JAKARTA – Kabar bahagia menyeruak ke publik, pesinetron Naysilla Mirdad dikabarkan akan menikah tahun ini. Namun, untuk pastinya Nay masih belum memberikan pernyataan resminya.
Naysilla Mirdad akan dipinang seorang pria bernama Roestiandi Tsamanov. Hubungan percintaan mereka diketahui sudah terjalin sejak 4 tahun silam. Kedekatan antarkeluarga pun dikatakan sudah terjalin baik.
Terlepas dari itu, belum lama ini Nay terlihat memamerkan pesona cantiknya sebelum menikah. Ya, Nay membagikan potret virtual photoshoot di rumah saja dan ia unggah hasil fotonya di Instagram pribadinya, @naymirdad.
Jika diperhatikan, hobi ini menjadi bagian dari aktivitas baru para selebriti tanah air. Sebelum Nay, Dian Sastrowardoyo dan Luna Maya sudah melakukan kegiatan positif ini. So, seperti apa keseruan Nay jalani photoshoot virtual? Berikut ulasannya khusus untuk Okezoners:
1. Senyum tipis
Nay terkenal sebagai aktris yang murah senyum. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana ia berpose di foto ini. Perempuan kelahiran 23 Mei 1988 itu terlihat ayu sekali berpose duduk di sofa putih. Pose-pose manja pun Nay tampilkan untuk memaksimalkan hasil fotonya.
2. Efek menarik kamera
Di foto ini Nay terlihat manis sekali dengan pose lembut seperti ini. Efek kamera yang dipakai pun memberi kesan tidak biasa dari foto tersebut. Cantik banget, ya, walau cuma pakai atasan hitam lengan panjang dan rambut diurai bebas.
3. Bersama anjing kesayangan
Nay ternyata memiliki anjing kesayangan dan di momen ini ia tampil menggemaskan sekali memeluk hewan berbulu hitam putih tersebut. Senyum manis Nay pun tak pernah lepas dari wajahnya di depan kamera.
4. Filter hitam putih
Tak banyak ekspresi memang yang diberikan Nay saat jalani virtual photoshoot kali ini. Sebab, di foto ini lagi dan lagi kita bisa lihat Nay hanya memamerkan pose lembut dan senyumnya. Meski begitu, tampilannya tetap menarik perhatian, ya. Tatapan matanya sulit untuk dipalingkan.(*/Ind)
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyatakan, ada ironi atau hal-hal yang sangat sulit diterima dengan akal sehat dalam usaha memutus mata rantai penyebaran virus Corona (COVID-19) yang belum dapat diprediksi secara pasti kapan berakhirnya.
“Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah tapi di sisi lain kita longgar sehingga usaha kita untuk membendung dan menghentikan secepatnya penyebaran virus Corona tersebut menjadi terkendala karena adanya ambivalensi sikap dari pemerintah yang tegas dengan rumah ibadah tapi tidak tegas dengan lainnya,” ujar Anwar, Minggu (17/5/2020).
Anwar mengatakan, bagi MUI setelah melihat dan mengkaji tentang virus Corona ini serta bahaya dan dampak buruk serta kemudaratan yang bisa ditimbulkannya, MUI telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam di daerah supaya tidak melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah lima waktu serta salat tarawih di masjid maupun musala, dan mengimbau agar mengerjakannya di rumah saja.
Menurutnya, Fatwa MUI ini oleh pihak pemerintah tampak sangat diperhatikan dan dipegang kuat sebagai dasar untuk mencegah orang untuk berkumpul ke masjid bagi melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah. Dirinya merasa ini merupakan tindakan yang benar. (Baca juga: Perkuat Solidaritas dan Gotong Royong Hadapi Dampak Pandemi Corona)
“Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya,” tutur dia.
Bahkan dia mengaku mendengar di beberapa daerah para petugas dengan memakai pengeras suara mengingatkan masyarakat untuk tidak berkumpul di masjid untuk melaksanakan salat jumat dan salat jamaah serta tarawih di masjid karena berbahaya.
“Tetapi di wilayah dan daerah yang sama tidak ada petugas yang dengan pengeras suara mengimbau masyarakat di pasar, di mal, dijalan, di bandara, di kantor dan di pabrik dan sebagainya mengingatkan mereka supaya tidak berkumpul-kumpul karena berbahaya,” ungkapnya.
Hal demikian menurut Anwar, tentu saja telah mengundang tanda tanya di kalangan umat, apalagi melihat pihak pemerintah dan petugas tahunya hanya melarang dan itu mereka dasarkan kepada fatwa MUI. Padahal dalam fatwa MUI yang ada dijelaskan bahwa di wilayah atau daerah yang penyebaran virusnya terkendali umat Islam bisa menyelenggarakan salat Jumat dan salat berjamaah dengan memperhatikan protokol kesehatan yang ada.
“Tetapi pemerintah dan petugas tetap saja melarang tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang ada sehingga terjadilah adu mulut di antara masyarakat dengan petugas di daerah tersebut,” ucap Anwar.
Menurut Anwar, sebenarnya umat dan masyarakat diyakini akan bisa menerima apa yang disampaikan dan diinginkan oleh pemerintah dan petugas di mana mereka tidak boleh berkumpul untuk melakukan salat jumat dan berjamaah di masjid karena berbahaya, asal pemerintah dan petugas benar-benar konsisten dalam menegakkan aturan yang melarang semua orang untuk berkumpul-kumpul di mana saja tanpa terkecuali.
Lebih lanjut dia mengatakan, penegakkan larangan itu seharusnya tidak hanya untuk berkumpul di masjid saja tapi juga di pasar, di mal, di jalan, di terminal di bandara di kantor-kantor, pabrik-pabrik, industri dan lain-lain yang tujuannya adalah agar kita bisa memutus mata rantai penularan virus ini secara cepat. ”Jika pemerintah dan petugas bisa bersikap seperti itu tentu kegelisahan dan keresahan di masyarakat tidak akan ada karena semua kita sudah tahu bahaya dari virus tersebut,” ucapnya.
Tetapi karena yang terjadi tidak seperti itu, kata Anwar maka akhirnya masyarakat menggerutu dan mencaci maki pemerintah dan petugas dengan berbagai ucapan yang tidak enak untuk di dengar. ”Kita tentu saja jelas-jelas tidak mau dan tidak ingin hal itu terjadi karena bagaimanapun juga kita tentu tidak mau pemerintah dan petugas tidak dihormati, tetapi karena ada ironi dan kenyataan-kenyataan yang paradoks di dalam tindakan pemerintah dan petugas tersebut akhirnya itulah yang terjadi,” kata dia.
Untuk itu, Anwar menyarankan, ke depan untuk kebaikan dan terciptanya ketenangan dalam masyarakat, maka pemerintah harus bisa mengevaluasi kebijakan dan tindakannya yang ada selama ini untuk kemudian membuat aturan yang jelas serta menegakkan dan memberikan perlakuan yang sama untuk semuanya.
“Kecuali untuk hal-hal yang memang sangat penting, sehingga semua elemen masyarat dapat dengan ikhlas menerimanya sehingga mereka benar-benar hormat serta tunduk dan patuh kepada ketentuan yang ada dengan sebaik-baiknya,”tutupnya.*****
WABAH Covid-19 sudah membuka mata kita bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia ternyata memiliki sejumlah kekurangan yang sifatnya struktural. Kita kekurangan sumber daya manusia (SDM) di bidang medis, kekurangan rumah sakit, kekurangan kepercayaan satu sama lain, kekurangan kordinasi antarlembaga, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kesemuanya membentuk suatu persoalan struktural. Artinya, masalah-masalah itu sudah terbentuk dan sangat sulit dan rumit diselesaikan, bukan hanya di pemerintahan saat ini, melainkan juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Kekurangan tersebut yang membuat opsi kebijakan publik yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Misal, pemerintah tidak bisa melakukan tes Covid-19 kepada penduduk secara massal karena jumlah alat yang terbatas dan mahal, terbatasnya tenaga kesehatan yang memeriksa, terbatasnya laboratorium pemeriksaan, dan sebagainya.
Selain itu, juga ditemukan bahwa alat pengetes virus Covid-19 tidak berhasil 100% mendeteksi seseorang. Seperti orang yang tersesat di dalam hutan, maka tanpa ada bukti petunjuk yang kuat, negara tetap harus memilih keputusan mana yang dampak terburuknya lebih kecil.
Negara dipaksa untuk memilih keputusan apa yang lebih membuat jatuhnya korban relatif lebih sedikit. Korban sudah pasti ada, tetapi jumlah korbannya yang dibandingkan.
Situasi itu yang mungkin terjadi ketika pemerintah akhirnya mengumumkan relaksasi PSBB. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo, Senin lalu, mengatakan bahwa pemerintah akan mengizinkan penduduk usia di bawah 45 tahun untuk bergerak secara terbatas. Pengenduran ini terutama untuk memfasilitasi roda perekonomian terus berjalan, dan agar masyarakat tidak jatuh dalam kemiskinan.
Walaupun keputusannya didukung oleh analisis epidemologis, dalam praktiknya, pengumuman ini juga memberi pesan bagi semua umur di atas 45 tahun untuk juga ikut bergerak. Siapa di lapangan yang akan mengecek satu per satu, misalnya para penumpang di gerbong kereta api, yang akan ke Jakarta? Kita sama sama mengetahui sumber daya kita sangat terbatas.
Kebijakan relaksasi PSBB bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain yang sudah lebih dulu melakukan PSBB bahkan lockdown. Materi pemaparan Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi Luhut B Pandjaitan tentang ekonomi Indonesia setelah Covid-19, mengutip beberapa negara yang melakukan pengenduran PSBB di negara-negaranya masing-masing.
Mulai Austria hingga Italia. Setiap negara berbeda dalam hal sejauh mana relaksasi dilakukan.
Di negara-negara tersebut juga timbul kontroversi. Ada yang setuju, ada yang tidak. Sama seperti ahli epidemologi di seluruh dunia. Tidak semuanya setuju dan tidak semuanya menolak. Yang pasti, keputusan tetap ada di tangan pemerintah yang berkuasa.
Di Jerman, Kanselir Angela Markel telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan melakukan relaksasi. Mereka membuka kembali sekolah-sekolah, seluruh pusat perbelanjaan tidak dilarang.
Dan yang paling penting buat masyarakat Jerman, Bundesliga, kembali digulirkan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di sebagian besar negara-negara Eropa. Bahkan termasuk Italia yang memiliki korban meninggal terbanyak di Eropa, kedua setelah Inggris.
Kebijakan relaksasi sudah pasti akan menghasilkan peningkatan jumlah orang yang terinfeksi. Namun, saat ini yang ada dalam pikiran pemerintah di hampir seluruh dunia adalah memilih apakah warganya nanti akan mati karena terinfeksi atau mati karena matinya ekonomi.
Kita juga sulit membandingkan apakah keputusan relaksasi yang diambil oleh sebuah pemerintahan di sebuah negara itu benar atau tidak, tanpa kita memahami informasi apa yang ada di tangah pemerintah.
Kita harus ingat bahwa krisis adalah sebuah situasi di mana masalah yang terbesar adalah ketidakpastian. Dalam ketidakpastian maka tidak ada teori atau ramalan yang dapat dipegang.
Apabila sebuah masalah dapat dipastikan solusi atau jalan keluarnya maka masalah itu bukan disebut krisis. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang mempercepat pulihnya sebuah negara dalam melewati krisis adalah faktor kepercayaan.
Hal ini yang diakui oleh dunia tentang penyelesaian Covid-19 di Korea Selatan. Bukan karena Korea tidak melakukan lockdown, melainkan karena sebagian besar penduduknya mematuhi, (tentu ada juga warga yang membandel) keputusan pemerintah.
Kepercayaan penduduk yang tinggi kepada pemerintah juga terjadi di Selandia Baru yang melakukan lockdown. Demikian pula di Swedia, walaupun jumlah kematiannya tinggi, penduduk di sana tetap percaya kepada keputusan pemerintah yang sejak awal hanya mengimbau jaga jarak fisik dan sosial.
Kepercayaan terhadap pemerintah ini yang masih dipertanyakan di Indonesia. Apakah warga Indonesia sepenuhnya percaya kepada pemerintah atau tidak?
Kita coba singkirkan dulu, kasus China atau Vietnam, sebagai perbandingan karena di kedua negara itu, warganya wajib percaya kepada pemerintah karena bila tidak maka sanksinya adalah penjara.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19?)
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.
Karena virus ini dapat bermutasi dengan cepat dan menyerang sebagai gelombang kedua, atau gelombang ketiga. Apabila kita tidak menumbuhkan kepercayaan satu sama lain sejak sekarang, mungkinkah kita menghadapi serangan virus baru nantinya?*****
JAKARTA – Penyanyi Liza Aditya ingin segera mememukan netizen yang menyebutnya sebagai pekerja seks komersial (PSK). Agar melancarkan keinginannya, pelantun Kisah yang Salah itu berencana mengalihkan laporannya ke Polda Metro Jaya, Jakarta.
“Tadinya aku membuat lapran di Polsek Bekasi Selatan, tapi sekarang sudah dicabut laporan disana dan dialihkan di Polda Metro Jaya,” ungkap Liza seperti dilansir dari tayangan Starpro Indonesia, Kamis (14/5/2020).
“Kemungkinan prosesnya akan lebih cepat di Polda Metro Jaya karena kan ada cyber crime dan sebagainya yang akan lebih intens dan akan lebih gampang untuk proses selanjutnya dibandingkan di polsek,” sambungnya.
Liza semula berharap netizen tersebut jera dan meminta maaf ketika diancam dengan laporan polisi. Namun, kelakuannya semakin menjadi-jadi hingga melakukan hal tak senonoh kepadanya.
“Ternyata setelah aku ancam, boro-boro minta maaf. Malah ngirimin kotoran dia di toilet lewat DM. Dia bilang, ‘ini nih kotoran gue’ tapi bahasanya kasar,” tuturnya.
Kini, penyanyi yang pernah diisukan transgender itu mengaku telah mengantongi identitas pelaku dan siap dengan bukti terkait tuduhan PSK yang dilontarkan sang netizen. Dia berharap segera menemukan pelakunya dan diadili sesuai ketentuan pihak berwajib.
“Setiap hari dia (pelaku) nantangin, ‘ayo kalau lo bisa temuin gue’. Itu kan kurang ajar. Aku dengan kuasa hukum harus temui orang ini,” tegasnya.Seperti diketahui, Liza Aditya membuka masalah ini melalui unggahan Insta Story-nya pada 6 Mei 2020.
Ia melaporkan akun bernama Rangga Hanggarai Mahendra karena menyebutnya sebagai lonte alias pekerja seks komersial (PSK) setelah mengomentari salah satu video aksi seronok pria tidak dikenal di Instagram.
“Enggak ada perempuan mana pun yang rela dikatain begitu, apalagi aku,” kata Liza.(*/Ind)
Sindir menyindir bahkan saling nyinyir seolah semakin menjadi hal lumrah bagi masyarakat Indonesia. Namun, yang membuat kita sangat prihatin, fenomena ini juga menjangkiti para pejabat di tengah penanganan pandemi Covid-19 yang masih menjadi misteri kapan bisa benar-benar berhenti.
Yang terkini, rakyat dipertontonkan dengan sindir menyindir antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan para pejabat pusat, baik terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga bantuan sosial. Sindiran Anies ini bahkan tak hanya terdengar di ranah nasional.
Kritik Anies terhadap kebijakan pusat yang diungkapkan secara blak-blakan kepada media Australia, yakni The Sidney Morning Heralddan The Age semakinmembuat sorotan itu nyaring hingga pentas global. Tak kali ini saja Anies terlibat polemik tajam dengan pejabat pusat.
Dan, di tengah polemik-polemik itu yang justru kita lihat banyak turut campur tangan adalah lagi-lagi elite. Sementara rakyat seolah adem ayemsaja menonton polah mereka.
Sejatinya, tak hanya Anies yang terlibat adu sindir di tengah perjuangan sekaligus kejengahan pejabat menangani Covid ini. Akhir pekan lalu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga terlibat adu argumen keras dengan Sekda Blora Komang Gede Irawadi.
Ganjar bahkan membuat video khusus yang meminta Komang lebih baik mundur karena dianggap tak memiliki data valid perantau berikut pola penanganannya.
Kekisruhan dan saling nyinyir juga kentara terlihat adanya perbedaan cara penanganan Covid antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Bahkan, antarbupati pun saling serang, seperti dilakukan Bupati Lumajang Thoriqul Haq dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur Sehan Salim Landjar.
Di luar pejabat-pejabat itu tentu sebenarnya masih banyak ketegangan yang membuat kita semakin miris dan prihatin. Miris lantaran di tengah beban berat penanganan dan dampak luas Covid yang dihadapi rakyat, para pejabat justru saling silang pendapat.
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan adalah hal yang niscaya untuk membangun kesadaran serta tujuan hidup bersama. Namun, penggunaan ruang publik dalam penyampaian pandangan itu tampak tak elok. Apalagi, jika pandangan itu ditumpangi dengan kepentingan politik pribadi, tentu membuat pandangan tak murni.
Apakah pandangan-pandangan para pejabat itu nihil dari kepentingan politik? Tak ada yang bisa menjawab pasti. Namun, rasa-rasanya, sebagai pemimpin politik, mereka sulit untuk lepas dari kepentingan praktis itu. Tidak sulit untuk menganalisis bahwa selalu ada kepentingan atau target politik bagi mereka.
Kepala daerah A misalnya mengkritik keras kebijakan menteri. Lantas kepala daerah B tiba-tiba meng-counter dengan berbagai dalih. Kepala daerah B berani melakukan itu karena garis politiknya sejalan dengan sang menteri.
Tanpa perlu dianalisis secara mendalam, publik sebenarnya sudah paham dengan cara-cara pejabat saat ini yang banyak memanfaatkan kekuatan narasi ini itu demi kebutuhan kepentingan politiknya. Di tengah tingginya kesadaran politik masyarakat itu maka perang narasi, adu sindir, atau nyinyir jelas langkah yang tidak produktif.
Sebagai pejabat atau kepala daerah, tentu ada saluran penyampaian pandangan yang telah dibuat karena jenjang birokrasi di Indonesia juga jelas. Kalaupun birokrasi itu mampat, selayaknya jangan cepat-cepat diumbar ke publik. Cara-cara pejabat berkomunikasi ini tentu membuat kita prihatin.
Selain tidak mampu memberikan contoh yang baik kepada rakyat, hal itu juga rawan meruntuhkan kewibawaan mereka.
Jika fenomena ini terus terjadi, rakyat bisa jadi akan kian muak dengan perilaku politisi atau pejabat kita. Pada tahap tertentu, rakyat akan menjadi apolitis dan enggan terlibat aktif dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Saatnya pejabat untuk sadar, tak asal berpikir bisa viral.*****
JAKARTA – Maudy Ayunda baru saja mengejutkan publik karena mengumumkan hubungannya dengan Arsyah Rasyid telah berakhir.
Bintang film Perahu Kertas ini bahkan telah menghapus foto kebersamaan mereka di Instagram.
Tak terlihat lagi foto berdua Maudy dengan Arsya. Sang mantan kekasih hanya tampak dalam beberapa foto, di antaranya saat momen ulang tahunnya yang ke-21 pada 20 Desember 2015 bersama rekannya dan wisuda Maudy di Oxford University, Inggris pada 2 Oktober 2016 bersama keluarga.
Kabar berakhirnya hubungan Maudy dan Arsyah terungkap dalam live Instagram.”Ini aku harus klarifikasi hehehe.
Aku mau klarifikasi baru-baru ini aku single,” katanya.
Maudy mengungkapkan alasannya tak meneruskan hubungan dengan pria 30 tahun itu karena tak kuat menjalani hubungan jarak jauh.
Apalagi, kini Maudy sedang menempuh pendidikan S2 di Standford University, Inggris.
Menurutnya, hubungan jarak jauh memiliki kesulitan dalam berkomunikasi secara langsung. “Karena kami sudah susah makan bareng, nonton (ke bioskop) dan lain-lain, jadi interaksinya ngobrol dan waktunya untuk eksplor komunikasi untuk cari tahu sebenernya kami sefrekuensi nggak sih,” ujarnya.
Maudy Ayunda dan Arsyah Rasyid diketahui berpacaran sejak tahun 2015. Mereka mulai go public melalui foto yang dibagikan sang aktris di Instagramnya.(*/Ind)
Imbas pandemi virus korona (Covid-19) di Tanah Air semakin terasa. Selain semakin banyak jumlah orang yang terinfeksi virus asal China tersebut, dampak terhadap perekonomian juga tak kalah hebat.
Ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 yang hanya sebesar 2,97%, jauh di bawah perkiraan pemerintah sebelumnya di kisaran 4,5%.
Beberapa faktor yang menyebabkan anjloknya angka pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah turunnya konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada periode Januari-Maret 2020 hanya tumbuh 2,84%. Padahal sebagai perbandingan pada periode sama tahun sebelumnya sektor ini mampu tumbuh 5,02%.
Kondisi ini menjadi pukulan telak karena selama ini sektor konsumsi menjadi andalan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian dengan kontribusi sekitar 56% total produk domestik bruto (PDB) nasional.
Penurunan belanja rumah tangga ini tidak lain sebagai dampak Covid-19 yang menyebabkan banyak orang lebih menunda melakukan pembelian. Prioritas masyarakat kini lebih utama pada pemenuhan barang kebutuhan pokok, seperti makanan, minuman, dan kesehatan.
Covid-19 juga menyebabkan banyak sektor informal terpaksa tidak beroperasi karena pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, tidak sedikit pekerja yang kehilangan pekerjaannya.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, hingga awal Mei ini sedikitnya 2,7 juta orang kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari jumlah tesebut, 1,2 juta orang sedang dalam proses validasi data.
Banyaknya sektor usaha informal yang tutup dan angka PHK mencapai jutaan orang itu berpotensi menyebabkan bertambahnya jumlah masyarakat miskin baru di Tanah Air.
Hal ini disampaikan langsung Menteri Sosial Juliari P Batubara dan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Di sela-sela rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jumat (8/5) lalu, Juliari menyebutkan, ada potensi penambahan angka kemiskinan menjadi 12% dari posisi saat ini 9,22%.
Penambahan jumlah warga miskin ini diakuinya akan berimplikasi pada bertambanhnya jumlah penerima bantuan sosial (bansos) sebagai jaring pengaman di kala krisis akibat Covid-19.
Penambahan angka kemiskinan ke kisaran 12% ini sudah barang tentu akan membuat skema penerimaan bansos kembali berubah. Pasalnya, dalam Perppu No 1/2020 yang telah disahkan DPR, alokasi untuk dana jarring pengaman sosial telah ditetapkan Rp110 triliun belum memperhitungkan angka kemiskinan baru tersebut.
Sekadar diketahui, berdasarkan data BPS, pada September 2019 lalu, angka kemiskinan sebesar 9,22% setara dengan 24,79 juta jiwa. Bisa dibayangkan, ada jutaan jiwa lagi yang harus kembali didata ulang agar masuk kategori penerima bansos dan sejenisnya.
Angka kemiskinan pada September tahun lalu merupakan terendah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai pembanding, pada 2014 ketika Jokowi dilantik menjadi presiden untuk periode pertama, angka kemisninan di Indonesia berada di level 10,96% atau setara dengan 27,73 juta jiwa.
Dengan kondisi seperti saat ini, pekerjaan rumah pemerintah pun diyakini bertambah berat. Terlebih pada beberapa waktu lalu, Jokowi ingin angka kemiskinan bisa terus ditekan hingga seminimal mungkin hingga 0% yang rasanya mustahil.
Kembali ke soal pendataan. Pekerjaan inilah harus menjadi perhatian serius instansi terkait. Maklum, keakuratan data di negeri ini kerap menjadi sumber masalah.
Lihat saja pembagian bansos di beberapa daerah yang dilaporkan kisruh karena banyak warga yang seharusnya mendapat bantuan justru terabaikan. Begitupun sebaliknya, ada warga yang mampu malah mendapat bantuan.
Menteri Muhadjir menegaskan, verifikasi data masyarakat miskin yang disebutknya ‘miskin kagetan’ itu masih terus dilakukan. Dia memastikan data tersebut dihimpun dari bawah melalui RT/RW untuk kemudian diolah menjadi bagian dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Data itu selanjutnya diserahkan ke kabupaten/kota dan dikirim ke Kementerian Sosial. Muhadjir juga menyatakan, sebagaimana arahan Presiden, kelompok miskin baru tersebut harus menjadi perhatian agar mendapat bansos. Harapannya, tentu saja data yang disampaikan benar-benar valid sehingga warga terdampak korona bisa terbantu untuk memenuhi kebutuhannya.*****
JAKARTA – Paula Verhoeven sedang menikmati momen bahagianya menjadi ibu dari Kiano Tiger Wong. Agar semakin memperkaya pengetahuannya sebagai ibu, istri Baim Wong itu tertarik berbagi pengalaman seputar cara mengasuh anak dengan Nagita Slavina.
“Mumpung lagi di rumah sultan Andara, aku tuh pengin tahu nih. Aku pengin sharing sama Gigi (Nagita Slavina) gimana cara nidurin anak masing-masing. Karena tiap anak kan beda-beda. Aku mau langsung tanya Gigi,” kata Paula seperti dikutip dari tayangan vlog Baim Paula, Jumat (8/5/2020).
Nagita kemudian menuturkan kebiasaan sang putra, Rafathar saat menjelang tidur di malam hari. Istri Raffi Ahmad itu mengajari buah hatinya untuk menjaga kebersihan dan berdoa sejak kecil.
“Kalau mau tidur itu dia harus cuci muka, sikat gigi, cuci kaki dan tangan, terus harus wangi. Sebelum tidur berdoa baca surat-surat pendek,” kata Nagita.
“Diajarin dari umur berapa?” tanya Paula.
“Dari kecil. Dari bayi dibahasain aja, kita mau (berdoa) tidur atau mau makan, jadi terbiasa,” jawab Nagita.
Paula pun tampak antusias mendengar penuturan Nagita yang sudah lebih berpengalaman menyandang status sebagai ibu. Keduanya juga saling berbagi soal kebiasaan mereka saat tidur di rumah masing-masing.(*/Ind)
JAKARTA – Dian Sastro mencoba melakukan hal baik dalam sisi spritual. Ramadhan kali ini merupakan momen yang tepat bagi Dian Sastro untuk mempertebal iman dan keyakinannya.
Diakui Dian Sastro kini dirinya lebih rajin mengaji Alquran. Ia kerap mengikuti tadarus online meski pun terkadang sulit memahami makna ayat yang dibacanya.
“Bacaan gue kan belum lancar. Kok kalau lo ikut tadarusan, kok cuma jadinya kayak lalalalala, tapi lo kan enggak tahu baca apaan sebenarnya. Ambisiusnya gue adalah, gue ingin, setiap harinya setelah selesai tadarus itu aku membaca artinya gitu.
Tapi belum kelar,” jelas Dian Sastro dalam channel YouTube Ayu Dewi, Kamis (7/5/2020).
Dian Sastro merasa berdosa apabila sebagai umat Muslim dirinya tidak mengetahui isi dan makna Alquran. Wanita 38 tahun khawatir kelak dirinya akan mendapat siksa neraka bila tidak memahami kaidah-kaidah Islam dalam kitab.
“Gue tuh ngerasa berdosa dan bersalah kalau gue pernah punya Alquran, terus Alquran gue masih rapi belum pernah dibaca,” aku Dian Sastro.(*/Ind)
JAKARTA – DJ Dinar Candy kehilangan beberapa kontrak kerja yang sudah disepakati sebelum pandemi COVID-19 menyerang Tanah Air.
Penyelenggara acara membatalkan kesepakatan dengan Dinar karena belum mendapat kepastian kapan pandemi berakhir.
“Ada yg sudah DP dan kontrak, tapi ada yang dibatalkan. Mereka bilang ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan,” ungkapnya saat ditemui di kawasan Tendean, Jakarta Selatan.
Tak main-main, Dinar Candy mengklaim, mengantongi total kerugian hingga ratusan juta rupiah. “Sejauh ini, setelah dihitung-hitung total kerugian sekitar Rp500 juta,” kata female disk jockey asal Bandung, Jawa Barat tersebut.
Kondisi itu diperparah dengan bangkrutnya bisnis rental mobil yang dikelola Dinar. Pembatasan aktivitas selama pandemi membuat jasa sewa mobil sepi peminat.
“Bisnis aku bangkrut. Kemarin itu sempat membangun bisnis rental mobil sama teman. Aku rugi Rp1,2 miliar. Karena pandemi Corona enggak ada yang merental mobil. Dana membeku begitu,” ujarnya.
Dinar Candy mengaku, kini hanya mengandalkan endorsement dan tabungan untuk bertahan hidup. “Kondisi ini membuat aku merasa kayak jatuh miskin.”(*/Ind)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro