PURWAKARTA – Pemkab Purwakarta terus menyosialisasikan kewajiban murid SD dan SMP untuk membawa bekal dari rumah serta larangan pedagang berjualan di sekitar sekolah.
Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter.
Kepala Bidang Keamanan dan Ketertiban Umum Satpol PP Purwakarta, Dedeh Sofia Hasanah mengatakan, sosialisasi terus dilakukan untuk mengingatkan kembali para guru, terutama para orang tua siswa dan anak-anaknya tentang aturan tersebut.
“Pada perbup dijelaskan harus bawa bekal dari rumah masing-masing dengan tujuan menangkal makanan berpengawet yang bisa membahayakan anak-anak. Kebijakan itu juga untuk menertibkan para pedagang yang bandel berjualan di lingkungan sekolah,” kata Dedeh, Minggu (1/3/2020).
Sosialisasi itu pun terus digenjotnya dengan menyasar sekolah-sekolah yang ada. “Pihak sekolah juga meminta untuk menghalau para pedagang karena banyak pedagang yang ngeyel. Kami akan kirim anggota untuk mengantisipasi itu,” tegasnya.
Diakui Dedeh, sosialisasi terkait perbup itu belum dilaksanakan secara menyeluruh karena kendala personel. “Hanya beberapa sekolah karena keterbatasan personel untuk menyosialisasikan dan saat ini sekolah yang meminta baru beberapa sekolah di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Cibatu dan Babakan Cikao,” sebutnya.
Lebih lanjut dia berharap agar ke depan aturan tersebut dapat berjalan dengan baik guna meningkatkan kesadaran membangun kualitas pendidikan. “Semoga bukan hanya peraturan tersebut, semua aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah bisa berjalan dan menciptakan ketertiban dalam bermasyarakat,” tandasnya.(*/As)
JAKARTA – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membentuk posko yang berfungsi sebagai pusat pemantauan, pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus corona di ibu kota.
Selain itu, Pemprov juga akan membentuk Tim Tanggap Virus Corona.
“Nanti akan ada poskonya, Senin besok akan diumumkan lengkapnya. Yang jelas ini akan menjadi rujukan untuk semua kegiatan yang terkait dengan COVID-19, sebagai pusat kendali untuk pemantauan, pencegahan dan penanggulangan COVID-19,” kata Anies di Markas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, Ahad (1/3).
Selain itu, kata Anies, pihaknya juga akan membentuk Tim Tanggap Virus Corona yang nantinya terdiri atas semua unsur. Anies mengatakan, tim tersebut tidak hanya diisi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Provinsi DKI Jakarta, tapi juga unsur pemerintah pusat dan seluruh pemangku kepentingan yang ada di Jakarta.
“Pimpinannya adalah Asisten Kesra yang akan menentukan ketua tim. Dan tim ini nanti mempunyai pos khusus dan semua komunikasi terkait dengan COVID-19, ya lewat ini,” ujarnya.
Kolaborasi ini, ujar Anies, dilakukan agar dapat bergerak cepat dalam mengantisipasi penyebaran virus corona di Jakarta yang merupakan pintu gerbang Indonesia. “Mengapa kita bergerak cepat dalam antisipasi, karena Jakarta adalah pintu gerbang Indonesia, kedatangan orang, interaksi dunia internasional porsi terbesarnya ada di Jakarta. Selain ada provinsi lain yang memiliki kunjungan besar. Umumnya wisata. Kemudian Jakarta termasuk bisnis,” kata Anies.
Semua ini dilakukan dengan harapan masyarakat merasa tenang dan pemerintah daerah bergerak responsif. Dia mengajak masyarakat tidak perlu panik dan berlebihan dalam merespons.
“Berkegiatan seperti biasa dan jangan menyebarkan berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya, namun tetap dalam kondisi bersiaga. Kemudian sering mengecek sebelum menyebarkan kabar dan rujuk kepada kami bila membutuhkan bantuan,” ungkapnya.
Apabila mencurigai ada kasus yang serupa dengan gejala COVID-19, bisa hubungi 112 dan seluruh sarana kesehatan di Pemprov DKI termasuk personalianya akan siap merespon cepat. “Biasakan juga cuci tangan sebagai pencegahan paling baik dan bila sedang batuk atau flu maka pakai masker,”sarannya.(*/Tub)
JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Ia menilai, pendidikan yang berkualitas tidak akan tercapai apabila menyingkirkan unsur-unsur tentang kebudayaan dan kesenian.
“Saya harus sebut satu hal. Di benak kami, pendidikan dan kebudayaan itu tidak bisa dipisahkan. Di benak kami, pendidikan itu tidak mungkin bisa menjadi satu hal yang efektif tanpa ada unsur budaya dan seni yang kuat. Itu sudah bagi saya harga mati,” kata Nadiem, dalam pembukaan Rakornas Kebudayaan, di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020) malam.
Ia mengatakan, di dalam kegiatan kebudayaan itu sebenarnya adalah proses pendidikan untuk generasi berikutnya. Kebudayaan dan tradisi di dalam pendidikan, lanjut Nadiem, juga bisa mempengaruhi pendidikan karakter siswa di sekolah.
“Setiap kali kita menunjukkan identitas kita itu menunjukkan penguatan karakter di anak-anak kita. Dimana ia bangga atas keberagaman Indonesia yang luar biasa kayanya,” kata Nadiem.
Terkait pandangannya tersebut, ia melakukan perubahan pendekatan dalam mengelola kebudayaan. Pertama adalah penyederhanaan struktur organisasi. Sebab, menurut dia, tanpa dibenahi rumahnya maka implementasinya akan tertunda. Oleh sebab itu, sistem organisasi dalam mengelola kebudayaan saat ini dibuat agar mendorong aktivitas lintas budaya bisa terjadi.
Selanjutnya adalah peningkatan anggaran. Saat ini, anggaran pemajuan kebudayaan ditingkatkan menjadi Rp 1,8 triliun setelah sebelumnya Rp 1,3 triliun. Menurut Nadiem, anggaran selama ini dinilainya tidak cukup untuk bisa memajukan kebudayaan.
Selain itu, ia juga ingin mengubah paradigma budaya yang tadinya hanya menjaga tapi tidak dinikmati menjadi lebih ofensif. “Kita ingin budaya kita budaya yang ofensif, yaitu kita tampil di panggung dunia. Jadinya diplomasi budaya merupakan suatu prioritas ke depan. Kalau tidak 2020 ya 2021 kita akan bergerak di panggung dunia memamerkan kebudayaan kita yang luar biasa,” kata dia lagi.
Nadiem mengatakan agar masyarakat dan pemerintah daerah tidak melihat budaya sebagai kesenian, tarian, atau karya semata. Budaya, menurut pandangannya, jangan hanya menjadi sesuatu yang ditampilkan namun juga dapat dinikmati oleh masyarakatnya.(*/Tub)
BOGOR – Yayasan Nurul Fikri Bina Generasi (YNFBG) Bogor resmi menjalin kerja sama dengan YUAI International Islamic School (YUAI IIS) Japan terkait peningkatan mutu pendidikan. Kerja sama dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) di Kantor Nurul Fikri Boarding School Bogor, Kamis (20/2).
Pendatanganan kerja sama Direktur Operasional, Drs Idris Azhar mewakili YNFBG Bogor, dan Kepala Sekolah YUAI IIS Japan, Yetti Dalimi MA (Psyc). Seperti tercantum dalam isi perjanjian, kerja sama ini dimaksudkan untuk saling memberikan dukungan serta penguatan kelembagaan di antara kedua belah pihak dalam rangka upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalam sambutannya, Kepala Sekolah SMAIT Nurul Fikri Boarding School Bogor, Dedy Setyo Afrianto, MPd menyatakan, “Ke depan kita bisa laksanakan pogram Student Exchange, Teacher Exchange atau bentuk kerja sama program yang terjadwal serta pengembangan manajemen dan pendukung lainnya.”
Kerjasama yang berlaku selama lima tahun ini juga disambut baik oleh Kepala Sekolah YUAI IIS Japan, Yetti Dalimi. “Kami seperti mendapatkan semangat dan dukungan baru. Sebab, mendirikan lembaga pendidikan Islam di Jepang sangat berat. Di tengah kuatnya kultur masyarakat Jepang, sangat memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga kami,” kata Yetti seperti dikutip dalam rilis yang diterima .
Jajaran pengurus Yayasan Nurul Fikri Bina Generasi (YNFBG) Bogor dan YUAI International Islamic School (YUAI IIS) Japan berfoto bersama seusai meneknen kerja sama.
Yetti menambahkan, “Belum lagi, kesulitan kami dalam mendapat SDM terutama guru yang kualifikasi sesuai standar. Tidak hanya baik secara ke-Islaman, tapi juga kemampuan beradaptasi mereka terutama terhadap kultur masyarakat Jepang yang sangat menghargai waktu.”
Sebelum sesi pendatangan MoU, kedatangan YUAI IIS Japan ini disambut siswa putra dan putri SMAIT NFBS Bogor dengan Tari Saman dan perkusi. “Kalian harus bersyukur bisa bersekolah di lembaga pendidikan Islam yang sangat kondusif untuk menjalankan agama dengan baik,” pesan Yetti Dalimi di hadapan para santri.(*/Ind)
YOGYAKARTA – Jumlah Guru Besar di lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada awal tahun 2020 kembali bertambah. Tiga dosen UMY, yakni Mukti Fajar Nur Dewata, Hilman Latief dan Muhammad Azhar menerima surat keputusan (SK) kenaikan jabatan akademik profesor dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Mukti Fajar Nur Dewata menerima SK guru besar bidang Ilmu Hukum serta Hilman Latief dan Muhammad Azhar guru besar bidang Ilmu Agama.
Penyerahan SK Guru Besar ditandai dengan pembacaan surat keputusan (SK) jabatan akademik dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dilanjutkan dengan penyerahan SK oleh kepala LL Dikti wilayah V DIY, Didi Achjari kepada Rektor UMY Gunawan Budiyanto. Rektor UMY kemudian menyerahkan kepada Mukti Fajar Nur Dewata, Hilman Latief dan Muhammad Azhar, di gedung AR Fachrudin A lantai V, UMY, Kamis (27/2/2020).
Hingga sekarang UMY telah memiliki 17 guru besar.
Rektor UMY Gunawan Budiyanto mengatakan, peningkatan jabatan fungsional dosen bukan urusan pribadi semata. Tetapi harus menjadi pilihan dan perhatian pihak manajemen universitas. UMY berkomitmen untuk meningkatkan kualitas proses pendidikannya. Dengan adanya tambahan guru besar memiliki dampak nyata terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
“Menjadi universitas yang unggul dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berlandaskan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat,” terangnya.
UMY sendiri menargetkan 350 dosen bergelar dokter. Untuk mewujudkan itu, maka akan terus mendorong dosen menempuh pendidikan lanjutan. Baik di dalam atau luar negeri.
Wakil Rektor UMY Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Nano Prawoto menambahkan, dengan banyaknya dosen bergelar doktor (S3) bukan hanya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan reputasi UMY, namun juga target bertambahnya guru besar di UMY tahun 2020 yakni 15 guru besar tercapai. Sebagai langkah awal, telah mempersiapkan 8 berkas pengajuan guru besar dan 10 berkas pengajuan jenjang lektor kepala (assosciate professor).
“Kami targetkan 50% dosen UMY bergelar doktor dan 40% memiliki jabatan lektor kepala dan guru besar. Saat ini UMY memilki 208 doktor dan sedang menyekolahkan 178 dosen ke jenjang S3. Baik dalam dan luar negeri,”tambahnya.
Kepala LL Dikti wilayah V DIY, Didi Achjari mengatakan, dengan bertambahnya guru besar baru diharapkan dapat meningkatkan kualitas keilmuan melalui proses diskusi dan dialog di UMY. Apalagi menjadi guru besar tidak hanya sekedar kebanggaan pribadi dan jabatan, tapi ada misi keilmuan dan kualitas pendidikan tinggi.
“Kami berharap akan lahir guru besar baru lagi di UMY. Sehingga dapat menghidupkan ruang-ruang diskusi yang menghasilkan pemikiran,” harapnya.(*/ D Tom)
JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai kepolisian berlebihan memperlakukan tersangka peristiwa susur sungai di SMP Negeri 1 Turi, Sleman. Para tersangka diperlakukan selayaknya kriminalitas berat.
Ia menuturkan, kepolisian seharusnya jangan berlebihan dalam memperlakukan para tersangka, yakni berinisial IYA (36), DDS (58) dan R (58). Dalam hal ini, kepolisian menggelandang, memamerkan guru di depan media, dan menggunduli para tersangka.
“Guru pengurus Kwartir Pramuka tersebut terduga penyebab musibah, bukan pelaku kriminal laiknya pembunuh, pemakai narkoba, atau begal,” kata Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, Rabu (26/2/2020).
Menurutnya, perlakuan kepolisian terhadap tersangka guru tersebut akan berdampak terhadap psikologis murid dan keluarga guru. “Tersangka guru tersebut wajib dapat perlindungan secara hukum oleh organisasi profesi guru tempat guru bernaung,” kata dia lagi.
Tiga orang tersangka kasus musibah susur Sungai Sempor dihadirkan saat gelar perkara di Polres Sleman, Yogyakarta, Selasa (25/2).
Ia menambahkan, berdasarkan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan tertulis soal hak guru yang berhadapan dengan hukum. Di Pasal 4 dan lima, dituliskan tersangka guru berhak mendapatkan bantuan hukum, konsultasi hukum dan penasehat hukum dari Kemendikbud dan pemerintah daerah.
Di sisi lain, ia menegaskan, FSGI mendukung proses hukum yang adil, transparan, akuntabel, dan proporsional dalam kasus tersebut. Hukum yang berlaku juga harus mengedepankan asas praduga tak bersalah.(*/Ind)
JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, akan membuat Peraturan Mendagri (Permendagri) pembentukan Dinas Perpustakaan di semua daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut dia, masih banyak daerah yang tidak memiliki tempat untuk membaca yang disediakan oleh pemerintah.
“Masih banyak sekali, lebih dari 5.000 kecamatan yang tidak memiliki tempat untuk membaca yang disediakan oleh pemerintah,” ungkap Tito pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Bidang Perpustakaan Tahun 2020 di Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2020).
Dalam pemaparannya, ia menyampaikan, masih ada 23 kabupaten/kota yang belum memiliki lembaga perpustakaan. Ada yang belum memiliki kelembagaan yang resmi, ada pula yang belum berstatus Dinas Perpustakaan.
Di tingkat kecamatan, dari 7.094 kecamatan, hanya 1.685 kecamatan atau 23 persennya saja yang sudah memiliki perpustakaan. Untuk tingkat desa, dari 83.441 desa, 33.929 di antarnya sudah memiliki tempat untuk membaca, baik itu perpustakaan mini atau dalam bentuk lainnya. Angka tersebut baru 40 persen dari total desa yang ada.
Menurut Tito, hal tersebut juga perlu didorong dengan maksimal. “Saya nanti akan membuat Permendagri, khusus untuk ini, agar semua daerah provinsi, kabupaten/kota, membentuk Dinas Perpustakaan. Kecamatan juga kita minta dorong untuk membuat, dianggarkan oleh kabupaten,” kata dia.
Tito mengatakan, berbeda dengan kabupaten, desa saat ini sudah memiliki uang rata-rata sebesar Rp 1 miliar per tahunnya. Anggaran tersebut, kata dia, salah satunya bisa digunakan untuk membangun perpustakaan. Menurut dia, pembuatan perpustakaan itu tidak perlu megah.
Tito menjelaskan, para eselon I juga akan ia perintahkan untuk melakukan hal tersebut. Salah satu pesan untuk para eselon I itu, yakni, agar menggunakan dana desa untuk membuat perpustakaan di desa masing-masing.
“Tidak usah hebat-hebat perpustakaannya, sesuaikan dengan karakter. Nanti saya akan arahkan, sekarang kita lagi banyak bergerak. Semua kepala desa kita kumpulkan,” ungkapnya.(*/El)
JAKARTA – Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim dosa pendidikan yang disebutkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim berkaitan erat dengan kualitas guru. Ia menuturkan, kualitas guru akan sulit dikejar apabila pengelolaannya masih tidak baik.
Satriwan mengatakan salah satu masalah pengelolaan guru, khususnya penanganan honorer. Tahun lalu, pemerintah sudah mengadakan rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerka (PPPK) namun hingga sekarang para guru yang lolos belum juga mendapat kejelasan.
“Masa setahun ini mereka terombang-ambing belum ada keputusan apa-apa? Padahal itu perintah negara, mereka mengikuti seleksi itu diselenggarakan oleh negara, sudah dinyatakan lulus tapi dibiarkan begitu saja,” kata Satriwan.
Selain itu, untuk guru secara umum, pemerintah harus memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas guru. Sebab, apabila dilihat dari uji kompetensi guru, nilai yang diperoleh para guru mayoritas masih belum memuaskan. Ia mengatakan, ke depannya pemerintah harus benar-benar memberikan perhatian pada peningkatan kualitas guru.
Nadiem sebelumnya menyebutkan tiga dosa dalam pendidikan. Tiga hal yang menurut Nadiem perlu segera dihapuskan adalah intoleransi, dosa kekerasan seksual, dan dosa bullying atau perundungan.
Menurut Satriwan, kualitas pendidikan tanpa intoleransi, kekerasan, dan perundungan dipengaruhi juga oleh kualitas guru. “Bagaimana bisa mencegah radikalisme di sekolah, kalau kapasitas gurunya saja rendah. Kompetensi guru kita juga masih rendah,” kata dia.
Guru tidak bisa serta merta disalahkan atas ketidakmampuan mereka. Sebab, masalah besar lainnya, yakni pemerintah khususnya di daerah tidak serius menangani masalah pendidikan dilihat dari anggaran yang dialokasikan kepada bidang tersebut.
Ia menjelaskan, di dalam Undang-undang 1945 Pasal 31, disebutkan anggaran pendidikan alokasinya minimal 20 persen baik di APBN dan APBD. Namun, daerah-daerah di Indonesia sebagian besar belum menjalankan perintah konstitusi tersebut.
Masih banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 10 persen. Menurut Satriwan, hal itu merupakan dosa terbesar pemerintah dalam pendidikan karena tidak sesuai dengan konstitusi.
“Pendidikan berkualitas macam apa yang bisa kita harapkan dari alokasi pendidikan yang cuma 1, 2, 3, 5 persen itu. Jadi, tambahan dari saya itu yang leih dahsyat persoalan dua ini. Inilah dosa terbesar,” kata dia lagi.(*/El)
BOGOR – Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Agus Sartono menyampaikan, lulusan SLTA atau SMA berpotensi mendapatkan pemasukan atau income yang rendah, berbeda dengan yang lulusan perguruan tinggi. Sayangnya, angkatan kerja di Indonesia justru didominasi oleh lulusan SMA.
Berdasarkan catatan Kemenko PMK, hampir 90 persen angkatan kerja di Indonesia diisi dengan orang-orang berlatar belakang pendidikan SMA. Hanya sekitar 10 persen yang berasal dari perguruan tinggi. Fakta itu membuktikan bahwa minimnya tenaga kerja terampil tidak sepadan dengan tantangan yang dibawa era 4.0.
“Kalau hanya lulusan SLTA (tenaga kerja kita), maka kesempatan kerjanya sempit, dan income-nya juga sedikit. Sehingga tabungan untuk negara pun sulit,” kata Agus saat menghadiri acara pelantikan wisuda sarjana dan pascasarjana Institut Agama Islam Nasional (IAI-N) Laa Roiba, di Bogor, Senin (24/2/2020).
Era industri 4.0 yang kerap berbasis internet of things (IoTs) membuat sejumlah lahan pekerjaan berubah drastis. Dia menggambarkan bagaimana lingkungan kerja di negara-negara lain pun ikut berubah. Pekerjaan-pekerjaan lama yang bisa digantikan oleh robot, maka hampir dipastikan punah dan memangkas tenaga kerja yang ada.
“Kalau kita ke luar negeri, sudah nggak ada pelayan atau banyak karyawan-karyawan yang hilang. Kerja mereka digantikan robot atau sistem yang support itu,” kata dia.
Hal serupa sejatinya juga mulai dirasakan di Indonesia. Di mana, kata dia, banyak pekerjaan-pekerjaan lama yang berganti atau hilang sama sekali. Untuk itu dia menekankan pentingnya pendidikan skill dan karakter bagi setiap elemen pendidikan.
Pendidikan skil dan karakter itu menurut dia juga harus dijalankan dengan harmonisasi gizi yang baik. Dalam Human Capital Life Cycle yang disusun Kemenko PMK, dia menjabarkan, pada aspek pertama lingkup kehidupan asupan gizi yang baik perlu diutamakan.
Pada 1.000 hari kelahiran pertama anak, kata dia, merupakan masa paling kritis dalam menentukan regenerasi. “Masa ini bisa kita sebut masa keemasan generasi unggul. Jangan rusak anak dengan (memberi) makanan atau tontonan yang tidak baik, karena dari 1.000 hari pertama inilah sesungguhnya penentuan garis besar masa depan mereka,”jelasnya.(*/Ind)
JAKARTA – Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof Unifah Rosyidi mengatakan pendidikan moral Pancasila perlu dihidupkan kembali dan ditanamkan ke dalam diri siswa. “Tidak hanya melalui teori, tetapi melalui perbuatan sehari-hari,” ujar Unifah saat membuka Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) di Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Unifah setuju jika pendidikan moral Pancasila kembali dihidupkan di sekolah, karena hal itu sangat dibutuhkan saat ini. Nilai-nilai Pancasila kalau tidak terinternalisasi pada diri siswa maka dikhawatirkan akan hilang.
“Sekarang yang diperlukan, bagaimana caranya menginternalisasi nilai-nilai Pancasila pada diri siswa,” jelas dia.
Unifah menjelaskan pendidikan Pancasila itu belum ada di UU Sisdiknas. Untuk itu, perlu upaya merumuskannya kembali mulai dari semua tingkatan.
Untuk tiap tingkatan atau jenjang, berbeda cara internalisasinya. Untuk tingkat dasar baru pengenalan, kemudian untuk jenjang SMA mulai mendiskusikan isu-isu.
“Siswa dapat membangun konsep dari persoalan. Mulai dari analisis dan kemudian pengembangan konsep,” tambah dia.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai setelah tidak adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah membuat generasi 90-an mengalami “kehilangan” terhadap ideologi bangsa, Pancasila. Mata pelajarain ini dihilangkan dari mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi sejak kurikulum tahun 1994.
Mata pelajaran ini lantas digabungkan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Kemudian, mata pelajaran diubah menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) pada 2003,.
Walaupun dalam PKN juga turut memuat tentang Pancasila, tetapi pembelajarannya lebih bersifat pengetahuan, bukan pemahaman. “Keberadaan mata pelajaran PMP merupakan amanat Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 yang disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
Akibat ketiadaan PMP, generasi muda bangsa seperti kehilangan pegangan ideologi. Sehingga gampang disusupi ideologi transnasional yang justru tak sejalan jati diri bangsa,” katanya..
Padahal, tambahnya, Pancasila yang digali Bung Karno bersumber dari jati diri bangsa Indonesia. Kita menjadi bangsa yang tak menghargai dan melupakan jati dirinya sendiri, asyik memakai “make up” jati diri bangsa lainnya.(*/Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro