WABAH Covid-19 sudah membuka mata kita bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia ternyata memiliki sejumlah kekurangan yang sifatnya struktural. Kita kekurangan sumber daya manusia (SDM) di bidang medis, kekurangan rumah sakit, kekurangan kepercayaan satu sama lain, kekurangan kordinasi antarlembaga, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kesemuanya membentuk suatu persoalan struktural. Artinya, masalah-masalah itu sudah terbentuk dan sangat sulit dan rumit diselesaikan, bukan hanya di pemerintahan saat ini, melainkan juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Kekurangan tersebut yang membuat opsi kebijakan publik yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Misal, pemerintah tidak bisa melakukan tes Covid-19 kepada penduduk secara massal karena jumlah alat yang terbatas dan mahal, terbatasnya tenaga kesehatan yang memeriksa, terbatasnya laboratorium pemeriksaan, dan sebagainya.
Selain itu, juga ditemukan bahwa alat pengetes virus Covid-19 tidak berhasil 100% mendeteksi seseorang. Seperti orang yang tersesat di dalam hutan, maka tanpa ada bukti petunjuk yang kuat, negara tetap harus memilih keputusan mana yang dampak terburuknya lebih kecil.
Negara dipaksa untuk memilih keputusan apa yang lebih membuat jatuhnya korban relatif lebih sedikit. Korban sudah pasti ada, tetapi jumlah korbannya yang dibandingkan.
Situasi itu yang mungkin terjadi ketika pemerintah akhirnya mengumumkan relaksasi PSBB. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo, Senin lalu, mengatakan bahwa pemerintah akan mengizinkan penduduk usia di bawah 45 tahun untuk bergerak secara terbatas. Pengenduran ini terutama untuk memfasilitasi roda perekonomian terus berjalan, dan agar masyarakat tidak jatuh dalam kemiskinan.
Walaupun keputusannya didukung oleh analisis epidemologis, dalam praktiknya, pengumuman ini juga memberi pesan bagi semua umur di atas 45 tahun untuk juga ikut bergerak. Siapa di lapangan yang akan mengecek satu per satu, misalnya para penumpang di gerbong kereta api, yang akan ke Jakarta? Kita sama sama mengetahui sumber daya kita sangat terbatas.
Kebijakan relaksasi PSBB bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain yang sudah lebih dulu melakukan PSBB bahkan lockdown. Materi pemaparan Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi Luhut B Pandjaitan tentang ekonomi Indonesia setelah Covid-19, mengutip beberapa negara yang melakukan pengenduran PSBB di negara-negaranya masing-masing.
Mulai Austria hingga Italia. Setiap negara berbeda dalam hal sejauh mana relaksasi dilakukan.
Di negara-negara tersebut juga timbul kontroversi. Ada yang setuju, ada yang tidak. Sama seperti ahli epidemologi di seluruh dunia. Tidak semuanya setuju dan tidak semuanya menolak. Yang pasti, keputusan tetap ada di tangan pemerintah yang berkuasa.
Di Jerman, Kanselir Angela Markel telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan melakukan relaksasi. Mereka membuka kembali sekolah-sekolah, seluruh pusat perbelanjaan tidak dilarang.
Dan yang paling penting buat masyarakat Jerman, Bundesliga, kembali digulirkan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di sebagian besar negara-negara Eropa. Bahkan termasuk Italia yang memiliki korban meninggal terbanyak di Eropa, kedua setelah Inggris.
Kebijakan relaksasi sudah pasti akan menghasilkan peningkatan jumlah orang yang terinfeksi. Namun, saat ini yang ada dalam pikiran pemerintah di hampir seluruh dunia adalah memilih apakah warganya nanti akan mati karena terinfeksi atau mati karena matinya ekonomi.
Kita juga sulit membandingkan apakah keputusan relaksasi yang diambil oleh sebuah pemerintahan di sebuah negara itu benar atau tidak, tanpa kita memahami informasi apa yang ada di tangah pemerintah.
Kita harus ingat bahwa krisis adalah sebuah situasi di mana masalah yang terbesar adalah ketidakpastian. Dalam ketidakpastian maka tidak ada teori atau ramalan yang dapat dipegang.
Apabila sebuah masalah dapat dipastikan solusi atau jalan keluarnya maka masalah itu bukan disebut krisis. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang mempercepat pulihnya sebuah negara dalam melewati krisis adalah faktor kepercayaan.
Hal ini yang diakui oleh dunia tentang penyelesaian Covid-19 di Korea Selatan. Bukan karena Korea tidak melakukan lockdown, melainkan karena sebagian besar penduduknya mematuhi, (tentu ada juga warga yang membandel) keputusan pemerintah.
Kepercayaan penduduk yang tinggi kepada pemerintah juga terjadi di Selandia Baru yang melakukan lockdown. Demikian pula di Swedia, walaupun jumlah kematiannya tinggi, penduduk di sana tetap percaya kepada keputusan pemerintah yang sejak awal hanya mengimbau jaga jarak fisik dan sosial.
Kepercayaan terhadap pemerintah ini yang masih dipertanyakan di Indonesia. Apakah warga Indonesia sepenuhnya percaya kepada pemerintah atau tidak?
Kita coba singkirkan dulu, kasus China atau Vietnam, sebagai perbandingan karena di kedua negara itu, warganya wajib percaya kepada pemerintah karena bila tidak maka sanksinya adalah penjara.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19?)
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.
Karena virus ini dapat bermutasi dengan cepat dan menyerang sebagai gelombang kedua, atau gelombang ketiga. Apabila kita tidak menumbuhkan kepercayaan satu sama lain sejak sekarang, mungkinkah kita menghadapi serangan virus baru nantinya?*****
Sindir menyindir bahkan saling nyinyir seolah semakin menjadi hal lumrah bagi masyarakat Indonesia. Namun, yang membuat kita sangat prihatin, fenomena ini juga menjangkiti para pejabat di tengah penanganan pandemi Covid-19 yang masih menjadi misteri kapan bisa benar-benar berhenti.
Yang terkini, rakyat dipertontonkan dengan sindir menyindir antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan para pejabat pusat, baik terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga bantuan sosial. Sindiran Anies ini bahkan tak hanya terdengar di ranah nasional.
Kritik Anies terhadap kebijakan pusat yang diungkapkan secara blak-blakan kepada media Australia, yakni The Sidney Morning Heralddan The Age semakinmembuat sorotan itu nyaring hingga pentas global. Tak kali ini saja Anies terlibat polemik tajam dengan pejabat pusat.
Dan, di tengah polemik-polemik itu yang justru kita lihat banyak turut campur tangan adalah lagi-lagi elite. Sementara rakyat seolah adem ayemsaja menonton polah mereka.
Sejatinya, tak hanya Anies yang terlibat adu sindir di tengah perjuangan sekaligus kejengahan pejabat menangani Covid ini. Akhir pekan lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga terlibat adu argumen keras dengan Sekda Blora Komang Gede Irawadi.
Ganjar bahkan membuat video khusus yang meminta Komang lebih baik mundur karena dianggap tak memiliki data valid perantau berikut pola penanganannya.
Kekisruhan dan saling nyinyir juga kentara terlihat adanya perbedaan cara penanganan Covid antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Bahkan, antarbupati pun saling serang, seperti dilakukan Bupati Lumajang Thoriqul Haq dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar.
Di luar pejabat-pejabat itu tentu sebenarnya masih banyak ketegangan yang membuat kita semakin miris dan prihatin. Miris lantaran di tengah beban berat penanganan dan dampak luas Covid yang dihadapi rakyat, para pejabat justru saling silang pendapat.
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan adalah hal yang niscaya untuk membangun kesadaran serta tujuan hidup bersama. Namun, penggunaan ruang publik dalam penyampaian pandangan itu tampak tak elok. Apalagi, jika pandangan itu ditumpangi dengan kepentingan politik pribadi, tentu membuat pandangan tak murni.
Apakah pandangan-pandangan para pejabat itu nihil dari kepentingan politik? Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, rasa-rasanya, sebagai pemimpin politik, mereka sulit untuk lepas dari kepentingan praktis itu. Tidak sulit untuk menganalisis bahwa selalu ada kepentingan atau target politik bagi mereka.
Kepala daerah A misalnya mengkritik keras kebijakan menteri. Lantas kepala daerah B tiba-tiba meng-counter dengan berbagai dalih. Kepala daerah B berani melakukan itu karena garis politiknya sejalan dengan sang menteri.
Tanpa perlu dianalisis secara mendalam, publik sebenarnya sudah paham dengan cara-cara pejabat saat ini yang banyak memanfaatkan kekuatan narasi ini itu demi kebutuhan kepentingan politiknya. Di tengah tingginya kesadaran politik masyarakat itu maka perang narasi, adu sindir, atau nyinyir jelas langkah yang tidak produktif.
Sebagai pejabat atau kepala daerah, tentu ada saluran penyampaian pandangan yang telah dibuat karena jenjang birokrasi di Indonesia juga jelas. Kalaupun birokrasi itu mampat, selayaknya jangan cepat-cepat diumbar ke publik. Cara-cara pejabat berkomunikasi ini tentu membuat kita prihatin.
Selain tidak mampu memberikan contoh yang baik kepada rakyat, hal itu juga rawan meruntuhkan kewibawaan mereka.
Jika fenomena ini terus terjadi, rakyat bisa jadi akan kian muak dengan perilaku politisi atau pejabat kita. Pada tahap tertentu, rakyat akan menjadi apolitis dan enggan terlibat aktif dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Saatnya pejabat untuk sadar, tak asal berpikir bisa viral.*****
Imbas pandemi virus korona (Covid-19) di Tanah Air semakin terasa. Selain semakin banyak jumlah orang yang terinfeksi virus asal China tersebut, dampak terhadap perekonomian juga tak kalah hebat.
Ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 yang hanya sebesar 2,97%, jauh di bawah perkiraan pemerintah sebelumnya di kisaran 4,5%.
Beberapa faktor yang menyebabkan anjloknya angka pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah turunnya konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada periode Januari-Maret 2020 hanya tumbuh 2,84%. Padahal sebagai perbandingan pada periode sama tahun sebelumnya sektor ini mampu tumbuh 5,02%.
Kondisi ini menjadi pukulan telak karena selama ini sektor konsumsi menjadi andalan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian dengan kontribusi sekitar 56% total produk domestik bruto (PDB) nasional.
Penurunan belanja rumah tangga ini tidak lain sebagai dampak Covid-19 yang menyebabkan banyak orang lebih menunda melakukan pembelian. Prioritas masyarakat kini lebih utama pada pemenuhan barang kebutuhan pokok, seperti makanan, minuman, dan kesehatan.
Covid-19 juga menyebabkan banyak sektor informal terpaksa tidak beroperasi karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, tidak sedikit pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, hingga awal Mei ini sedikitnya 2,7 juta orang kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari jumlah tesebut, 1,2 juta orang sedang dalam proses validasi data.
Banyaknya sektor usaha informal yang tutup dan angka PHK mencapai jutaan orang itu berpotensi menyebabkan bertambahnya jumlah masyarakat miskin baru di Tanah Air.
Hal ini disampaikan langsung Menteri Sosial Juliari P Batubara dan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Di sela-sela rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jumat (8/5) lalu, Juliari menyebutkan, ada potensi penambahan angka kemiskinan menjadi 12% dari posisi saat ini 9,22%.
Penambahan jumlah warga miskin ini diakuinya akan berimplikasi pada bertambanhnya jumlah penerima bantuan sosial (bansos) sebagai jaring pengaman di kala krisis akibat Covid-19.
Penambahan angka kemiskinan ke kisaran 12% ini sudah barang tentu akan membuat skema penerimaan bansos kembali berubah. Pasalnya, dalam Perppu No 1/2020 yang telah disahkan DPR, alokasi untuk dana jarring pengaman sosial telah ditetapkan Rp110 triliun belum memperhitungkan angka kemiskinan baru tersebut.
Sekadar diketahui, berdasarkan data BPS, pada September 2019 lalu, angka kemiskinan sebesar 9,22% setara dengan 24,79 juta jiwa. Bisa dibayangkan, ada jutaan jiwa lagi yang harus kembali didata ulang agar masuk kategori penerima bansos dan sejenisnya.
Angka kemiskinan pada September tahun lalu merupakan terendah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai pembanding, pada 2014 ketika Jokowi dilantik menjadi presiden untuk periode pertama, angka kemisninan di Indonesia berada di level 10,96% atau setara dengan 27,73 juta jiwa.
Dengan kondisi seperti saat ini, pekerjaan rumah pemerintah pun diyakini bertambah berat. Terlebih pada beberapa waktu lalu, Jokowi ingin angka kemiskinan bisa terus ditekan hingga seminimal mungkin hingga 0% yang rasanya mustahil.
Kembali ke soal pendataan. Pekerjaan inilah harus menjadi perhatian serius instansi terkait. Maklum, keakuratan data di negeri ini kerap menjadi sumber masalah.
Lihat saja pembagian bansos di beberapa daerah yang dilaporkan kisruh karena banyak warga yang seharusnya mendapat bantuan justru terabaikan. Begitupun sebaliknya, ada warga yang mampu malah mendapat bantuan.
Menteri Muhadjir menegaskan, verifikasi data masyarakat miskin yang disebutknya ‘miskin kagetan’ itu masih terus dilakukan. Dia memastikan data tersebut dihimpun dari bawah melalui RT/RW untuk kemudian diolah menjadi bagian dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Data itu selanjutnya diserahkan ke kabupaten/kota dan dikirim ke Kementerian Sosial. Muhadjir juga menyatakan, sebagaimana arahan Presiden, kelompok miskin baru tersebut harus menjadi perhatian agar mendapat bansos. Harapannya, tentu saja data yang disampaikan benar-benar valid sehingga warga terdampak korona bisa terbantu untuk memenuhi kebutuhannya.*****
MENURUT Worldometer, korban Covid-19 di seluruh dunia yang dinyatakan positif sudah melampaui angka 2,5 juta jiwa. Orang yang meninggal mendekati angka 200.000, sementara yang sembuh melampaui 700.000. Namun, orang yakin banyak korban lain yang belum tercatat dan dilaporkan.
Meski relatif kecil persentase korban Covid-19 dibanding seluruh jumlah penduduk bumi yang mendekati angka delapan miliar orang, dampak yang ditimbulkan secara psikologis, ekonomis, serta politis amat sangat besar. Membuat dunia guncang dan oleng.
Ongkos yang dikeluarkan negara sangat tinggi, sementara kegiatan ekonomi terhenti sehingga pertumbuhan ekonomi dunia mandek, bahkan menurun.
Maka praktis per tumbuhanekonomi meng alami kontraksidan potensial mengarah padakebangkrutan kalau pandemi iniber ke lan jutan. Angka pengangguran tiba-tiba membengkak dengan sekian banyak implikasinya.
Sementara ini jumlah korban di Eropa dan Amerika lebih tinggi di banding negara-negara Pasifik, meskipun Covid-19 bermula dari Wuhan, China. Perbedaan ini telah mengundang berbagai analisis, faktor apa saja yang membuatnya berbeda, baik analisis dari sisi medis, sosiologis, politis, maupun ekonomis.
Hal yang tak kalah menarik diikuti adalah munculnya berbagai teori konspirasi, siapa aktor di balik pandemi ini? Adakah ini murni perilaku alam, atau bikinan manusia, atau kehendak Tuhan? Bermunculan juga prediksi wajah dunia pascacorona.
Diramalkan akan terjadi pergeseran kekuatan ekonomi dari Amerika beralih ke China. Lebih dari itu, sistem sosialisme dianggap lebih berhasil dibanding sistem kapitalisme liberalisme dalam melindungi warganya. Tentu ini merupakan spekulasi dini dan sesaat mengingat China juga belum tuntas memerangi Covid-19. Amerikapun masih bergulat mengatasinya. Pendeknya, peperangan belum usai.
Saat ini pakar-pakar kedokteran dan farmasi di seluruh dunia tengah berjuang melakukan riset untuk menemukan vaksin yang jitu guna menjinakkan virus corona. Kita tidak tahu persis, entah sampai kapan situasi galau dan porak-po -randa dunia ini berakhir. Bermula dari virus berukuran nanometer, turunan masalahnya berantai, memasuki berbagai dimensi kehidupan berskala global yang tak terduga sama sekali.
Kita hargai, Pemerintah Indonesia telah berupaya sekuat tenaga untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh Covid-19. Meskipun sebagian politisi dan tokoh-tokoh pengambil kebijakan publik terlihat gamang dan serba salah membuat keputusan. Diam salah, bicara pun belum tentu benar. Seperti bingung, mati langkah. Untunglah spontanitas masyarakat muncul ikut serta membantu warga yang kehilangan penghasilan dengan berbagi santunan sembako bagi mereka yang memang sangat memerlukan, terutama para pekerja harian yang saat ini menganggur.
Memang sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat bekerja sama memenangkan peperangan ini. Sebuah peperangan yang memerlukan senjata mental berupa sikap empati, peduli, ikhlas, dan cinta untuk menolong sesama dan menyelamatkan bangsa, khususnya oleh mereka yang hidupnya berkecukupan. Kita haru, sedih, dan salut mendengar berita banyak dokter dan tenaga medis yang telah gugur di medan perang menjadi syahid.
Memasuki bulan Ramadhan ini kita berharap turun mukjizat dari Tuhan untuk mengakhiri pandemi corona. Dalam suasana batin yang suci, sembari menjalankan ibadah puasa dan ibadah sunah Ramadhan lainnya, semoga doa orang-orang yang saleh didengar Tuhan. Kita yakin bahwa pandemi ini akibat ulah manusia yang tidak santun dan menghormati bumi tempat kita hidup, tidur, dan beraktivitas. Mungkin juga akibat kesalahan dan kejahatan manusia yang tak lagi memiliki nurani belas kasih.
Namun, di atas itu semua, kita meyakini kekuasaan dan kasih Tuhan mengatasi semua sebab-akibat yang terjadi di alam semesta ini. Kasih dan pertolongan Tuhan ini yang mesti dijemput di bulan suci Ramadhan ini. Atau, mungkin sekali ada agenda Tuhan di balik musibah ini, untuk memperingatkan manusia agar bertobat, menjalani hidup dengan cara yang baik, benar, dan sehat.
Mereka yang mengaku tidak beragama pun menyadari dan mengkritik bahwa pola dan gaya hidup masyarakat modern sudah melampaui batas kewajaran, merusak keseimbangan alam dan sosial. Sekelompok elite minoritas telah melakukan eksploitasi terhadap sesama manusia dan alam dalam waktu bersamaan. Ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran dasar keagamaan.
Jadi, melawan Covid-19 ini pendekatannya mesti melibatkan ilmu pengetahuan, kebijakan politik, solidaritas kemanusiaan, dan spiritualitas. Kita memohon pertolongan serta kasih sayang Tuhan mengendali semesta ini, semoga Ramadhan ini pandemi berakhir. Aamiin.*****
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
VIRUS korona telah melahirkan “virus” baru, yaitu PHK, pemutusan hubungan kerja. Virus ini lebih ditakuti masyarakat karena wujud dan dampaknya terlihat dan dirasakan langsung. Sekian banyak perusahaan telah meliburkan dan memberhentikan karyawannya. Ini terjadi di hampir di seluruh negara-negara dunia.
Saya pernah sengaja jalan-jalan melihat mal di Jakarta. Banyak pertokoan yang tutup. Hotel tak lagi kedatangan tamu. Restoran tak ada pengunjung. Warung-warung kecil pun ikut tutup. Melalui media sosial, kita juga memperoleh informasi serupa yang terjadi di berbagai kota.
Para karyawan itu dengan mendadak kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilannya. Mereka terlihat menangis, kebingungan. Para pengusaha pun khawatir sekali kalau pandemi ini melewati bulan Juni, daya tahan keuangannya tak sanggup lagi membiayai kegiatan operasionalnya. Alih-alih memberi tunjangan hari raya (THR).
Membengkaknya jumlah pengangguran ini jika berkelanjutan, dampaknya tak kalah bahayanya dari virus korona. Bagi mereka yang memiliki tabungan, tinggal di rumah masih bisa memenuhi hajat makan-minum setiap harinya.
Tetapi bagaimana halnya dengan keluarga pengangguran tanpa penghasilan? Makanya kondisi ini jika tidak diatasi bersama oleh pemerintah dan kekuatan rakyat secara bersama-sama akan menyimpan bom waktu yang suatu saat akan meledak. Ibarat api dalam sekam, meskipun di permukaan tidak terlihat besar, api di dalamnya akan cepat membara dan bisa membakar apa saja di sekitarnya.
Orang yang kelaparan dan tidak punya cadangan apa pun untuk dimakan bisa berbuat nekat di luar perkiraan siapa pun, bahkan oleh yang bersangkutan sekalipun. Bagi orang kaya yang sakit, saat ini tidak bisa lagi mengandalkan kekayaannya untuk membeli pelayanan khusus di rumah sakit. Rumah sakit serba-waswas takut melayani pasien yang datang.
Jangan-jangan tanpa diketahui membawa wabah Covid-19. Bagi pasien Covid-19 harus siap mental untuk terisolasi dari keluarga dan teman dekatnya. Dan isolasi itu merupakan penderitaan tersendiri bagi yang sakit maupun keluarganya yang tidak boleh mendekat.
Indonesia dengan penduduk 273 jiwa, tersebar ke ratusan pulau dengan kesenjangan tingkat ekonomi dan pendidikan yang tajam. Kondisi itu sungguh tidak mudah menciptakan kesejahteraan yang merata bagi warganya.
Ketika roda ekonomi oleng oleh hantaman Covid-19 yang mengakibatkan PHK, secara spontan angka kemiskinan dan pengangguran melonjak secara ekstrem. Kas negara tidak mampu memberi bantuan layanan tunai untuk warganya yang menganggur. Kondisi ini sangat berbeda dari negara kecil seperti Singapura, Arab Saudi atau Jepang.
Bahkan, pemerintah Indonesia mengakui untuk memberi THR bagi PNS pun, kondisinya saat ini berat. Belum lagi gaji PNS ke-13. Kalangan pengusaha juga demikian halnya, sudah menjerit tabungannya menipis untuk membayar gaji karyawan. Mereka ingin minta bantuan negara.
Tetapi saya pun ragu, meski perusahaan jatuh miskin, jangan-jangan kekayaan pribadi pemiliknya masih melimpah. Kata orang, tabungan pribadi orang-orang kaya Indonesia yang mangkal di luar negeri itu jumlahnya ekuivalen dengan APBN kita. Artinya, kalau mereka mau berbagi dana sosial atau bersedekah untuk menyantuni warga yang jatuh miskin dan menganggur karena PHK, kondisi sosial Indonesia bisa diselamatkan sampai wabah ini berlalu.
Kebutuhan primer setiap orang saat ini adalah hidup sehat, cukup makan, minum, istirahat, menghirup udara bersih dan segar. Lebih dari itu merupakan kemewahan yang mesti ditangguhkan. Bagi keluarga yang mampu masih beruntung di rumah langganan internet-Wi-Fi sehingga bisa menikmati film-film yang selama ini diabaikan. Anak-anak pun masih bisa mabar (main bareng) dengan teman-teman sekolahnya lewat gawai.
Namun, bagaimana dengan keluarga yang tidak mampu? Cukup menggembirakan masih banyak orang yang tergerak untuk berbagi rezeki pada mereka yang tiba-tiba jadi fakir miskin.
Semoga sikap filantropi ini akan berlanjut sampai wabah korona berlalu. Itulah jati diri masyarakat Indonesia, senang bergotong royong, sebelum dirusak oleh pengaruh negatif kapitalisme-individualisme liberal yang lebih memikirkan kesenangan diri sendiri.*****
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang sementara jamaah asing dan lokal untuk menjalankan ibadah umrah di situs-situs tersuci Islam di Makkah dan Madinah untuk mencegah penyebaran virus corona baru, COVID-19.
Di Arab Saudi sendiri hingga sampai saat ini (26/3/2020) tercatat ada 900 kasus atau orang yang terinfeksi dengan dua orang di antaranya meninggal dan 29 pasien disembuhkan.
Belum ada tanda-tanda pandemi mereda, meski di China—negara pertama virus itu muncul—tidak ada kasus baru yang berasal dari lokal, melainkan kasus impor. Situasi ini memiicu kekhawatiran pandemi COVID-19 bisa meniadakan pelaksanaan ibadah haji tahun ini.
Berbeda dengan umrah yang biasanya bisa dilakukan kapan saja, ibadah haji hanya boleh dilakukan pada hari-hari awal Dzul-Hijjah, bulan terakhir dari kalender Islam.
Puluhan Kali Haji Ditiadakan
Sekadar diketahui, pelaksanaan ibadah haji sejatinya pernah ditiadakan berkali-kali sebelumnya dalam sejarah Islam karena wabah penyakit, konflik, aksi bandit dan perampok, atau alasan lainnya.
Mengutip laporan Al Araby, pada awal bulan ini Saudi King Abdulaziz Foundation for Research and Archives (Yayasan Raja Abdulaziz Saudi untuk Penelitian dan Arsip) merilis pernyataan yang mencatat 40 kali dalam sejarah pelaksanaan ibadah haji dibatalkan atau tetap ada namun dengan jumlah jamaah sangat minim.
Pembatalan ibadah haji yang paling terkenal terjadi pada abad ke-10 Masehi atau abad ke-3 dalam kalender Islam. Saat itu, ibadah haji dibatalkan atau ditiadakan setelah kelompok sekte yang tidak dikenal mengambil alih situs suci di Makkah.
Orang-orang Qarmati adalah kelompok sekte heterodoks yang berbasis di Arab timur, yang mendirikan negara mereka sendiri di bawah Abu Taher al-Janabi. Sistem kepercayaan mereka didasarkan pada Islam Syiah Ismailiyah yang bercampur dengan unsur-unsur gnostik dan masyarakat mereka egaliter. Penulis Amerika Serikat, Kenneth Rexroth, menyebut mereka; “Satu-satunya masyarakat komunis yang mengendalikan wilayah besar sebelum abad ke-20”.
Namun, mereka menganggap haji sebagai ritual pagan dan pada tahun 930 Masehi, Abu Taher melakukan serangan ganas ke Makkah selama musim haji.
Menurut catatan sejarah, orang-orang Qarmati membunuh 30.000 jamaah sembari mengejek ayat-ayat Alquran kepada jamaah dan membuang jasad para jamaah di sumur Zamzam yang suci. Mereka kemudian mencuri “Batu Hitam” dari Kakbah. Selama sepuluh tahun setelah serangan ini, ibadah haji ditiadakan.
Itu bukan serangan kekerasan pertama pada jamaah haji. Pada tahun 865 Masehi, Ismail bin Yousef—dikenal sebagai Al-Safak—yang memimpin pemberontakan melawan kekhalifahan Abbasiyah, para jamaah yang dibantai dikumpulkan di Gunung Arafat dekat Makkah. Pemberontakan itu juga memaksa pembatalan ibadah haji.
Pada tahun 1000 Masehi, haji dibatalkan karena alasan yang jauh lebih sederhana, yakni meningkatnya biaya yang terkait dengan perjalanan.
Pada tahun 1831, wabah dari India menewaskan hampir tiga perempat jamaah haji. Kemudian, menurut King Abdulaziz Centre, antara 1837 hingga 1892, wabah infeksi menewaskan ratusan jamaah setiap hari.
Infeksi penyakit sering menyebar selama pelaksaan haji. Sebelum zaman modern, infeksi penyakit jauh lebih menjadi masalah daripada wabah COVID-19 yang melanda dunia hari ini.
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang dipimpin Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud belum memutuskan kapan mengakhiri larangan sementara ibadah umrah. Sedangkan soal pelaksanaan ibadah haji tahun ini belum ada penjelasan resmi dari kerajaan.
Raja Salman sudah memerintahkan lockdown kota Makkah, Madinah dan Riyadh untuk mencegah penyebaran lebih luas dari wabah COVID-19. Imbas lockdown ini menyebabkan penduduk di 13 wilayah di Arab Saudi dilarang melakukan perjalanan antar-wilayah.
Untuk menegakkan aturan lockdown, Kementerian Dalam Negeri memberlakukan jam malam mulai pukul 19.00 hingga 06.00 pagi di seluruh negeri. Para pelanggar aturan jam malam akan dikenai denda 10.000 riyal hingga penjara.*****
JAKARTA – Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), organisasi berhimpunnya perusahaan media siber, dianugrahi penghargaan oleh Museum Dunia Rekor Indonesia (MURI) yang diserahkan langsung oleh pendiri Muri, Jaya Suprana, di Jaya Suprana Institute, Lantai LG Mall Of Indonesia, Jalan Boulevard Raya RSVP, Jumat (28/22020),
Penghargaan peraihan rekor dunia MURI ini, diberikan atas kecepatan, daya sebar dan banyaknya media siber yang tergabung di SMSI dalam menyampaikan opini “MENDAMBAKAN KEADILAN SOSIAL”
Hanya dalam waktu tujuh setengah jam, opini yang disampaikan SMSI kepada anggota sudah dimuat 571 media yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Capaian SMSI ini, merupakan kali pertama dicapai oleh organisasi perusahaan media Siber di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, dalam perjalanannya, SMSI telah mengalami tiga kali pergantian ketua umum.
Ketua Umum pertama, dijabat Teguh Santosa, kemudian Auri Jaya menggantikan Teguh Santosa. Baik Teguh maupun Auri keduanya diangkat oleh para pendiri, sampai dengan pelaksanaan kongres.
Kemudian pada kongres perdana 20 Desember 2019, Firdaus terpilih sebagai ketua umum, mengalahkan Teguh Santosa yang penah menjabat sebagai ketua Umum. Firdaus tercatat sebagai ketua umum SMSI pertama yang dipilih melalui kongres.
Bulan Januari 2020, kepengurusan SMSI Pusat, dibawah nakhoda Firdaus, resmi terbentuk. Usai menerima SK, SMSI langsung tancap gaspol.
Berkat kompaknya jajaran kepengurusan SMSI dari pusat hingga daerah, yang semula pengurus di tingkat provinsi SMSI hanya ada di 27 provinsi, kini sudah ada 30 cabang provinsi di tanah air.
Kepada awak media, ketika ditemui di sela-sela sebuah acara, Ketua Umum SMSI Firdaus mengaku bahwa, capain yang berhasil ditorehkan SMSI, dan salah satunya dapat memecahkan rekor MURI, tidak terlepas dari peran serta dan dukungan segenap pendiri, penasehat dan jajaran pengurus SMSI dari Pusat hingga Daerah
Firdaus mengatakan, dimasa akan datang, masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan pengurus SMSI. Salah satunya adalah bagaimana SMSI menjadi konstituen Dewan Pers. Adapun sarat untuk itu diantaranya memiliki anggota paling sedikit 200 perusahaan dan tersebar minimal di 15 Provinsi.
“Syukur kini SMSI, anggotanya sudah lebih dari 500 perusahaan, dan tersebar lebih dari 15 Provinsi. Dan Pengurus SMSI Provinsi yang sudah di verifikasi faktual, 19 Pengurus Provinsi dan ditambah satu pengurus Pusat,” pungkas Firdaus.
Firdaus, sebelum terpilih menjadi ketua umum SMSI, dimasa kepemimpinan dua ketua SMSI sebelumnya, Firdaus menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.
Merunut sedikit pengalaman Firdaus dalam mengelola organisasi, dirinya pernah menjadi Ketua PWI Provinsi Banten dua periode, sebelum menjadi ketua PWI Banten, Firdaus menjabat sekretaris PWI Banten satu periode. Dan selain itu, Firdaus juga pernah menjabat sebagai Sekretaris SPS Banten selama 14 tahun. Sejak 2004 hingga 2018, Firdaus mendampingi Ketua SPS Banten, Priyo Susilo.
Pengalaman menjadi sekretaris SPS bersama Priyo Susilo dalam membesarkan SPS Banten kala itu, mengajarkannya banyak hal. Salah satunya keteladanan yang ditularkan Priyo Susilo sebagai ketua kepadanya. Dari contoh yang diberikan Priyo, Firdaus mampu memberhentikan kebiasaanya merokok hingga rajin melaksanakan puasa senin-kamis.
“Jika seorang pemimpin tegak lurus, maka siapapun dibawahnya akan ikut dan patuh,” ucap Firdaus yang juga dikenal sebagai pribadi yang kritis dan tegas ini.
Penyerahan Penghargaan Rekor Indonesia:
1. Rekor Pertama : Trainer yang Berhasil Menurunkan Berat Badan Anak yang Memiliki Bobot Terberat secara Sehat dalam Waktu Satu Tahun, (turun berat badan sebanyak 110 Kg)
Rekoris : Ade Rai
2. Rekor Kedua : Anak yang Berhasil Menurunkan Berat Badan Terberat Selama Satu Tahun, (turun berat badan sebanyak 110 Kg)
Rekoris: Aria Permana
3. Rekor Ketiga : Tim Pelajar Indonesia Pertama yang Berhasil Mencapai Puncak Gunung Elbrus, (pelaksanaan. 17/8/2018)
Rekoris : ELPALA SMAN 68
(pendaki : Geas Aldino, Ryan Muhammad, Salsa Khusnus dan Timothy Jonathan)
4. Rekor Keempat : Pelajar Bersaudara Termuda yang Berhasil Mencapai Puncak Gunung Kilimanjaro, (pelaksanaan. 17/3/2019)
Rekoris: Matthew Richard (15 thn 9 bln 21 hr) &
Jonathan Philip (13 thn 9 bln 3 hr)
5. Rekor Kelima : Barista Tuli Pertama di Indonesia
Rekoris: Tri Erwinsyah Putra
6. Rekor Keenam : Perusahaan Direct Selling yang Mengunjungi Negara Terbanyak,
(sebanyak 37 Negara)
Rekoris: PT. KK INDONESIA
7. Rekor Ketujuh : Webinar Tanpa Henti Terlama, (100 jam)
Rekoris: Perhimpunan Pelajar Indonesia Se-Dunia (PPI DUNIA)
8. Rekor Kedelapan : Baklava dengan Harga Tertinggi, (Rp. 14.000.000,-)
Rekoris: Mardin Baklava & Patisserie
9. Rekor Kesembilan : Perempuan Indonesia Termuda Peraih Gelar Doktor di Perguruan Tinggi
Tiongkok, (usia 25 thn 5 hari)
Rekoris: Bryna Meivitawanli
10. Rekor Kesepuluh : Anak Perempuan Pemilik Rambut Terpanjang, (Panjang Rambut. 140 cm, pengukuran 18 Juli 2019)
Rekoris: Beatrice Anggraini Pramana, usia 13 thn
11. Rekor Kesebelas : Atlet Paralayang Tertua, (usia 79 thn)
Rekoris: Julius Early Rawis
12. Rekor Keduabelas: Mendirikan Telur diatas Jenis Terbanyak, (25 jenis benda)
Rekoris: Sofian
13. Rekor Ketigabelas : Penggagas Alat Musik Gesek dengan
Kotak Bermotif Batik (???)
Rekoris : Fredy
14. Rekor Keempatbelas : Serikat Media Siber yang Menggerakkan 571 Anggotanya Memuat Naskah “Mendambakan
Keadilan Sosial”
Rekoris: Serikat Media Siber Indonesia – SMSI
Penyerahan Penghargaan Rekor Dunia
15. Rekor Kelimabelas : The One and Only Band Founded by A Four Star Army General Still Active in Performing / (Band Pimpinan Jenderal)
Rekoris: Band Playsets
16. Rekor Keenambelas : Inventor Superpave (Superior Performing Asphalt Pavement) Grade
PG 60-16 & PG 70-16 Berkualitas Dunia
Rekoris: Ir. Sayono
17. Rekor ketujuh belas: Penyerahan Penghargaan Prestasi Nusantara Penghapal 217 Ayat Ayat Alkitab Rekoris: Anneke A. Polak – Penghapal 217 Ayat Ayat Alkitab
Penguji: Bapak Jusuf Ngadri. (T Abd)
Syukur Alhamdullilah, saya beruntung tergolong warga Indonesia yang bisa menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia. Namun sayang setriliun sayang, tidak semua sesama warga Indonesia seberuntung saya.
Masih banyak warga Indonesia belum bisa menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia. Kenyataan tersebut merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sila ke lima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia belum terejawantahkan di persada Nusantara masa kini. Untuk sementara ini Keadilan Sosial hanya hadir secara terbatas untuk sebagian kecil rakyat Indonesia.
Keberpihakan
Berdasar dukungan dari para sahabat seperti Prof. Frans Magnis Suseno, Prof. Mahfud MD, Prof. Salim Said, Dr. Yasonna Laoly, aktivis senior Haryono Kartohadiprojo S.H, pejuang kemanusiaan Ignatius Sandyawan Sumardi, pejuang kebudayaan Aylawati Sarwono dll, saya sempat mencoba ikut berpihak kepada para warga yang belum menikmati nikmatnya kemerdekaan Indonesia.
Maka saya berupaya ikut mencegah jangan sampai warga Bukit Duri digusur secara sempurna melanggar hukum. Namun kemudian saya harus menghadapi kenyataan bahwa diri saya cuma seorang insan manusia yang tidak berdaya apa pun.
Terbukti pada tanggal 28 September 2016, saya tak berdaya mencegah warga Bukit Duri digusur secara sempurna melanggar hukum akibat de facto mau pun de jure tanah dan bangunan yang digusur masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri mau pun PTUN. Tidak kurang dari Prof Mahfud MD dan DR.
Yasonna Laoly menegaskan bahwa tanah dan bangunan yang masih dalam proses hukum dilindungi undang-undang agar jangan disentuh apalagi digusur dengan alasan apa pun juga. Jika nekad digusur berarti penggusur melakukan pelanggaran hukum secara sempurna.
PN & PTUN
Namun rasa sedih yang menyelinap ke lubuk sanubari saya agak terhibur setelah kemudian PN mau pun PTUN resmi memenangkan gugatan warga Bukit Duri. Saya berbesar hati bahwa keadilan telah dipersembahkan kepada warga Bukit Duri yang telah terlanjur jatuh menjadi korban penggusuran secara sempurna melanggar hukum atas nama pembangunan.
Meski kemudian para pendukung kebijakan penggusuran rakyat gigih melancarkan serangan jurus public relations demi pembunuhan karakter warga Bukit Duri rame-rame dihujat sebagai para pemberontak yang subversif melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Malah saya sebagai pihak yang berpihak kepada rakyat tergusur juga tak ketinggalan ikut habis-habisan dihujat sebagai tua bangka botak buncit bau tanah ingin melestarikan kemiskinan. Bahkan kemudian pihak tergugat melakukan naik banding ke Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Tinggi
Ternyata Pengadilan Tinggi juga sepaham dengan Pengadilan Negeri dan PTUN untuk memenangkan gugatan rakyat kecil. Maka rasa bersyukur saya bertambah dengan rasa bangga bahwa negara saya ternyata merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga hukum idak tajam ke bawah sambil tumpul ke atas.
Saya bangga bahwa bangsa Indonesia telah mempersembahkan keadilan secara adil sesuai sosok patung Dewi Keadilan memegang neraca keadilan dengan mata tertutup sehingga tidak pandang bulu terhadap siapa pun juga yang dianggap melanggar hukum apalagi secara sempurna. Namun pihak tergugat tetap gigih tidak mau menyerah kalah maka kembali naik banding kali ini ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung
Kali ini, saya benar-benar kena batunya! Ternyata Mahkamah Agung sama sekali tidak sepaham dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi mau pun Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara sempurna bertolak belakang dengan vonis PN, PT dan PTUN, ternyata MA memenangkan pihak tergugat yang sudah divonis bersalah oleh majelis hakim PN, PTUN dan PT.
Vonis MA disambut dengan sorak-sorai gegap-gempita oleh para pendukung kebijakan menggusur rakyat namun di sisi lain disambut deraian air mata para warga miskin yang telah kehilangan tempat bermukim akibat digusur secara sempurna melanggar hukum atas nama pembangunan.
Banjir
Pada musim musibah banjir, juga tampak jurang kesenjangan sosial. Ada warga yang beruntung karena kebetulan bermukim di kawasan yang bebas banjir namun ada pula yang kurang beruntung akibat kebetulan bermukim di kawasan berlangganan banjir. Yang kurang beruntung masih terbagi menjadi dua nasib. Yang bernasib kurang beruntung kebanjiran namun kebetulan bernasib cukup berada bisa langsung mengungsi ke hotel. Yang bernasib kurang beruntung kebanjiran sambil juga kebetulan bernasib miskin terpaksa harus pasrah tidak bisa mengungsi ke hotel.
Segenap fakta itu makin meyakinkan saya bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai sila Pancasila memang belum terwujud. Saya bersyukur sebagai warga negara Indonesia beruntung dapat ikut menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Namun saya merasa prihatin bahwa belum semua warga Indonesia seberuntung saya.
Masih banyak sesama rakyat Indonesia belum dapat ikut menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Sila ke lima Pancasila untuk sementara ini masih berbunyi Keadilan Sosial Untuk Sebagian Kecil Rakyat Indonesia saja.
Insha Allah, kita semua sebagai warga bangsa Indonesia segera menghentikan perilaku saling membenci, saling melecehkan, saling menghujat, saling memfitnah demi bersatupadu dalam gigih berjuang mengejawantahkan sila ke lima Pancasila menjadi kenyataan di persada Nusantara nan gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kerta raharja. MERDEKA !
Jaya Suprana
(Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan)
TIAP-TIAP orang biasanya memiliki ayat favorit tertentu dalam Qur’an, sesuai dengan kecenderungan intelektual, spiritual, dan personalnya masing-masing. Orang-orang yang menggemari “ilmu kanuragan”, tentu menghafal dengan baik ayat-ayat yang berkaitan dengan “kejadugan”. Sementara orang-orang yang menggemari mistik atau ilmu tasawwuf, tentu akan menyukai ayat-ayat “mistikal”, misalnya ayat 24:35 dalam Surah al-Nur: Tuhan adalah cahaya langit dan bumi.
Ayat ini ditafsirkan secara mistikal dan filosofis oleh Imam Ghazali (w. 1111) dalam kitabnya yang masyhur, Misykat al-Anwar. Salah satu ayat favorit saya adalah QS 2:269: wa man yu’ta al-hikmata faqad ‘utiya khairan katsira; barangsiapa diberikan hikmah (oleh Tuhan), sesungguhnya ia telah diberikan kebaikan yang melimapah.
Jika direnungi secara reflektif dan dengan menggunakan “mata rohani” yang tajam, ayat ini akan membawa kita kepada kebijaksanaan yang kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari. Apa makna “hikmah” dalam ayat itu? Ibn Rusyd, filsuf besar Muslim dari Andalusia (Spanyol) yang hidup di abad ke-12, menyepadankan “hikmah” dengan “falsafah” dalam pegertain yang dikenal di Yunani. Dan ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada, sebab kata “sophia” dalam bahasa Yunani sepadan-semakna dengan “hikmah” (kebijaksanaan) dalam bahasa Arab.
Ayat dalam surah al-Baqarah itu, dalam pandangan Ibn Ruysd, bermakna: barangsiapa diberikan anugerah berupa “filsafat”, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang banyak. Tetapi, filsafat di sini harus dipahami dalam pengertian “hikmah” seperti akan saya jelaskan di bawah. Al-Razi (w. 1209), seorang teolog dari abad ke-12 yang menulis tafsir massif “Mafatih al-Ghaib”, menafsirkan hikmah di sini, antara lain, sebagai berikut: “al-takhalluq bi-akhlaqi Allah ‘ala qadri al-thaqah al-basyariyyah”; berusaha untuk berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan seturut dengan kemampuan manusia.
Dengan kata lain, hikmah adalah usaha manusia untuk meniru tindakan Tuhan, untuk mendekati sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, dalam tradisi filsafat Islam, seorang filsuf, alias seseorang yang mempelajari dan mempraktekkan hikmah dalam kehidupannya, biasa juga disebut sebagai “al-muta’allih”, seseorang yang mencoba meniru dan mendekati sifat-sifar ketuhanan (“muta’allih” berasal dari akar kata “ilah” yang artinya: Tuhan).
Seorang filsuf besar Iran yang hidup hampir sezaman dengan Kiai Mutamakkin (Kiai Cebolek) dari Pati, yaitu Mulla Shadra (w. 1640), misalnya, disebut sebagai “shadr al-muta’allihin”, seorang “muta’allih” (dalam pengertian: seorang bijak yang berhasil medekati sifats-sifat ketuhanan) yang paling terdepan. Apa yang dikatakan baik oleh Ibnu Rusyd maupun al-Razi, walau diungkapkan dalam rumusan yang beda, pada dasarnya mengandung pengertian yang sama: hikmah adalah suatu kebijaksanaan yang lahir karena seseorang bertindak sesuai dengan ilmunya, dan dengan cara yang tepat, sesuai dengan siatuasi yang dihadapinya. Tindakan yang tepat, bijak, sesuai dengan ilmu, sesuai dengan situasi yang ada sejatinya adalah “tindakan ketuhanan” itu sendiri. Itulah akhlak yang sejatinya akhlak.
Seseorang yang medapatkan anugerah hikmah semacam ini, ia mendapatkan kebaikan yang berlimpah, sebagaimana diungkapkan dalam QS 2:296 itu. Di sini, kita harus membedakan antara dua hal: “ilmu” dan “hikmah”. Ilmu adalah sejenis informasi atau pengetahun yang bersifat “nadzari”, teoritis, yang berhasil kita transfer ke dalam pikiran atau otak. Ilmu adalah suatu entitas atau keberadaan yang sifatnya “virtual”; dia hanya ada dalam fikiran, belum mengalami transformasi menjadi tindakan. Sementara hikmah lain lagi: ia adalah ilmu yang sudah berubah menjadi laku, menjadi akhlak, menyatu dengan tubuh kita. Hikmah, kalau mau memakai bahasa dalam filsafat mutakhir, adalah “an embodied knowledge”, suatu pengetahuan yang sudah menyatu dalam tubuh kita. Pengetahuan tentang bagaimana cara berenang yang tertuang dalam buku-buku mengenai “teknik renang” adalah ilmu. Tetapi teknik renang yang sudah menyatu menjadi bagian dari tubuh Michael Phelps, seorang jagoan renang Amerika yang masyhur itu, adalah “hikmah”. Teknik kungfu yang tertulis dalam buku adalah ilmu. Tetapi teknik kungfu yang sudah menyatu dalam tubuh seorang Bruce Lee adalah hikmah, karena ia telah menjadi “an embodied knowledge”, ilmu yang ditubuhkan.
Dalam pandangan filsuf Muslim klasik (dan pandangan serupa juga kita jumpai dalam tradisi filsafat Yunani), sumber kebahagiaan (al-sa’adah [Arab]; eudaemonia [Yunani]) bukanlah harta, atau bahkan ilmu dalam pengertian “pengetahuan teoritis” (al-‘ulum al-nazariyyah), melainkan “hikmah”, yaitu ilmu yang sudah menjadi “laku”. Orang-orang Jawa sebetulnya memiliki istilah yang sangat bagus: ilmu dan “ngelmu”. Ilmu adalah pengetahuan sebatas sebagai informasi. Tetapi “ngelmu” adalah pengetahuan yang telah menyatu menjadi prilaku. “Ngelmu iku kalakone kanti laku,” demikian dikatakan dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV (w. 1820). Ilmu yang tidak berlanjut menjadi “laku”, menjadi panduan dalam prilaku hidup sehari-hari, dan berhenti hanya menjadi informasi yang ditimbun di kepala, akan mejadi sumber kesengsaraan. Seseorang yang memiliki banyak informasi dan pengetahuan mengenai banyak hal, tetapi tidak bisa “meng-eksekusi” pengetahuannya itu, dia bisa mengalami frustrasi yang berat, bahkan depressi. Ini terjadi pada banyak sarjana yang meraih pengetahuan berlimpah dari Barat, kemudian pulang ke tanah air, dan, karena satu dan lain hal, tidak bisa menerapkan ilmunya itu. Orang-orang seperti ini rentan mengalami tekanan mental yang akut.
Kebahagiaan yang tak ternilai bagi seorang yang memiliki ilmu adalah mendapatkan “panggung”, kesempatan, lahan, “kavling sosial” untuk menerapkan ilmunya, untuk menerjemahkan ilmunya itu menjadi “laku”, lalu melahirkan “hikmah”. Bagi saya, keistimewaan para kiai di pesantren-pesantren bukanlah karena banyaknya ilmu yang mereka kuasai, meruahnya kitab yang mereka koleksi dan pajang ruang tamu, melainkan kemampuan para kiai itu menjadikan ilmu yang mereka miliki sebagai “laku”. Dari segi ilmu, jelas para kiai itu kalah jauh dari para sarjana dan profesor yang mengajar di perguruan tinggi modern. Publikasi ilmiah para kiai di pondok-pondok itu jelas sangat minimal, jika malah bukan nihil sama sekali. Tetapi, dari segi hikmah dan “laku”, jelas para kiai itu jauh mengungguli para profesor di universitas-universitas modern. Sebab, para kiai ini tidak sekedar mempelajari ilmu sebagai “an exercise in intellectual luxury”, menjalani suatu kegiatan intelektual yang mewah.
Bagi mereka, ilmu adalah langkah awal untuk menjadi seorang yang bijak. Ilmu yang tertansformasi menjadi “laku” inilah yang membuat seseorang bisa memiliki “kualitas linuwih”. Di pesantren di daerah pantura Jawa Tengah, kualitas seperti ini disebut: “suwuk”. Seseorang yang telah me-“lako”-ni ilmunya sepanjang hayat, ia akan bisa menjadi “guru” dalam pengertian “mursyid” (master) yang bisa dapat mengubah watak dan kepribadian orang lain, seperti tergambar dalam kisah Sunan Kalijaga yang berubah total, dari seorang yang berperangai buruk menjadi seorang wali, hanya gara-gara bertemu dengan sosok bijak, muta’allih, bernama Sunan Bonang. Seorang “hakim” adalah seperti seseorang yang menguasai ilmu “alchemy” dalam pengertian tradisional.
Sebagai disiplin ilmu, alkemi jelas sudah terdiskreditkan oleh penemuan kimia modern. Tetapi sebagai “ilmu rohani”, alkemi jelas tidak bisa digantikan oleh ilmu yang terakhir itu. Alkemi adalah ilmu yang dipercayai bisa mengubah logam biasa (misalnya besi) menjadi logam mulia (seperti emas). Seorang “hakim” yang “muta’allih” layaknya seorang ahli alkemi: dia bisa bertindak seperti Sunan Bonang itu, mengubah seseorang yang akhlaknya kasar, preman (persis dengan logam biasa – “besi”) menjadi seseorang yang berakhlak mulia, seperti “emas”. Hikmah adalah ilmu yang bersifat transformatif, dia mengubah seseorang dari “logam biasa” menjadi “logam mulia”, dari manusia biasa menjadi “insan kamil”, manusia sempurna. Ini tidak terjadi pada ilmu yang berhenti menjadi pengetahuan teoritis belaka. Hikmah adalah ilmu yang mengalami transformasi menjadi laku, dan dari sanalah kebahagiaan memancar.******Ulil Abshar Abdalla Cendekiawan muslim
NYALI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diuji. KPK sedang ditantang untuk mengusut tuntas kasus dugaan suap dengan tersangka Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (8/1).
Dalam kasus ini KPK diminta menyelidiki dugaan keterlibatan oknum pengurus PDI Perjuangan (PDIP) yang notabene partai penguasa sekaligus penyokong utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Banyak yang meragukan KPK bisa ”mengobok-obok” Partai Banteng sebagaimana dilakukan pada partai lain yang kadernya terjerat korupsi. Bahkan, ada yang memprediksi kasus ini hanya akan berhenti pada Wahyu dan tiga orang lainnya yang juga sudah jadi tersangka. Adapun pengurus PDIP kemungkinan bakal sulit ”tersentuh”.
KPK seharusnya tidak perlu gentar hanya karena alasan akan berbenturan dengan tembok kokoh bernama kekuasaan. Siapa pun pihak yang diduga terlibat kasus ini, tak terkecuali Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, seharusnya bisa diproses. Nama Hasto terseret dan ramai dibicarakan pasca-OTT terhadap Wahyu.
Keraguan publik KPK berani mengusut dugaan keterlibatan pengurus PDIP berangkat dari sejumlah fakta yang janggal. Pertama, gagalnya tim lapangan KPK menyegel kantor DPP PDIP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Ini memang cukup aneh mengingat selama ini penyidik KPK nyaris tidak pernah menemui hambatan apa pun ketika hendak menyegel, ataupun menggeledah, sebuah tempat guna kepentingan penyelidikan atau penyidikan.
Kedua, penyidik KPK pada hari yang sama juga gagal memasuki Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta Selatan. Kabarnya, tim KPK datang untuk menangkap Hasto Kristiyanto yang diduga sedang berada di tempat itu. Bahkan, yang ironis, justru tim KPK yang digeledah oleh aparat kepolisian di tempat tersebut.
Hasto telah membantah dirinya berada di PTIK saat tim KPK datang. Namun, elite PDIP ini tetap saja terseret, apalagi ada dugaan dua orang yang juga ditangkap KPK, yakni DON dan SAE, merupakan staf Hasto.
Wahyu Setiawan diciduk KPK karena diduga menerima suap Rp400 juta terkait upaya pemulusan proses pergantian antarwaktu (PAW) caleg PDIP Harun Masiku. KPK sudah menyatakan bakal memeriksa pihak-pihak yang diduga memiliki kaitan dalam dugaan suap itu, termasuk Hasto.
Boleh saja KPK berjanji memeriksa siapa saja yang diduga terlibat. Namun, jika melihat lemahnya taring KPK sejak awal misalnya saat Hasto ”tak tersentuh” saat berada di PTIK dan kegagalan menyegel kantor pusat PDIP, maka wajar jika publik sangsi.
Keraguan publik diperkuat pula dengan lambannya penerbitan izin penggeledahan kantor DPP PDIP oleh Dewan Pengawas KPK. Mengapa izin tersebut harus ditunggu berhari-hari? Siapa yang menjamin tidak dilakukan penghilangan barang bukti karena lamanya proses izin? Lambannya penerbitan izin menggeledah oleh Dewan Pengawas makin menguatkan dugaan selama ini bahwa KPK memang sengaja dilemahkan di balik penerbitan UU KPK yang baru.
Belum lagi narasi-narasi yang dibangun komisioner KPK yang seolah-olah tidak mempermasalahkan penolakan terhadap tim lapangan KPK, baik saat di kantor DPP PDIP maupun di PTIK. Jika memang KPK merasa dihalang-halangi, harusnya terbuka saja berbicara ke publik. Dengan sikap komisioner KPK yang terkesan permisif dengan hambatan di lapangan, itu makin menimbulkan tanda tanya publik. Ini ada apa?
Namun, KPK bisa menjawab semua keraguan ini apabila dalam lanjutan proses pengungkapan kasus suap ini tetap independen dan tak pandang bulu. KPK jangan membiarkan publik berspekulasi macam-macam karena sikapnya yang terkesan ”balik badan” ketika berhadapan dengan partai penguasa. Jika memang ada kader dan petinggi PDIP, atau siapa pun yang terlibat, KPK jangan pernah gentar. KPK jangan ragu karena dukungan rakyat di belakang mereka.
Di awal masa tugas, KPK jilid baru ini memang sempat diragukan banyak pihak. Namun, kepercayaan publik mulai tumbuh seiring gebrakan KPK yang langsung melakukan OTT terhadap bupati Sidoarjo dan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ini tentu poin penting. Kepercayaan publik yang mulai kembali ini seharusnya bisa dijaga dengan menunjukkan integritas dan independensi. Kita mengenal jargon ”Berani Jujur Hebat!” yang diusung KPK. Kali ini KPK ditantang mengusut dugaan keterlibatan oknum pengurus elite PDIP. Jika itu bisa dilakukan, KPK bolehlah disebut berani dan hebat.*****
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro