Ada yang mendadak kelu ketika Golkar hari ini dalam pencalonan cawapres Prabowo menyandingkan (bahkan mempersamakan) Sutan Syahrir dengan Gibran Rakabuming, putra Presiden Jokowi yang kini menjadi wali kota Solo.
Agar fair, mari kita bandingkan sosok Sutan Syahrir di masa muda, jauh sebelum jadi perdana menteri, dan dan jauh dari masa kemerdekaan. Ini terutama cerita ketika Syahrir dalam usia beliau.
Anak bangsa yang paham sejarah tahu, bila kepulauan Banda Neira menjadi pulau pengasingan bagi tokoh-tokoh nasional Indonesia. Sutan Sjahrir -- dan juga Bung Hatta -- adalah pendiri bangsa yang pernah tinggal di sana selama enam tahun. Sejak muda mereka mengenyam pahit dan paham apa itu berjuang untuk kemerdekaan bangsanya.
Bahkan saat itu seorang intelektual India menganggap Sutan Syahiri adalah bom Asia.’’Jadi kini saya tak mengerti bila di sosok Sutan Syahrir sejajar dengan Gibran. Ini berlebihan,’’ kata Lukman Hakim, penulis sejarah dan mantan staf M Nasir serta staff ahli Wapres Hamzah Haz.
“Menyamakan Gibran dengan Sutan Syahrir, menurut saya tak masuk akal. Ingat sebelum menduduki jabatan perdana menteri pada usia 36 tahun, Sjahrir sudah berjuang habis-habisan untuk kemerdekaan Indonesia. Dia rela hidup dalam pengasingan dan mempertaruhkan sikap masa depan dirinya dengan memilih Indonesia merdeka. Syahir dan generasi sebayanya, kala itu sudah menghayati dan paham mempimpin adalah jalan menderita. Nah, kini lidah saya kelu, tak lagi bisa bicara apa-apa lagi,’’ ujarnya lagi.
Kali ini marilah kita kenang sosok Sutan Syahrir ketika berada dalam pengasingan di pulau Banda. Di situ sudah terlihat ‘cahaya kebeliaan’ Syahir dalam usia sangat belia.
Keberadaan Sutan Sjahrir diabadikan dengan sebuah rumah yang bisa dikunjungi siapa pun. Rumah yang bergaya kolonial, dengan langit-langit tinggi dan tiang penyangga, serta jendela besar.
Dalam rumah ini masih terdapat peninggalan revolusioner kemerdekaan Indonesia, mulai dari benda-benda koleksi pribadi hingga surat pengangkatan Sjahrir sebagai perdana menteri oleh Presiden Soekarno.
Selain masih dirawatnya rumah pengasingan Sutan Sjahrir, di Kepulauan Banda Neira nama Sjahrir pun diabadikan dengan cara lain. Sama seperti Mohammad Hatta yang dijadikan nama pula, begitu pula Sutan Sjahrir.
Pulau Hatta dan Pulau Sjahrir tidak begitu jauh, dan memiliki nasib yang tidak begitu jauh pula. Kedua pulau ini masih belum terjangkau dengan listrik dan air bersih.
"Kalau mau listrik kita gunakan diesel saja," kata salah satu warga lokal Mira Sarilapiti.
Pulau ini pun hanya memiliki satu sekolah dasar sangat kecil yang menjadi cabang SD Negeri 1 Neira. Hanya terdapat satu bangunan yang dibagi menjadi dua, sebelah kanan untuk siswa kelas satu hingga empat, bagian kiri kelas lima dan enam.
Mira yang juga menjadi guru honorer di sana mengatakan jika hanya terdapat 20-an siswa yang kadang datang pergi silih berganti. Mereka diajarkan tiga guru dan tahun ini merupakan masa awal, sebab sekolah ini baru berdiri di tahun ajaran baru. Sebelumnya anak-anak mesti pulang-pergi melintasi lautan dengan kapal mesin setiap hari ke Pulau Banda Besar untuk sekolah.
Di samping kisah haru perjuangan anak-anak Pulau Pisang sebutan lain Pulau Sjahrir, pulau ini pun memiliki pantai meskipun tidak sepanjang Pulau Hatta. Dengan bulir pasir putih yang besar, pesisir pantainya langsung menghadap Pulau Gunung Api yang memang masih memiliki gunung api aktif sehingga pemandangan bisa dinikmati sambil duduk santai di atas undakan pinggir pantai.***** M BARKAH
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro