CIREBON - Bupati Cirebon, Imron mengaku kecewa dengan robohnya gapura Alun-Alun Taman Pataraksa, beberapa waktu lalu.
Imron meminta supaya proyek gapura Taman Alun-Alun Pataraksa diaudit dan diusut tuntas. Bahkan, Imron pun mengendus ada oknum anggota DPRD Kabupaten Cirebon di balik proyek tersebut.
"Dari beberapa informasi yang masuk, katanya proyek ini milik salah satu oknum anggota DPRD Kabupaten Cirebon. Tapi setelah dicek, memang namanya tidak tercantum. Pintar sekali kan," kata Imron, Jumat 12 Januari 2024.
Bupati mengaku kecewa, pembangunan tahap kedua Alun-Alun Taman Pataraksa tersebut tidak adanya pendampingan dari aparat penegak hukum (APH). Padahal harusnya, sejak awal harus ada pendampingan dari kejaksaan. Sementara kantor kejaksaannya sendiri, tepat di seberang gapura yang roboh.
"Sebagai bupati, saya sangat kecewa. Ini tamparan bagi pemerintah daerah. Kok bisa-bisanya, proyek di depan kantor bupati, DPRD, dan Kejaksaan serta instansi lainnya roboh. Pemborongnya mikir tidak sih," kata Imron.
Anehnya, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon, Yoga Setiawan menyebut, semua pihak layak disalahkan. Secara terang benderang dia menyebutkan, komisi III, DLH, konsultan dan pemborong, semuanya salah. Anehnya, Yoga enggan berkomentar terkait dugaan adanya indikasi keterlibatan oknum anggota dewan.
"Yang disampaikan bupati Imron sifatnya hanya dugaan. Jadi saya enggan menanggapi tudingan itu. Sekarang bagaimana caranya melakukan pembenahan disemua sisi," elak Yoga.
Yoga menilai, ambruknya gapura Alun-Alun Taman Pataraksa dapat dilihat dari dua sisi. Pertama soal pengawasannya dan kedua soal perencanaan dari tim teknisnya. Untuk itu, seluruh dinas yang mengerjakan pekerjaan sipil, biasanya minim orang teknis. Hal itu karena, orang teknisnya tersentral di DPUTR.
"Seluruh pembangunan sipil diharuskan adanya rekomendasi dari DPUTR dulu. Kontruksi yang dihasilkan oleh dinas lain pastinya berbeda dengan kontruksi dari DPUTR. Lah ini kan tidak ada, ya jelas salah," ungkapnya.
Dirinya menyarankan, proyek strategis yang nilainya di atas Rp 2 miliar wajib ada pendampingan dari Aparat Penegak Hukum (APH). Meskipun tidak ada aturan baku, minimal ketika ada pendampingan dari APH penyedia jasa tidak berani main-main. Untuk itu, perlu ada regulasi terkait pendampingan.
"Bila perlu diwajibkan. Nanti kita sebagai anggota DPRD akan mendorong untuk dibuatkan regulasinya," tandasnya.(*/Eln)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro