BOGOR - Tidak semua kemampuan ayah menurun kepada anaknya, seperti yang dialami Prabu Siliwangi, penguasa tanah Sunda. Kesaktian Prabu Siliwangi, penguasa Kerajaan Pajajaran, konon tidak menurun kepada putranya. Sang putra, Prabu Surawisesa, yang naik takhta menggantikan ayahnya, dibuat kerepotan oleh berbagai tantangan internal dan eksternal kerajaan.
Pemerintahan Surawisesa pun berjalan tidak mulus. Gejolak internal hingga peperangan tergambar jelas pada prasasti bernama Batutulis. Prasasti ini mendeskripsikan kekalutan dan goyahnya pemerintahan Surawisesa.
Prasasti tersebut konon dibuat dua tahun sebelum Surawisesa wafat. Sang penguasa Pajajaran kala itu dilanda kegelisahan akibat peperangan yang melanda segenap wilayah Pajajaran, sebagaimana disebutkan dalam Melacak Jejak Sejarah: Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Saleh Danasasmita.
Motivasi Surawisesa tidak hanya didorong oleh kedudukan atau kekuasaan, tetapi terutama rasa setia dan bakti kepada ayahnya yang telah mewariskan kerajaan dalam keadaan purbatisti-purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit, kreta tang lor kidul kulon wétan kéna kreta rasa. Sifat baktinya tampak sekali ketika ia membuat sakakala sebagai tanda peringatan dan kenang-kenangan bagi ayahnya, yang kita kenal sebagai Prasasti Batutulis.
Prasasti Batutulis menarik untuk dibaca secara historis, antropologis, maupun sastra—menyelami getaran batin orang yang memerintahkannya dibuat. Secara historis, prasasti ini ingin menegaskan bahwa Prabu Siliwangi adalah raja yang agung.
Konon, Prabu Siliwangi mengumpulkan kekuatan gaib dari lingga agar tetap memayungi raja pembuat prasasti. Prasasti ini merupakan sakakala yang dibuat saat Sri Baduga (gelar Prabu Siliwangi) telah wafat (purane). Mungkin maksudnya agar kegaiban Sri Baduga tetap melindungi Pajajaran.
Di balik pujian dan gambaran jasa-jasa Sri Baduga, tersimpan rasa pedih di hati Surawisesa. Ia merasa kecewa dan bersalah karena tidak mampu memegang amanat, meskipun sudah berusaha keras membela dan mempertahankan wilayah Pajajaran yang diwariskan kepadanya.
Dapat dimaklumi jika Surawisesa terkesan “putus asa”. Sudah terbayang olehnya bahwa Pajajaran akan runtuh. Ia sadar bahwa ayahnya benar-benar raja besar: Prabu Siliwangi meninggalkan kerajaan dalam keadaan kokoh, kuat, aman, dan damai, sedangkan di masa pemerintahannya, Pajajaran tercerai-berai oleh perang.
Setelah pihak Portugis tidak lagi hadir, andalan Pajajaran pun lenyap, padahal yang merintis hubungan dengan Portugis adalah Sri Baduga. Singkatnya, dari sudut pandang sastra, Prasasti Batutulis dapat dipandang sebagai tanda bakti dan permohonan maaf seorang anak yang merasa bersalah karena tidak mampu menjaga amanat ayahanda.(OKZONE)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro