JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman beserta tiga komisioner KPU lainnya dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (24/6). Arief, Ilham Saputra, Viryan Aziz, dan Pramono Ubaid Tanthowi dinilai terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP).
“Tiga, menjatuhkan sanksi peringatan kepada teradu tujuh Arief Budiman selaku ketua merangkap anggota KPU RI, teradu sembilan Ilham Saputra, teradu 11 Viryan, dan teradu 12 Pramono Ubaid Tanthowi Tanthowi masing-masing selaku anggota KPU RI sejak putusan ini dibacakan,” ujar Ketua sidang pembacaan putusan DKPP, Teguh Prasetyo, Rabu.(24/6/2020)
Sementara, DKPP merehabilitasi Komisioner KPU RI Hasyim Asy’ari dan Ketua dan Anggota KPU Sulawesi Selatan (Sulsel) karena tidak terbukti melanggarar KEPP. Putusan ini berdasarkan perkara nomor 33-PKE-DKPP/III/2020 yang diadukan mantan caleg DPRD Provinsi Sulsel daerah pemilihan (dapil) 2 dari PDI Perjuangan (PDIP), Novianus YL Patanduk.
Novianus terpilih sebagai caleg DPRD Provinsi Sulsel dapil 2, tetapi akhirnya gagal menjadi anggota legislatif. Sebab, DPP PDIP memberhetikan Novianus sebagai kader partai karena Novianus tidak membayar biaya saksi dan melakukan kecurangan.
Kemudian, PDIP mengusulkan kader lain sebagai pengganti Novianus sebagai caleg terpilih kepada KPU Sulsel. Novianus pun tidak menerima dan mengajukan proses hukum melalui mahkamah partai.
KPU Sulsel juga mengajukan konsultasi dan pendapat kepada KPU RI atas permasalahan tersebut. Melalui suratnya, KPU RI menyarankan agar KPU Sulsel melakukan penggantian antarwaktu (PAW) dari Novianus kepada nama baru yang diusulkan PDIP.
Dalam pertimbangannya, anggota sidang pembacaan putusan DKPP Ida Budhiati menilai, sikap KPU RI dalam kasus Novianus tidak konsisten. Ia berkaca pada kasus serupa yang dialami caleg terpilih di Kota Depok Babai Suhaimi yang diberhentikan oleh DPP PKB.
Namun, KPU Depok tidak melakukan PAW karena KPU RI menyarankan untuk menunggu putusan hukum tetap. Menurut Ida, tindakan KPU RI yang tidak memperlakukan sama suatu kasus serupa tidak dibenatkan secara hukum dan etika.
“Ada perlakuan tidak sama. Tindakan itu tidak dibenarkan secara hukum dan etika,” kata Ida.
Ia melanjutkan, KPU RI semestinya menggunakan standar yang sama terhadap kasus Novianus dengan berkaca pada kasus yang lebih dahulu terjadi. Sehingga ada konsistensi dan perlakuan setara kepada semua pihak.
“Keputusan sebelumnya harusnya menjadi acuan dalam menyikapi pemberhantian Novianus,” tutur dia.
Dengan demikian, DKPP menilai empat pimpinan KPU RI terlibat aktif dalam perkara tersebut dan melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang KEPP. Pasal yang dilanggar itu diantaranya Pasal 10 A yang mewajibkan perlakuan sama terhadap peserta pemilu dan Pasal 15 E yang mewajibkan pelayanan yang profesional.
Sebelumnya, DKPP telah menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada lima pimpinan KPU RI di atas termasuk Hasyim Asy’ari. DKPP bahkan memberhentikan tetap Evi Novida Ginting Manik dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 317-PKE-DKPP/X/2020 pada 18 Maret 2020 lalu.(*/Ad)
BOGOR – KPU Kabupaten Bogor melakukan rapat pleno daftar pemilih berkelanjutan pada Rabu 24 Juni 2020 melalui aplikasi zoom dan kehadiran fisik dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Dalam pleno tersebut, diketahui jumlah pemilih bertambah menjadi 3.485.092 pada periode Juni 2020. Pleno daftar pemilih ini mengacu pada Surat Edaran Ketua KPU RI nomor 181/PL.02.1-SD/01/KPU/II/2020 yang isinya perihal pemutakhiran data pemilih berkelanjutan.
“Kami menjalankan intruksi dari KPU RI untuk terus melakukan pemutakhiran data pemilih setiap bulan bekerjasama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bogor.
Tentunya akan fluktuatif seiring tambah kurang jumlah penduduk di Bogor,” ujar Komisioner KPU kabupaten Bogor Divisi Perencanaan Data dan Informasi, Asep Saipul Hidayat kepada wartawan, usai melaksanakan rapat pleno di kantor KPU Kabupaten Bogor.
Data pemilih berkelanjutan ini merupakan upaya KPU RI untuk tetap menjaga independensi dan integritas penyelanggaraan pemilu. Meskipun pemilu nasional baru selesai pada 2019 lalu, namun data pemilih tetap perlu dilakukan pembaruan agar kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu terjaga.
“Ini bagian dari kerja KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu baik pemilu nasional dan lokal nantinya, agar data pemilih tetap tersaji secara terbuka, selain itu publik perlu tetap disajikan data pemilih agar terbangun dan terjaga kepercayaan publik kepada KPU secara kelembagaan di semua jenjang,” tutur Asep yang didampingi para komisioner KPU lainnya.
Pada rapat pleno bulan Mei tercatat jumlah pemilih di Bogor sebanyak 3.478.503 orang. Terjadi penambahan pemilih sebesar 6.589 orang menjadi 3.485.092 orang.
Pemutakhiran data pemilih, lanjut Asep, akan terus dilakukan setiap bulan. Hadir dalam pleno itu, Bawaslu Kabupaten Bogor, pengurus partai politik, pegiat pemilu.
“Karena kami terus melakukan pemutakhiran data pemilih setiap bulan, kami berharap kerjasama yang sinergis dengan Disdukcapil Kabupaten Bogor khususnya dalam menyuplai data kependudukan paling mutakhir dari semua desa dan kecamatan di Bogor.
Kerja pemutakhiran data pemilih ini dilakukan di semua daerah di seluruh Indonesia, jadi bukan hanya di Bogor. Tujuannya agar data pemilih dan data kependudukan di Indonesia sinkron sehingga semua warga terpenuhi haknya dalam konstitusi,” tukasnya.(*/T Abd)
BOGOR – Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggelar Rapat Kerja (Raker) bersama dengan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, Selasa (23/6/20). Agenda rapat membahas pembicaraan pendahuluan RKA K/L dan RKP TA. 2021 Kementerian Perhubungan.
Salah satu Anggota DPR RI Dapil Jawa Barat V dan juga Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Gerindra, Drs. H. Mulyadi, MMA menjelaskan pada saat Raker agar Jalur Puncak 2 bisa terwujud.
“Pada hari Minggu (21/06/20) pada saat gugus tugas melakukan rapid tes terhadap 455 wisatawan di taman matahari, reaktif terhadap Virus Corona (Covid-19) sejumlah 47 orang, lebih dari 10 persen, sementara destinasi wisata di puncak begitu banyak dan kemacetan lebih dari 8 jam,” ujarnya.
Mulyadi menjelaskan, Pada waktu mengikuti Raker kemarin dengan Bapak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dirinya berharap negara harus segera hadir di Puncak.
“Kalau misalnya teman-teman Dewan menyuarakan wilayahnya masing-masing, Puncak itu seperti wajah Jakarta juga, karena destinasi wisatanya banyak dikunjungi warga Jakarta.
Sementara Pemda sudah teriak-teriak dan saya sudah fasilitasiin menyampaikan proposal terhadap Menteri PUPR dan Menteri Perhubungan serta saya juga sudah menyampaikan dalam rapat Banggar, Negara harus segera hadir di Puncak, Di saat rileksasi saja, macet nya sudah 8 jam,” jelas Mulyadi .
Masih kata Mulyadi, dirinya berharap jika berkenan agar Menteri Perhubungan mendorong kepada Kementerian PUPR tolong hadir di Puncak Bogor.
“Saya menyampaikan ini penting. Kenapa, karena ini cerminan Jakarta. Dan Puncak di atur oleh Kepres tapi Negara seperti tidak hadir di puncak.
Terus menerus saya di akses seolah-olah saya tidak pernah memperjuangkan itu dan ini bukan untuk kepentingan kami di Dapil, tapi betul-betul sudah puluhan tahun masyarakat di puncak itu tersiksa, apalagi pemerintah daerah sudah mengusulkan puncak 2, tapi terus saja tidak menjadi prioritas padahal penduduk Bogor lebih 6juta ditambah wisatawan domestik dan nasional masuk ke puncak itu menjadi daerah yang sulit untuk berkembang,” paparnya.
“Saya berharap Puncak bukan hanya destinasi wisata tapi lintasannya bisa diberikan opsi kedua yaitu jalur puncak 2 yang sudah di siapkan oleh Pemda bahkan masyarakat menghibahkan tanah-tanah mereka untuk membuka jalur puncak 2 sebagai daerah lintasan dan destinasi wisata,” tandasnya. (Wid)
JAKARTA – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah pagebluk COVID-19 memiliki tantangan tersendiri. Ada empat prasyarat penting agar pesta demokrasi di tingkat daerah ini berjalan lancar.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Abhan mengatakan pilkada kali ini bukan hal yang ringan bagi penyelenggara.
Namun, bukan berarti tidak bisa dilaksanakan. Dengan sikap optimis dan kebersamaan tentu bisa dilakukan dan menyukseskan pilkada itu sendiri.
Dia memaparkan sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pilkada serentak di 270 daerah ini. Perlu ada kerangka hukum yang kuat.
Dia menilai kerangka hukum sudah lengkap karena sudah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Jadwal dan Tahapan Pilkada.
KPU, Bawaslu, Kemendagri, dan Komisi II DPR telah menyepakati PKPU tentang pelaksanaan pilkada dan peraturan bawaslu pengawasan di tengah pandemi COVID-19. “Ini menjadi legimatimasi dalam pelaksanaan pilkada,” ujar Abhan dalam konferensi pers daring di Kantor Bawaslu, Selasa (23/6/2020).
Prasyarakat kedua, kesiapan teknis dari penyelenggara harus matang. Bawaslu, menurutnya, telah menyiapkan jajaran pengawasan hingga tingkat kecamatan dan desa/kelurahan.
Pada 24 Juni 2020, mereka akan mengawasi pelaksanaan verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan. Pengawasan pada tahapan ini sangat penting karena hasilnya akan menjadi keputusan KPU.
“Pengawasan akan berperan besar. Karena (disini) berpotensi adanya sengketa yang dibawa ke Bawaslu. Ini ke PTUN dan Mahkamah Agung (MA),” ucapnya.
Abhan menerangkan sudah ada komitmen bersama dari Bawaslu, PTUN, dan MA agar proses penyelesaiannya tidak melebihi waktu yang ditentukan. Batas waktu penyelesaiannya, yakni 30 hari sebelum pemungutan suara.
Itu artinya 9 November 2020 harus sudah selesai.
Dia mengungkapkan prasyarat ketiga adalah dukungan anggaran yang mencukupi. Sebenarnya dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang ada dan disepakati dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Namun, semua itu disusun sebelum ada pandemi COVID-19. Tentu saja, belum memauskan komponen untuk peralatan protokol kesehatan terutama alat pelindung diri (APD).
“Maka butuh anggaran tambahan. Kami sudah koordinasi dengan Kemendagri. Ada kabupaten dan kota yang tidak bisa (menambah). Ini harus ada back up dari APBN karena tanggal 24 (Juni 2020) sudah harus bekerja,” tuturnya.
Terakhir, pria asal Pekalongan itu menegaskan pentingnya penerapan protokol COVID-19 secara ketat. Ini bukan hanya untuk penyelenggara, tapi juga masyarakat. Apalagi ada beberapa tahapan, seperti verifikasi faktual untuk syarat dukungan calon perseorangan, ada kontak dengan masyarakat.
“Penting komitmen bersama untuk disiplin mematuhi protokol COVID-19. Kami tidak berharap ada klaster baru dalam pilkada,” tukasnya.(*/Ridz)
JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila (RUU HIP) memiliki masalah substansial dan prosedural. Pemerintah belum akan membahas RUU tersebut.
“Masalah substansial RUU HIP menyangkut dua hal pokok. Pertama, masalah keberlakuan Tap MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu sudah diselesaikan,” kata Mahfud di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Pada 16 Juni 2020 lalu, Mahfud telah menyatakan pemerintah tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR sebagai tanda persetujuan pembahasan legislasi terhadap RUU HIP. DPR adalah pihak yang mengajukan RUU HIP tersebut.
“Artinya, sudah semua stakeholder sependapat bahwa Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1996 itu masih berlaku. Masalah substansial kedua adalah masalah isi Pancasila dalam sejarah pernah digagas pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila oleh Bung Karno dan mau dinormakan.
Itu sudah diselesaikan secara substansial. Baik pemerintah maupun pengusul sudah sepakat itu tidak bisa masuk ke undang-undangnya,” kata Mahfud.
Namun, selain dua masalah substansi pokok, Mahfud juga mengatakan, ada masalah substansi sambilan. “Dianggap RUU HIP mau menafsirkan Pancasila dan mau memosisikan Pancasila kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal (Pancasila) itu sudah final,” kata Mahfud menegaskan dikutip dari republika.
Selanjutnya, masalah prosedural terkait dengan pihak pengusul RUU HIP. “RUU HIP itu adalah usulan dari DPR sehingga keliru kalau ada orang yang mengatakan kok pemerintah tidak mencabut? Ya tidak bisa dong kita mencabut sebuah usulan UU. (RUU) itu kan DPR yang mengusulkan.
Kita kembalikan ke sana masuk ke proses legislasi di lembaga legislatif, tolong dibahas ulang,” kata Mahfud menambahkan.
Artinya, Mahfud menyerahkan kepada DPR soal proses politik selanjutnya RUU HIP tersebut. “Soal mau dicabut atau tidak itu bukan urusan pemerintah. Jadi, keliru kalau minta pemerintah mencabut itu. Kalau (pemerintah) mencabut, bagaimana kehidupan bernegara kita? Jadi kacau saling cabut dan tidak selesai-selesai.
Prosedurnya ada di lembaga legislatif, di DPR. Saya kira kita tunggu perkembangannya. Nanti akan ada proses-proses politik yang akan menentukan nasib RUU HIP itu,” ujar Mahfud.
RUU HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR dan ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) RUU prioritas tahun 2020. Latar belakang RUU HIP karena saat ini belum ada UU sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai haluan ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di dalam naskah akademik RUU tersebut dijelaskan bahwa RUU HIP dibuat sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.
Namun, RUU HIP memicu penolakan banyak pihak, mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), PP Muhammadiyah, akademisi, hingga para purnawirawan. Alasan yang dikemukakan di antaranya terkait pasal tentang ciri pokok Pancasila adalah trisila yang terkristalisasi dalam ekasila. Hal ini dinilai dapat menciptakan bias Pancasila. RUU tersebut juga dinilai tidak mendesak.(*/Ad)
JAKARTA – Gerindra memakan buang simalakama mengenai Arief Poyuono karena gimanapun Pantai Gerindra masih memikirkan suara umat islam dalam pemilihan yang akan datang .
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono akan diperiksa Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra lantaran menyebut munculnya isu PKI ‘dilontarkan’ oleh ‘kadrun’.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai tak yakin Gerindra akan berani memecat Arief Poyuono (AP) gara-gara pernyataannya yang bikin heboh itu.
“Dia salah satu pilar kekuatan penyokong Prabowo. AP itu salah satu orang yang berani pasang badan untuk PS (Prabowo Subianto).
Jadi tak mungkin dibuang,” ungkapnya, Senin (22/6/2020).
Menurut Ujang, Gerindra merasa dilematis menghadapi Arief. Karena, jika yang bersangkutan dibuang dari partai, salah satu pilar Prabowo hilang. Sedangkan jika tak dibuang, sedikit merusak citra Gerindra.
Maka itu, Ujang menganggap, ujung dari masalah ini nantinya juga damai. Apalagi, hanya di internal partai dan juga sidang itu hanya untuk mengklarifikasi terkait pernyataan Arief Poyuono di media tersebut.
“Di politik itu kan banyak drama dan sandiwara. Ujung drama dan sandiwara itu damai. Kalaupun tak berujung damai, paling juga dapat sanksi ringan, untuk menjaga citra partai,” kata analis politik asal Universitas Al Azhar Indonesia ini.(*/Ad)
JAKARTA – Untuk memberikan kesempatan pada putra putri yang terbaik memang perlu dukungan semua pihak agar PT bisa dievaluasi kembali .Meski pemilihan presiden (Pilpres) 2024 masih jauh, tetapi sejumlah aturan sudah mulai ramai diperbincangkan.
Salah satunya yakni terkait dengan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Anggota DPR Komisi VI Marwan Jafar mengusulkan sebaiknya ambang batas presiden itu ditiadakan alias nol persen. Dia mengatakan, PT nol persen itu untuk mempersilakan putra-putri terbaik bangsa maju dalam kontestasi lima tahunan itu.
“PT Presiden sebaiknya dipikirkan. Menurut saya pribadi nol persen saja. Supaya putra-putri terbaik bangsa diberi kesempatan untuk berkompetisi,” kata Marwan Jafar, Senin (22/6/2020).
Meski nantinya banyak calon, kata dia, hal itu akan terfilter oleh aturan yang berlaku menyangkut syarat dua putaran di pilpres. Lagi pula, kata dia, dua putaran itu sudah diatur dalam konstitusi.
“Kontitusi sudah mengunci ada dua putaran. Kalau diputaran pertama tidak memenuhi 50 + 1, kan ada putaran kedua.
Putaran pertama ini sebafai filter untuk putaran kedua,” kata Marwan.
Dia juga menegaskan, meski PT nol persen bukan berarti pencalonan itu mudah. Karena, kata dia, setiap calon presiden harus mempunyai kendaraan politik tidak seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada). “Calon itu harus dari parpol (peserta pemilu). Karena itu sudah diatur di dalam undang-undang.
Jadi tidak mudah, tetap harus dari partai,” kata Marwan.
Jadi, menurut hemat mantan Manteri Desa dan PDTT ini, tidak perlu ada PT tersebut. “Apabila pasangan lebih dari dua pasang maka akan sulit memenuhi 50 + 1 persen. Sehingga tetap ada dua putaran,” tuturnya.
Menurut dia, PT nol persen ini juga untuk mengantisipasi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kalau tidak begitu (nol persen) saya prediksi masih akan ada gugatan (pilpres),” katanya.
Sekadar diketahui, saat ini tengah ramai usulan kenaikkan ambang batas pencalonan presiden dalam revisi UU Pemilu. Bahkan, sejumlah partai politik di DPR sudah mempunyai usulan jumlah masing-masing, seperti PKS menginginkan PT turun menjadi 5 persen, Nasdem 15 persen.(*/Ad)
JAKARTA – Pandemi corona membuat Pemerintah harus memikirkan kepentingan Rakyat sebab kasus covid-19 sudah mendunia bukan hanya Indonesia .
Anggaran untuk penanggulangan virus corona (Covid-19) dan dampaknya terus mengalami perubahan. Awalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran Covid-19 pada Mei 2020 sebesar Rp405,1 triliun.
Kemudian, tiba- tiba angkanya naik menjadi Rp641,1 triliun. Tidak berselang lama, anggaran Covid-19 naik lagi sebesar Rp677,2 triliun. Dan kini membengkak menjadi Rp695,2 triliun.
Dari total alokasi Covid-19, rinciannya adalah Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, jaminan perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, sebesar Rp123,46 triliun disiapkan untuk sektor UMKM, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan untuk dukungan sektoral Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah sebesar Rp106,11 triliun.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya menyayangnya adanya perhitungan yang kurang cermat dalam menghadapi persoalan Covid-19 sehingga menimbulkan suasana kebatinan rakyat dalam ketidakpastian.
“Mudah-mudahan berbagai perubahan (anggaran), ini yang terakhir tidak akan terjadi lagi dengan perubahan-perubahan yang lebih cermat,” ujar Bamsoet saat menjadi Keynote Speaker Seminar dan Bedah Buku “Ekonomi Pancasila dalam Pusaran Globalisasi”, kerja sama MPR, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan IPB Pres, di Bogor, Sabtu (20/6/2020).
Menurut Bamsoet, sejak awal pihaknya mempersilakan pemerintah untuk mengambil keputusan mengenai anggaran penanganan Covid-19. Kendati begitu, Bamsoet berpesan agar pengalokasian anggaran dilakukan secara cermat.
Apalagi, akibat pandemi Covid-19 ini, kata Bamsoet, Indonesia dan juga negara-negara lain mengalami persoalan serius dalam bidang keuangan.
Kondisi ini bisa dilihat dari penerimaan pajak yang terpukul. Per April 2020 turun 3,1% menjadi Rp376,3 triliun dengan defisit APBN mencapai Rp74,5 triliun.
Selain itu, total utang per April 2020, tercatat mencapai Rp5.172,48 triliun yang terdiri dari Rp4.338,44 triliun atau 83,9% dari Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp834,04 triliun atau 16,1% berasal dari pinjaman luar dan negeri.
Di mana Rp9,92 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri dan Rp824,12 triliun dari pinjaman luar negeri.
“Kita sudah memberikan hak sepenuhnya kepada pemerintah melalui persetujuan Perppu No 1/2020 untuk menggunakan seluruh kewenangan yang dimilikinya untuk memutuskan berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat,” kata mantan Ketua DPR ini.
Dikatakan Bamsoet, akibat pandemi Covid-19, dunia seperti menuju kebangkrutan massal. Sistem ekonomi dunia terkoreksi.
Virus Covid-19 bukan hanya menciptakan krisis kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik, melainkan juga menciptakan krisis bagi globalisasi akibat hantaman keras terhadap liberalisasi dan kapitalisme.(*/Joh)
JAKARTA – Anggaran untuk penanggulangan virus corona (Covid-19) dan dampaknya terus mengalami perubahan. Awalnya, pemerintah mengalokasikan anggaran Covid-19 pada Mei 2020 sebesar Rp405,1 triliun.
Kemudian, tiba- tiba angkanya naik menjadi Rp641,1 triliun. Tidak berselang lama, anggaran Covid-19 naik lagi sebesar Rp677,2 triliun. Dan kini membengkak menjadi Rp695,2 triliun.
Dari total alokasi Covid-19, Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan. Namun, alokasi anggaran ini dikeluhkan masyarakat. Musababnya, masyarakat masih harus ditarik bayaran ketika akan melakukan rapid test.
Salah satunya adalah dosen Pascasarjana Universitas Indonesia yang juga Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat KH Cholil Nafis. Kiai Cholil mengeluhkan besarnya biaya rapid test khususnya terhadap para santri yang akan pulang ke pondok pesantren (ponpes).
Keluhan Kiai Cholil ini diungkapkan dalam Twitter pribadinya @cholilnafis. Dalam cuitannya, Kiai Cholil mempersoalkan alokasi anggaran negara yang terus naik untuk penanganan Covid-19. Namun, hanya untuk rapid test para santri saja, mereka tetap harus membayar Rp400.000 di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta.
“Kemana ya uang 405 T yg skrng naik 667 T. Ini anak2 santri mau balik ke pesantren harus rapit tes masih bayar. Lah anak saya minggu lalu mau ke malang utk lulusan sekolahnya di Airport Halim harus rapid tes Bayar 400 rb. Bener nihh serius nanya kemana uang kita sebanyak itu ya?,” begitu cuitan Kiai Cholil dikutip sindonews .(21/6/2020)
Cuitan Kiai Cholil pun ditanggapi beragam. Salah satunya Faridism melalui akun @faridism yang juga mengeluhkan hal yang sama. Dia mengaku, anaknya juga diminta mengikuti rapid test dengan biaya Rp250.000. “Kami kirim anak kami ke ponorogo. Rapid test bayar 250rb yai,” ungkap Faridism.
Padahal, rapid test itu hanya berlaku selama 3 hari. Untuk rapid test tahap 3 juga sama berlaku untuk masa 7 hari. Dengan besarnya biaya ini, maka tidak mengherankan jika nantinya jual beli surat bebas Covid-19 akan marak kembali.(*/Ad)
JAKARTA – Pernyataan yang menjadi perhatian publik membuat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono mengaku tidak akan meminta maaf kepada publik terkait pernyataannya yang Sehingga, Arief Poyuono tidak akan melakukan apa yang diminta oleh Juru Bicara Partai Gerindra Habiburokhman itu.
“Tidak akan pernah (Minta maaf-red),” ujar Arief Poyuono dikutip dari sindonews, Jumat (19/6/2020).
Arief mengatakan PKI adalah partai yang ideologinya sudah dilarang sejak Orde Baru berkuasa.
“PKI itu partai yang ideologinya sudah dilarang dari zaman rikiplik, Orde Baru berkuasa, dan ada TAP MPR yang melarang,” ujar ketua umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu ini.
Arief melanjutkan jika ada masyarakat yang menganut dan mendirikan partai berhaluan komunis pasti dibubarkan oleh pemerintah.
Dia menambahkan, orang-orang yang menganut ideologi komunis itu akan berurusan dengan hukum.
“Nah sudah ada belum yang ditangkap aparat hukum selama ini akibat menganut paham komunis? Buktikan dan tunjukkan. Jelas isu PKI bangkit itu adalah buatan para kadrun yang banyak bersembunyi di partai yang eksis sekarang ini,”tandasnya.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro