JAKARTA - Pakar Epidemologi dari Universitas Airlangga, Laura Navika Yamani menilai jika pemerintah menerapkan herd immunity di tengah pandemi Covid-19, maka akan banyak korban berjatuhan.
"Kalau diterapkan akan menimbulkan banyak korban yang butuh penanganan, atau masuk rumah sakit," kata Laura, Kamis (21/5/2020).
Kemudian fasilitas kesehatan di Indonesia terbatas begitu tenaga kesehatan juga akan kewalahan. "Akibatnya jika banyak yang tidak tertangani maka kasus kematian meningkat," ungkapnya.
Jadi, syarat penerapan herd immunity harus mencapai 50 persen jumlah populasi di suatu negara tersebut.
"Artinya jika populasi di Indonesia 270 juta, maka harus ada sekitar 135 juta yang terinfeksi, dari 135 juta yang akan membutuhkan penanganan atau menjadi parah sekitar 30 persen, atau 40-50 juta orang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit," tegasnya.
Jadi Penerapan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat sudah tepat upaya penyebaran virus corona.
"Jadi yang terinfeksi sekarang harus tertangani, disembuhkan dan di-tracing untuk mendapatkan kasus positif disekitar kasus pertama," sambungnya.
Akan tetapi, jika PSBB dilonggarkan kemudian diterapkan herd immunity maka kasus Covid-19 di Indonesia akan melonjak.
"Jika terjadi pembiaran atau mungkin disebut sebagai herd immunity akan memicu pelonjakan kasus, dan justru menjadi beban nantinya, padahal konsep herd immunity untuk konsep vaksinasi atau imunisasi," bebernya.
"Tidak tepat untuk diterapkan saat pandemi covid yang belum ditemukan vaksinya. Jadi herd immunity dianggap pembiaran karena membiarkan orang terpapar secara alami," tandasnya.(*/Tya)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro