JAKARTA – Pengakuan mantan ketua KPK Agus Rahardjo dalam wawancara di sebuah stasiun televisi swasta menyudutkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Agus menyebut Jokowi pernah memanggilnya untuk menghentikan kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el/e-KTP) yang menjerat mantan ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) yang juga ketua umum Golkar kala itu. Saat itu, ia dipanggil sendirian tanpa empat komisioner KPK lainnya.
"Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Saya heran biasanya memanggil berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan," kata Agus dalam wawancara di sebuah stasiun televisi pada Kamis (30/11/2023) malam.
Begitu masuk ruangan, Agus menyebut Presiden Jokowi sudah marah. "Di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Karena baru saya masuk, beliau sudah teriak 'Hentikan,'" sambungnya.
Awalnya, dia mengaku tidak paham dengan maksud Jokowi tersebut. Namun kemudian dia baru memahami bahwa Jokowi marah dan memintanya untuk menghentikan kasus KTP-el yang menjerat Setya Novanto. "Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasus Setnov, ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus e-KTP," kata dia.
Kendati demikian, Agus menolak perintah Jokowi untuk menghentikan kasus tersebut. Sebab, surat perintah penyidikan (sprindik) telah diterbitkan. "Saya bicara apa adanya saja bahwa sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu. Saat itu di KPK tidak ada SP3, tidak mungkin saya memberhentikan itu," jelasnya.
Istana membantah pernyataan Agus Rahardjo yang menyebut Presiden Jokowi sempat marah dan meminta agar kasus korupsi KTP-el Setya Novanto dihentikan. Dalam pernyataannya, Agus menyampaikan bahwa saat itu dirinya dipanggil sendiri oleh Presiden Jokowi ke istana. Ia menyebut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno hadir dalam pertemuan itu.
Namun, Koordinator Staf Khusus Presiden RI Ari Dwipayana menegaskan tidak ada pertemuan tersebut dalam agenda Presiden. "Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," kata Ari, (1/12/2023).
Ari mengatakan, pada kenyataannya saat itu proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan. Selain itu, juga sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," ungkapnya.
Selain itu, dalam pernyataan resminya pada 17 November 2017, Presiden Jokowi juga dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK dalam kasus korupsi tersebut. "Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP Elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," ujar Ari.
Mengenai revisi UU KPK pada 2019, Ari mengatakan, hal itu merupakan inisiatif dari DPR, bukan pemerintah. Ia juga membantah bahwa revisi UU KPK tersebut sebagai upaya untuk menjadikan KPK sebagai alat kekuasaan. Menurut Ari, revisi UU KPK terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto.
"Perlu diperjelas bahwa revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," kata Jokowi.
Ari Dwipayana menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai kinerja pemerintah. Ia pun meminta agar masyarakat tak mudah menerima informasi yang beredar seraya menekankan untuk kembali memastikan kebenarannya.
"Ya, saya kira masyarakat bisa menilai, ya, bisa mengkroscek melihat informasi dengan baik, benar atau tidak, dan juga melihat kenyataan-kenyataan yang ada," kata Ari.
Mantan wakil ketua KPK Saut Situmorang mengakui, Agus juga pernah bercerita kepadanya soal pemanggilan oleh Jokowi. "Kalau dengar begitu sudah lama. Sudah lama, kan dia habis ketemu itu kan beberapa saat terus dia cerita," kata Saut.
Saut mengatakan, Agus menceritakan peristiwa tersebut saat pimpinan KPK hendak menggelar konferensi pers tentang penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden. Saat itu, ia dan Agus sedang turun menuju lobi Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
"Jadi, yang saya ingat begini. Waktu mau turun ke bawah, kita jalan berdua, (Agus Raharjo cerita) 'Ya saya dimarahi.' Lalu, saya bilang, Oh, gitu, ya, Pak. Bapak pergi sendiri?" ungkap Saut mengulangi perbincangannya dengan Agus saat itu.
"Cuma dalam pikiran saya, seperti Pak Agus bilang, biasanya kan dipanggil enggak sendirian. Berlima, ya, kan. Mungkin yang manggil (berpikir) percuma memanggil Saut. Bandel itu," kelakar Saut.
Saut menduga, Presiden sudah mengetahui sikap lima pimpinan KPK saat itu terhadap kasus korupsi KTP-el yang menjerat Setya Novanto. Dia menjelaskan, tiga pimpinan KPK menyetujui penyidikan kasus tersebut, sedangkan dua lainnya menolak.
"Dalam pikiran kotor saya, pasti ada bocoran. Kan skornya 3-2. Tahulah Anda yang dua siapa, yang tiga siapa. Jadi, mungkin dia (Presiden, Red) dengar-dengar dan panggil saja. Mungkin di pikiran yang perintah seperti itu. Tapi, enggak tahulah kenapa dipanggil sendirian," ujar Saut.
Saut pun mengapresiasi sikap Agus yang menolak permintaan presiden untuk menghentikan penanganan kasus korupsi KTP-el. Sebab, pimpinan KPK telah menandatangani sprindik.
"Sebagai pimpinan, saya nilai dia (Agus Rahardjo, Red) bijaklah. Dia ke sana (Istana Negara, Red), tapi aku rasa dia punya feeling itu arahnya ke mana. Kalau Pak Agus bisa dipengaruhi, berubah tuh skornya dari 3-2. Tapi kan sudah ada tanda tangan sprindik," ujar Saut.
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengaku pernah mendengar perihal eks ketua KPK Agus Rahardjo yang diminta untuk menghentikan perkara kasus KTP elektronik oleh Presiden Joko Widodo. Dia juga mendapatkan kabar bahwa Agus berniat mengundurkan diri jabatannya.
“Iya saya memang pernah dengar cerita itu, saya saat itu ada di Singapura sedang berobat,” ungkap Novel.
Menurut informasi yang didapatnya, kata Novel, Agus hendak mengundurkan diri dari lembaga antirasuah tersebut. Hal itu karena yang bersangkutan ingin kasus yang menyeret Setya Novanto alias Setnov dalam pusaran kasus korupsi KTP-el itu berlanjut. Ketika itu, Setnov menjabat sebagai ketua DPR dari Partai Golkar.
"Seingat saya malah Pak Agus sempat mau mengundurkan diri itu. Jadi, untuk bertahan dalam komitmen untuk perkara SN tetap dijalankan, itu Pak Agus sempat mau mengundurkan diri,” kata dia.(Republika/Jon)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro