JAKARTA – Sandra Dewi (35) dikabarkan kini tengah hamil calon anak keduanya. Namun pemain film Triangle The Dark Side ini sepertinya masih merahasiakan kehamilannya, tidak mau memastikan kabar tersebut. Dia hanya berjanji akan memastikan kabar itu sekitar dua bulan lagi.
“Kalau sekarang belum ada kepastian. Dua bulan lagi, mungkin sudah ada kepastiannya, kalau buncitnya sudah kelihatan. Tapi aku akui, aku dan suami ingin punya anak lagi, biar Raphael (Raphael Moeis) punya adik,” ujar isteri pengusaha sukses Harvey Moeis ini.
Raphael yang kini sudah berusia 2 tahun menurut Sandra Dewi, sudah ingin punya adik.
“Jadi sebenarnya kami semua sudah pengen anggota baru lagi. Mohon doanya saja,” imbuh aktris yang pernah dinobatkan sebagai Duta Anti Narkoba tahun 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu.
Sejak tahun 2017, Sandra Dewi sudah tidak berakting lagi, baik di film maupun di sinetron. Kesibukannya mengurus keluarga, suami dan anak, adalah hal utama bagi dia.
“Bahkan nonton film ke bioskop pun jarang. Paling kalau pas liburan saja,” tandas pemeran ibu Peri dalam serial Bawang Merah Bawang Putih ini.(*/Indr)
JAKARTA – Tidak mau hanya berkutat di FTV, pesinetron muda dan cantik, Nadya Arina (21) kembali meneruskan kariernya di film layar lebar. Selepas film horor Kafir tahun lalu, Nadya kini tengah menanti pemutaran film terbarunya, Pocong The Origin dalam waktu dekat.
“Meski aku sudah pernah main film dan sinetron magic, tapi tetap saja enggak mudah jadi Sasthi di film ini lho. Apalagi lawan main aku aktor top semua, hehe,” ujarnya tertawa senang. Nadya pun menyebut nama Tio Pakusadewo, Surya Saputra, Samuel Rizal, Yama Carlos dan Della Dartyan.
Nadya yang juga penyanyi mengaku bahkan hampir kapok main film horor.
“Waktu syuting film Kafir tahun lalu, duh beratnya, pake sling, dibanting-banting, pokoknya capek banget. Sampai mikir juga, kalau begini enggak usah terima film mistis lagi deh, hehe.
Tapi saat dapat tawaran film horor lagi dan ngedenger pemainnya keren semua, sutradaranya juga (Monty Tiwa) aku jadinya enggak bisa nolak, hehehe,” beber Nadya tertawa. Jadilah kembali pemain film Siap Gan!, Love Reborn: Komik, Musik Dan Kisah Masa Lalu, Magic Hour dan puluhan FTV dan serial sinetron ini.
Nadya kini ingin fokus ke seni peran film bioskop. “Tawaran lumayan banyak sih, mulai horor, komedi sampai drama romantis juga,” pungkasnya. (*/Indr)
….. ROMI kena OTT (15/3). Operasi Tangkap Tangan. Diduga kasus suap jabatan. Secara personal, Romi adalah pelaku. Biarlah proses pengadilan nanti yang akan memutuskan vonisnya.
Sebagai ketua partai, Romi itu korban. Korban dari sistem politik yang sangat-sangat mahal. Romi adalah ketum partai kelima yang ditangkap KPK, setelah Anas Urbaningrum, Lutfi Hasan Ishaaq, Surya Darma Ali dan Setya Novanto.
Ada yang bilang: “Penangkapan Romi itu bukti Jokowi tak tebang pilih.” Capek deh! Ini OTT bos! Tak ada yang bisa intervensi kasus OTT. Pimpinan KPK sekalipun, tak bisa ikut cawe-cawe. Tidakkah penyidik KPK lapor pimpinan sebelum OTT? Kadang-kadang. Seringkali tangkap dulu, baru lapor. Kalau begitu, bisa apa pimpinan KPK? Apalagi Jokowi? Paham?
Sejumlah pengurus PPP, ada juga ketua DPC telephon saya: “kok Jokowi biarkan Romy ditangkap KPK?” Saya jawab: kecolongan! Soal ini, Jokowi gak bisa berbuat apa-apa juga bos. Jangan salahkan Jokowi, kataku. Wuih… Bela Jokowi niye… ini obyektif.
Beda OTT dengan kasus e-KTP. Rumit dan berbelit-belit. Kalau saja kasus e-KTP ini ditangani dengan cepat dan tuntas, Jokowi akan dapat poin. Semua nama yang disebut di persidangan dipanggil, diperiksa, kalau terbukti salah, maka harus divonis. Itu baru top! Termasuk Puan Maharani? Kalau disebut namanya di persidangan, ya harus dipanggil dong. Mintai keterangan. Soal salah atau tidak, itu urusan nanti.
Namanya juga praduga bersalah. Itu baru tidak tebang pilih. Kalau kasus e-KTP ini dituntaskan, apalagi jelang pilpres, sepuluh jari harus diangkat. Keren banget Jokowi. Ah, ngayal loh! Sesekali boleh. Hehe
Gimana menyimpulkan “tak tebang pilih”, protes publik. Kasus Novel Baswedan sampai sekarang gak kelar. 11 April nanti genap dua tahun. 27 kasus terkait ujaran kebencian yang dilaporkan lawan politik, tak ada tindak lanjut. Lurah Mojokerto sambut Sandi, divonis dua tahun penjara.
Enam guru honorer di Banten dicopot. 53 penyuluh di DKI diancam pemecatan. Tiga pegawai hotel di Lombok kabarnya digelandang ke Polsek gara-gara selfie dua jari di depan baliho Jokowi. Kasus Kemenpora juga belum jelas ujungnya. Protes ini merupakan PR yang harus dihadapi Jokowi.
Kalau Jokowi mau tuntaskan ini, dijamin akan banjir apresiasi. Mungkinkah? Entahlah. Masyarakat sepertinya sudah terlalu apatis.
Kembali soal OTT Romy, apakah berpengaruh terhadap elektabilitas? Terhadap PPP, pasti. Para caleg PPP sekarang kewalahan. Kalau sedang kampanye, lalu diteriakin Romi…Romi…Romi… Repot! Image sebagai partai pendukung penista agama saja belum betul-betul dilupakan. Datang lagi kasus OTT ketumnya.
Mereka juga kerepotan turunin baliho dan spanduk yang ada fotonya Romy. Turunkan dan menggantikan baliho, perlu biaya lagi. Duit dari mana? Siapa yang akan gantikan Romi cari logistik?
Program kampanye dengan memobilisasi guru madrasah dan penyuluh di jajaran kemenag untuk pilih dan kampanye PPP, sebagaimana yang disinggung Mahfudz MD di ILC, tak akan efektif lagi. Undecided voters (masyarakat yang belum menentukan pilihan) tak akan tertarik. Swing voters (pemilih yang masih ragu) besar kemungkinan akan berpindah ke lain hati.
Dari sejumlah survei, elektabilitas PPP masih belum aman. Kurang dari 4 persen. Itu angka sebelum Romi ditangkap. Setelah Romi ditangkap? Makin sulit bagi PPP untuk sampai batas minimal elektoral threeshold. Bukan mustahil untuk mencapai target minimal, tapi dibutuhkan kerja super keras dan cerdas. Tak mudah! Apalagi jika sidang kasus Romy digelar sebelum pilpres. Makin repot!
Bagaimana dampaknya terhadap elektabilitas Jokowi? Ini yang menarik. Publik menunggu analisis ini. Mengingat pertama, PPP adalah salah satu partai pengusung Jokowi-Ma’ruf. Kedua, Romi punya hubungan “sangat dekat” dengan Jokowi. Jokowi bilang: setiap minggu, bahkan setiap hari, bertemu dengan Romi. Ini hubungan spesial. Kayak martabak aja, pakai spesial.
Sebagai kawan dekat dan pimpinan salah satu partai pengusung, Romy tidak hanya aktif, tapi atraktif. Ingat ketika terjadi ralat doa Mbah Moen? Setelah itu, Romi pun ajak Jokowi masuk ke ruang khusus kiai kharismatik ini untuk selfie.
Viral video Romi satu mobil dengan Jokowi saat mantan walikota Solo ini lempar-lempar bingkisan dari dalam mobil. Romi yang merekam itu. Dan Jokowi tak marah. Padahal, itu tak etis untuk ditonton rakyat. Sangat merugikan Jokowi dari sisi elektabilitas. Tapi, Romi berhasil memberi pesan kepada rakyat bahwa dia memang sangat dekat dengan Jokowi. Dan pesan itu betul-betul sampai.
Image keakraban dan kedekatan Jokowi-Romy tak lekang dari benak rakyat. Romi kena OTT, pasti sedikit banyak akan berpengaruh kepada suara Jokowi. Swing voters lari, dan undecided voters tak lagi tertarik. Belum lagi protes pengurus dan konstituen PPP. Kenapa Jokowi tak melindunginya? Ya, memang gak akan bisa melindungi. Sekali lagi, ini OTT bos.
Bukan saya mau belain Jokowi, tapi memang gak akan bisa. Kalau bukan OTT? Tanyakan pada Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Mereka orang-orang dekat Jokowi. Tentu lebih tahu.
Jadi, jika ditanya apakah tertangkapnya Romi berpengaruh terhadap elektoral Jokowi? Ngaruh bos. Apalagi jika plt Ketum cabut dukungan dari Jokowi, makin besar pengaruhnya. Kapan? Jika kasus OTT Romi telah serius dianggap mengganggu elektabilitas Jokowi-Ma’ruf. Goodbye! *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
JAKARTA – Artis Bella Luna lebih memilih jalur damai daripada melaporkan Shirley Chandrawati, istri sah Eko Hendro Prayitno yang merupakan mantan suami sirinya. Sebelumnya, Bella mengaku sempat tersinggung disebut sebagai pelakor oleh Shirley di acara Rumpi, Trans TV
“Setelah kita sepakati bersama, ya kita tunggu dulu deh. Lebih bagus mencari perdamaian daripada memperkeruh suasana. Nanti kalau setelah dilapor, nyabutnya susah,” tutur Henry Indraguna kuasa hukum Bella Luna di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, kemarin.
Henry mengatakan kliennya masih punya itikad baik untuk mediasi bersama Nana, Shirley, dan keluarga besarnya. Namun, nantinya jika terus menerus disudutkan, Henry menyebut kliennya akan melakukan serangan balik.
“Ya kalau mau diramaikan terus, kalau memang ada dugaan, ya nanti kita laporkan. Apalagi soal dugaan nikah siri itu, diteliti dulu sebelum berucap,” kata Henry Indraguna.
Diberitakan sebelumnya, Bella Luna Ferlin dinikahi secara siri oleh Nana alias Eko di Hotel Four Season pada 15 Februari 2019. Mereka kemudian menyudahi pernikahan itu pada 7 Maret 2019.
Bella Luna Ferlin dalam pernikahan sirinya mendapatkan mahar berupa sertifikat rumah senilai Rp 2 miliar, emas atau logam mulia 88 gram, uang tunai Rp 150 juta, dan seperangkat alat salat. (*/Ind)
JAKARTA – Bagi Angel Karamoy (32) dunia mistis cukup memikat hatinya. Dia belajar dan ovservasi tentang santet atau guna-guna. Tentu untuk memaksimalkan perannya di film horor Reva Guna-Guna.
“Sebagai orang baru di genre film horor, aku cukup tertantang. Ini pertama kali aku main film mistis, dan ternyata sangat menarik,” ujar Angel.
Aktris cantik yang konon sedang dekat dengan Jose Purnomo, kreator yang membesut film Reva: Guna-Guna, tersebut, mengaku memang belum pernah merasakan diguna-gunai orang lain.
“Tapi aku percaya, itu memang ada dan sering terjadi di masyarakat, bahkan aku pernah menyaksikan sendiri ada keluarga aku yang kena guna-guna.
Tiba-tiba saja ada benda aneh di mobilnya, seperti kain kafan,” kata Angel.
“Oleh sebab itu, aku tak segan nanya. Observasi pada orang-orang yang pernah terkena guna-guna, sebab peranku di film Reva adalah sebagai perempuan yang dikirimin orang guna-guna,” ungkap Angel yang sebelumnya membintangi film Bintang Di Langit Belitong, Sang Sekretaris serta puluhan judul sinetron dan FTV ini.
Sepanjang proses syuting, Angel bersyukur tidak pernah mendapat gangguan di luar nalarnya. “Lancar sih, ngga ada yang aneh. Yang penting aku percaya guna-guna itu ada, tapi aku ngga mau pengen tahu lebih jauh lagi tentang guna-guna, cukup sebatas untuk kepentingan peran di film aja,” tandas mantan isteri Steven MC James Rumangkang ini. (*/Ind)
JAKARTA – Setelah sukses menjadi seorang penyanyi, Ratu Rizky Nabila merambah ke dunia akting. Di depan kamera, meski tak sedang mengolah vokal, ia tetap mampu memberikan hiburan melalui aktingnya di layar kaca.
Dalam sinetron ‘Cinta Buta’ yang tayang di SCTV, Ratu Rizky berperan sebagai selingkuhan Anjasmara.
Berhadapan dengan aktor yang sudah malang melintang di layar sinetron menjadi tantangan khusus baginya. Ratu Rizky Nabila menyadari jika akting yang diperlihatkannya tak boleh biasa-biasa saja. “Siapa yang nggak tahu akting Mas Anjasmara, buat aku kebanggaan banget bisa beradu akting dengan beliau,” kata Ratu Rizky Nabila, kemarin.
Selain itu, ada Nikita Willy dan Rezky Aditya yang juga bukan artis sembarangan. Karenanya, Ratu Rizky Nabila melakukan sejumlah persiapan dengan mendalami karakter yang dimainkan.
“Script itu nggak cuma aku hapal. Tapi aku masukin banget karakter cewek yang diselingkuhi dan terbiasa selingkuh seperti apa,” papar pelantun ‘Susah Move On’ ini sembari tertawa.
Artis berusia 24 tahun ini mengaku bangga dipercaya untuk membintangi sinetron garapan SinemArt merupakan prestasi besar dalam kariernya di panggung hiburan.
“Jadi harus 100 persen totalitas. Aku orangnya berusaha menjawab profesionalitas kerja dengan kualitas. Nggak cuma ramai diomongin di media sosial, tapi sebagai entertainer kita harus tanggung jawab dengan pekerjaan dan karya yang sedang kita buat,” tandasnya.(*/Ind)
….. NGGAK habis pikir! Semua aktivitas negara ini didominasi untuk kepentingan Pilpres. Seolah tak tersisa ruang untuk kegiatan yang lain.
Rakyat terbelah dan dibenturkan. Isu-isu sensitif dijadikan trigger permusuhan. Opini tentang HTI, wahabi, ISIS dan Islam radikal terus diproduksi untuk memancing kebencian, kekhawatiran dan kemarahan sekelompok ormas dan massa.
Politik identitas telah melampaui batas kewajaran. Sudah tak waras! Anehnya, kok ya percaya.
Rakyat menonton video sejumlah gubernur, walikota, bupati dan camat ramai-ramai memberi dukungan kepada capres-cawapres tertentu. Video itu sengaja diviralkan, baik via media mainstrean maupun medsos.
Kita juga temukan tanda tangan beberapa lurah untuk mendukung dan memenangkan paslon tertentu. Dukungan yang terbuka.
Para menteri jadi dirjen yang bertugas untuk menyeragamkan dukungan itu. “Kalau saya bilang dana desa…, jawab… Jokowi…, gitu ya,” ajak seorang menteri.
Lurah, camat, walikota/bupati dan gubernur itu pemimpin rakyat. Mestinya mereka netral, demi menjaga situasi agar kondusif. Seperti ASN, TNI dan Polri, mereka milik rakyat dan digaji oleh rakyat.
Mereka kemungkinan ingin netral. Karena posisi mereka adalah pemimpin untuk semua rakyatnya. Bukan pemimpin bagi pendukung paslon tertentu.
Para kepala daerah ini tak ingin berhadapan dengan warganya sendiri. Dengan begitu, rakyat merasa diayomi, dan suasana menjadi kondusif. Tidak gaduh. Posisi paling pas bagi mereka adalah berada di tengah dan netral.
Keberpihakan kepala daerah kepada paslon tertentu justru berpotensi jadi sumber kegaduhan bagi warganya.
Para kepala daerah tentu ingin bisa selalu berinteraksi dengan -dan dapat partisipasi dari- semua warganya yang beragam pilihan. Mesti berada di tengah dan mendamaikan.
Sikap ini akan lebih menarik simpati. Malah bisa jadi investasi, khususnya bagi walikota/bupati dan gubernur yang ingin nyalon lagi di periode berikutnya.
Lebih baik mereka sibuk dengan program pembangunan daerah, dari pada buang-buang waktu, energi dan dana untuk kampanye yang bukan bagian dari kepentingannya.
Tapi, mengapa mereka ikut kampanye? Ada yang tak beres. Seperti ada kekuatan besar yang membuat mereka “terpaksa” harus melakukan itu semua.
Lalu, apa bedanya dengan masa rezim Orde Baru? Semua dikontrol dan dikendalikan secara terang-terangan. Inikah yang disebut dengan perang total itu? Begitulah kira-kira yang ada di kepala rakyat.
Anda bayangkan, jika nanti Prabowo-Sandi yang menang. Bagaimana sikap para kepala daerah itu, setelah beramai-ramai berada di kubu sebelah. Dan bagaimana pula nasib mereka di Pilkada berikutnya? Apakah rakyat masih akan memilih mereka?
Tidak saja Pilkada, dalam menjalankan tugas pemerintahan, mereka hampir pasti akan kehilangan kepercayaan dan dukungan dari rakyat yang telah memenangkan Prabowo-Sandi. Apakah situasi ini sudah mereka pikirkan?
Kami terpaksa! Kenapa terpaksa? Berani jadi pemimpin, berani ambil risiko. Pemimpin kok mudah dipaksa-paksa. Cemen! Pemimpin itu bekerja pakai nurani rakyat, bukan kerja paksa.
Ketika sejumlah kepala daerah dinyatakan melanggar karena memberi dukungan kepada paslon tertentu, hanya dapat teguran. Ketika salah seorang kepala desa melakukan hal yang sama, dapat hukuman. Apakah karena yang didukung berbeda? Memori rakyat tak akan pernah lupa atas ketidakadilan ini.
Selain dana desa, THR juga mau dimajukan. Soal waktu, tak ada masalah. Mau kapan saja bisa. Bagi ASN, itu berkah. Mereka pasti senang.
Hanya saja, apa alasan rasional THR dimajukan? Kalau alasannya untuk menyenangkan ASN, agar mereka berterima kasih lalu pilih paslon tertentu, tentu keputusan ini tak semestinya dilakukan. Mengapa semua harus diarahkan untuk kepentingan Pilpres?
Jika ini terus dipaksakan, rakyat justru akan kehilangan simpati. Ini berpotensi jadi hukuman di 17 April 2019 nanti.
Viral video pasukan hitam yang membawa rangsel besar berisi sembako. Ada emak-emak yang paksa warga untuk terima bantuan. Mereka keliling kampung, bagi-bagi sembako kepada warga yang sudah ada daftar namanya. Untuk apa? Dukung paslon tertentu. Meski banyak warga menolaknya.
Artinya, rakyat masih punya nurani, kendati dalam keadaan susah ekonomi. Suaranya gak bisa dibeli dengan semangkok sarimi.
Tukang ojek juga ambil bagian tugas ini. Antar sembako ke rumah-rumah sesuai daftar yang sudah diberikan. Banyak juga yang menolak, begitu kata Abang Ojek. Tujuannya sama: pilih Paslon tertentu. Dimana Bawaslu? Begitulah pertanyaan warga selama ini.
Entah dimana akal sehat kini berada. Pilpres menelan dan menghancurkan tidak saja norma dan etika, tapi juga akal sehat rakyat. Aturan diabaikan dan tak lagi berfungsi. Dan rakyat terus dibenturkan.
Pers yang seharusnya berperan jadi alat kontrol sosial tak lagi berdaya. Bungkam! Aparat? Terkait dengan Pilpres, agak sulit untuk bisa diharapkan netral dan berada di tengah.
Walaupun demikian, rakyat harus tetap dan terus berharap. Karena hanya itu yang bisa dilakukan.
Bahkan Dwi fungsi TNI mau dihidupkan kembali. Tidakkah salah satu hasil reformasi adalah mengembalikan TNI ke barak? Kenapa harus dihidupkan kembali? Demi Pilpres? Ironis!
Bagi rakyat, siapapun yang akan terpilih jadi presiden, mereka terima. Legowo. Yang terpenting, pilpres berjalan dengan jujur dan adil. Menghargai hak-hak demokrasi rakyat tanpa tekanan dan intimidasi. Juga tanpa money politic dan bagi-bagi sembako. Itu saja harapan rakyat.
Jangan sampai, demi ambisi kemenangan, demokrasi dikorbankan. Jangan biarkan reformasi yang dibangun bangsa ini selama 20 tahun terakhir dikorbankan hanya untuk Pilpres.
Tidakkah hasil nyata dari reformasi adalah demokrasi? Di antara bagian dari demokrasi adalah kebebasan rakyat, kemerdekaan pers, netralitas ASN dan aparatur negara serta mengembalikan TNI ke barak untuk bertugas kembali sebagai penjaga kedaulatan NKRI.
Itulah produk reformasi. Jika semua itu pun dikendalikan, itu artinya demokrasi juga telah mati. Lalu, masih adakah yang tersisa dari reformasi? *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
JAKARTA – Bagi aktris jelita Citra Kirana (24) tahun 2019 ini adalah tahun yang paling sibuk bagi dirinya.
Betapa tidak, Citra kini harus memghabiskan waktu di lokasi syuting serial populer Cinta Yang Hilang guna melakoni perannya sebagai Dewi, pengganti tokoh Mira yang diperankan oleh Ratna Galih dan juga syuting film layar lebar.
Pemain serial Tukang Bubur Naik Haji yang mengawali karir aktingnya lewat sinetron Nikita ini mengaku sudah terbiasa dengan kerja syuting dikejar tayang.
“Di serial sebelumnya, aku juga syuting kejar tayang, kuncinya fokus dan jaga kesehatan. Aku sih, begitu ada waktu istirahat, langsung istirahat aja,” tutur Citra Kirana.
Sebagai pendatang baru di serial produksi MNC Pictures itu, Citra Kirana langsung satu frame dengan Teddy Syah (Yuda) dan Jonathan Frizzy sebagai Rafi yang sama-sama menyukainya.
Kehadiran Citra sebagai janda cantik dan muda, berkarakter lemah lembut serta soleha di sinetron ini membuat para netizen langsung menyukainya.
“Alhamdulillah, aku mendapat suport dari warganet ya. Aku senang banget,” bebernya.
Meski disibukkan oleh jadwal syuting sinetron, tapi pemain film Cinta Suci Zahrana, Asih, Satu Suro dan film Naga Bonar reborn ini menandaskan tetap akan main film bioskop.
“Akan tetap main film layar lebar, akan aku usahakan. Tahun ini aku main film Naga Bonar,” katanya.(*/Ind)
JAKARTA – Aktris jelita Amanda Manopo mengaku belum siap dinikahi oleh pacarnya, Chris Laurent.
Gadis berusia 19 tahun itu sempat diisukan bakal naik pelaminan menyusul foto-foto preweddingnya yang tersebar di media sosial.
“Itu hanya job pemotretan karya deseiner sekaligus seru-seruan aja. Belum, belum siap untuk nikah, mungkin sekitar dua tahun lagi, ” tutur pemain film horor Boneka Abdi, Bisikan Iblis dan Sajen ini.
Bagi Amanda, Chris memang cowok yang sangat mengayominya. “Dia udah dewasa, umurnya juga udah dua puluh lima tahun. Kami terpaut enam tahun. Itu bikin aku nyaman.
Dua tahun ke depan bukan waktu yang lama,” ungkap Amanda yang sedang menunggu pemutaran film horor terbarunya, Leak (Kajang Kliwon) bersama Chris Laurent.
Diakuinya, Chris memang sudah pernah mendesaknya untuk segera naik pelaminan. “Keluarga sih udah saling kenal, dua tahun persiapan aku pikir wajarlah dan Chris pun udah maklum,” tandasnya.(*/Ind)
….. MENANG ! Itulah tujuan debat Pilpres. Benarkah? Secara pragmatis, iya. Setiap capres ingin menang di Pilpres. Di antara caranya melalui debat.
Apakah debat di-setting hanya semata-mata agar capres bisa menang? Tak perlu sikap moral dan narasi kebangsaan?
Jika dijawab iya, anda tidak bermoral. Jawaban ini akan membuat anda yang terlibat dalam debat menghalalkan segala cara dan mengabaikan semua bentuk norma, nilai dan aturan. Selama ada celah, anda akan lakukan. Persetan apa kata orang. Yang penting, anda menang.
Sayangnya, bangsa ini adalah bangsa yang bermoral. Tidak selalu melihat siapa yang “merasa menang” dalam debat. Tapi, faktor kejujuran, kesantunan, ketaatan pada aturan dan jiwa kerakyatan menjadi variabel yang tak kalah penting di mata rakyat.
Terbukti, sejumlah orang jadi bupati, gubernur dan bahkan presiden karena kerendahan hati dan kesantunannya.
SBY adalah bagian dari contoh itu. Orang lihat prestasinya? Tidak! Karena 2004 rakyat belum terlalu pintar dan cermat untuk mengukur prestasi SBY. Tapi dia menang. Kenapa? Dia sabar dibilang Jenderal kanak-kanak, dia santun, dia Jawa, dan dia ganteng. Cerdas? Tentu. Cukup! Itu yang membuat SBY menang.
Apakah keadaan ini akan menular ke Prabowo? Bisa jadi. Sangat mungkin. Bukankah ada yang menganggap, Jokowi pemenangnya di debat? “Merasa menang” di debat, tak berarti akan menang di pilpres. Apalagi, debat kedua kemarin menyisakan sejumlah persoalan. Apa itu?
Pertama, Jokowi dianggap overclaim. Bilang bahwa dia telah membangun 191.000 km infrastruktur jalan. Menurut data, itu tak benar. 191.000 km itu akumulasi dari infrastruktur jalan yang dibangun sejak zaman Belanda.
Ada kontribusi Jepang, Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Terbiasa overclaim, Jokowi dianggap kurang pandai mengakui dan menghargai prestasi para pemimpin sebelumnya. Inilah yang juga seringkali dikeluhkan SBY.
Kedua, Jokowi dianggap berbohong soal data. Mungkin tepatnya, salah menyebut data dan angka. Soal kebakaran hutan, misalnya. Tiga tahun terakhir tak ada kebakaran hutan, katanya.
Paginya, sejumlah media dan berbagai tulisan artikel mengkritik habis-habisan. Data itu salah! Kebakaran hutan tak pernah berhenti. Jumlahnya ratusan ribu hektar. Bahkan foto Jokowi ada di sekitar lokasi kebakaran hutan jadi viral. Sejumlah media mengkritiknya dengan keras.
Belum lagi data terkait impor jagung, sosial conflict soal pembebasan tanah, dan lain-lain. Banyak bersalahan. Kritik terkait kesalahan banyak data ini, tak ada yang bantah. Termasuk oleh pihak timses dan pendukung Jokowi.
Artinya, sementara terkonfirmasi bahwa itu salah.
Apakah itu berarti berbohong? Jika itu disengaja, berarti bohong. Kalau tak sengaja, berarti salah masukan, atau salah update data. Minimal salah menghafal data. Tapi, kesalahannya kok banyak? Diem loh!
Emang dihafal? Bukannya ada alat pembisik di telinganya? Stop! Jangan menuduh sebelum semua terbukti. Kalau toh terbukti, belum tentu itu pelanggaran. Soal etika, lain masalah. Intinya, lihat yang sudah pasti-pasti. Abaikan praduga yang belum terbukti.
Ketiga, Jokowi dianggap tak patuh aturan KPU. Dimananya? Disepakati bahwa debat tak menyerang pribadi. Jokowi serang Prabowo. Soal hak milik ratusan hektar di Kalimantan dan Aceh. Padahal, itu HGU, bukan hak milik. Salah lagi!
Ini serangan kedua kalinya kepada Prabowo. Di debat pertama, Jokowi juga menyerang personal Prabowo soal caleg mantan korupsi dari Gerindra. Faktanya, Golkar, partai pendukung Jokowi, yang paling banyak caleg mantan napikornya.
Tim Prabowo protes. Tampak di video yang viral, ada Jansen (Demokrat), Ferdinand (Demokrat), Prio Budi Santoso (Berkarya), Daniel (PAN), Ustaz Sambo (guru ngaji Prabowo) dan sejumlah nama lain berdiri dan menghampiri KPU. Bertanya kenapa KPU tidak mencegah dan menegur Jokowi? Mereka juga menuntut KPU komitmen dan tegas.
Sempat terjadi cekcok mulut dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Tim Prabowo mengancam bubar dan tidak melanjutkan debat. Apa respon Prabowo? “Sudahlah. Gak apa-apa. Sabar saja.”
Super sekali! Kata Mario teguh. Sungguh sangat bijak. Watak asli Prabowo muncul. Selama untuk bangsa dan dengan anak bangsa, harus mengalah. Itulah kata-kata yang seringkali diucapkan Prabowo.
Tapi, jangan sekali-kali ada pihak luar (Asing dan Aseng) yang merusak dan ancam bangsa ini, dia pasti marah besar. Prabowo sebut ini sebagai sikap seorang nasionalis dan patriot.
Sebelumnya, Jenderal (purn) Joko Santoso (Joksan), ketua BPN Prabowo-Sandi juga protes. Pasalnya? Soal pengambilan kertas soal. Kenapa harus di kotak yang berbeda. Kalau beda tempat mengambilnya, kenapa harus diundi? Joksan curiga. Ada permainan KPU.
Inilah sejumlah masalah yang tersisa dari debat kedua capres. Dengan semua dinamikanya, Jokowi “dikesankan” publik sebagai capres yang ingin mengahabisi Prabowo di debat.
Dalam konteks ini, Jokowi dan tim tak sadar bahwa kemenangan itu ditentukan oleh apa yang ada di kepala rakyat.
Itulah yang dinamakan dengan persepsi! Capres tampil lebih jujur, punya integritas, berkomitmen kepada rakyat, rendah hati dan memiliki kompetensi, akan lebih kuat meraih simpati rakyat
Malam pasca debat, juga pagi harinya, justru yang ramai di media dan medsos, Jokowi kalah. Data dan sikapnya dikritik, bahkan ditelanjangi oleh media dan publik. Termasuk oleh Kompas yang selama ini dianggap berpihak padanya.
Dalam berbagai polling, Jokowi kalah jauh dengan Prabowo. Rata-rata 20 persen vs 80 persen untuk Prabowo. Begitu juga kejadian di stadion Si Jalak Harupat sore harinya. Saat Ridwan Kamil, gubernur Jabar yang getol dukung Jokowi ini memutari stadion, ribuan penonton teriak: Prabowo… Prabowo… Prabowo…
Nampaknya, debat kedua justru menambah suplai militansi rakyat untuk semakin memberikan dukungan kepada Prabowo yang dianggap telah berulangkali terzalimi.
Ini menyangkut masalah integritas, kejujuran dan kerendahan hati Prabowo yang berpotensi besar menarik empati dan simpati undecided voter (rakyat yang belum menemukan pilihan) dan swing voter (pemilih yang bisa pindah dan berubah pilihannya).
Jika asumsi ini benar, maka peluang Prabowo untuk menang semakin besar.*****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro