..... SAYA sengaja tak membuat catatan akhir tahun. Banyak yang sudah melakukan, sambil berharap tahun 2019 ini lebih baik. Profesi sebagai wartawan yang bertahun-tahun saya geluti juga berubah lebih baik.
Sayang harapan itu menjadi sirna. Hari terakhir di tahun 2018 diawali dengan status nyinyir wartawan super senior Goenawan Mohammad yang selama ini cukup saya hormati. Melalui akun twitternya @gm_gm menyerang capres Prabowo.
GM adalah tipikal wartawan sekaligus sastrawan partisan yang kelasnya sudah jatuh ke titik nadir, sekelas buzzer bayaran. Sangat disayangkan.
Saya yakin banyak orang seperti saya yang dulu mengidolakan GM. Saya tak pernah absen mengikuti catatan pinggirnya. Sebuah tulisan berupa perenungan berbagai hal tentang aspek kehidupan. Tulisan yang hanya bisa dihasilkan seorang empu yang berdiri lebih tinggi di atas birahi kuasa, dan dunia.
Sekarang kekaguman itu, terpaksa harus saya tarik ulang. Saya harus membuat catatan kaki. Banyak catatan kaki atas perilaku Mas GM. Saya tak mau terjebak pada isu-isu kehidupan pribadinya yang banyak miringnya. Biarlah itu urusan dirinya dengan keluarga dan Tuhannya.
Saya mengamati sejak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan sekarang menjelang Pilpres 2019, GM adalah Jokower dan Ahoker kelas berat. Die hard. Sayang dukungannya itu tidak dilakukan melalui tulisan-tulisan mendalam yang menjadi keahliannya. Dia terjebak dalam wacana nyinyir media sosial. Kelasnya sekarang sama dengan Denny JA yang rajin menyebar meme dungu.
Wajar banyak yang curiga, dukungan itu dilakukan atas motif kuasa, bahkan imbalan harta. Sejumlah media mengabarkan atas nama Kongres Kebudayaan, GM baru saja mendapat bantuan dari Presiden Jokowi sebesar Rp 5 triliun untuk para seniman.
Wartawan, ulama dan seniman yang baik itu punya standar perilaku hidup yang sama. Mereka adalah manusia merdeka, yang hidupnya harus berjarak dari kekuasaan.
Dalam Islam sampai diajarkan : “Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama.”
Begitu pula dengan seniman. Mereka adalah manusia-manusia merdeka, bebas terbang di angkasa. Mereka mengamati dari kejauhan perilaku para penguasa dengan waspada. Seniman besar si “burung merak” WS Rendra sepanjang hidupnya, tetap menjaga sikap kritisnya terhadap penguasa. Dia tak pernah tergoda oleh kursi dan kuasa.
Wartawan, demikian pula adanya. Dia harus berjarak dari penguasa. Saya sepakat dengan wartawan senior Hersubeno Arief yang menyebut laku hidup seorang wartawan itu seperti ulama dan para pemuka agama. Laku asketis, menjauhkan diri dari kehidupan dunia. Mantan aktivis mahasiswa dari ITB DR Syahganda Nainggolan menyebut mereka “orang-orang merdeka.”
Dulu ketika baru menjadi wartawan, kami diberi indoktrinasi. “Tidak boleh terlalu jauh, dan tidak boleh terlalu dekat dengan nara sumber, utamanya dengan para pejabat.” Terlalu jauh, tidak akan pernah mendapat informasi dan berita. Terlalu dekat, bisa mengaburkan obyektivitas.
Saking hati-hatinya, secara berkala dilakukan rotasi terhadap watawan yang nge-pos di satu departemen atau instansi pemerintah. Tujuannya supaya tetap bisa menjaga jarak, obyektif.
Mereka yang terlalu lama nge-pos di satu tempat dikhawatirkan akan kehilangan obyektivitasnya. Hubungan yang baik dengan seorang penguasa, akan membuat nalurinya sebagai seorang jurnalis yang kritis, tumpul. Mereka akan berubah dari seorang wartawan menjadi seorang petugas humas.
Semua batasan dan sikap ideal itu saat ini seakan menguap di luar angkasa. Sepanjang tahun 2018 kita menyaksikan ulama, seniman, wartawan berlomba-lomba mendekati kekuasaan. Berebut saling sikut untuk masuk dalam kekuasaan. Yang tidak bisa masuk, yang penting dekat dan bisa menikmati berkah dari kuasa.
Boleh Memihak
Bukan berarti wartawan tidak boleh memihak. Wartawan bahkan harus memihak. Dia harus berpihak kepada kepentingan publik. Berpihak kepada tegaknya keadilan. Dia harus melakukan advokasi ketika penguasa menginjak-injak kepentingan publik.
Dalam konteks politik dan pilpres, media juga boleh berpihak. Selama motifnya bukan ekonomi dan kuasa. Praktik semacam ini sudah biasa di Amerika Serikat. Pada Pilpres 2016 sejumlah media secara terbuka berkampanye menentang Trump.
Pada bukan Agustus 2018 sejumlah media di AS bersatu melakukan kampanye menentang Trump. Kampanye yang dipimpin oleh Harian Boston Globe itu diikuti sejumlah media, termasuk Harian The New York Times. Mereka menyabut aksi tersebut sebagai perang kotor terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintahan Trump.
Pada Pilpres 2014 Harian Jakarta Post secara terbuka mendukung Jokowi melawan Prabowo. Dalam artikel berjudul Endorsing Jokowi yang dimuat dalam edisi Jumat, 4 Juli 2014 menyebut pilihannya karena menentang penyalagunaan kekuasaan dan hak asasi.
Kita tunggu apakah Jakarta Post akan mengambil sikap yang sama sekarang ini. Para pengamat asing secara tegas menyebut rezim Jokowi adalah Neo Orba, otoriter dan anti demokrasi. Seharusnya Jakarta Post berani menyatakan kembali sikapnya yang memasang pertaruhan tinggi, tidak ada netralitas terhadap Jokowi.
Sikap ini harus terus dijaga pada Pilpres 2019 apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya. Andai saja Prabowo yang menang dan terpilih sebagai presiden, maka media harus bersikap sama. Mereka juga harus tetap kritis dan berani berpihak kepada kebenaran.
Media adalah salah satu fitur utama demokrasi. Salah satu pilar penting yang harus kita jaga tegak dan berdirinya. Tanpa media yang bersikap independen dan berjarak dari penguasa, tidak ada demokrasi. *****
Djadjang Nurjaman
Pemerhati Media dan Ruang Publik
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro