sepakat dengan wartawan senior Hersubeno Arief yang menyebut laku hidup seorang wartawan itu seperti ulama dan para pemuka agama. Laku asketis, menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Mantan aktivis mahasiswa dari ITB DR Syahganda Nainggolan menyebut mereka “orang-orang merdeka.”
Dulu ketika baru menjadi wartawan, kami diberi indoktrinasi. “Tidak boleh terlalu jauh, dan tidak boleh terlalu dekat dengan nara sumber, utamanya dengan para pejabat.” Terlalu jauh, tidak akan pernah mendapat informasi dan berita. Terlalu dekat, bisa mengaburkan obyektivitas.
Saking hati-hatinya, secara berkala dilakukan rotasi terhadap watawan yang nge-pos di satu departemen atau instansi pemerintah. Tujuannya supaya tetap bisa menjaga jarak, obyektif.
Mereka yang terlalu lama nge-pos di satu tempat dikhawatirkan akan kehilangan obyektivitasnya. Hubungan yang baik dengan seorang penguasa, akan membuat nalurinya sebagai seorang jurnalis yang kritis, tumpul. Mereka akan berubah dari seorang wartawan menjadi seorang petugas humas.
Semua batasan dan sikap ideal itu saat ini seakan menguap di luar angkasa. Sepanjang tahun 2018 kita menyaksikan ulama, seniman, wartawan berlomba-lomba mendekati kekuasaan. Berebut saling sikut untuk masuk dalam kekuasaan. Yang tidak bisa masuk, yang penting dekat dan bisa menikmati berkah dari kuasa.
Boleh Memihak
Bukan berarti wartawan tidak boleh memihak. Wartawan bahkan harus memihak. Dia harus berpihak kepada kepentingan publik. Berpihak kepada tegaknya keadilan. Dia harus melakukan advokasi ketika penguasa menginjak-injak kepentingan publik.
Dalam konteks politik dan pilpres, media juga boleh berpihak. Selama motifnya bukan ekonomi dan kuasa. Praktik semacam ini sudah biasa di Amerika Serikat. Pada Pilpres 2016 sejumlah media secara terbuka berkampanye menentang Trump.
Pada bukan Agustus 2018 sejumlah media di AS bersatu melakukan kampanye menentang Trump. Kampanye yang dipimpin oleh Harian Boston Globe itu diikuti sejumlah media, termasuk Harian The New York Times. Mereka menyabut aksi tersebut sebagai perang kotor terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintahan Trump.
Pada Pilpres 2014 Harian Jakarta Post secara terbuka mendukung Jokowi melawan Prabowo. Dalam artikel berjudul Endorsing Jokowi yang dimuat dalam edisi Jumat, 4 Juli 2014 menyebut pilihannya karena menentang penyalagunaan kekuasaan dan hak asasi.
Kita tunggu apakah Jakarta Post akan mengambil sikap yang sama sekarang ini. Para pengamat asing secara tegas menyebut rezim Jokowi adalah Neo Orba, otoriter dan anti demokrasi. Seharusnya Jakarta Post berani menyatakan kembali sikapnya yang memasang pertaruhan tinggi, tidak ada netralitas terhadap Jokowi.
Sikap ini harus terus dijaga pada Pilpres 2019 apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya. Andai saja Prabowo yang menang dan terpilih sebagai presiden, maka media harus bersikap sama. Mereka juga harus tetap kritis dan berani berpihak kepada kebenaran.
Media adalah salah satu fitur utama demokrasi. Salah satu pilar penting yang harus kita jaga tegak dan berdirinya. Tanpa media yang bersikap independen dan berjarak dari penguasa, tidak ada demokrasi. *****
Djadjang Nurjaman
Pemerhati Media dan Ruang Publik
JAKARTA – Lama menghilang dari layar kaca, Steve Emmanuel dicokok oleh Satres Narkoba Polres Metro Jakarta Barat. Saat rilis publik, sang aktor disebut memakai dan menyelundupkan kokain.
Tertangkapnya Steve, mau tidak mau membuat Andi Soraya banyak menerima pertanyaan, khususnya dari infotaiment. Namun, artis kelahiran 42 tahun ini tidak memberi respons sedikitpun. Malah marah marah lewat Instagram Stories.
“Dear teman-teman wartawan: mohon jangan menganggu dan bertanya tentang yang bukan urusan saya,” tulis Aya yang kemudian dihapus, namun berhasil diunggah ulang oleh akun @Igtainment.
Bintang film Arisan Brondong ini menyarankan agar infotainment bertanya kepada pihak keluarga terdekat Steve. “Silakan tanyakan saja dengan pihak keluarganya yang lebih mengerti dan kompeten untuk menjawab.
Saya tidak mengerti dan tidak punya kolerasi untuk menjawab apapun. Thank you,” ceplosnya.
Sebelumnya, Aya dituding kumpul kebo dengan Steve lantaran menjalin hubungan 11 tahun tanpa pernikahan. Akan tetapi, Aya membantah dan mengklaim telah menikah siri dengan sang aktor hingga dikaruniai satu momongan bernama Darren Sterling Emmanuel.
Belum lama, Aya melahirkan anak ketiga bernama Andi Kylie Zhivanna Ali, dari suami baru yang hingga kini identitasnya masih misterius.(*/Ind)
JAKARTA – Disaat menyambut tahun baru begitu banyak job untuk kalangan artis .Pedangdut Dewi Persik akan menghabiskan malam Tahun Baru 2019 di Pontianak.
Dia juga mengajak keponakannya yang tengah meniti karier di dunia musik, Lebby.
Depe, begitu sapaannya rela tak berlibur sembari menutup penghujung tahun 2018. Apalagi bayarannya cukup fantastis, ratusan juta rupiah.
“Alhamdulillah, karena memang kesempatan itu datang di Tahun Baru. Ya itu biasa lah tarifnya dua atau tiga kali lipat,” kata Depe .
Pemilik goyang gergaji ini tak jarang melewatkan kesempatan job di malam Tahun Baru. Biasanya kegiatan off air tersebut lebih sering di luar Jakarta.
Bayaran yang cukup besar menjadi alasan pemilik nama lengkap Dewi Murya Agung tersebut menerima pekerjaan saat malam tahun baru. Apalagi menurut Dewi, tampil bernyanyi di luar Jakarta pasti memiliki bayaran tinggi.
“Kan kalau di luar kota alhamdulillah bayarannya bisa dua atau tiga kali lipat,” ungkapnya.
Terkait perayaan Tahun Baru bersama keluarga, Dewi mengaku tidak terlalu mempermasalahkan. Ia beranggapan bahwa bekerja di luar kota bisa sekalian berlibur. “Kan sekalian liburan juga,” tandasnya.(*/Ind)
….. SUDAH banyak bencana alam yang menimpa negeri ini, mulai dari tanah longsor, erupsi gunung berapi, gempa bumi hingga pesawat jatuh. Tahun 2018 bisa dibilang sebagai tahun yang penuh ujian untuk Indonesia. Musibah bencana alam silih berganti sepanjang tahun ini.
Bencana teranyar adalah tsunami di Selat Sunda, yang menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga pukul 13.00 WIB hari Selasa (25/12) ini, tercatat telah menelan korban jiwa sebanyak 429 orang.
Sebelum tsunami di Banten dan Lampung, bencana tsunami dan gempa dahsyat juga melanda wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada bulan September lalu.
Waktu itu, BMKG menyatakan tsunami setinggi 1,5 meter terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pasca Gempa Bumi 7,4 Skala Richter menghantam pada pukul 17.02 WIB, berada pada kedalaman 10 kilometer dengan koordinat 0.18 LS dan 119.85 BT.
Sebulan sebelum gempa dan tsunami di Sulteng, terjadi gempa bumi besar yang menerjang Nusa Tenggara Barat (NTB). Bencana di NTB ini menewaskan lebih dari 500 orang, dan sebagian besar terjadi di sisi utara Pulau Lombok.
Pada peristiwa bencana alam tersebut, tidak terlihat adanya direction yang jelas dari Joko Widodo sebagai Kepala Negara dan Presiden RI.
Dalam setiap tragedi tersebut, Jokowi hanya sekedar datang untuk foto-foto dan berpose didepan kamera para wartawan. Misalnya, kedatangan Jokowi ke wilayah tsunami Selat Sunda, di Banten dia malah jalan-jalan sendirian di pinggir pantai seperti orang kebingungan.
Sehingga kedatangan Jokowi ke lokasi bencana terkesan seperti sedang melakukan pencitraan. Oleh karena itu wajar kalau banyak masyarakat yang menilai kedatangan Jokowi ke lokasi bencana alam tidak terlalu memberi banyak manfaat.
Alih-alih bersungguh empati bertemu dengan para korban bencana tsunami di Banten dan Lampung, Jokowi malah lebih viral dengan kegiatan untuk “shooting di pinggir pantai”.
Rakyat sekarang sudah semakin cerdas. Tidak gampang dibodohi oleh aksi-aksi murahan “sutradara film politik”.
Seorang kepala negara yang berwibawa dan memiliki kemampuan leadership yang mumpuni, seharusnya cepat tanggap dan responsif dalam setiap menghadapi krisis yang bersifat mendadak seperti kasus bencana alam ini.
Pada saat menerima informasi terjadi tsunami di Selat Sunda, Presiden Jokowi seharusnya bisa dengan cepat mengumpulkan para menteri serta pimpinan lembaga serta badan yang terkait dengan penanganan bencana alam. Misalnya, seperti Menteri Sosial, Menteri PUPR, Kepala Basarnas, Kepala BMKG dan Kepala BNPB.
Tujuannya, untuk mengumpulkan data dan informasi mutakhir dari lapangan. Nah dari pengumpulan informasi tersebut, Presiden lalu membuat arahan dan instruksi kepada intansi lain, seperti TNI atau Polri untuk melakukan pencarian korban bencana.
Jika Presiden mampu bekerja cepat tanggap, dengan sendirinya masyarakat bisa melihat kesungguhan pemerintah dalam membantu korban bencana alam.
Dalam situasi krisis, Presiden juga perlu menguasai pengetahuan umum tentang bencana alam. Hal-hal seperti ini tampaknya tidak dipunyai Jokowi. Padahal dia sudah menjadi Presiden selama empat tahun dan telah beberapa kali menghadapi bencana alam. Tapi masyarakat tidak melihat adanya kesungguhan dari Presiden Jokowi dalam menangani tragedi kemanusiaan akibat bencana alam.
Setidaknya seorang Presiden bisa memahami tahapan-tahapan dalam penanganan bencana alam. Tahap pertama, berupa aksi tanggap darurat yakni kegiatan evakuasi korban dan analisa kebutuhan.
Kedua, tahap rekonsturksi antara lain pembangunan shelter, dan lain-lain. Tahap ketiga, pemulihan kembali dan pemberdayaan masyarakat korban bencana alam.
Dalam setiap bencana alam di Tanah Air selama ini, yang pertama terjun ke lokasi umumnya para relawan dari berbagai organisasi kemanusiaan.
Mereka bergerak atas inisiatif sendiri dan seringkali mereka datang lebih dulu dibandingkan lembaga pemerintah yang terkait dengan masalah kebencanaan.
Jika melihat korban serta kerusakan akibat bencana tsunami di Banten dan Lampung, sebaiknya penanganan bencana ini ditangani secara nasional. Bukan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Banten dan Pemprov Lampung. Apalagi diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten yang daerahnya terdampak bencana alam.
Kecuali jika Presiden Jokowi tidak mau pusing dan tidak peduli dengan derita yang dirasakan masyarakat Banten dan Lampung. Jika ingin mendapat apresiasi masyarakat, sekaranglah saatnya Jokowi menunjukkan kepeduliannya. Tabik*****
Penulis: Tjahja Gunawan,wartawan senior
….. ANAK-anak muda sekarang nyalinya bener-bener gede. Tidak ada yang ditakuti. Istana dan Presiden Jokowi sudah kehilangan aura magisnya. Perlawanan arus bawah sudah menembus batas dinding kesakralan.
Aksi mereka, kian hari kian berani. Salam dua jari sudah menjadi teror yang menghantui Jokowi, bahkan istana kepresidenan.
Sebuah foto yang beredar massif di medsos menunjukkan beberapa remaja yang berfoto di tangga Istana bersama Jokowi mengacungkan salam dua jari. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikannya. Apakah anak-anak ini tidak mengenal rasa takut, atau istana dan presiden yang sudah kehilangan wibawa?
Para remaja ini benar-benar bernyali besar. Mereka adalah rombongan pelajar NU yang dibawa Sekjen Pengurus Besar (PB) NU Helmy Faisal Zaini dan sejumlah pengurus PBNU, bersama Menteri Pemuda Imam Nahrowi bertemu Jokowi di Istana Merdeka.
Seusai acara mereka diajak melakukan sesi foto resmi di tangga Istana. Ini pose formal. Pose kehormatan seperti pose para menteri yang baru dilantik.
Helmy Faisal dan pengurus PBNU terlihat mengacungkan 1 jari, diikuti sejumlah pelajar. Beberapa diantaranya memilih pose netral mengepalkan tinju. Yang buat kaget beberapa pelajar putri, berani mati mengacungkan dua jari.
Sebuah pukulan telak langsung di pusat kekuasaan. Sebuah perlawanan heroik yang menunjukkan nyali besar, sekaligus hancurnya wibawa istana dan Presiden Jokowi.
Perlawanan arus bawah ini menunjukkan posisi Jokowi sudah gawat darurat. Rakyat berani mengatakan langsung kepada Jokowi di istana, bahwa dia sudah tidak dikehendaki. Kami punya pilihan berbeda.
Dalam berbagai kunjungan di daerah Jokowi diteror remaja pengusung salam dua jari. Remaja mengacungkan salam dua jari ketika foto bersama (welfie) belakangan ini sudah jamak terjadi. Kemanapun Jokowi pergi sejumlah remaja sengaja mencari celah meledek Jokowi dan para petugas Paspampres.
Di Riau sejumlah remaja malah mengacungkan salam dua jari di depan Jokowi yang dikawal Kepala BIN Budi Gunawan dan Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksana.
Di Madura sejumlah remaja menimpali seruan pembawa acara Jokowi Pole (sekali lagi) menjadi Jokowi Mole (pulanglah). Hal itu terjadi pada deklarasi dukungan para kyai kepada Jokowi-Ma’ruf.
Bukan hanya Jokowi yang menjadi sasaran. Cawapres Ma’ruf Amin juga jadi korban keisengan. Sebuah video tengah viral ketika seorang ibu-ibu sengaja mengajak Ali Muchtar Ngabalin dan istrinya bicara soal Pilpres. Si Ibu dengan santainya mengacung-acungkan salam dua jari, dan merekamnya.
Wartawan senior Hersubeno Arief menyebut fenomena ini sebagai bentuk pembangkangan sosial (social disobedience) yang berubah menjadi perlawanan sosial.
Arus perlawanan ini seharusnya menyadarkan Jokowi dan tim kampanye sedang terjadi arus balik. Dilihat dari eskalasinya, dalam beberapa bulan ke depan, arus ini bisa berubah menjadi gelombang. Sebuah gelombang besar rakyat yang menghendaki perubahan.*****
Djadjang Nurjaman
Pengamat Media dan Ruang Publik
JAKARTA – Sosok fotomodel majalah dewasa, bernama Putri Juby ramai disebut di tengah proses perceraian Delon Thamrin dengan Yeslin Wang. Munculnya figus cantik dan sexy berdarah Manado itu, banyak yang menyebut Delon telah mendapatkan tambatan hati baru.
Namun fakta baru terungkap kemarin. Putri Juby mengaku sudah lama berpacaran dengan Delon, dan bahkan mengandung anak dari penyanyi alumni Indonesia Idol itu.
Lebih jauh, Putri Juby mengaku, dia membesarkan anak berusia tujuh tahun, hasil dari hubungan asmaranya terdahulu bersama Delon.
Setelah kembali dipertemukan, Delon dikabarkan sempat meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu. “Jadi pembicaraan kemarin dia minta maaf, ya gitu, untuk yang dulu-dulu. Ya, sudah yang dulu nggak usah dibahas. Sudah terlalu jauh, dan aku juga sudah membuka lembaran baru, biarlah sama-sama ke depannya lebih baik, benar nggak?” tutur Putri Juby, saat ditemui di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurut penuturan Putri, artis penyanyi dan film yang kini 40 tahun itu sempat menanyakan kabar anak yang selama ini diasuh oleh Putri. Akan tetapi, Putri enggan mengungkap lebih jauh soal anaknya tersebut. “Ya, kalau nanyain si kecil iya, ‘Apa kabar? “ akuinya. “Terlalu dalam dan terlalu sensitif untuk dibahas. Kasihan, anaknya masih bocah juga,” kelitnya.
“Yang dulu sudah dimaafkan. Cuma ya agak stres juga. Posisinya dia belum ketuk palu tiba-tiba dia nyerempet. Padahal dia duluan lah yang menjemput aku, nah ini lah di situ,” tambahnya.
Delon sendiri tidak menampik bahwa dirinya memang dekat dengan Putri Juby.
“Jadi kenal Putri itu sudah 10 tahun, saat nikah dengan Yeslin aku sudah lost contact. Setelah itu, ketika aku dan Yeslin agak jauh, kita papasan di label aku, Nagaswara,” ungkap Delon.
Sedangkan Yeslin Wang yang tujuh tahun terakhit menjadi isteri Delon ketika dikonfirmasi mengaku tak perduli, karena sudah tak lagi mau berusaha memperbaiki biduk rumah tangganya.
Putri Juby kini dikenal sebagai model majalah dewasa. Dia pemenang pertama Miss POPULAR ‘Voice of Angels’ 2018. (*/Nia)
…..SEBAGAI seorang prajurit Prabowo Subianto memiliki nalar pertahanan yang sempurna dalam konteks menjaga kedaulatan negara dari dominasi asing, dan penguasaan asing.
Hal ini diperkuat dari penyataannya yang berbentuk warning bagi bangsa Indonesia, seperti peringatan Indonesia Bubar tahun 2030. Pernyataan itu bukan tidak mungkin, bahkan pernah terjadi dalam sejarah Indonesia sendiri. Pada tanggal 27 Desember 1949 kita bisa melihat Indonesia terpecah menjadi negara-negara kecil yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara, itulah yang dikenal sebaga Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dan baru menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah Mosi Integral Muhammad Natsir 3 April 1950.
Negara RIS yang lahir dari hasil konferensi Meja Bundar akibat dari Agresi militer Belanda Kedua adalah pelajaran penting bagi Indonesia, bahwa diplomasi internasional itu sangat penting. Pemerintah dituntut tidak hanya pandai mencitrakan diri di rakyatnya dengan mengambilalih kewenangan lurah dan camat, tetapi pemimpin yang mampu untuk mengkonsolidasikan ideologi dan pandangan negara dalam forum internasional untuk memberikan warning bahwa negara ini adalah negara yang kuat dan berwibawa.
Wibawa di mata internasional menjadi modal bagi bangsa untuk berdaulat di mata dunia. Jadi, sangat beralasan ketika Prabowo berpidato bahwa Indonesia akan bubar dan bangkrut itu bisa menjadi kenyataan kalau yang memimpin negara adalah ‘boneka’ yang tidak tahu cara berdiplomasi untuk mengangkat wibawa dan martabat bangsa di kancah pergaulan internasional.
Begitulah cara pandang bernegara seorang prajurit yang berbeda dari cara pandang ‘boneka’. Boneka hanya pajangan, sementara prajurit menyiapkan diri menjadi ‘tumbal’ demi membela keutuhan dan kedaulatan bangsannya.
Pandangan Prabowo tentang bubarnya sebuah negara bukanlah pesimisme. Dalam sejarah dapat kita saksikan, negara sekuat Romawi, sehebat Persia bisa tenggelam dalam sejarah dan jejaknya tinggal kita lihat dalam buku-buku sejarah. Begitu pula negara yang pernah mendominasi Perang Dunia I dan Perang Dunia II, yaitu Negara Uni Soviet yang sekarang sudah bubar yang tertinggal hanya di rawa sejarah.
Tapi kenapa di Indonesia, warning yang serius seperti ini dianggap sebagai ancaman? Apakah negara ini sudah dikuasai oleh penjajah, sehingga pidato yang menggelorakan altruisme itu dianggap sebagai pesimisme? Hal ini patut kita teliti lebih dalam dan cermati lebih baik lagi.
Kebangkrutan Sebuah Bangsa
Negara gagal dan bangkrut kemudian bubar bisa oleh beberapa hal:
Pertama, dikarenakan oleh kecongkakan penguasa, yang mendalihkan dirinya sebagai pengendali kebenaran, kemudian bertindak otoriter terhadap bangsanya sendiri. Penguasa-penguasa seperti ini adalah pemegang api dalam sekam, yang setiap saat mengancam keutuhan bangsa. Di bawah kendali penguasa seperti ini, ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar, kriminalisasi terhadap perbedaan menjadi lumrah, sebuah ancaman bagi demokrasi.
Penguasa yang congkak, berbaju secuil, kekuasaan kerdil, bukanlah fenomena baru, melainkan fenomena kuno yang bisa diambil hikmahnya. Dimana ketika kekuasaan melampaui batas, maka yang terjadi adalah permusuhan abadi dan balas dendam tanpa henti.
Hal ini akan menjadi beban berat bagi sebuah bangsa. Penguasa-penguasa yang seperti ini akan melahirkan protes dan disintegrasi yang menyebabkan perpecahan dalam sebuah negara.
Kedua, terbukannya peluang bagi warga-warga negara asing untuk bebas masuk di Indonesia dan menetap di dalamnya. Kebebasan ini bahkan mendorong suatu kejadian yang lebih jauh lagi, yaitu terjadinya invansi kekuatan-kekuatan asing di wilayah kedaulatan RI.
Kita dapat menyaksikan, eksodus warga China ke Inonesia sangat terasa. Mereka datang sebagai tenaga kerja untuk proyek-proyek yang diserahkan ke China (Kereta Cepat, Jalan Tol dan Infraatruktur lannya). Kasus skorsing atas Lion Air (ketahuan mengangkut warga dari China tetapi mendarat di bandara domestik sehingga tidak ada pemeriksaan dokumen) menjadi tanda bahwa China mulai memindahkan warganya ke Indonesia. Akankah kita menjadi seperti Singapura? Warga negara asli Singapura saat ini telah tergususur dan Singapura menjadi seperti provinsi China.
Bukankah ini sebuah ancaman akan kedaulatan negara? Kebijakan pemerintah memberikan kemudahan bagi tenaga kerja Asing, kemudian diikuti dengan kebijakan memperbolehkan warga asing memiliki property, bahkan menguasai 35 bidang usaha setelah keluar kebijakan paket ekonomi x di Indonesia. Selanjutnya dipermudah lagi memberikan kewarganegaraan, diberi ruang untuk membikin organisasi di Indonesia, hingga nanti diberikan hak untuk memilih. Semua menjadi muqaddimah dari pengambilalihan negara oleh bangsa lain.
Ketiga, musnah dan bubarnya suatu negara bisa terjadi, apabila rakyat sudah tidak memperhatikan keadaan negaranya. Efek ini sudah terlihat jelas di dalam kehidupan kebangsaan kita. Oknum-oknum lembaga-lembaga negara merenggut kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga itu dengan cara-cara tertentu.
Elit politik menampilkan konstalasi politik yang paling buruk, mulai dari saling menjatuhkan hingga menyerang lawan secara membabi buta. Dari hal ini akan mengawali kekecewaan publik hingga mereka mulai pesimis terhadap negara. Apabila pesimisme itu meluas atau yang saya istilahkan pesimisme kolektif, yang terjadi adalah kekacauan dalam masyarakat, seperti tindakan kriminal hingga main hakim sendiri, menolak konsensus politik, trauma masyarakat untuk ikut dalam politik dan birokrasi pemerintahan, menjadi bagian jalan melemahkan negara.
Dengan demikian, negara diisi oleh antek-antek asing, hukum dipermainkan oleh penegak hukum, birokrasi dijadikan sebagai alat untuk menstimulus agenda kolonialisme.
Keempat, ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Kekayaan nasional Indonesia masih dikuasai segelintir orang. 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 74,8 persen kekayaan nasional. Kekayaan nasional terkonsentrasi di segelintir penduduk. Proporsi total kekayaan yang dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya menguasai 45,4 persen kekayaan nasional.
LSM Oxfam pada Februari 2017 menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan ketimpangan paling parah di dunia. Oxfam mencatat, harta empat taipan terkaya di negara ini sama dengan harta yang dimiliki oleh 100 juta orang miskin. Harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai USD 25 miliar atau setara Rp 333,8 triliun. Sementara total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar USD24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun.
Penguasaan ekonomi seperti ini adalah buah karya kebijakan. Yaitu kebijakan neoliberal yang pro utang luar negeri, pro investor asing, pro lembaga internasional, pro pemodal, pro konglomerat, dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme yang dikembangkan cenderung kapitalisme kroni.
Tanggapan Prabowo sebagai Prajurit
Bagaimana mungkin seorang prajurit dengan semangat bela negara tega melihat keadaan ini. Tega melihat penguasa yang congkak dan dengan muka pencitraan? Bagaimana mungkin Prabowo sebagai prajurit Abdi Negara tega melihat bangsa lain diberikan tempat untuk bekerja di tengah bangsa sendiri yang ‘memproduksi pengangguran’. Tidak mungkin pula Prabowo diam melihat rakyat Indonesia sudah mulai putus asa akibat tingkah laku elit politik dan penguasa. Bagaimana ia harus berpangku tangan, sementara ia menyaksikan kekayaan bangsa Indonesia dieksploitasi, rakyat miskin makin susah dan kehidupan rakyat banyak masih miskin, sedangkan ‘mafia-mafia’ dan bandit ekonomi ongkang-ongkang kaki?
Inilah mengapa dengan Prabowo mengatakan bahwa negara ini bisa bubar apabila ini dibiarkan penguasa yang congkak dan yang memegang kendali negara orang mengerti mengelola negara. Itulah makna pidato Prabowo pada hakikatnya.
Tetapi dalam konteks politik, pidato yang memancing adrenalin untuk berpikir itu dianggap sebagai pesimisme, dan dijawab dengan cemooh oleh politisi yang tidak sejalan dengannya. Mereka bukan menjawabnya secara ilmiah melainkan dengan tuduhan-tuduhan yang mengarah pada pribadi dan keluarga.
Indonesia Bisa Punah
Prabowo dalam acara Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Senin, 17 Desember 2018, menyebutkan bahwa negara ini akan punah apabila dia tidak menang.
Benarkah Indonesia bisa Punah? Saya secara pribadi sependapat dengan argumentasi tersebut. Sebab kebijakan-kebijakan pemerintah selama 4 tahun terakhir ini menandakan adanya sebuah gelombang besar masuknya kekuatan asing. Sementara ketidakadilan, kriminalisasi, dan pengkotak-kotakan masyarakat telah terjadi. Kejadian ini hanya terjadi dalam empat tahun terakhir, dan apabila ini diperpanjang menjadi 10 tahun bisa saja 2030 Indonesia akan punah.
Pernyataan bahwa Indonesia akan punah disebabkan hanya ada dua alternatif pilihan yaitu pasangan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maaruf. Tidak ada alternatif calon presiden lain kecuali dua pilihan itu. Dalam konteks dua pilihan inilah Prabowo menyanpaikan bahwa negara bisa musnah apabila masyarakat memberikan kesempatan bagi kegagalan satu periode memperpanjang kegagalannya hingga tahun 2024 yang akan datang.
Menimbang Track record
Prabowo Subianto memang belum pernah memegang jabatan pemerintahan sipil, tapi bukan berarti ia tidak mengerti bagaimana menjalankan pemerintahan itu. Seperti halnya presiden-presiden sebelumnya, seperti Soekarno dan Soeharto, mereka tidak pernah memegang jabatan sipil, tetapi penguasaannya terhadap masalah kenegaraan sudah tuntas.
Begitu pula Prabowo, ia paham dan mengerti bagaimana mengelola negara dengan baik, ketimbang memperpanajang yang amatiran. Semua orang tahu, reputasinya sebagai seorang Perwira TNI sangat gemilang. Prabowo berhasil mengamankan Presiden Fretilin, Nicolau Lobato, dalam operasi penangkapan pada tanggal 31 Desember 1978. Waktu itu, Prabowo Subianto bertindak sebagai kapten yang memimpin 28 pasukan elit. Prabowo berhasil memimpin operasi penyelamatan peneliti Ekspedisi Lorentz 95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka dalam operasi pembebasan sandera mapenduma pada tahun 1996. Waktu itu, Prabowo Subianto bertindak sebagai komandan.
Spirit altruisme yang tertanam dalam dada Prabowo diwariskan dari keluarga besarnya. Karena itulah kecintaannya pada Indonesia bukanlah kecintaan semu untuk meraih kekuasaan. Bapaknya adalah tokoh politik dan ekonom yang paling cemerlang pikirannya serta gurubesar Universitas Indonesia.
Gelora politik dengan pidato yang menggugah nurani, mencerminkan sikap kecintaannya pada Tanah Air. Peringatan-peringatan kerasnya tentang keadaan Indonesia yang sedang dalam ‘ambang krisis’ merupakan bentuk sikap yang wajar. Pernyataannya tentang pragmatisme yang secara vulgar tanpa untuk mencari simpati menjadi arah pembaharuan politik Indonesia.
Sumbangan-sumbagannya dalam bidang olahraga dan bidang militer, serta keterlibatannya dalam dunia ekonomi telah memberikan konstribusi besar bagi bangsa dan negara. Memang tidak kelihatan sebagaimana yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, tapi dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.
Sebagai kesimpulan, bahwa pengetahuan politik, ekonomi dan pertahanan menjadikan pribadi Prabowo sebagai harapan untuk memimpin Indonesia menjadi negara yang kuat, negara yang adil dan makmur ‘baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur’. Wallahualam bis shawab. *****
Dr. Ahmad Yani
Calon Anggota DPR RI dari PBB Dapil DKI Jakarta 1 Jakarta Timur.
….. SEJAK Joko Widodo berkuasa 2014, sebagian umat Islam Indonesia merasakan adanya tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman politis, hukum dan bahkan keamanan. Semula umat Islam mengira bahwa puncak tekanan dan ancaman adalah ketika Pilgub DKI. Kenyataannya berlanjut sampai sekarang.
Pelan tapi pasti, tekanan, ancaman dan ketidakadilan yang diterima justru telah menyatukan umat Islam yang diwujudkan antara lain dalam bentuk Aksi Damai 411 dan 212 tahun 2016. Kegigihan umat Islam ini menarik perhatian dan simpati banyak kalangan, sehingga mampu memenangkan pilgub DKI yang sebelumnya dilukiskan Ahok tidak mungkin terkalahkan. Ahok didukung kekuasaan, dana yang besar, media, lembaga survey dan konsultan serta macam-macam jaringan ini itu.
Ujian demi demi ujian atau ketidak-adilan demi ketidak-adilan yang diterima umat Islam dan mereka non muslim yang bersimpati kepadanya telah memfilter mana, siapa tokoh dan aktivis yang munafik, oportunis, dan bayaran yang “berguguran” termasuk yang bergelar ulama atau tokoh dengan sebutan terhormat seperti kiai haji, buya, tuan guru, guru besar dan lain-lain.
Ujian, godaan, tekanan dan ancaman yang dihadapi umat Islam dan non-muslim simpatisan perjuangan mereka memang berat dan kadang menakutkan. Terutama label anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika, anti Pancasila, SARA, radikalisme, intoleran dan lain-lain. Tuduhan atau Laporan yang umumnya asbun, yang diyakini semata mata hanya untuk menakut nakuti dan membungkam gerakan atau perjuangan umat yang tidak mendukung Jokowi atau Ahok.
Sebelumnya untuk memadamkan gerakan perlawanan, penguasa mencoba menggunakan “bom nuklir” dengan tuduhan upaya makar. Upaya ini kandas. Sementara aktor aktor intelektual Aksi Akbar (Aksi Damai) umat islam 411 tahun 2016 utamanya Habib Rizik Syihab (HRS) “dikerjain” menjadi TSK chatting porno sehingga hijrah ke Makkah sampai sekarang. Dengan pertolongan Allah SWT, kondisi HRS yang sempat tersudut dan mencekam, kini alhamdullilah telah aman dan mampu menggerakkan Reuni Akbar 212.
Hingga saat ini tidak henti hentinya kami menerima laporan dari para ustad pendukung 212 yang notabene pendukung Paslon 02 Prabowo-Sandi bahwa rejeki mereka dihabisi. Tempat-tempat (masjid dan lain-lain) dimana para ustad ini biasa mengisi termasuk kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, BUMN/ BUMD seperti ada yang mengomando tiba-tiba menghentikan/menolak mereka. Dalam kepedihan dan tangisannya, mereka berdoa dan tetap Istiqomah. Insha Allah doa para terdholimi ini makbul. Allah SWT akan membukakan pintu rejeki halal yang lain, dan para penista ustad menerima hukuman yang setimpal.
Dugaan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh penguasa ditengarai telah merambah ke semua lini kekuasaan dan menjadi sorotan kritis dari banyak kalangan, antara lain dari tulisan-tulisan rutin jurnalis senior Hersubeno Arief, dan Selamat Ginting (Republika) pada 12 Desember 2018. Demikian pula analisis Dr. Thomas Powell yang juga membahas penyalahgunaan polisi dan TNI untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres. Menurut dia, Presiden Jokowi telah menjadi atau mengarah sebagai penguasa otoriter.
Tetapi banyak para purnawirawan TNI dan polisi di kubu Prabowo yang percaya bahwa lebih banyak perwira dan prajurit yang sapta margais setia membela negara, bukan penguasa. Justru yang profesional itulah yang “mencatat atau mendata” penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan para pelakunya. Selain itu, menurut para purnawirawan senior TNI dan polisi di kubu Prabowo bahwa mereka yang masih aktip juga kecewa dan gelisah dengan promosi jabatan dan pangkat yang beraroma politis dan nepotisme.
Langkah-langkah kubu Jokowi yang tengah berkuasa ini ternyata kontra produktif sehingga menggerus elektabilitas Jokowi-Maruf Amin. Di sektor perikanan, kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti juga telah lama membuat nelayan gusar. Kebijakan impor tenaga kerja China telah membangkitkan kemarahan publik khususnya buruh. Demikian pula kebijakan impor pangan khususnya beras, ditengarai telah memicu kemarahan petani. Walhasil hampir semua kebijakan pemerintahan Jkw termasuk pengaturan jilbab untuk pegawai negeri sipil dan pengaturan dibukanya sektor usaha UKM untuk asing dinilai tidak pro-rakyat, sewenang-wenang dan kontra produktif.
Di tengah suasana yang serba babak belur dan kepanikan akan kalah, kebijakan pemerintah Jokowi justru semakin represif terhadap kubu lawannya. Para pejuang pro Prabowo masih saja dihadapkan dengan berbagai macam macam laporan rekayasa tuduhan atau fitnah hukum dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan berat sebelah dalam urusan atau pelayanan hukum.
Sering merasa dikriminalisasi, yang selalu di bantah oleh pemerintah. Meski tidak terlihat nyata, umat juga merasakan adanya permainan intelijen, dan cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, adanya keluhan bahwa permohonan izinnya dipersulit, atau tidak bisa diperpanjang atau pembatasan tayang dlsb. Sayangnya mereka yang berkeluh kesah ini belum bersedia membawa keluhannya ke ruang publik. Mereka selalu berharap perbaikan dan keadilan nanti setelah ada pergantian rezim.
Untuk menghentikan perjuangan para ulama, habaib, dan dai, Kemenag mengeluarkan sejenis sertipikat layak khotib yang kontroversial dan alhamdulillah program ini layu sebelum berlanjut. Demikian pula ketika ada upaya paparan masjid masjid yang di cap radikal yang disambut dingin dan sinis.
Hebatnya, meskipun merasakan serangan ini itu, “sisa” umat dan tokoh non muslim yang bersimpati yang sudah teruji atau lulus ujian bukannya berkurang tetapi malah bertambah besar, solid, dewasa dan militan seperti yang antara lain terlihat ketika Reuni 212 tahun 2018.
Apa yang membuat umat Islam semakin solid dan luas dukungannya selain perasaan bahwa pemerintahan Jokowi tidak friendly terhadap Islam dan tokoh-tokoh Islam? Umat Islam dan para simpatisan yakin bahwa mereka bukanlah seperti yang di tuduhkan sebagai intoleran dan lain sebagainya itu. Bahkan umat yakin sebagai kelompok yang amat toleran. Sebaliknya umat merasakan ketidakadilan dan tindakan represif. Umat merasa bahwa untuk memenangkan pilpres 2019, penguasa sudah main kayu yang mengancam kehidupan berdemokrasi seperti yang dianalisa Dr. Powell.
Umat Islam merasa bahwa pemerintahan Jokowi intoleran terhadap pengkritik beliau tetapi toleran terhadap pelaku korupsi sehingga banyak koruptor yang kabur, perdagangan narkoba sehingga tetap marak dan tidak ada lagi eksekusi, terhadap penista agama yang pro Jokowi sehingga tidak diproses hukum.
Memasuki tahun politik 2019 khususnya pilpres dengan hanya ada dua pasang, sikap umat islam dan pendukung perubahan rezim (baru) semakin percaya diri bahwa cahaya kemenangan sudah di depan mata. Bukan saja karena blunder demi blunder yang dibuat kubu Jokowi-Ma’ruf Amin, tapi merapatnya (meski sebagian masih diam diam) sel sel kubu Jokowi ke kubu Prabowo-Sandi, semakin meyakinkan bahwa dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf Amin tengah rontok.
Kampanye Jokowi dan MA umumnya sepi pengunjung. Pengarahan politik oleh kubu Jokowi-MA baik melalui jalur Timses (TKN) maupun jajaran birokrasi agar memilih Paslon 01 kabarnya ditolak atau dilawan rakyat baik diam diam maupun terbuka, bahkan ada yang dilaporkan ke Bawaslu.
Begitu pula klaim klaim sukses pembangunan oleh Jkw dan jajarannya mulai di bongkar oleh rakyat, terakhir klaim pembangunan jalan Trans Papua di bantah oleh Natalius Pigai dan viralnya rekaman video pidato Presiden Suharto.
Akibatnya elektabilitas Jokowi-MA terus menurun sementara elektabilitas Prabowo-Sandi terus meningkat. Trend ini begitu pasti sehingga tidak terbendung. Bisik bisik di kalangan asingpun sudah merata bahwa akan ada presiden baru. Prediksi yang dapat di percaya, walau masih bisik bisik sampai pada angka 40/42% – 60/58% untuk kemenangan Prabowo-Sandi.
Upaya-upaya ala band-wagon effects yang gencar dilakukan oleh surveyors tertentu yang sudah dikenal tidak independen, mulai dicibir dan dicuekin publik. Publik sudah mencatat bahwa surveyors itu sudah tidak kredibel. Kami meyakini mereka hanya menjalankan bisnis upahan. Publik masih ingat bagaimana surveyors itu meramal kemenangan Ahok, atau memprediksi perolehan suara Cagub Jabar Sudrajat dan Cagub Jateng Sudirman Said yang ternyata meleset jauh diluar margin of error. Karena itu tidaklah salah bila publik mencibir bahwa survey-survey itu adalah pesanan berbayar.
Semua ini sedang mengantarkan karir politik Jokowi dalam pilpres 17 April 2019 akan senasib dengan Ahok, kalah meyakinkan.*****
FUAD BAWAZIER
Penulis adalah pengamat ekonomi dan politik.
SURABAYA – Kesandung masalah kosmetik oplosan pedangdut Via Vallen masih menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Timur (Jatim), kamis (20/12/2018) sore. Ia diperiksa terkait kasus kosmetik oplosan yang sudah beredar hampir seluruh kota besar .
Via datang sekira pukul 11:30. Mengenakan kerudung dengan sweater hitam putih, ia mengakub datang dari Jakarta langsung ke kantor polisi tersebut.
“Ia (diperiksa) sebagai saksi, sama sebelumnya (pedangdut Nella Kharisma),” kata Kanit I Tipidter Dit Reskrimsus Polda Jawa Timur, AKP Heru Purnomo, kepada wartawan.
Kedua pedangdut ngetop itu sebelumnya endorse produk Derma Skin Care Beauty. Tersangka KIL yang memproduksi kosmetik itu mengaku memberi honor Rp7 juta sampai Rp16 juta per minggu.
Kosmetik ilegal dengan omzet Rp300 juta sebulan ini beredar di beberapa kota besar di Indonesia. Selain Surabaya, didistribusikan juga ke Jakarta, Bandung, Medan dan Makassar. (*/Gio)
JAKARTA – Bintang film dan penyanyi sexy Aura Kasih menjadi pendukung dalam film Pancaran Sinar Petromaks (PSP) Gaya Mahasiswa. Dalam film garapan Max Pictures ini Aura harus berperan sebagai janda.
Bagi Aura Kasih sebenarnya bukan hal baru. Dalam film Arini, dia memerankan tokoh yang sama. Bahkan dia sudah punya anak tanpa diketahuinya. Namun di film komedi musikal kali ini dia mengaku kesulitan. Bahkan mantan pacar Glenn Fedly ini mengaku berat
“Beratnya karena aku sama pemain PSP zaman now itu seumuran,” kata pemeran tokoh Fatimah ini . Artis 31 tahun ini menyatakan, dia harus berperan sebagai wanita yang usianya di atas peran pemain lain.
“Cuma aku harus lebih tua dari mereka dari attitude, body language, biar cowok-cowok ini suka sama Fatimah yang usianya jauh lebih tua. Sempat agak bingung gimana ya,” katanya.
Tak sekedar janda, Aura menyatakan, dia juga harus berakting layaknya janda genit yang butuh perhatian pria. Karena itu, wanita asal Bandung ini merasa tertantang dengan peran ini.
“Mungkin aku agak sedikit lebih centil, kan biasanya di drama. Tapi genitnya bukan genit yang gimana tapi lebih kelas. Karena kan aku janda kaya jadi harus lebih kelas,” tandasnya.(*/Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro