JAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) memastikan pada tahun pelajaran baru 2020/2021 yang dimulai pada 13 Juli mendatang, Madrasah akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam (PAI).
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, A Umar mengatakan Madrasah, baik Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA), akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab.
“Mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs, dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab,” kata Umar di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Menurut Umar, Kemenag telah menerbitkan KMA No 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah. Selain itu, diterbitkan juga KMA 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah.
Kedua KMA ini akan diberlakukan secara serentak pada semua tingkatan kelas pada tahun pelajaran 2020/2021.
“KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah. Sehubungan itu, mulai tahun ajaran ini KMA 165 tahun 2014 tidak berlaku lagi,” lanjutnya.
Meski demikian, mata pelajaran dalam Pembelajaran PAI dan Bahasa Arab pada KMA 183 Tahun 2019 sama dengan KMA 165 Tahun 2014. Mata Pelajaran itu mencakup Quran Hadist, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab.
“Jadi beda KMA 183 dan 165 lebih pada adanya perbaikan substansi materi pelajaran karena disesuaikan dengan perkembangan kehidupan abad 21.
Kemenag juga sudah menyiapkan materi pembelajaran PAI dan Bahasa Arab yang baru ini sehingga baik guru dan peserta didik tidak perlu untuk membelinya. Buku-buku tersebut bisa diakses dalam website e-learning madrasah,” tukasnya.(*/Ind)
UNGARAN – Orang tua siswa kelas IX SMPN 5 Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan besaran pungutan oleh sekolah yang akumulasi besarannya mencapai ratusan ribu rupiah. Mereka menganggap besaran pungutan tersebut bakal menambah beban orang tua siswa.
Apalagi, hal itu dilakukan di tengah situasi sulit, akibat dampak pandemi Korona yang belum kunjung mereda.
“Bahkan sejumlah komponen pungutan yang dimaksud mestinya sudah bisa dicover oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak perlu dibebankan lagi kepada siswa,” ungkap Tika (46 tahun) salah satu orang tua siswa, Jumat (10/7).
Dia mengaku, menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2020/ 2021, setiap siswa kelas IX bakal dipungut Rp 725 ribu. Hal ini terungkap dalam rapat yang dilaksanakan pihak sekolah dengan orang tua/wali siswa kelas IX.
Adapun komponen dari pungutan tersebut, antara lain terdiri atas buku ujian Rp 150 ribu, foto ijasah Rp 30 ribu, tambahan jam pelajaran Rp 70 ribu, penulisan ijasah dan fotocopy Rp 25 ribu serta katalog Rp 65 ribu.
Selain itu juga kenang-kenangan untuk sekolah Rp 50 ribu, biaya wasanawarsa Rp 200 ribu, konsumsi untuk guru penjaga ujian Rp 60 ribu, sewa Genset Rp 25 ribu dan untuk mujahadah Rp 25 ribu.
Baginya pungutan ini sangat membebani, apalagi kapan kegiatan belajar tatap muka di sekolah sudah bisa dimulai juga belum ada kepastian. Karena harus pertimbangan keamanan zona persebaran virus Korona.
Dia juga mengaku, terkait dengan uang tersebut memang belum dibayarkannya atau oleh orang tua siswa yang lain, karena baru disampaikan pihak sekolah saat pertemuan dengan orang tua/ wali siswa.
Namun yang masih menjadi pertanyaan baginya, kalau komponen tersebut bisa dicover oleh BOS, kenapa masih dibebankan kepada orang tua siswa. “Katanya sekolah gratis sudah dibiayai BOS, tetapi masih akan dipungut Rp 725 ribu per siswa,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Tika, dari beberapa komponen biaya yang dibebankan kepada siswa tersebut masih ada yang membuatnya kurang sreg. Seperti misalnya biaya konsumsi untuk pengawas ujian.
Katanya sekolah menyiapkan untuk makan dengan besaran Rp 15 ribu per pengawas. Karena ujian berlangsung selama empat hari maka besarannya 15 ribu x 4 mencapai Rp 60 ribu per pengawas yang dibebankan kepada tiap siswa.
Karena pengawas ujian itu kan satu ruangan hanya satu orang, tapi semua siswa dibebani Rp 60 ribu per siswa. “Kalau satu ruangan ada 15 siswa, masa satu pengawas makannya sampai 15 porsi per hari,” tambahnya.
Tika juga menjelaskan, dalam pertemuan tersebut ia memang tidak sempat menyampaikan keberatan. “Karena memang waktunya terbatas dan sepertinya tidak ada kesempatan untuk berkomunikasi dua arah dan kesannya bukan rapat tapi hanya pemberitahuan,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disdikbudpora) Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo yang dikonfirmasi mengaku, sudah mendengar perihal keluhan beberapa orang tua siswa tersebut.
Menurutnya, kondisi yang di SMPN 5 Ambarawa memang memungkinkan pihak sekolah memebebankan sebagian kebutuhan siswa kepada orang tua dengan landasan musyawarah pihak sekolah, komite sekolah serta orang tua/ wali siswa.
Sebab kondisi sekolah di Kabupaten Semarang tidak semuanya sama, termasuk dengan jumlah siswanya. “Artinya sekolah dengan jumlah siswanya yang terlalu sedikit pasti beban orang tua juga menjadi lebih,” katanya.
SMPN 5 Ambarawa, jelas Sukaton, kategorinya sekolah dengan siswa yang sedikit atau Indeks Satuan Pendidikannya kurang. APBD tidak bisa mengcover semuanya kalau itu dibebankan kepada pemerintah.
Demikian halnya, meskipun sudah ada dana BOS, jika sekolah tidak bisa mengkover, masih bisa membebankan kepada orang tua sepanjang dilaksanakan melalui landasan musyawarah dan kesepakatan bersama.
Persoalan ini telah diatur dalam regulasi Permendikbud Nomor: 75 Tahun 2015 tentang Komite Sekolah. “Bahwa pendidikan itu milik kita bersama, maka itu masuknya sumbangan untuk kepentingan siswa bukan pungutan,” katanya.
Terkait dengan adanya keluhan dari orang tua siswa di SMPN 5 Ambarawa ini, Sukaton juga mengatakan boleh disampaikan, namun juga harus dicek kembali duduk persoalan seperti apa.
Sehingga kuncinya saat diajak musyawarah orang tua diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat harus dimanfaatkan. “Jadi apapun keputusannya itu merupakan hasil musyawarah yang melibatkan semua stakeholder di sekolah tersebut,”ungkapnya.(*/D Tom)
BEKASI – Sekolah di Bekasi sebentar lagi akan bertatap muka namun akan menerapkan dengan ketat protokol kesehatan .
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi mengklaim Kota Bekasi kini sudah masuk zona hijau COVID-19 dengan indikator angka penyebaran kasus yang semakin turun.
Berdasarkan indikator tersebut pula Rahmat bahkan berani membuka kembali sekolah-sekolah yang ada di Kota Bekasi mulai 13 Juli mendatang.
“Sudah hijau, kalau ada kasus baru ya infrastruktur kita terpenuhi, jadi tidak perlu khawatir makannya jangan melawan COVID-19, tetapi aman COVID-19 di Kota Bekasi,” kata Rahmat yang biasa dipanggil Bang Pepen di Bekasi, Kamis (9/7/2020).
Dia mengaku sudah mengikuti instruksi sesuai arahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait dibukanya kembali aktivitas sekolah tatap muka jika wilayah tersebut sudah dikatagorikan zona hijau.
“Kalau sudah memenuhi standar dan jika terjadi apa-apa Pemkot Bekasi juga sudah ada antisipasi jadi kenapa tidak. Kita akan buka sekolah tatap muka,” ungkapnya.
Di Kota Bekasi tercatat sudah sebulan lebih tidak ada kasus kematian yang disebabkan COVID-19 sementara angka kasus positif juga semakin berkurang.
“Kalau ada pasien kasus COVID-19 kan sarana dan prasarana kita ada, angka kematian saat ini juga sudah tidak ada dan angka penularannya rendah di bawah satu perhari,” ucapnya.
Berdasarkan data COVID-19 Kota Bekasi hari ini tercatat terkonfirmasi positif hanya menyisakan 16 kasus sementara pasien dalam perawatan sudah tidak ada dan orang dalam pemantauan berjumlah 134.
Dilansir dari laman yang sama secara keseluruhan total orang yang meninggal dunia selama pandemi virus ini mencapai 36 kasus dari total 451 kasus terkonfirmasi positif.
Tren penurunan tersebut menjadi dasar Wali Kota Bekasi menetapkan wilayahnya menjadi zona hijau COVID-19 meski berdasarkan data Gugus Tugas Provinsi Jawa Barat periode 25-30 Juni lalu masih termasuk zona kuning.(*/Eln)
LEBAK – Bupati Lebak Iti Oktavia mengatakan untuk sekolah belum bisa bertatap muka sampai dianggap aman .
Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak menargetkan pelaksanaan belajar secara mengajar tatap muka tingkat SMP dan SD akan dilakukan pada akhir tahun ini, dengan syarat sudah menjadi zona hijau virus corona (Covid-19).
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak Wawan Ruswandi mengatakan, skenario pelaksanan belajar mengajar tatap muka dilakukan setelah dinyatakan aman dari penyebaran Covid-19.
Tingkat SMP ditargetkan siswa dapat belajar secara normal pada September 2020. Sedangkan SD akan dilakukan setelah dua bulan pelaksanaan belajar mengajar tingkat SMP berjalan normal atau pada November 2020.
“Ketika kita (Lebak) sudah zona hijau, maka tahap pertama hanya diperbolehkan SMA/SMK di masa transisi. Dua bulan kemudian dianggap lebih bagus nanti SMP, sehingga SMP bisa terlaksana bulan september. SD di bulan November,” ujar Wawan kepada wartawan.
Dijelaskan Wawan, saat ini pihaknya tengah mengupayakan para siswa yang berada di zona blank spot atau sulit sinyal dapat melaksanakan belajar mengajar tatap muka.
“Untuk awal kita sedang mengkaji daerah-daerah yang memungkinkan melaksanakan tatap muka. Kita akan kaji dengan gugus tugas bagaimana caranya di zona hijau bisa melaksanakannya,” jelas Wawan.
Meskipun tatap muka, pelaksanaannya mesti harus mengikuri protokol kesehatan dan yang terpenting ada persetujuan dari orangtua siswa.
“Aturannya sama kaya zona hijau protokol (kesehatannya). Sebelum pelaksanaannya harus menyiapkan cuci tangan, masker, dan persetujuan orangtua,” tutupnya.
Sementara Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan di wilayahnya masih pelaksanaan belajar mengajar tatap muka tidak diperbolehkan.
Namun, pihaknya tengah berupaya meminta pelonggaran terutama para siswa yang berada di gunung yang tidak memungkinkan melaksanakan secara daring agar bisa tatap muka. “Kalau melalui daring dari segi sinyal kan belum memadai, banyak yang blank spot,” tukasnya.(*/Dul)
BEKASI – Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi memperbolehkan sekolah-sekolah kembali melakukan proses kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka.
Tetapi, sekolah-sekolah harus memenuhi standar protokol kesehatan yang diterbitkan melalui keputusan wali kota (kepwal).
Bila itu semua sekolah sudah memiliki standar protokol kesehatan, maka setiap sekolah dipersilahkan untuk mengajukan proposal ke Dinas Pendidikan (Disdik).
“Kita persilahkan, nanti setiap dua minggu sekali kita akan evaluasi,” ujar Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi ketika meninjau langsung di salah satu sekolah di Kota Bekasi, Selasa (7/7/2020).
Dalam mempersiapkan sekolah menuju adaptasi tatanan hidup baru mencegah virus corona atau Covid-19, pihaknya juga meminta agar di sekolah-sekolah mengikuti aturan yang dituangkan dalam kepwal.
“Tadi sudah ada persyaratan-persyaratanya, RS kerjasama juga ada. Artinya ini adalah suatu perubahan untuk mengantisipsi terhadap klaster baru. Meski pun klaster ada tetapi itu semua kita serahkan ke dinkes,” ujar pria yang disapa Pepen ini.
Sekolah-sekolah di Kota Bekasi, kata Pepen, harus dibuka. Terlebih, pihaknya terus melakukan antispasi terhadap penyebaran virus corona dengan menerapkan protokol kesehatan.
“Sekolah harus terus berjalan karena semakin lama kita lupa tidak melakukan perubahan, maka kita akan merugi. Karenaya antisipasi terus kita jalankan,” jelas dia.
Tak hanya sekolah swasta, sekolah negeri pun harus menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya yang sudah diterapkan oleh salah satu sekolah di Kota Bekasi.
“Makanya saya bilang, role modelnya ikut di sini saja. Mungkin sekolah negeri kesulitan, maka dari itu disesuikan dengan kondisi yang ada,”jelasnya.(*/Eln)
JAKARTA – Wakil Ketua Forum Komunikasi Kepala Sekolah DKI Jakarta Suparno Sastro memantau pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini.
Ia menyoroti, masalah timbul karena terbatasnya sekolah swasta unggulan di Ibu Kota ketika calon siswa tertolak dari SMA Negeri.
Suparno mengeklaim, tingginya minat calon siswa SMA hanya terjadi di sekolah berkategori unggulan. Kritik PPDB tahun ini masif ditujukan ke Pemprov DKI karena menggunakan usia sebagai salah satu syarat.
Mereka yang terpental dari SMA negeri lantas mencari SMA swasta unggulan sebagai pengganti.
“Memang kondisi ini relatif hanya terjadi di beberapa sekolah (swasta) yang kategorinya unggulan. Swasta lain malah kekurangan jumlah siswa karena orang tua wali ingin cari pengganti yang unggulan karena enggak dapat SMA Negeri,” kata Suparno , Minggu(5/7).
Namun sekolah swasta unggulan biasanya tidak terjangkau seluruh orang tua murid. Contohnya, SMA Labschool Jakarta mematok harga Rp 30 juta untuk pendaftaran saja.
Orang tua murid yang tak berkocek tebal harus putar otak agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan di sekolah unggulan.
“Ketika tak tertampung, relatif ada protes di situ. Sebenarnya kalau memang daya tampung muat, toh ada swasta lainnya, tapi pilihan terbatas di swasta unggulan, pilihannya enggak banyak,” ujar Kepala SMA Labschool Jakarta itu.
Suparno berharap, Disdik DKI Jakarta tak lagi-lagi menciptakan masalah ketika PPDB. Dampaknya sangat dirasakan calon murid dan orang tua murid.
“Yang paling fatal itu di sosialisasi PPDB, kalau dilakukan jauh hari pakai umur bilang lah. Itu orang jadi enggak panik,” ujarnya.(*/Ind)
JAKARTA – Jalur peserta didik diperuntukkan untuk kalangan menengah kebawah dan memberikan kesempatan agar anak peserta didik bisa mengenyam pendidikan disekitar lingkungannya .
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) jelaskan alasan utama memilih jalur zonasi untuk calon peserta didik.
Menurut Plt Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad, jalur zonasi ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Ia terangkan, bagi peserta didik yang berasal dari menengah ke bawah selalu gagal dalam sistem seleksi yang menggunakan Ujian Nasional (UN).
Hal itu dikarenakan kalangan masyarakat menengah ke atas memiliki fasilitas yang cukup untuk belajar.
Hamid menambahkan, untuk masyarakat menengah ke bawah selalu mendapatkan fasilitas pendidikan yang kurang memadai. Untuk itu, ia menuturkan Kemendikbud terapkan jalur zonasi bagi peserta didik.(*/Ind)
JAKARTA – Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 di DKI Jakarta disinggung dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Kamis (2/7/2020).
Persoalan PPDB di DKI Jakarta itu disinggung oleh Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Putra Nababan.
Putra mengungkapkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) Komisi X DPR dengan orang tua murid beberapa waktu lalu adalah mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk segera mencabut Surat keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan DKI Nomor 501 Tahun 2020 tentang petunjuk teknis PPDB tahun 2020/2021.
Karena, lanjut Putra, SK Kepala Dinas Pendidikan DKI Nomor 501 itu tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. “Artinya saya sangat mendambakan ingin dengar suara Pak Mendikbud dalam hal ini yang mengeluarkan Permen yang tenyata pelaksanaannya tidak sesuai,” katanya.
Dia mempertanyakan langkah apa yang akan dilakukan Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengatasi kisruh PPDB di DKI Jakarta itu.
“Banyak ibu-ibu menangis stres terutama tak jauh dari kantor Pak Mendikbud kemarin, kita ingin dengar singkat Peraturan Menteri dalam kesimpulan Komisi X itu telah dinyatakan diminta untuk dicabut SK-nya,” tandasnya.
Sementara itu, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan Inspektorat Jenderal maupun Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) pada Kemendikbud akan melakukan kajian mengenai tidak sinkronnya SK Kepala Dinas Pendidikan DKI Nomor 501 itu dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.
“Lalu kami akan ambil langkah-langkah untuk bekerja sama baik dengan kementerian terkait yaitu Mendagri maupun juga dengan kepala dinas di Jakarta untuk diskusi mengenai isu ini,” ujar Nadiem Makarim dalam kesempatan sama.
Nadiem mengaku masalah itu bisa mengecewakan para orang tua murid saat ini. “Saya mengerti sekali dan berempati dan bersimpati kepada semua orang tua murid yang mungkin lagi kesulitan dan kebingungan karena proses yang terjadi.
Jadi, kami akan mengkaji kalau dari sisi legal dan lain-lain mengenai pencabutan itu adalah ranah dari pada Mendagri, tapi kami akan berdiskusi dengan pihak kementerian tersebut baik juga kepala dinas untuk menemukan titik solusi,” pungkasnya.(*/Ind)
BEKASI – Permasalahan yang dihadapi pada saat PPDB mengenai titik koordinat yang tidak sesuai karena jarak dan rumah tinggal kesekolah tak sesuai .
Puluhan warga Kota Bekasi datangi Dinas Pendidikan (Disdik) Kota untuk memperbaiki data terkait zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Pantauan di lapangan, Kamis (2/7/2020), para orang tua di kumpulkan di ruangan yang berada di kantor Disdik Kota Bekasi, yang berada di Jalan Lapangan Tengah, Kelurahan Margahayu Kecamatan Bekasi Timur.
Reni (40) Salah satu orang tua, mengeluhkan sistem zonasi PPDB Kota Bekasi masih dinilai kacau dan tidak sesuai titik koordinat. Anaknya mendaftarkan ke SMPN 50 Kota Bekasi, yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
“Zonasi saya di google map saya sekitar 983, tapi tiba tiba saya daftar malah 1,2 meter ke sekolah,” ucap Reni kepada wartawan, Kamis (2/7/2020).
Dirinya meminta pihak Disdik Kota Bekasi segera memperbaiki atas kesalahannya terhadap titik koordinat.
Reni menjelaskan tetangganya yang melakukan pendaftaran ke sekolahan yang sama, malah terpilih masuk ke sekolahan tersebut.“Itu tetangga saya yang sama mendaftarkan anaknya ke sekolah yang sama, malah dia yang diterima,” imbuhnya.
Hal senada juga dikatakan Dewi (35) dirinya juga mengeluhkan terkait sistem zonasi, untuk PPDB online saat ini.“Ya, jarak antara rumah tinggal ke sekolah tidak sesuai, mangkanya ini mau diperbaiki,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Disdik Uu Saeful Mikdar, menerangkan kesalahan tersebut merupakan manusia dan hal yang wajar.Rata-rata yang sekarang datang ini mengeluhkan terkait zonasi, titik koordinat dari tempat tinggalnya ke sekolah yang di tuju.
“Hari ini masyarakat yang datang itu yang merasa di rugikan, salah satunya zonasi ataupun titik koordinat antara jarak sekolah dengan Tempat tinggal,”ungkapnya.“Misalnya calon siswa A dan calon Siswa B mereka berdekatan tempat tinggalnya, masa jaraknya beda 500 meter,” tukasnya.(*/Eln)
MADIUN – Salah satu tebosonan siswa untuk memberikan dampak ramah lingkungan para siswa merakit mobil listrik dan memberikan kontribusi pada masyarakat .
Siswa Sekolah Menengah kejuruan (SMK) Model PGRI I Mejayan, Madiun, Jawa Timur, merakit mobil listrik.
Mereka merakit mobil efisien dan ramah lingkungan dengan peralatan sederhana.
“Ide inovasi mobil listrik UMKM ini bermula dari gagasan pembuatan kereta cinta atau sepeda cinta dengan sumber tenaga geraknya ayunan kaki manusia,” kata Kepala SMK Model PGRI 1 Mejayan Sampun Hadam, dikutip dari siaran pers, Rabu (1/7).
Mobil yang dirakit siswa dengan bantuan guru itu, menurut dia, bisa dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan wirausaha. “Mobil ini dapat dimanfaatkan masyarakat untuk berwirausaha, karena pada masa pandemi COVID-19 ini banyak pengangguran dan berdampak pada penyerapan lulusan SMK,” katanya.
Selain untuk kegiatan pembelajaran, ia menjelaskan, perakitan mobil listrik tersebut dilakukan untuk mendukung program kemitraan sekolah dengan 72 desa di Kabupaten Madiun.
“Pada awalnya, kami merancang pembuatan kereta cinta, tapi dari prospek profit tidak mendukung. Akhirnya kami inovasi menjadi mobil listrik UMKM dan lebih prospek profit dan membuka peluang usaha,”lanjutnya.(*/Gio)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro