….. ASTAGHFIRULLAH. Ini kalimat pertama saya sambil bergumam: Ada apa ini, kok orang mau salat Jumat harus bersurat dan meminta izin? Bukankah masjid adalah rumah Allah? Bahkan, Allah menerima umatnya tanpa harus disurati terlebih dahulu.
Kalimat kedua, saya bertakbir, Allahu Akbar, memuji kebesaran-Nya. Siapapun kita, rakyat jelata, ketua mesjid, bahkan presiden bukan siapa-siapa. Tak seorang pun memiliki kuasa atas yang lain.
Kalimat ketiga saya, innalillahi wa innailaihi rojiun, dari Allah kembali ke Allah. Setinggi apa pun kita, sebesar apa pun kita, semua akan kembali pada-Nya.
Mengapa saya perlu mengangkat ketiganya? Sungguh, saya mengingatkan pada diri saya sendiri dan kita semua bahwa kita adalah debu. Debu yang akan berserakan jika diterpa angin. Debu yang tak pantas jumawa, debu yang tak ada tempat untuk berlindung serta bersembunyi.
Aneh Adalah KH. Hanief Ismail, ketua masjid Agung (Kauman) Semarang, tiba-tiba membuat geger. Membuat keanehan. “Kami tidak mengizinkan salat jumat dipolitisasi,” katanya seperti telah ramai di medsos. “Lagi pula, saya belum diberitahu, belum ada surat dari timses Prabowo-Sandi untuk shalat jumat di sini!” katanya lagi yang juga sudah viral di dunia maya.
Dua kalimat itu meluncur untuk menanggapi rencana Prabowo akan bersalat Jumat di mesjid itu. Sementara bagi Prabowo salat Jumat bukan hal yang aneh.
Minggu lalu, kami salat Jumat di Hambalang karena Prabowo kedatangan tamu teman-teman buruh KSPI dan API Muhammadiyah yang jumlahnya sekitar 3.000 orang.
Jadi, agak aneh jika tiba-tiba KH. Hanief seperti kebakaran jenggot.
Betul dia adalah ketua mesjid, tapi dia tidak boleh melarang orang untuk salat. Bahkan, dia pun tidak boleh melarang seandainya timses Prabowo ingin mempolitisasi (saya yakin tidak, bahkan sang kiailah yang mempolitisasinya) itu jadi urusan timses itu pada Allah.
Maaf nih, saya beristighfar: Astagfirullah, mohon ampun kepada Allah, jika hati saya bersuudzon, atas kejadian ini. Jangan-jangan sang kiai takut pada sesuatu selain Allah.
Mengapa? Belakangan beredar rumor yang sumbernya patut dapat diduga dari toko sebelah yang mempertanyakan soal di mana dan kapan Prabowo terakhir salat Jumat.
Hal ini sengaja diluncurkan agar umat yang taat pada Habib Rizieq Shihab dan umat Islam lain yang secara masif makin solid mendukung Prabowo, jadi ragu. Bukankah itu politisasi?
Nah, sekali lagi saya mohon maaf pada kiai, jangan-jangan kiai takut masjid Agung Semarang menjadi titik pemantaban pada para pendukung Prabowo. Kiai takut bahwa paslon 02 ini menjadi yang paling pantas didukung. Ya, maklum, ini kan bulan politik, dan ‘aliran’ kiai memang berbeda dengan aliran Prabowo.
Artinya, sangat mungkin kiai mendukung paslon lain. Meski itu sih sebenarnya sah saja, tapi tampaknya sang kiai benar-benar takut masjid yang dipimpinnya menjadi tempat kebangkitan dan kesadaran umat, khususnya golongan sang kiai untuk memilih Prabowo dalam pilpres mendatang. Mohon maaf ya kiayi.
Kembali soal salat yang harus bersurat dan dilarang oleh ketua mesjid. Demi Allah, ini aneh. Sejak Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, salat di mana saja di negeri ini tak harus bersurat.
Kita yang NU, tidak dilarang salat di mesjid Muhammadiyah, sebaliknya juga begitu. Jadi tidak lumrah jika tiba-tiba timses harus bersurat dan ketua masjid harus melarang.
Sekedar mengingatkan, Jokowi berulang kali salat bahkan memimpin shalat. Aroma politiknya sangat kental. Tapi, kok kiai tidak melarang, bahkan berkomentar saja tidak? Mengapa saya yakin aroma politiknya sangat kental?
Saya coba mengutip satu hadist: “Yang berhak menjadi imam salat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca Alquran. Jika mereka setara dalam bacaan Alquran, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud alAnshari radhiyallahu ‘anhu).
Dalam riwayat lain, disebut juga mereka yang lafadznya paling baik. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.
Dengan demikian, yang paling berhak menjadi imam shalat secara berurutan adalah:
1. Yang paling pandai membaca Alquran. Jika sama-sama pandai,
2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Jika sama-sama mengerti,
3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal hijrah,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam,
5. Yang lebih tua.
Mohon maaf, apakah Pak Jokowi memenuhi kriteria itu? Kiai bisa menjawabnya, sama dengan kita semua pasti bisa menjawabnya dengan baik. Tapi, kok saya belum mendengar kiai berkomentar tentang itu?
Seperti juga, ada beberapa salat yang dilakukan Jokowi dengan imam yang perlu dimundurkan. Mengapa itu dilakukan? Jawabnya juga sederhana: agar salatnya bisa difoto dan diviralkan. Tujuannya? Sekali lagi, kiai pasti tahu setahu kami semua.
Jadi, ketika kiai berkata: Melarang politisasi salat Jumat di masjid tempat kiai, saya tersenyum simpul. Kok ya kiai mau bicara begitu?
Demi Allah, tidak ada tempat bersembunyi di bumi ini dari Allah. Dan tidak sekali-kali Allah bisa ditipu. Kita boleh saja mengatakan apa saja dengan alasan yang baik, tapi Allah tahu yang sesungguhnya.
Semoga Kiai Haji Hanief Ismail segera menyadari kekeliruannya. Dan kita berdoa agar Allah melindungi negara kita dari orang-orang yang dzalim. Dan semoga Allah memporak-porandakan mereka yang berbuat zalim…
Dan, semoga Allah memberikan Indonesia pemimpin yang kuat dan bukan yang suka berpura-pura. Pemimpin yang tidak ingkar dengan janji-janjinya. Pemimpin yang tidak memusuhi umat Islam. Pemimpin yang cakap. Pemimpin yang amanah…
Aamiin ya Rabb…*****
M. Nigara
Wartawan Senior; Mantan Wasekjen PWI
….. JUDUL tulisan ini sengaja saya pinjam dari wartawan senior Hersubeno Arief. Bersamaan dengan pemberian medali Kebebasan Pers untuk Presiden Jokowi yang diberikan pada Peringatan hari pers Nasional di Surabaya, Sabtu (9/2). Tampilan web hersubenoarief.com dibiarkan berwarna hitam.
BERITA TERKAIT
Wartawan BPN Vs Wartawan TKN Berebut Forwaka Cup, Inilah Hasil Skornya
Andai Saya Presiden Jokowi, Saya Kembalikan Penghargaan Pers
Diskusi ‘Berantas Jurnalis Aba-abal’ Diteror, Panitia: Kami Sudah Siapkan Pengamanan
Road To Senayan
Di dalam naskah hanya tertulis kalimat pendek “turut berduka atas anugerah medali kemerdekaan pers kepada Presiden Joko Widodo dari Dewan Pers Indonesia.”
Tak ada analisis apapun. Hanya ada seuntai bunga putih disana. Hersubeno tampaknya kehabisan kata, untuk menggambarkan perilaku ganjil dari para petinggi pers Indonesia.
Gugatan yang sama juga disampaikan oleh wartawan senior M. Nigara. Mantan Wasekjen PWI itu dalam artikelnya mempertanyakan netralitas Dewan Pers. Menurutnya sikap Dewan Pers sungguh melukai insan pers Indonesia.
Dari sisi apapun, sikap Dewan Pers itu sangat sulit dipahami. Berdasarkan penilaian lembaga internasional Reporters Without Borders peringkat kebebasan pers di Indonesia sangat buruk. Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia tetap berada di peringkat 124. Di bawah negara tetangga Timor Leste.
Jadi atas dasar apa Dewan Pers atau panitia Hari Pers Nasional yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memberi medali kebebasan pers kepada Jokowi?
Jelang pelaksanaan Hari Pers Nasional (HPN) nurani para jurnalis juga sangat terluka. Pemerintah memberi remisi Susrama seorang (mantan) Kader PDIP yang menjadi pembunuh wartawan Radar Bali Anak Agung Gde Prabangsa. Susrama divonis hukuman seumur hidup, diubah menjadi hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Semula pemerintah menolak untuk membatalkan remisi. Menkumham Jasona Laoly menyatakan remisi tersebut tidak mungkin dibatalkan. Sebab semua sudah sesuai prosedur. Namun menjelang pelaksanaan HPN Jokowi akhirnya memutuskan remisi dibatalkan.
Diubahnya remisi ini layak dicurigai karena erat kaitannya dengan HPN. Acara itu dihelat di Surabaya kantor pusat harian Jawa Pos induk perusahaan koran Radar Bali.
Pada masa Jokowi kebebasan pers juga mengalami kemunduran. Kooptasi media, aksi black out atau yang disebut oleh wartawan senior Hanibal Wijayanta sebagai “order cabut berita” menjadi warna sehari-hari.
Kasus terakhir adalah permintaan cabut berita doa Kiai Maimoen Zubair. Satu hari setelah peristiwa yang menghebohkan itu, tak satupun media televisi yang menyiarkan beritanya. Baru selang dua kemudian ada dua stasiun televisi yakni TV One dan Trans 7 yang memberitakan. Namun setelah itu kedua stasiun televisi itu tidak lagi memberitakan.
Karena itu atas pertimbangan apapun, pemberian medali Kebebasan Pers kepada Presiden Jokowi sulit diterima oleh akal sehat. Pantas kalau sekali lagi kita mempertanyakan, sudah matikah nurani Pers Indonesia?.[***]
Djadjang Nurjaman
Pemerhati media dan ruang publik
….. MAKSUD petahana membangun kedaulatan di bidang pangan belum terealisasikan sesuai amanat UU.
Demikian pula dengan kedaulatan di bidang energi. Masih sangat jauh. Kebiasaan menggunakan target berbilangan besar dan ambang batas waktu yang spektakuler singkat untuk merealisasikan kedaulatan itu belum tercapai.
Peristiwa yang sangat mengesankan itu terjadi pada pidato peringatan kemerdekaan RI yang pertama kali ketika petahana mulai bertugas sebagai pemerintah.
Joko Widodo disaksikan jutaan rakyat Indonesia di televisi dan dihadiri banyak tamu negara-negara sahabat. Joko Widodo bermaksud mewujudkan swasembada pangan. Bukan hanya beras, melainkan jagung dan kacang kedele juga diucapkan.
Selanjutnya dalam perkembangan waktu diucapkannya rencana mencapai swasembada gula dan daging. Maksud mencapai swasembada daging sapi kemudian diralat Menteri Pertanian menjadi bermaksud merealisasikan swasembada protein.
Berswasembada mempunyai makna ekonomi politik, yang berada di bawah kata berdaulat.
Tercatat realisasi defisit neraca perdagangan migas Indonesia meningkat dari minus 6,04 miliar dolar AS tahun 2015 menjadi angka sementara sebesar minus 12,4 miliar dolar AS tahun 2018 berdasarkan data Badan Pusat Statistik.
Artinya, program energi terbarukan jauh panggang dibandingkan api. Program biosolar juga tidak tercermin pada pembesaran nilai defisit perdagangan migas.
Dalam perekonomian sistem terbuka itu suatu negara selain melakukan kegiatan ekspor, juga seharusnya pemerintah tidak menutup diri terhadap kegiatan impor.
Akan tetapi kualitas pengakuan swasembada pangan dapat ditinjau dari keberadaan impor pangan, terlebih untuk maksud mencapai kedaulatan pangan. Dalam pencatatan impor pangan pada komoditi beras, jagung, kacang kedelai, gula, dan daging sapi tidak selalu tercatat dalam nilai deskripsi kode HS untuk transaksi impor lebih dari 2 digit.
Berdasarkan kode HS 2 digit diketahui bahwa impor serealia meningkat dari 3,16 miliar dolar AS tahun 2015 menjadi 3,5 miliar dolar AS tahun 2018. Pada periodisasi yang sama, impor pakan hewan naik dari 2,7 miliar dolar AS menjadi 2,8 miliar dolar AS.
Impor gula dan kembang gula naik dari 1,49 miliar dolar AS menjadi 1,96 miliar dolar AS. Impor benih dan bibit naik dari 1,29 miliar dolar AS menjadi 1,4 miliar dolar AS. Garam, produk susu, dan binatang masih impor. Impor buah dan kacang-kacangan naik dari 0,67 miliar dolar AS menjadi 1,1 miliar dolar AS.
Singkat kata sungguh tidak mudah untuk membangun perealisasian Nawa Cita.
Swasembada dan kedaulatan adalah konsep pemberdayaan ekonomi. Sebuah aplikasi konsep yang pro-subsidi. Memerlukan pendanaan besar, menambah luas lahan panen, menaikkan volume benih, pupuk, pestisida, hormon, pengairan, petani, dan mesin. Bukanlah konsep yang dapat dibangun menggunakan sistem perekonomian pasar bebas.*****
Sugiyono Madelan
Peneliti INDEF dan Pengajar di Universitas Mercu Buana.
….. PEMICU curang, itu biasa. Di negara manapun, selalu terjadi kecurangan. Hanya saja, tingkat kecurangannya berbeda-beda. Ada yang kecil, ada yang masif.
Dari tahun ke tahun, pemilu di Indonesia juga ada kecurangan. Pileg, pilkada hingga pilpres, selalu ditemukan kecurangan. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang memutuskan sengketa hasil pemilu selalu banjir laporan. Sidang sengketa pemilu sudah seperti gelombang. Makin lama, makin banyak jumlahnya.
MK pun jebol. Sejumlah hakimnya ditangkap karena terlibat kasus suap. Itulah hebatnya politik, bisa nembus dan menebar virus kemana-mana.
Bagi MK, jika kecurangannya tak signifikan, hasil akan dikukuhkan. Tak signifikan artinya, hasil kecurangan tidak mempengaruhi menang-kalahnya paslon.
Misalnya, ada 2 ribu suara yang dicurangi. Tapi, selisih suara antar paslon itu 10 ribu. Maka, pemilu tak perlu diulang, karena angka kecurangan tak signifikan. Tapi, jika suara yang dicurangi 10 ribu, sementara selisih suara antar paslon 2 ribu, maka pemilu harus diulang. Tentu hanya di daerah terjadinya kecurangan itu. Demi hemat biaya.
Biasanya, MK mengukur kecurangan dari hasil suara. Padahal, kecurangan terjadi tidak hanya di saat pengambilan dan penghitungan suara. Kecurangan bisa dilakukan pra pencoblosan dengan beragam cara. Kecurangan bisa dilakukan melalui otak-atik UU Pemilu, intervensi kebijakan KPU, main mata dengan Bawaslu, rekayasa daftar pemilih tetap (DPT), operasi aparatur negara, pressure hukum, intimidasi pemilih, pembatasan kampanye lawan, bagi-bagi sertifikat dan dana desa sebagai bahan kampanye, dan seterusnya dan seterusnya. Ini semua di luar kemampuan MK untuk menangani.
Celah untuk melakukan kecurangan sangat terbuka, terutama bagi incumben. Sebab, incumben punya akses aparatur negara, APBN dan aparat hukum.
Berbagai indikator kecurangan ini oleh pihak Prabowo-Sandi dicurigai telah dilakukan secara sistematis dan massif. Jika tidak diatasi, ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN), Jenderal (Purn) Joko Santoso, mengancam Prabowo-Sandi akan mundur. Apakah ancaman ini serius? Bergantung. Jika kecurangannya serius, ancaman Joko Santoso akan juga jadi serius.
Apakah jika Prabowo mundur, pemilu dibatalkan? Secara hukum, tidak. Pemilu akan tetap berlanjut. Jokowi-Maruf akan melawan kotak kosong. Siapa yang akan menang jika Jokowi lawan kotak kosong? Bukan disitu masalahnya. Siapapun yang menang tidak terlalu penting.
Tak penting juga soal sanksi pidana yang akan jerat Prabowo-Sandi. Mereka tentu sudah menghitung semua risikonya. Terutama risiko untuk bangsa jika harus mundur.
Yang jadi problem, dan ini sangat serius, justru adalah nasib hukum dan demokrasi di Indonesia. Rakyat akan defisit kepercayaan kepada pemerintah. Akibatnya, stabilitas sosial dan politik terancam. Jika salah penanganan, ini berpotensi jadi konflik horizontal.
Siituasi konflik, yang tentu tak kita inginkan terjadi, akan memancing dua kelompok anak bangsa berhadapan. Kedua kelompok ini punya militansi yang menghawatirkan. Jika ini terjadi, militer, terutama Angkatan Darat (AD), mau tidak mau akan pasti ikut terlibat. Karena ini menyangkut stabilitas negara. Ini wilayah dan otoritas militer. Tidak ada konflik saudara di sebuah negara yang tidak mendesak militer untuk terlibat.
Militer berpihak? Tentu. Dalam teori rekonsiliasi konflik, jika dua belah pihak tak bisa didamaikan, maka harus dimenangkan salah satunya. Lalu, kemana militer berpihak? Akan bergantung pihak mana yang paling kuat diantara dua kubu. Militer selalu ada di pihak mayoritas. Tapi, jika militer juga pecah, ya wassalam. Ini akan jadi konflik horizontal yang berkepanjangan. Sekali lagi, jangan sampai ini terjadi. Tapi, tak ada salahnya diantisipasi. Karena, konflik sosial akibat “pemilu curang” telah memporak-porandakan banyak negara.
Itu gara-gara Islam garis keras! Islam garis keras gundulmu! Bukannya berupaya untuk menemukan akar masalah dan cari solusinya, malah alihkan masalah. Yang pasti, salah satu penyebab utamanya karena KPU dan Bawaslu tidak mampu meyakinkan paslon dan rakyat Indonesia bahwa mereka netral.
Ancaman ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi wajar dan bisa dipahami. Untuk apa pemilu kalau direkayasa secara curang dan culas untuk memenangkan paslon tertentu.
Hanya saja, tim BPN Prabowo-Sandi harus betul-betul bisa membuktikan indikator-indikator kecurangan itu. Dan juga memastikan bahwa ikhtiar pencegahan dan protes BPN sudah dilakukan secara maksimal, tapi tidak direspon.
KPU dan Bawaslu akan dianggap paling bertanggung jawab jika Prabowo-Sandi mundur. KPU dan Bawaslu juga akan jadi sasaran kemarahan nasional jika terjadi kegaduhan dan konflik sosial. Karena itu, tak ada cara untuk menjaga hukum dan demokrasi kita selain KPU dan Bawaslu netral. Hanya itu. Tak ada yang lain. Yakinkan kepada rakyat, yakinkan kepada masing-masing Paslon bahwa KPU dan Bawaslu netral. Jangan sampai rakyat kecewa dan akhirnya jadi pemicu konflik sosial. Jika ini terjadi, bukan hanya KPU dan Bawaslu yang akan jadi sasaran amuk massa, tapi rakyat, bangsa dan negara ini akan dipertaruhkan. *****
Tony Rosyid
Pengamat politik dan pemerhati bangsa.
….. DALAM terminologi pesantren, posisi KMA adalah wujuduhu ka ‘adamihi, antara ada dan tiada. Sedangkan Prabowo dengan konsisten menjalankan prinsip qulil haqqa walau kana murran, menyampaikan kebenaran meskipun pahit.
Erick Thohir (ET) bilang Kiai Ma’ruf Amin (KMA) tidak diundang di pertemuan Jokowi dengan 20 pimpinan parpol pendukung (15/1) karena tidak kebagian kursi.
Orang banyak yang protes, masak di Jakarta tidak ada restoran atau tempat pertemuan yang bisa menampung 21 orang. Masak ulama besar sekaliber KMA tidak bisa ikut pertemuan cuma gara-gara tidak kebagian kursi.
Orang tidak mengerti bahwa Erick sedang bicara bahasa mantiq dan qiyas, ilmu logika berpikir Islam. Yang dimaksud kursi oleh Erick bukan harfiah tempat duduk yang selama ini kita kenal. Kursi Erick adalah kursi dengan tanda kutip., kursi dalam pengertian qiyas.
KMA paham betul soal itu, dan pesan Erick sudah sampai kepada KMA dengan jelas dan gamblang, tidak ada tempat untuk Pak Kiai. Dalam komposisi 20 orang elite inner circle petahana, KMA sudah dianggap tidak ada. Dan karena itu tidak perlu disiapkan kursi.
Pak Kiai sudah dianggap non-existence, dianggap tidak ada. Dalam terminologi pesantren disebut Wujuduhu ka ‘adamihi, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Ada tidak ada tidak ngaruh. Itulah posisi KMA sekarang.
Kursi jadi barang super-mahal di tahun politik ini. Orang berebut kursi, saling sikut, saling jegal, saling tackle. Tak peduli teman, tak peduli keluarga. Kiai pun, kalau perlu, disingkirkan untuk mendapatkan kursi.
Tukang meubel kursi pasti lagi laris manis sekarang ini. Tukang meubel yang ahli memanipulasi suara untuk bisa menjadi kursi pasti jadi rebutan sekarang ini. Di tahun politik ini rejeki tukang meubel kursi lagi deras-derasnya.
Erick sekarang lagi mencarikan kursi untuk Jokowi (masih ingat ya dulu profesinya apa? Betul tukang meubel). Tukang meubel kok dicarikan kursi, jeruk makan jeruk dong. KMA-lah yang harusnya dicarikan kursi, karena kelihatannya beliau kepingin sekali dapat kursi.
Tapi, pesan Erick ke Pak Kiai makjleb, langsung menusuk ke ulu hati. Tidak ada kursi untuk Pak Kiai. Dan Pak Tukang Meubel tidak perlu pendamping.
Biasanya, pasangan politik harus dipoles supaya terlihat kompak dan serasi untuk menarik simpati publik. Yang penting, terlihat kompak di depan. Kalau kemudian bubrah di belakang, itu urusan nanti.
Sudah rahasia umum, presiden tak kompak dengan wakilnya. Begitu pula banyak gubernur, walikota, bupati yang bermusuhan dengan wakil-wakilnya. Ketika masih berebut suara, pasangan itu kompak. Begitu menang langsung bubar.
Pasangan Jokowi-KMA ini lucu, belum tentu jadi, tapi sudah berantem duluan.
Erick tahu persis bahwa KMA tidak menambah apa-apa. Survei menyebut kontribusinya hanya 0.2 persen. Sebaliknya, KMA bahkan menjadi beban. Alih-alih menjadi aset politik, KMA malah menjadi liability, tanggungan. Naluri Erick sebagai pengusaha membisikinya supaya segera cut loss, diputus sekarang juga, daripada rugi makin besar.
KMA benar-benar (meminjam Amien Rais) lame duck, bebek lumpuh. Tidak perlu marah soal istilah ini. Dalam terminologi politik istilah itu sudah biasa dipakai untuk menggambarkan politisi yang tidak efektif, atau yang sedang menghitung hari, seperti petahana.
Paslon pilpres ini ibarat pasangan ganda dalam bulutangkis ataupun tenes lapangan. Masing-masing harus punya kekuatan yang seimbang. Harus saling mengisi, bisa memaksimalkan kekuatan, dan saling menutupi kelemahan.
Prabowo-Sandi adalah pasangan ganda yang ideal. Masing-masing mempunyai kekuatan tapi punya gaya main yang beda. Prabowo lebih main force dengan kekuatan pukulan forehand maupun backhand yang keras. Smash-nya tajam, bertenaga, dan menukik.
Dalam praktik hidup sehari-hari Prabowo mengamalkan prinsip santri “qulil haqqa walau kana murran” bicara kebenaran meskipun pahit.
Sebagai pasangan handal, Sandi bermain dengan cermat menjaga bola-bola liar hasil serangan balik lawan. Sandi mengcover daerah-daerah kosong dan bagus dalam netting. Sesekali Sandi melakukan smash keras kalau ada bola-bola tanggung.
Sandi mengumpulkan poin satu persatu, pelan tapi pasti. Prabowo-Sandi betul-betul pasangan ganda yang tangguh.
Di seberang net Jokowi pontang-panting main sendirian. Ia mengcover garis belakang, lalu lari ke depan mengejar bola drop shot. Jatuh bangun mengembalikan smash. Terengah-engah dia melayani rally-rally panjang lawan. Ia kehabisan nafas di tengah permainan. Ma’ruf Amin tidak bisa berbuat apa-apa.
Ini lebih mirip pasangan ganda campuran yang tidak imbang kemampuannya. Pasangan ini kalah karena terlalu banyak membuat kesalahan sendiri, unforced error. *****
Dhimam Abror Djuraid
Calon Anggota Legislatif PAN Untuk DPR RI Dapil I Jawa Timur
….. MAHAL! Politik itu berat diongkos, terutama ketika perhelatan politik sebagaimana yang terjadi sekarang. Meski tampak tidak terlihat, proses kontestasi untuk kursi legislative diberbagai tingkat mulai dari level daerah hingga nasional terjadi. Hiruk pikuk hajat politik yang digelar secara bersamaan kali ini, memang seolah tertutupi oleh ajang Pilpres, sebagai pusat perhatian publik.
Pembiayaan kegiatan politik, khususnya terkait dengan proses pemilihan terjadi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam aktifitas kampanye politik domestik. Jelas bahwa kunjungan seorang kandidat kesuatu lokasi basis pemilihan membutuhkan biaya, tetapi disitulah letak esensi keterwakilan yang representative, bukan hanya persoalan yang tampak terbaca dari angka-angka statistik, tetapi wujud dari aspirasi langsung melalui interaksi fisik.
Pertanyaannya, mengapa kemudian politik kita bisa dikategorikan sebagai “high cost politics”? Tentu saja terkait dengan model kampanye yang dilakukan. Apa maknanya? Konsepsi gagasan dan interaksi fisik secara langsung, tampak menjadi prioritas sekunder dibandingkan dengan penempatan alat peraga kampanye, semisal spanduk, poster dan baliho. Dalam kaidah estetik, alat peraga sedemikian, justru mendapatkan pengistilahan negative, sebagai “sampah visual” yang memenuhi ruang publik.
Lantas, dimana letak muara permasalahan ongkos politik ini? Kita dapat telusur kebiasaan ini dari bentuk uang pamrih kepada calon pemilih, yang sering disebut sebagai “politik uang” untuk membeli kepastian dukungan. Meski hal tersebut telah menjadi sebuah kondisi yang nampak “tertinggal” di era sosial media, tetapi praktik ini tetap dilangsungkan oleh kandidat untuk mendapatkan komitmen suara secara riil. Mengapa begitu? Faktornya terletak diperangkat berpikir para kandidat itu sendiri.
Rasionalisasinya dapat dipahami, dalam logika (a) politik uang adalah hal yang nampak lazim, karena telah berlangsung lama, (b) bila prinsip politik uang dihilangkan dalam konteks kampanye, maka seolah tidak ada jaminan untuk mendapatkan suara dukungan, dan akhirnya (c) jika kandidat tidak menjalankan hal tersebut, maka ada kandidat lain yang akan melakukannya, dan situasi ini dinilai sebagai indikasi kekalahan. Kita lalu terjebak dalam rantai tidak berkesudahan, politik transaksional.
Politik Berlogika Ekonomi
Biaya kampanye yang semakin membengkak, juga diakibatkan dari keinginan alias syahwat, untuk mempergunakan berbagai kanal media dalam mempromosikan figure individual. Maka kemudian, ongkos politik pun bertambah. Terlebih, kita juga terjatuh pada upaya mengerek popularitas secara instan, dimana fase kaderisasi partai tidak lagi menjadi standar dalam kerangka memajukan seorang calon, tetapi lebih disebabkan oleh kemampuan untuk mempersiapkan logistik kampanye.
Politik instan menghasilkan ketidakmatangan. Terdapat andil kegagalan partai politik dalam melakukan pendidikan politik. Hal yang kemudian muncul adalah fenomena “candidate base oriented” alih-alih pembentukan identitas ideologis yang melekat pada garis partai politik. Dengan menguatnya politik berbasis kandidat, maka partai politik ditempatkan hanya sebagai wadah formal, yang bisa berganti bila kemudian dirasakan tidak mampu memnuhi ambisi politik individu.
Logika ini menjelaskan mengapa seorang kandidat, dengan sangat mudah melakukan perpindahan gerbong partai, atau dikenal sebagai “kutu loncat”, merupakan pertanda mekanisme demokrasi diinternal partai tidak berjalan untuk menyelesaikan persoalan tujuan politik individu dan organisasi. Maka kalkulasi ekonomi yang dipergunakan dalam panggung politik, menjadi racun yang mematikan kehidupan demokrasi. Terlebih ketika ongkos politik yang tinggi, mengharuskan upaya pengembalian investasi yang telah dikeluarkan.
Situasi tersebut mampu menjawab masalah kondisi wajah politik jelang momentum perhelatan pemilihan, yang diwarnai dengan semakin sering terjadinya operasi tangkap tangan oleh KPK. Tidak hanya bagi kandidat yang berlatar pengusaha, juga bagi calon yang diusung oleh kekuatan pengusaha hasilnya pun serupa. Lantas, ketika terpilih nantinya, maka terjadi upaya “balas jasa” dengan pemberian konsesi sebagai kompensasi atas kekuasaan yang dimiliki.
Jadi apakah kandidat yang kemudian disokong oleh kapasitas dana kampanye besar dapat dipercayai memenangkan kontestasi? Tidak ada jawaban pasti akan hal ini, karena basis pemilih terbagi menjadi berbagai lapis, setidaknya (a) massa tradisional yang ideologis sehingga telah memiliki pihan pasti, (b) basis rasional yang masih belum menentukan pilihan, dan (c) segmen apatis yang tidak peduli dengan isu politik. Kemampuan mengolah dana kampanye menjadi bahan material untuk dapat mempengaruhi aspek kognisi -pengetahuan publik, afeksi -psikologi massa, hingga pada akhirnya mengubah konasi -tindakan memilih, jelas merupakan bagian dari strategi yang harus dipersiapkan.
Tetapi kita harus paham, bila publik memiliki kecerdasan politik yang tidak dapat dianggap remeh, terlebih karena akses informasi diera internet menghadirkan kemudahan untuk melakukan pencarian informasi sesuai ketertarikan publik itu sendiri. Jelas sudah, kini saatnya publik untuk memastikan hal-hal penting dalam mencermati aktor politik, yakni: (a) ethos -kredibilitas, (b) pathos -kemampuan pengelolaan emosi psikologis, dan (c) logos -berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ingat ini bukan lagi saatnya “membeli kucing dalam karung.*****
Yudhi Hertanto
Saat ini sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid.
….. KEPUTUSAN Ketua KPU Arief Budiman terkait dengan penghentian penyampaian visi-misi jelang debat perdana Pilpres 2019 yang semula dijadwalkan 9 Januari 2019 dapat dipastikan tidak berjalan.
Arief menyebut keputusan ini diambil pada Jumat (4/1) malam usai rapat dengan tim pemenangan dari masing-masing pasangan calon.
“Soal sosialisasi visi misi, tadi malam sudah diputuskan. Silahkan dilaksanakan sendiri-sendiri. Tempat dan waktu mereka yang tentukan sendiri. Jadi tidak lagi difasilitasi oleh KPU,” kata Arief.
Keputusan Ketua KPU ini tentu patut diduga bahwa KPU tidak paham tentang aturan hukum terutama terkait UU Pemilu.
Pasal 274 ayat (2) UU Pemilu menyebutkan bahwa “Dalam rangka pendidikan politik, KPU wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program Pasangan Calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik”.
Apa makna dari ketentuan tersebut diatas ? Bahwa ketentuan tersebut secara jelas meyebutkan bahwa fasilitasi yang dilakukan oleh KPU terhadap kedua paslon dalam penyampaian visi dan misi adalah sesuatu yang wajib.
Jika KPU tidak melaksanakan atau tidak memfasilitasi penyampaian visi dan misi yang sudah terjadwal tanggal 9 Janiari 2019 ini, maka dapat dikatakan KPU lalai menjalankan perintah UU.
Hal yang terpenting dari penyampaian visi dan misi kedua paslon ini adalah selain karna amanat UU dan terlebih lagi adalah hak masyarakat untuk ingin mengetahui sejauh mana visi dan misi dari kedua paslon untuk membangun dan mengelola republik ini.
Lebih-lebih lagi kondisi ekonomi dan penegakan hukum saat ini yang kurang menggembirakan. Masyarakat berpandangan bahwa penegakan hukum di pemerintahan Pak Jokowi kurang berjalan dengan baik.
Dalam perspektif ekonomi, terutama terhadap paslon nomor urut satu sebagai petahana, perlu dijelaskan kepada publik secara nasional, bagaimana kondisi ekonomi saat ini yang pada awalnya memberikan janji manis kepada masyarakat bahwa pentumbuhan ekenomo di 2018 dan 2019 sebesar 8 persen, namun kini hanya berkisar pada angka 5%.
Begitu juga dengan janji pak Jokowi bahwa jika terpilih menjadi presiden dollar akan turun dari Rp 12.000 sebelum menjadi presiden ke Rp 10.000 jika terpilih. Sekarang malah dollar memantapkan diri di kisaran Rp 14.000 sampai Rp 15.000.
Hal lain yang perlu untuk dijelaskan kepada rakyat adalah kondisi utang negara saat ini. Selama masa pemerintahan Jokowi, utang baru tercipta sebesar Rp 3.200 triliun. Angka yang lebih besar dua kali dari pemerintahan-pemerintahan senelumnya.
Selain itu, Jokowi juga perlu menjelaskan bagaimana manajemen pengelolaan utang negara yang terbilang sangat besar ini? Kemana saja uang itu dibelanjakan? Tentu harus dijawab oleh Pak Jokowi melalui penyampaian visi dan misinya.
Demikian juga dalam konteks penegakan hukum, yang tidak mencerminkan adanya rasa keadilan masyarakat. Proses penegakan hukum korupsi yang masih terkesan tebang pilih. Hukum terkesan hanya digunakan sebagai alat politik, dan lain-lain.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu ingin mengetahui bagaimana visi dan misi paslon untuk memperbaiki dan menata kembali kondisi ekonomi maupun kondisi hukum negara ini ke arah yang lebih baik. Penegakan hukum yang sesuai dengan amanat dan harapan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara.
Dari penyampaian visi misi inilah masyakat akan menentukan pilihannya kepada siapa rakyat akan menjatuhkan pilihan politiknya. Oleh karena itu, Perlu ditegaskan kembali bahwa jika penyampaian visi dan misi paslon ditiadakan maka dapat dikatakan KPU telah salah memahami perintah UU tentang Pemilu. Jika visi misi tidak dilaksanakan, maka sebaiknya debat juga ditiadakan saja. Toh, debat capres cawapres adalah pengembangan dari visi dan misi cawapres.
KPU seharusnya memahami posisinya sebagai lembaga yang independent. Tugas KPU hanya menjalankan amanat rakyat susai perintah UU. KPU bukan dalam posisi menafsirkan UU atau membuat aturan hukum tidak jelas.
Jika KPU tidak independet. Bila KPU tidak jujur dalam melaksanakan tugasnya, maka sangat beralasan bila ada warga masyarakat yang hendak menggugat eksistensi KPU. Sebab tidak menjalankan fungsinya untuk mengatur jalannya proses pemilu yang jujur, adil dan demokratis. *****
Ismail Rumadan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
….. RAKYAT makin geram terhadap sikap KPU. Awalnya curiga kok KPU bikin kotak surat suara dari kardus. Itu terjadi di saat kepercayaan rakyat sedang anjlok.
Otomatis muncul kecurigaan adanya rencana kecurangan. Rasa curiga ini berawal dari data DPT (Daftar Pemilih Tetap) masih bermasalah. Lalu muncul fakta KTP berceceran di berbagai tempat. Tiada ujung dalam pengusutan. Tak ada terduga, apalagi tersangka.
Berbagai alasan normatif dibuat. Pertama, karena adanya aturan yang membolehkan. Kedua, untuk menekan anggaran negara. Jelas terkesan mengada-ada. Ganjil, alias tak masuk di akal.
Hajat demokrasi yang sangat penting dan ditunggu rakyat karena akan menentukan masa depan bangsa seolah dipermainkan. Ini bukan soal kardus. Ini masalah akses dan potensi kecurangan. Bukan rahasia umum bahwa pemilu kita selama ini sarat kecurangan. Eh, malah diperlebar aksesnya dengan kotak suara dari bahan kardus.
Belum selesai soal ini, muncul kebijakan baru KPU: penyampaian visi dan misi dibatalkan. Alasannya? Dua pihak tak ada kesepakatan. Petahana minta diwakili oleh timses, sementara kubu Prabowo-Sandi menuntut paslon yang menyampaikan. Akhirnya, batal! Aneh, aturan KPU diserahkan pada kesepakatan paslon. Kalau nggak disepakati, nggak jadi.
Kalau aturan diserahkan ke paslon, kenapa dua paslon nggak suit aja. Humpimpah alaikum gambreng. Lahirlah presiden dan wakil presiden baru. Kelar negeri ini.
Nampak sekali kalau KPU tidak punya standar bagaimana membuat aturan dan kebijakan untuk mengawal pemilu agar berkualitas. Jangan sampai rakyat bilang bahwa standar KPU sudah disesuaikan dengan standar kemenangan Paslon. Kalau benar begitu, KPU telah berubah fungsi jadi pemain, bukan wasit. Dan ini akan jadi pembunuhan pelan-pelan dan sistematis terhadap demokrasi. Dengan begitu, masa depan bangsa akan terancam.
Masalah pembatalan visi dan misi sedang hangat diperbincangkan publik, datang lagi kebijakan baru yang tak kalah anehnya. KPU membuat keputusan untuk mengirimkan bocoran pertanyaan ke paslon seminggu sebelum debat dimulai. Apa alasanya? Agar paslon punya waktu mempelajari dan menyiapkan jawabannya dengan detil.
Kita bisa bayangkan jika pemimpin dihadapkan pada berbagai masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Tak terduga, dan keluar dari rencana. Kalau dihadapkan pada pertanyaan spontan panelis saja gak siap, bagaimana mau menghadapi problem besar bangsa yang tiba-tiba?
Justru yang dibutuhkan dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menghadapi masalah. Bagaimana di tengah masalah itu ia tampil untuk memberikan solusi.
Banyak masalah bangsa yang datang tiba-tiba. Gempa dan tsunami bertubi-tubi di saat dolar naik, utang mulai sulit dan APBN defisit. Bagaimana cara mengatasinya? Di sinilah kecerdasan dan insting seorang pemimpin akan menentukan. Misal, musibah datang, pemimpin hadir ke pengungsian, ke rumah sakit, untuk pertama, memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin yang selalu hadir di tengah rakyat yang terdampak bencana.
Kedua, instruksikan kepada kementerian dan dinas terkait untuk mendata dan menyelesaikan kebutuhan mereka. Bila perlu, gunakan anggaran dari pos lain. Ini darurat. Jadi, datang tepat waktu, tepat sasaran dan tepat kebijakan. Bagaimana jadi pemimpin jika tidak siap untuk reaksi tanggap darurat?
Rencana Oktober produksi mobil Esemka. Lalu, uji emisi nggak lolos. Bagaimana solusi alternatifnya agar rakyat tak kecewa? Disinilah seorang pemimpin dituntut kecerdasan, kecekatan dan ketegasannya. Jangan bilang: itu bukan urusan pemerintah. Itu urusan perusahaan swasta. Loh!
Rupiah anjlok dan dolar melambung tinggi. Padahal janjinya diangka 10 ribu rupiah. Das sain gak sesuai das sollen. Ekspektasi tak seindah kenyataan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdas dan bertanggung jawab dalam menyikapi. Tidak boleh diam, apalagi berlagak lupa.
Masalah bangsa ada yang predictable, mudah diprediksi, tapi banyak yang unpredictable, tak bisa diprediksi. Karena itu, butuh pemimpin yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pemimpin adalah eksepsional person. Manusia yang berbeda.
Debat capres-cawapres yang selama ini berlaku yaitu mendayagunakan para panelis untuk membongkar isi otak capres-cawapres itu sangat bagus.
Para panelis mengajukan berbagai pertanyaan terkait dengan kondisi bangsa, dan menguji sejauhmana para calon pemimpin bangsa ini mengerti dan menguasai problem bangsa yang akan dipimpinnya. Lalu memberi solusi cepat dan tepat. Ini on the track. Dari sini rakyat bisa menilai kemampuan para calon pemimpin.
Anehnya, KPU mau mengubahnya. Rencananya, pertanyaan lebih dulu dikirim ke capres-cawapres. Ini jadi kesempatan bagi capres-cawapres untuk menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu ke timses. Jawabannya tinggal dihafal dan disampaikan saat debat.
Kalau begitu, lalu apa gunanya nyapres dan nyawapres kalau untuk menjawab pertanyaan saja harus menghafal dari timsesnya? Ini modus menghindar. Jangan sampai bilang: saya mau ngetes para timses saya. Silahkan timses anu…. Lah pripun toh mas…
Keputusan KPU tentang pembatalan penyampaian visi-misi dan mengirim pertanyaan ke Paslon sebelum jadual debat, ini sangat berbahaya. Pertama, akan melahirkan pemimpin yang boleh jadi tak paham dengan visi dan misinya. Karena, tanggung jawabnya diserahkan kepada timses. Kedua, akan lahir pemimpin yang tidak siap dengan masalah. Ketiga, membuat pemimpin akan kehilangan legitimasi dari rakyatnya.
Dugaan publik terus tumbuh bahwa KPU tidak sedang menjadikan demokrasi sebagai ikhtiar untuk melahirkan kepemimpinan yang berkualitas, tapi KPU ada untuk melayani paslon tertentu.
Jika kecurigaan ini menguat, legitimasi KPU makin lemah dan Pemilu terancam. Rakyat akan berpikir, untuk apa pemilu diselenggarakan jika KPU tak netral? *****
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
….. KEIKUTSERTAAN KH. Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019 pada awalnya diharapkan bisa meneduhkan dinamika perpolitikan, yang sejak jauh hari memang sudah menunjukkan tensi tinggi. Kiai Ma’ruf diharapkan bisa menjadi contoh bagaimana berpolitik secara islami, pancasilais, yang intinya politik yang beretika dan berkeadaban.
Harapan itu dianggap tepat mengingat posisinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sehingga dia dinilai paling paham bagaimana menerapkan nilai-nilai Islam dan Pancasila dalam kehidupan termasuk dalam politik.
Misalnya materi kampanye yang benar dan disampaikan dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan. Kalau pun menyanggah lawan, juga dengan cara-cara yang baik dan elegan. Seperti digariskan dalam Alquran. Pancasila juga menjunjung tinggi nilai-nilai seperti itu.
Dengan demikian, tidak ada caci maki, sumpah serapah, fitnah, dusta, provokatif, dan kebohongan di ruang publik. Suara yang terdengar pun akhirnya hanya voice yang penuh makna, bukan sound apalagi noise yang berisik dan hanya mengundang keributan. Pilpres pada akhirnya benar-benar menjadi tempat adu gagasan, menawarkan yang terbaik kepada rakyat sebagai pemilih.
Namun sayang, Kiai Ma’ruf tampaknya masih jauh dari nilai-nilai ideal tersebut. Gaya komunikasinya malah ketus, nyinyir. Kiai Maruf juga tidak tampil sebagaimana kebanyakan ulama NU yang selalu guyon, humor, dan penuh canda, sesuatu yang diharapkan agar pelaksanaan Pilpres 2019 ini bisa berlangsung riang, gembira, dan penuh rasa persaudaraan.
Kiai Ma’ruf kerap pula asal klaim seperti politisi kebanyakan, tidak peduli benar atau tidak, demi menonjolkan dirinya dan pasangannya hanya untuk mendongkrak elektabilitas. Misalnya mengklaim sebagai penggerak aksi besar umat Islam 212 dan menyebut Jokowi yang membawa zikir ke Istana.
Untuk yang terakhir ini, tidak usah jauh-jauh menelisik ke belakang untuk menegasikan klaimnya. Cukup masa SBY saja. Karena ketika itu, Istana juga selalu menggelar acara zikir. Apalagi dia mempunyai Majelis Zikir SBY Nurussalam. Jangan-jangan Kiai Maruf punya andil dalam pelaksanaan zikir masa SBY. Mengingat Kiai Maruf merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang keagamaan. Bahkan jabatan tersebut ia emban dalam dua periode Pemerintahan SBY.
Belum lagi isu-isu lainnya. Seperti mobil Esemka yang ia sebut akan diluncurkan pada bulan Oktober, yang nyatanya tidak ada. Dan yang membuat umat semakin mempertanyakan adalah sikapnya yang berubah terhadap fatwa atau kebijakannya sebelumnya selaku Ketua Umum MUI.
Kita sebut dua contoh saja. Pertama, soal ucapan Natal. Meski memang tidak ada fatwa MUI yang mengharamkan ucapan selamat Natal, tapi Kiai Ma’ruf secara pribadi mengimbau umat Islam untuk tidak mengucapkannya. Tapi sekarang, malah dia sendiri yang menabrak imbauannya tersebut.
Kedua, dan ini yang terbaru, adalah soal pengakuannya yang menyesal telah memiliki andil dalam menjebloskan Basuki T. Purnama ke penjara terkait kasus penistaan agama. Bahkan dia mengaku terpaksa untuk hadir sebagai saksi dalam persidangan. Itu artinya pula, Kiai Ma’ruf menyesal dan merasa terpaksa mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI terkait kasus Ahok.
Apa yang dilakukan Kiai Ma’ruf tersebut, termasuk soal Natal, sulit untuk tidak mengatakan, bahwa itu bermotif politik. Dia ingin merebut hati para Ahoker, yang sebelumnya memang menunjukkan resisten kepadanya. Apalagi sebelumnya disebutkan pada Januari ini Kiai Ma’ruf akan membuat kejutan. Kejutan ini sebagai jawaban atas penilaian bahwa Kiai Ma’ruf belum memberikan insentif elektoral kepada Jokowi. Bahkan keberadaan Kiai Ma’ruf justru menjadi beban, yang menggembosi elektabilitas sang petahana. Karena itu, boleh jadi pengakuan penyesalan tersebut sebagai kejutan pembuka di awal Januari.
Publik dan terutama umat Islam tentu sangat menyangkan sikap Kiai Ma’ruf tersebut. Karena bukan tidak mungkin pula, akan banyak fatwa atau kebijakan Kiai Ma’ruf sebelumnya yang dianulir atau dikoreksi demi mengejar kekuasaan. Salah satu Fatwa MUI yang akan jadi korban boleh jadi adalah fatwa haram atau tidak boleh memilih pemimpin yang ingkar janji.
Padahal Buya HAMKA sudah memberi contoh, bagaimana mempertahankan sebuah fatwa. Dia bahkan rela mundur sebagai Ketua MUI ketika diminta Pemerintah untuk mencabut sebuah fatwa. Karena ulama, kata Buya HAMKA, tidak dapat dibeli. Sebab sudah lama sudah lama terjual. Pembelinya adalah Allah, sebagaimana disebutkan dalam Alquran.
Tidak Mengejutkan
Berbagai kontroversi yang mengikuti perjalanan Kiai Ma’ruf sejak ditetapkan sebagai cawapres sebenarnya tidak mengejutkan. Manuvernya jelang detik-detik Jokowi mengumumkan siapa yang akan mendampinginya menjadi penunjuk yang jelas. Manuver Kiai Ma’ruf bahkan dengan terang benderang dibongkar oleh Mahfud MD, orang yang sedianya akan menjadi cawapres Jokowi. Salah satu manuvernya adalah lewat ancaman NU akan meninggalkan Jokowi kalau bukan kader NU yang jadi cawapres.
Belum lagi kalau membaca tulisan Buya Syafii Maarif Drama Mahfud MD dan Peta Politik Nasional di media nasional. Seiring menguatnya nama Mahfud MD, tulisnya ketika itu, beberapa anggota BPIP juga ikut bergerak dan mengutus seorang anggota untuk menemui tokoh berpengaruh di negeri ini agar mempertimbangkan nama Mahfud.
Namun pada akhirnya, Mahfud MD tersingkir secara tragis. Yang menggantikannya adalah sesama anggota BPIP seperti Mahfud MD dan Buya Syafii. Yaitu KH Maruf Amin.
Dari luar, publik hanya bergumam bahwa di kalangan para tokoh bangsa ternyata juga terjadi intrik, manuver, penelikungan, bahkan mungkin juga pengkhianatan.
Karena itulah tampaknya, harapan publik agar Kiai Ma’ruf bisa menjadi teladan mulai kandas. Karena ternyata Kiai Ma’ruf tidak ada bedanya dengan politikus kebanyakan. Bahkan, malah tidak sedikit yang menilai, Kiai Ma’ruf sejatinya adalah seorang politikus. Karena dia punya pengalaman panjang juga di partai politik sebelumnya bahkan sejak Orde Baru. Malah sempat juga berkonflik di sebuah partai, yang membuatnya keluar dan kemudian mendirikan partai baru.
Apalagi Kiai Ma’ruf Amin tidak memberikan contoh dengan mundur dari semua jabatan publik begitu ditetapkan sebagai cawapres. Karena dia masih menjadi Ketua Umum MUI, tetap menjadi anggota BPIP dan termasuk masih menjabat di OJK serta sejumlah Bank Syariah.
Malah Sandiaga Uno layak menjadi teladan. Meski bisa cuti, tapi dia memilih mundur sebagai Wagub DKI karena maju di Pilpres. Demikian juga Dahnil Anzar Simanjuntak. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu menanggalkan status PNS begitu ditunjuk sebagai Koordinator Jubir Prabowo-Sandi. Gaya komunikasi keduanya, yang santun, tertata, fokus pada gagasan dan perang ide, pantas juga untuk dicontoh para politisi.
Tapi apapun itu, rakyat berharap, semua calon dan tim sukses untuk menampilkan gaya politik yang elegan. Terutama Kiai Ma’ruf agar marwah ulama tetap terjaga di mata umat dan rakyat pada umumnya.*****
Zulhidayat Siregar
….. SAYA sengaja tak membuat catatan akhir tahun. Banyak yang sudah melakukan, sambil berharap tahun 2019 ini lebih baik. Profesi sebagai wartawan yang bertahun-tahun saya geluti juga berubah lebih baik.
Sayang harapan itu menjadi sirna. Hari terakhir di tahun 2018 diawali dengan status nyinyir wartawan super senior Goenawan Mohammad yang selama ini cukup saya hormati. Melalui akun twitternya @gm_gm menyerang capres Prabowo.
GM adalah tipikal wartawan sekaligus sastrawan partisan yang kelasnya sudah jatuh ke titik nadir, sekelas buzzer bayaran. Sangat disayangkan.
Saya yakin banyak orang seperti saya yang dulu mengidolakan GM. Saya tak pernah absen mengikuti catatan pinggirnya. Sebuah tulisan berupa perenungan berbagai hal tentang aspek kehidupan. Tulisan yang hanya bisa dihasilkan seorang empu yang berdiri lebih tinggi di atas birahi kuasa, dan dunia.
Sekarang kekaguman itu, terpaksa harus saya tarik ulang. Saya harus membuat catatan kaki. Banyak catatan kaki atas perilaku Mas GM. Saya tak mau terjebak pada isu-isu kehidupan pribadinya yang banyak miringnya. Biarlah itu urusan dirinya dengan keluarga dan Tuhannya.
Saya mengamati sejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan sekarang menjelang Pilpres 2019, GM adalah Jokower dan Ahoker kelas berat. Die hard. Sayang dukungannya itu tidak dilakukan melalui tulisan-tulisan mendalam yang menjadi keahliannya. Dia terjebak dalam wacana nyinyir media sosial. Kelasnya sekarang sama dengan Denny JA yang rajin menyebar meme dungu.
Wajar banyak yang curiga, dukungan itu dilakukan atas motif kuasa, bahkan imbalan harta. Sejumlah media mengabarkan atas nama Kongres Kebudayaan, GM baru saja mendapat bantuan dari Presiden Jokowi sebesar Rp 5 triliun untuk para seniman.
Wartawan, ulama dan seniman yang baik itu punya standar perilaku hidup yang sama. Mereka adalah manusia merdeka, yang hidupnya harus berjarak dari kekuasaan.
Dalam Islam sampai diajarkan : “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama.”
Begitu pula dengan seniman. Mereka adalah manusia-manusia merdeka, bebas terbang di angkasa. Mereka mengamati dari kejauhan perilaku para penguasa dengan waspada. Seniman besar si “burung merak” WS Rendra sepanjang hidupnya, tetap menjaga sikap kritisnya terhadap penguasa. Dia tak pernah tergoda oleh kursi dan kuasa.
Wartawan, demikian pula adanya. Dia harus berjarak dari penguasa. Saya sepakat dengan wartawan senior Hersubeno Arief yang menyebut laku hidup seorang wartawan itu seperti ulama dan para pemuka agama. Laku asketis, menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Mantan aktivis mahasiswa dari ITB DR Syahganda Nainggolan menyebut mereka “orang-orang merdeka.”
Dulu ketika baru menjadi wartawan, kami diberi indoktrinasi. “Tidak boleh terlalu jauh, dan tidak boleh terlalu dekat dengan nara sumber, utamanya dengan para pejabat.” Terlalu jauh, tidak akan pernah mendapat informasi dan berita. Terlalu dekat, bisa mengaburkan obyektivitas.
Saking hati-hatinya, secara berkala dilakukan rotasi terhadap watawan yang nge-pos di satu departemen atau instansi pemerintah. Tujuannya supaya tetap bisa menjaga jarak, obyektif.
Mereka yang terlalu lama nge-pos di satu tempat dikhawatirkan akan kehilangan obyektivitasnya. Hubungan yang baik dengan seorang penguasa, akan membuat nalurinya sebagai seorang jurnalis yang kritis, tumpul. Mereka akan berubah dari seorang wartawan menjadi seorang petugas humas.
Semua batasan dan sikap ideal itu saat ini seakan menguap di luar angkasa. Sepanjang tahun 2018 kita menyaksikan ulama, seniman, wartawan berlomba-lomba mendekati kekuasaan. Berebut saling sikut untuk masuk dalam kekuasaan. Yang tidak bisa masuk, yang penting dekat dan bisa menikmati berkah dari kuasa.
Boleh Memihak
Bukan berarti wartawan tidak boleh memihak. Wartawan bahkan harus memihak. Dia harus berpihak kepada kepentingan publik. Berpihak kepada tegaknya keadilan. Dia harus melakukan advokasi ketika penguasa menginjak-injak kepentingan publik.
Dalam konteks politik dan pilpres, media juga boleh berpihak. Selama motifnya bukan ekonomi dan kuasa. Praktik semacam ini sudah biasa di Amerika Serikat. Pada Pilpres 2016 sejumlah media secara terbuka berkampanye menentang Trump.
Pada bukan Agustus 2018 sejumlah media di AS bersatu melakukan kampanye menentang Trump. Kampanye yang dipimpin oleh Harian Boston Globe itu diikuti sejumlah media, termasuk Harian The New York Times. Mereka menyabut aksi tersebut sebagai perang kotor terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintahan Trump.
Pada Pilpres 2014 Harian Jakarta Post secara terbuka mendukung Jokowi melawan Prabowo. Dalam artikel berjudul Endorsing Jokowi yang dimuat dalam edisi Jumat, 4 Juli 2014 menyebut pilihannya karena menentang penyalagunaan kekuasaan dan hak asasi.
Kita tunggu apakah Jakarta Post akan mengambil sikap yang sama sekarang ini. Para pengamat asing secara tegas menyebut rezim Jokowi adalah Neo Orba, otoriter dan anti demokrasi. Seharusnya Jakarta Post berani menyatakan kembali sikapnya yang memasang pertaruhan tinggi, tidak ada netralitas terhadap Jokowi.
Sikap ini harus terus dijaga pada Pilpres 2019 apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya. Andai saja Prabowo yang menang dan terpilih sebagai presiden, maka media harus bersikap sama. Mereka juga harus tetap kritis dan berani berpihak kepada kebenaran.
Media adalah salah satu fitur utama demokrasi. Salah satu pilar penting yang harus kita jaga tegak dan berdirinya. Tanpa media yang bersikap independen dan berjarak dari penguasa, tidak ada demokrasi. *****
Djadjang Nurjaman
Pemerhati Media dan Ruang Publik
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro