Indonesia berpotensi masuk jurang resesi ekonomi? Ini bukan hoaks, hal itu jujur diakui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati apabila dalam masa pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) daya beli masyarakat tetap lesu.
Karena itu, pemerintah berharap dana penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang sedang digelontorkan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat sebesar 1,4%. Namun, bila pertumbuhan ekonomi pada triwulan kedua dan ketiga negatif, maka potensi resesi ekonomi Indonesia bisa terwujud.
Untuk menghindari zona resesi ekonomi, pemerintah harus berjibaku agar pertumbuhan ekonomi paling tidak di atas 1% tahun ini.
Untuk pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua, Kemenkeu memprediksi pada level negatif 3,8% atau lebih dalam dari proyeksi sebelumnya pada posisi minus 3,1%. Indikator pertumbuhan ekonomi negatif dapat dilihat dari data terbaru yang dibeberkan Badan Pusat Statistik (BPS) di antaranya penjualan mobil yang anjlok hingga 93,21% dan penjualan sepeda motor terpangkas 79,31%, serta impor bahan baku yang turun.
Dari sisi transportasi angka penumpang terjun bebas seperti penumpang transportasi udara turun 87,91%. Penyebab merosotnya perekonomian sebagai dampak dari kebijakan PSBB dalam menghadang pandemi Covid-19, yang membuat roda perekonomian cenderung stagnan dalam tiga bulan terakhir.
Selanjutnya, pada triwulan keempat pemerintah berharap perekonomian nasional bertumbuh di level 3%. Bagaimana mewujudkan angka 3% di tengah pandemi virus korona yang masih menghantui perekonomian?
Rupanya pemerintah meyakini berbagai insentif untuk dunia usaha termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 dan belanja pemerintah bisa menjadi bahan bakar untuk menghidupkan motor perekonomian.
Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini, pemerintah hanya memproyeksi sekitar 1% dan skenario terburuknya berada di level minus 0,4%. Pemerintah harus bersiap dengan skenario terburuk menyusul proyeksi sejumlah lembaga internasional terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tak sampai 1%.
Sebelumnya pemerintah memasang angka pertumbuhan ekonomi pada level negatif 0,4% hingga 2,3%, namun belakangan dikoreksi menjadi sekitar minus 0,4 sampai 1,%. Tantangan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tetap positif hingga akhir tahun adalah bagaimana menggenjot pertumbuhan pada kuartal ketiga dan keempat. Itu kuncinya.
Bila membandingkan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia antara versi pemerintah dan sejumlah lembaga internasional, terjadi perbedaan yang mencolok. Tengok saja proyeksi Organisation for Economic Coorperation and Development (OECD) pada level negatif 2,8% hingga negatif 3,9%, Bank Dunia dipatok 0%, Asian Development Bank (ADB) pada kisaran negatif 1%, dan International Monetary Fund (IMF) pada level 0,5% serta Bloomberg juga pada kisaran 0,5%.
Apa dampaknya bila terjadi resesi ekonomi? Satu di antara dampak paling mengerikan adalah meroketnya angka pengangguran yang akan berujung meningkatnya angka kemiskinan. Jangankan pengaruh resesi ekonomi, saat ini angka pengangguran terus bergerak naik karena dampak pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat kehilangan pekerjaan. Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) berpotensi mencapai 10,7 juta sampai 12,7 juta orang pada 2021.
Data BPS menunjukkan angka TPT sebanyak 6,88 juta pada Februari lalu. Dampak lainnya adalah tingkat konsumsi rumah tangga turun karena daya beli yang rendah.
Sementara itu, kondisi perekonomian global juga semakin terpuruk, pihak IMF menyebut situasi tersebut terparah sejak 1930. Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menyalakan lampu hijau untuk pemberian stimulus senilai USD 2 triliun demi menjaga sistem keuangan. Lalu, pertumbuhan ekonomi China diproyeksi terpangkas ke level 1,2%.
Di daratan Eropa juga tak lewat dari sapuan pandemi Covid-19 di mana pertumbuhan perekonomian Jerman dan Inggris juga suram. Belum lama ini Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva membeberkan bahwa lebih dari 100 negara telah meminta bantuan darurat kepada IMF untuk mengatasi krisis keuangan sebagai dampak wabah virus korona. IMF siap menggelontorkan dana sebesar USD 1 triliun sebagai pinjaman. Kini tercatat sudah sebanyak sepuluh negara telah memperoleh dana darurat.
Jadi, untuk menghindari resesi ekonomi yang siap menerkam negeri ini, maka motor pertumbuhan ekonomi harus diputar kencang pada kuartal ketiga dan keempat alias tumbuh positif. Sri Mulyani yang pernah menjadi petinggi Bank Dunia selaku direktur pelaksana menyatakan menghalau hantu resesi ekonomi dibutuhkan perjuangan yang sangat berat.
Kita berharap sejumlah kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan didukung dengan dana besar untuk pemulihan ekonomi nasional dapat tepat sasaran.*****
Rancangan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menuai polemik tak kalah seru dari masalah pandemi Covid-19. Masyarakat seakan lupa tentang penyakit mematikan sehingga lebih banyak fokus pada soal RUU yang akan mematikan dasar negara Indonesia.
Semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Bahwa RUU HIP perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan polok-pokok haluan Pancasila yang original. Ada tiga hal pokok dan mendasar yang fatal dari RUU tersebut.
Pertama, konsiderang itu tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal inilah dasar utama dalam membicarakan bagaimana pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejamam.
Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah dimana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan hari kesaktian Pancasila. Itulah sejarah bangsa yang mempertahankan ideologi Pancasila sebaga titik temu (kalimatu sawa’) para anak bangsa.
Kedua, RUU HIP pada pasal 7 ayat 2 berbunyi, “…. ketuhanan yang berkebudayaan”. Frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan provan.
Frase itu pasti tak akan berujung polemiknya. Sebab umat Islam yang telah rela menghapus Piagam Jakarta saat pendirian bangsa ini tak akan rela melepaskan kata sakral di sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler.
Ketiga, memeras Pancasila menjadi tri atau ekasila menjadi bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya. Sebab negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik. Bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Padahal negara ini meliputi banyak hal untuk dijiwai oleh Pancasila, bhineka dari aspek keagamaan, kesukuan, dan kemasyarakat menjadi tunggal ika. Aspek pertahanan dan keamanan harus dijawai oleh Pancasila. Bahwa tak sejengkal pun negeri ini tak boleh dicaplok dan dikuasai oleh negara lain. Kedaulatan negara dan seisi alam kekayaannya harus dikuasai oleh negara.
Akibat ketidakcakapan drafting RUU HIP dalam melihat dan merasakan denyut nadi kebangsaan Indonesia dan pokok-pokok isi Pancasila maka telah memancing gejolak umat dan ormas Islam. Semua ormas mendeklarasikan penolakan darft RUU HIP ini dengan berbagai argumentasinya. Bahkan pemerintah melalui suara Menkopolhukam punya persepsi yang sama utk mengubah dan mungkin bahkan menolaknya jika RUU itu hendak akan diteruskan dalam pembahasan.
Saya pribadi berpendapat, bahwa yang namanya RUU itu pasti tidak sempurna dan pada saat pembahasannya pasti akan mengalami banyak perubahan. Sekarang saja yang masih dalam pembahan RUU telah mendapat tanggapan dari pihak DPR yang berinisiatif mengajukan RUU HIP ini sudah membuka diri untuk memasukan TAP XXV/MPRS/1966 ke dalam konsideran RUU HIP, menghapus pasal 7 dan mengubah pasal-pasal lain yang perlu diseauaikan.
Namun RUU HIP ini sudah memancing kecurigaan antaranak bangsa sehingga berpotensi jadi perpecahan. Urgensinya pun belum pada taraf darurat karena kita sudah punya perangkat konstitusi dan beberapa TAP MPR yang bisa menjadi acuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka RUU HIP ini seharusnya ditunda pembahasannya atau sama sekali dihapuskan pembahasannya di masa yang akan datang.
Perlu langkah konsolidasi antar anak bangsa untuk bersama menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan menolak ideologi lain seperti komunis dan marxisme. Dalam waktu dekat seluruh komponen bangsa perlu melakukan pertemuan. Seperti NU, Muhammadiyah dan antara ormas Islam denga pemerintah untuk membangun soliditas menjaga persatuan dan merawat negara bwrdasarkan Pancasila.M Cholil Nafis
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok
*****
Beberapa hari lalu saya mendapat kiriman video dari seseorang tentang seorang warga Indonesia ikut orasi dalam sebuah demonstrasi di sebuah kota di Amerika. Ketika itu saya tidak kenal siapa gerangan dan di kota mana acara itu terjadi.
Yang pasti awalnya saya bangga. Selama 23 tahun lebih saya tinggal di Amerika hampir belum pernah menemukan warga yang menonjol dalam acara-acara publik atau kemasyarakatan, apalagi menjadi seorang pembicara. Tentu bagi saya hal seperti ini harus didukung dan membanggakan sebagai sesama diaspora Indonesia di Amerika.
Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan konten pidatonya. Entah kenapa saya lewatkan begitu saja. Barangkali karena saya terlalu terobsesi untuk melihat putra-putrì bangsa ini tampil di garda depan untuk mengharumkan nama bangsa dan negara.
Dan saya tidak terlalu membeda-bedakan siapa saja yang punya kapabilitas untuk itu. Tidak peduli ras, etnis, asal daerah, maupun agama apapun yang mereka anut. Saya akan bangga melihat teman-teman Muslim Indonesia maju dan dikenal di Amerika. Saya juga akan bangga melihat teman-teman Kristiani, Hindu atau Budha untuk maju dan memainkan peranannya di Amerika.
Tiba-tiba saja kemarin media sosial saya, baik WhatsApp, Facebook, maupun Twitter dibombardir pertanyaan tentang siapa orang di video itu. Terus terang saya tidak kenal dan tidak juga tahu di kota mana.
Akhirnya sekali lagi saya dengarkan video itu dengan baik dan teliti. Tiba-tiba pendengaran saya seperti tertusuk oleh pidato itu. Isinya begitu menyinggung perasaan. Betapa tidak. Di depan warga Amerika yang marah, ia menyebutkan Indonesia sebagai negara yang prejudice, diskriminatif, dan tidak memberikan kebebasan kepada minoritas.
Sejujurnya pidato orang tersebut secara umum bagus. Karena mendukung saudara-saudara warga minoritas Amerika, khususnya warga hitam dalam perjuangan mencari keadilan dan kesetaraan. Sayangnya di awal pidato itu nama Indonesia ditampilkan dengan wajah buruk.
Isi awal ceramahnya kira-kita berikut: “Saya datang dari Indonesia. Dan saya sangat tahu bagaimana rasanya diperlukan dengan prejudice dan diskriminasi. Saya hadir di Amerika bukan untuk ini (diskriminasi warga minoritas di Amerika). Saya kira saya meninggalkan Indonesia, melarikan diri dari negara yang menjadikan saya tidak bisa bernafas….dan seterusnya”.
Mendengarkan pidato itu seolah meruntuhkan kegembiraan dan rasa bangga saya sebagai sesama diaspora Indonesia di Amerika. Kenapa Indonesia harus digadaikan untuk tujuan yang mungkin baik?
Saya katakan baik karena bertujuan untuk membela mereka yang termarjinalkan. Memberian dukungan perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan. Tapi kenapa harus Indonesia dikorbankan sebagai negara prejudice dan diskriminatif?
Saya pun kembali kecewa. Kecewa bukan karena presentasinya yang disampaikan dengan bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Dan itu dia akui. Tapi karena awal pidato yang menjelekkan Indonesia itu.
Saya pun mencari tahu siapa orang tersebut dan di kota mana. Ternyata di pidato itu dia menyebut Portland, sebuah kota di negara bagian barat Amerika.
Tapi siapa gerangan orang tersebut? Baru hari ini saya mendapat informasi bahwa sosok itu adalah seorang pendeta bernama Pendeta Oscar Suriadi. Dia adalah pendeta gereja City Blessing di kota Portland sejak 1998.
Kecewa dan Harapan
Saya sebagai diaspora Indonesia di Amerika, dan tentunya sebagai seorang muslim dan imam, sangat kecewa dengan potongan pidato Pendeta Oscar itu. Kekecewaan saya tentunya bukan pertama kali ini.
Sudah beberapa kali saya menemukan adanya pihak-pihak tertentu yang secara sengaja memburuk-burukkan negaranya sendiri. Kalaupun sudah berpindah warga negara, minimal negara asalnya.
Saya masih ingat beberapa tahun lalu ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat penghargaan dari Conscience Foundation pimpinan Rabbi Arthur Schneier. Ketika itu ada beberapa organisasi yang kebetulan berafiliasi ke warga Indonesia di New York mengirimkan surat ke Rabbi Arthur memburuk-burukkan Indonesia sebagai negara intoleran.
Saya tahu betul siapa mereka dan apa isi suratnya karena Rabbi Arthur Schneier adalah pendeta Yahudi yang cukup dekat dengan saya. Bahkan di acara itu sayalah yang memimpin doa pembuka. Beliaulah yang memberitahu ke saya siapa yang mengirim surat dan apa isi suratnya.
Maka dengan kejadian di Portland ini semakin menjadikan saya gerah dan kecewa. Bahwa ada saja pihak-pihak yang tidak tahu berterima kasih kepada negaranya atau negara asalnya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan segala kekekurangannya, Indonesia adalah negara yang paling toleran terhadap kaum minoritas. Saya menyampaikan ini karena saya sudah diberikan kesempatan untuk tinggal atau minimal mengunjungi banyak negara.
Di Indonesia dari dulu semua warga bebas beragama dan menjalankan agamanya. Pernahkah Indonesia melarang agama, selama memang sejalan dan diakui dengan konstitusi?
Di negara manakah yang mayoritas non Muslim semua agama diberikan hak liburan nasional keagamaannya? Sungguh beruntung saudara-saudara minoritas di Indonesia. Kami di New York berjuang tujuh tahun lebih untuk mendapatkan hak libur sekolah di saat Idul Fitri dan Idul Adha. Itupun hanya di kota New York.
Karenanya kalaupun ada kasus-kasus gesekan antarmasyarakat agama di Indonesia itu bukan berarti bisa dikatakan sebagai negara yang prejudice dan diskriminatif.
Selain itu, kasus-kasus diskrimanasi terjadi kepada semua pihak. Siapa yang bisa mengingkari kekerasan dan diskriminasi kepada umat Islam di Papua misalnya?
Lebih penting lagi di Indonesia ada masa-masa di mana kaum minoritas mendapat posisi yang upper hand (lebih beruntung). Mereka misalnya menduduki posisi-posisi publik yang strategis dan penting di negara ini.
Apalagi jika kita berbicara tentang penguasaan perekonomian. Yang pasti sebagian besar kue negeri ini dikuasai oleh sekelompok kecil warga dari kalangan tertentu. Warga mayoritas pun hanya menerima itu seolah sebuah kenyataan semata.
Saya hanya ingin mengatakan hentikan memburuk-burukkan Indonesia demi mencari nasib baik di negeri orang. Jangan sebuah, dua buah kasus Anda pakai untuk mencampakkan wajah bangsa/negara di depan mata orang lain.
Belajarlah berterima kasih dan tahu diri!New York, 9 Juni 2020 Shamsi Ali .*****
AWAL pekan pertama bulan Juni sebagian wilayah di Tanah Air mulai melonggarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, misalnya, sedikit demi sedikit mulai mengendorkan PSBB setelah melihat tren penurunan jumlah angka kasus positif virus korona (Covid-19) dalam beberapa pekan terakhir.
Khusus di DKI Jakarta, daerah yang pertama kali menjadi episentrum Covid-19, pada 5 Juni lalu mulai memasuki masa transisi fase I guna menyiapkan era kenormalan baru (new normal) di masa pandemi Covid-19.
menjadi periode penting untuk menentukan kebijakan berikutnya dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19.
Kebijakan yang sama dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang juga memberlakukan pelonggaran PSBB dengan istilah PSBB Proporsional untuk daerah Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek).
Ketiga wilayah itu mengambil kebijakan yang sama dengan DKI Jakarta karena secara klaster menjadi satu dengan ibu kota.
Dengan pelonggaran tersebut, kini sejumlah fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan rekreasi sudah diperbolehkan beroperasi.
Pada pekan pertama 5-7 Juni 2020, tempat ibadah, transportasi, dan kegiatan sosial-budaya serta olahraga sudah bisa diperbolehkan beroperasi dengan pembatasan 50% dari kapasitas.
Pada pekan kedua 8-14 Juni 2020, fasilitas lainnya, yakni tempat kerja dan tempat usaha lain, seperti rumah makan, pergudangan, dan ritel/showroom sudah bisa beroperasi dengan hanya menerima pengunjung maksimal 50% dari kapasitas.
Adapun pada pekan ketiga 15-21 Juni 2020 giliran mal, pasar, serta taman rekseasi indoor dan outdoor sudah bisa beroperasi dengan pembatasan 50%.
Pembukaan berbagai fasilitas umum dan bisnis ini merupakan kabar baik bagi para pelaku usaha. Maklum, selama hampir tiga bulan sejak akhir pertengahan Maret lalu, mereka harus bersabar dan kehilangan omzet usaha akibat kebijakan PSBB yang melarang aktivitas masyarakat di luar rumah. Tak terbilang berapa kerugian yang mereka alami karena kehilangan pembeli.
Kini dengan memasuki masa transisi yang membolehkan sejumlah kegiatan usaha dibuka, harapan akan bangkitnya ekonomi sedikit tampak. Hanya saja, dengan pertimbangan faktor kesehatan, seyogianya para pelaku usaha sebaiknya memperhatikan betul protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.
Salah satunya adalah pembatasan kapasitas pengunjung di tempat ibadah, rumah makan, restoran, showroom, dan mal yang boleh hanya 50% dari kapasitas.
Hal yang juga harus menjadi perhatian adalah di sektor transportasi umum. Maklum, moda angkutan ini menjadi andalan para pekerja pinggiran ibu kota yang berkantor di Jakarta. Dalam hal ini, perlu kedisiplinan dan kewaspadaan masyarakat agar tidak keburu senang karena bisa beraktivitas normal.
Disiplin di sini bukan saja hanya harus selalu mengenakan masker, tetapi mesti bersabar tidak ikut berdesak-desakan saat mengantre maupun ketika berada dalam bus atau kereta.
Jangan sampai seperti kejadian pada awal pekan lalu, ketika jam pulang kerja terlihat sejumlah bus Transjakarta yang penuh sesak kendati saat itu masih periode PSBB.
Demikian juga di tempat kerja, kendati sudah dilonggarkan, hendaknya para pekerja dan pemilik usaha benar-benar mengikuti protokol kesehatan, seperti pengaturan jarak duduk antarkaryawan hingga mengatur personel yang masuk kerja.
Upaya-upaya beradaptasi dengan kebiasaan baru di lingkungan kerja maupun di luar kantor ini penting dilakukan untuk mencegah penyebaran korona di Tanah Air.
Hal ini agar pandemi virus berasal dari China tersebut tidak sampai terjadi adanya gelombang kedua (second wave) seperti yang dikhawatirkan para ahli.
Apalagi jika melihat data terkini yang disampaikan Gugus Tugas Covid-19, dengan masih ada penambahan jumlah kasus posotif korona di sejumlah daerah. Per Minggu (7/6), tercatat ada penambahan kasus positif sebanyak…. (diisi di layout) orang dan jumlah meninggal dunia sebanyak….orang.
Sehari sebelumnya, Sabtu (6/6), penambahan jumlah kasus positif bahkan mencapai 993 orang, dengan penambahan terbanyak terjadi di Jawa Timur, yakni 286 kasus. Adapun di DKI Jakarta sebanyak 104 kasus, naik dibandingkan dengan beberapa hari terakhir yang selalu di bawah angka 100.
Data-data tersebut jelas mesti diwaspadai dan diikuti kesiapan langkah antisipasi jika gelombang kedua pandemi korona benar-benar terjadi.
Kita berhadap dengan pengalaman selama tiga bulan menghadapi wabah korona, para pembuat kebijakan bisa lebih siap mengambil langkah strategis demi menyelamatkan kesehatan masyarakat sekaligus mengembalikan roda ekonomi agar terus berjalan.*****
PANCASILA adalah Kesepakatan bersama kita sebagai bangsa dan negara. Pancasila adalah produk dialog. Bahkan, ormas keagamaan salah satu pendiri Indonesia, yakni Muhammadiyah, melalui Muktamar Ke-47 di Makasar merumuskan bahwa Pancasila adalah darul ahdi wa-syahadah.
Meminjam istilah yang digunakan oleh Persyarikatan Muhammadiyah, darul ahdi maknanya negara tempat kita membuat kesepakatan nasional, hasil dialog yang panjang dengan nalar yang sehat dalam bahasa Bung Hatta produk nalar ilmiah yang mempersatukan Indonesia negara yang berdiri atas dasar kesadaran kolektif bahwa kita majemuk atau beragam. Kesadaran kolektif atas keberagaman Indonesia itulah yang membuat tidak boleh ada kelompok yang merasa “paling”, “superior”, “kelompok nomor 1”.
Maka, rajutan kesepakatan bersama itu tidak boleh diurai lagi dengan berbagai ideologi yang tidak bersesuaian bahkan mengancam Pancasila sehingga merusak keindonesiaan kita. Pun, demikian sikap perdebatan dan mengklaim paling Pancasila terang merusak bangunan kesepakatan yang sudah ditata, maka perdebatan bahwa Pancasila 1 Juni yang merujuk pada pidato Bung Karno pertama kali menyebut istilah Pancasila, dan Pancasila 22 Juni, di mana dikenal sebagai Piagam Jakarta, hasil kerja BPUPKI, dan Pancasila 18 Agustus hasil akhir dari kerja PPUPKI sebagai hasil akhir rumusan Pancasila saat ini yang kita gunakan.
Menurut saya, klaim-klaim mana Pancasila yang paling asli tersebut justru menunjukkan bahwa kita semua tidak Pancasilais. Perdebatan terkait tanggal dan status tersebut bagi saya menunjukkan sikap egoistik, berjarak dengan sejarah dan semangat Pancasila itu sendiri, yakni mengubur sikap egoistik dan mengedepankan kepentingan kolektif Indonesia sebagai bangsa dan negara sebagaimana sikap yang diteladani oleh tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dll, yang mengubur egoisme masing-masing demi utuhnya Indonesia.
Pancasila adalah dasar yang hidup untuk menuju Indonesia yang kita cita-citakan, maka ketiga tanggal tersebut adalah Pancasila, Pancasila kita semua. Ketiganya menunjukkan bahwa proses dialog terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat itu, dan roh dialog tersebut harus terus dirawat menjadi roh kebangsaan kita.
Maka, berbahaya dan tidak baik bila pergantian kekuasaan politik kemudian membuat tafsir tunggal terhadap Pancasila berdasarkan tiga tanggal rumusan Pancasila tersebut, karena bisa menyakiti golongan politik lainnya, yang sejatinya kita sedang mengkhianati keberagaman golongan dalam Indonesia, dan tentu sikap antidialog dengan memonopoli kebenaran tafsir sendiri terkait Pancasila adalah tindakan dan sikap yang bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah produk dialog, ketika dialog terancam dan diancam oleh dominasi kekuasaan politik tertentu, maka kita sedang mengubur Pancasila.
Darul syahadah. Bagi saya saat ini adalah momentum syahadah, yang bermakna pembuktian, mengisi, dan berkarya setelah memiliki Indonesia yang merdeka. Maka, bukan saatnya lagi mempertentangkan ideologi negara, apalagi berusaha merusak ideologi yang sudah dibangun bersama. Momentum semua anak negeri untuk berkarya menuju Indonesia yang maju, makmur, adil, dan bermartabat. Indonesia di mana kegembiraan selalu dihadirkan dalam keberagamannya, bukan justru ditebar kecemasan-kecemasan yang menurunkan semangat produktivitas seluruh anak negeri.
Momentum krisis yang disebabkan wabah Covid-19 saat ini, adalah salah satu momentum sulit yang harus kita lewati bersama sebagai bangsa dan negara, pemimpin, politisi, tokoh, dan kita semua yang rajin pidato tentang Pancasila. Pancasila diuji konsistensinya saat ini. Diuji kapasitasnya untuk membangun kesadaran gotong-royong semua elemen bangsa, bergandengan tangan untuk keluar dari wabah Covid-19.
Kepemimpinan membutuhkan trust (kepercayaan) untuk bisa melakukan hal tersebut, dan trust bisa muncul bila dialog nan jujur hadir di tengah-tengah kehidupan kebangsaan kita. Jadi, saat ini Pancasila kita diuji pembuktian kesaktiannya dan pembuktiannya ada di tangan kita semua sebagai anak bangsa.*****
Apa itu new normal? Berawal dari seruan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir yang meminta seluruh perusahaan pelat merah melakukan sejumlah aksi mengantisipasi dampak Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) demi kelanjutan aktivitas perusahaan, menyusul terbitnya Surat Edaran Nomor: S-336/MBU/05/2020 Menanggapi surat edaran tersebut sejumlah BUMN dari berbagai sektor telah menyiapkan sejumlah skenario new normal dengan versi masing-masing, berdasarkan kapasitas dan aktivitas perusahaan.
Lebih jauh, sebagaimana dijelaskan Deputi Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Informasi pada Kementerian BUMN, Alex Denni, skenario new normal dirumuskan dengan mengidentifikasi sejumlah variabel yang paling tidak pasti dan paling berpengaruh. Lalu, dari variabel tersebut muncul dua aspek, yaitu kepastian penemuan vaksin dan perilaku masyarakat terkait pandemi Covid-19.
Berdasarkan dua aspek tersebut maka dirumuskanlah empat skenario. Skenario pertama, death zone diterjemahkan virus menyebar dengan cepat di mana vaksin belum ditemukan, dan sistem perawatan medis tidak sanggup menanggulangi pasien yang melebihi kapasitas. Sedang perilaku masyarakat sangat abai terhadap protokol keselamatan dan kesehatan.
Skenario kedua adalah new normal . Diterjemahkan bahwa kondisi virus masih ada dan vaksin belum ditemukan. Adapun perilaku masyarakat terhadap protokol keselamatan dan kesehatan membuat penyebaran Covid-19 melambat, sehingga sistem perawatan rumah sakit bisa menangani jumlah pasien dengan baik.
Dengan demikian, jumlah yang meninggal sedikit dan bisnis akan mencari cara baru, produk baru, solusi baru yang dibutuhkan masyarakat dalam menjalani kehidupan dalam dunia dengan peradaban dan budaya baru. Adapun pengertian new normal bukan berarti kembali seperti kondisi normal sebelumnya.
Skenario ketiga, disebut donkeyman , yakni kondisi vaksin ditemukan dan perawatan medis bisa menanggulangi atau mengobati pasien Covid-19. Akan tetapi, perilaku masyarakat kembali tak peduli terhadap aspek keselamatan dan kesehatan. Dampaknya, rumah sakit tetap ramai, meski fatalitas akibat Covid-19 tidak tinggi.
Skenario keempat, menyangkut longer life hope, vaksin ditemukan dan sistem perawatan medis bisa menanggulangi atau mengobati pasien Covid-19. Kerja secara virtual dan remote sudah menjadi kebiasaan masyarakat di mana transformasi digital terjadi secara masif dan produktivitas meningkat secara signifikan.
Lalu, bagaimana respons manajemen perusahaan pelat merah menuju new normal ? Sejumlah BUMN sedang mempersiapkan skenario, PT ASDP Indonesia Ferry sedang membentuk task force untuk merumuskan skenario new normal dengan tetap memperhatikan berbagai unsur dalam perusahaan. Tak terkecuali terhadap stakeholders perusahaan pengelola pelabuhan dan angkutan penyeberangan antarpulau itu.
Begitupla dengan maskapai PT Garuda Indonesia Tbk, sedang merumuskan skema new normal yang disesuaikan dengan bidang bisnis (jasa penerbangan). BUMN sektor industri tak mau kalah, adalah PT INKA telah merumuskan skenario new normal dengan membagi karyawan menjadi dua grup. Jam kerja karyawan INKA akan dibagi menjadi dua shift baik di perkantoran maupun di pabrik.
Rupanya, skenario new normal yang akan dilaksanakan di lingkungan BUMN diapresiasi oleh anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Dalam keterangannya yang dimuat sejumlah media massa, Mufti meyakini skenario new normal dapat memberi tiga dampak positif. Pertama , gaya hidup sehat akan semakin meningkat di lingkungan BUMN yang melibatkan jutaan orang, dari karyawan hingga ekosistemnya. Kedua , produktivitas ekonomi lokal dan nasional bisa bertahap ditingkatkan.
Skenario new normal BUMN memungkinkan semua rencana bisnis kembali digerakkan lebih cepat. Ketiga , dapat menaikkan produktivitas ekonomi secara langsung yang berdampak ke masyarakat.
Tentu timbul pertanyaan mengapa mesti BUMN yang menjadi acuan yang menggerakkan masyarakat untuk menuju new normal ? Memang, perusahaan pelat merah diharapkan menjadi influencer dan role model untuk mengajak masyarakat menuju new normal , karena BUMN menjadi lokomotif lebih dari 1/3 perekonomian nasional.
Pihak Kementerian BUMN berharap lokomotif tersebut dapat bergerak cepat ke new normal sehingga diikuti pergerakan new normal dengan alamiah di tengah masyarakat. Pascapandemi virus mematikan ini dipastikan gaya hidup dan aktivitas keseharian masyarakat berubah sehingga memang perlu antisiapsi sebaik mungkin untuk menghindari kegagapan yang mendadak.
Sekali lagi, pengertian new normal bukan dalam konteks kembali normal sebagaimana sebelum terjadinya pandemi Covid-19.*****
Pelonggaran kebijakan penanganan Covid-19 seperti rencana pembukaan mal, pasar, pertokoan, hingga sekolah dalam waktu dekat membuat banyak masyarakat kaget, penuh harap, sekaligus waswas. Dalam perspektif ekonomi, kebijakan itu bisa dipahami karena didasari asumsi untuk menggerakkan keuangan.
Ketika aktivitas ekonomi bergerak lagi, ancaman pengangguran dan kemiskinan yang berpotensi menjadi masalah besar bangsa ini harapannya bisa dihindari.
Namun, asumsi ini tak cukup menjawab kekhawatiran publik. Di tengah penanganan Covid-19 yang belum tuntas, kebijakan ini memang cenderung kontraproduktif. Kita lihat, hingga kemarin, penambahan kasus positif baru terus terjadi. Tak hanya di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tren kenaikan juga tampak di berbagai daerah.
Demikian di level global, kurva peningkatan kasus juga masih menanjak hingga menembus 4,8 juta orang.
Dengan fakta ini, sejatinya, Covid-19 di Indonesia belum tuntas. Data yang muncul di publik pun hakikatnya belum mampu memotret situasi yang terjadi sesungguhnya. Apakah rapid test selama ini sudah menjangkau seluruh penduduk Indonesia? Jangankan seluruh penduduk yang jumlahnya hampir 270 juta jiwa, 10% dari total itu pun belum terjangkau.
Ini artinya apa? Semua pihak masih meraba-raba. Kapan puncak pandemi ini bakal terjadi pun, semua juga masih berbasis prediksi. Jawa Timur, misalnya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 setempat memperkirakan puncak pandemi terjadi Juni nanti.
Kisaran jumlah kasus yang diperkirakan mencapai 4.000.
Keyakinan itu muncul karena saat ini kasus sudah mencapai sekitar 2.000-an. Demikian hitung-hitungan Gugus Tugas dengan segala asumsi yang ada. Namun, sejauh mana tes cepat ini sudah dilakukan, juga masih menyisakan pertanyaan. Belum lagi melihat rencana pemerintah menciptakan kehidupan dengan new normal style dalam waktu dekat, tampaknya prediksi itu perlu direvisi.
Ikhtiar new normal l ewat kebijakan pelonggaran seperti membuka aktivitas lagi fasilitas umum, sekali lagi, adalah menjadi strategi demi memberi nyawa kembali kehidupan yang sempat mati suri. Dalam konteks ideal, semestinya pelonggaran hanya bisa dilakukan jika antivirus sudah ditemukan dan berhasil menyembuhkan.
Atau, setidaknya, kasus ini benar-benar teratasi dengan penurunan jumlah korban meninggal secara signifikan.
Kini, pelonggaran sebagian telah berjalan seperti di sektor transportasi. Jika pelonggaran lebih besar benar akan dimulai 1 Juni nanti, yang perlu ditekankan adalah pentingnya saling menjaga diri dan lingkungan terdekat. Pesan ini penting karena tanpa kesadaran pribadi lebih dini, potensi ledakan kasus bisa saja terjadi.
Pemerintah memang memiliki asumsi bahwa penduduk di bawah usia 45 tahun lebih kuat sehingga dianjurkan bekerja normal. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa golongan ini tak bisa terpapar ganasnya Covid-19? Siapa pula bisa menjamin, golongan ini bisa aware terhadap lingkungan terdekatnya seperti kala sampai rumah atau bertemu dengan kerabatnya.
Siapa pula yang bisa menjamin bahwa saat pasar dan mal dibuka, ada standar dan prosedur tegas yang berpatokan pada protokol kesehatan Covid-19. Lebih-lebih ketika pada 15 Juni nanti saat sekolah beroperasi kembali, siapa yang bisa menjamin anak-anak kita bisa tidak akan tertular virus ini.
Apakah mereka dengan segala ‘naluri kebebasannya’ sudah memiliki kesadaran tinggi menjaga kesehatan? Apakah keyakinan bahwa herd immunity akan terbentuk dalam situasi ini benar-benar sudah terukur? Semuanya masih keyakinan semu yang belum teruji empirik.
Dengan fakta ini, sejatinya, ketika new normal diberlakukan, virus-virus korona sangat mungkin makin dekat dengan kita. Di tengah kondisi ini, tidak ada strategi jitu yang lebih baik kecuali menguatkan imunitas diri secara berkelanjutan. Masing-masing dari diri kita jangan jemawa, tapi harus memiliki kesadaran tinggi bahwa virus ini belum berhenti dan masih menjadi ancaman bersama.*****
Setiap 20 Mei, kita biasanya menyelenggarakan upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Namun, akibat Coronavirus disease (Covid-19), upacara peringatan tersebut sementara kita tiadakan untuk menghindari penyebaran pandemi. Meskipun demikian, semangat kebangkitan nasional tetap harus kita jaga untuk merawat persatuan bangsa.
Sebab, semangat persatuan dan kebersamaan itulah yang menjadi kunci kebangkitan kita untuk terbebas dari korona.
Ditelisik dari aspek kesejarahannya, tanggal 20 Mei sebenarnya merupakan tonggak berdirinya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional pertama kali dilaksanakan di masa awal kemerdekaan tahun 1948 saat bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis politik, ancaman keamanan akibat agresi militer Inggris dan Belanda, serta potensi perpecahan akibat perbedaan tafsir konsep dasar negara.
Karena itu, Presiden Soekarno dan Ki Hajar Dewantara kembali mengingatkan tentang keberadaan Boedi Oetomo yang merepresentasikan organisasi moderat, nasionalis, dan jalan tengah, yang menjadi simbol pemersatu serta kebangkitan pergerakan nasional. Boedi Oetomo juga diposisikan sebagai titik temu atas semua perbedaan ideologi, identitas, dan cara pandang kebangsaan yang berkembang di masa awal kelahiran Indonesia.
Saat ini Bangsa Indonesia juga sedang menghadapi tantangan besar berupa ancaman pandemi yang mulai berdampak serius pada sendi-sendi sosial-ekonomi negara dan rakyat Indonesia. Gelombang pengangguran makin besar, angka kemiskinan terus meningkat dan tentu beban negara untuk menanggung tekanan ekonomi semakin berat.
Kondisi ini diperburuk oleh tidak sehatnya tata kelola BPJS Kesehatan yang berdampak pada kenaikan iuran premi masyarakat di tengah pandemi sehingga menambah beban rakyat yang saat ini sangat membutuhkan layanan kesehatan.
Menghadapi situasi tersebut, kebersamaan seluruh elemen bangsa menjadi kunci bagi kita untuk keluar dari krisis ini. Kita semua tahu, negara memiliki keterbatasan sumber daya untuk menangani krisis pandemi ini. Kita juga tahu betul, jika krisis kesehatan ini semakin berkepanjangan, negara tidak memiliki kapasitas memadai untuk menanggung beban ekonomi dalam jangka panjang.
Karena itu, berbagai inisiatif warga dan kelompok di luar kekuatan negara (non-state actors ) melalui gerakan filantropi, kegiatan peduli dan berbagi, menjadi hal patut diapresiasi.
Hal itu tidak hanya dilakukan oleh para tokoh berkapasitas finansial besar, tetapi juga oleh setiap warga negara yang merasa terpanggil nuraninya untuk ikut turun tangan meringankan beban sesama. Bahkan, salah seorang sahabat saya asal Papua tetap berjuang mencurahkan berbagai sumber daya dan perhatiannya kepada masyarakat Papua yang terdampak pandemi, meskipun dirinya sendiri tengah dirundung duka akibat wafatnya anak tercinta.
Tindakan tersebut merupakan inspirasi nyata yang bisa membangkitkan semangat kebersamaan kita untuk saling membantu, meringankan beban sesama, hingga negara mampu menuntun kita semua keluar dari ancaman kesehatan dan tekanan sosial-ekonomi ini.
Inspirasi Kebangkitan dari Masyarakat Global
Krisis pandemi ini memberikan pelajaran penting bahwa sumber daya yang besar tidak menjamin sebuah negara mampu secara efektif menangani wabah ini. Berkaca dari konteks global, negara-negara demokrasi Barat kini tidak melihat Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump sebagai model yang baik dalam penanganan wabah Covid-19 ini. Setelah hampir delapan dekade menunjukkan kepemimpinan globalnya dalam berbagai bidang sejak Perang Dunia II, kini Amerika Serikat justru menjadi episenter pandemi di dunia. Dari sisi tingkat pengetesan virus di masyarakat, Amerika Serikat juga dianggap tertinggal dari negara-negara maju lainnya, seperti Jerman, Kanada, Swiss, dan Spanyol.
Melihat negara-negara yang dianggap berhasil bangkit dari ancaman Covid-19 ini, ternyata ada faktor penting berupa kepemimpinan politik efektif di tengah krisis. Jerman di bawah kepemimpinan Kanselir Angela Merkel kini banyak mendapatkan apresiasi dunia dalam merespon pandemi ini. Dibandingkan dengan negara Eropa lainnya, Jerman berhasil menekan tingkat kematian di angka 8 orang per 100 ribu penduduk. Angka ini jauh lebih kecil daripada Perancis dan Inggris yang masing-masing mencapai 37 dan 42 orang. Bahkan sejak 20 April, pemerintah Jerman sudah mulai melonggarkan kebijakan penutupan wilayah (lockdown ) secara bertahap, dengan memperbolehkan toko-toko kecil usaha non-esensial mulai buka lagi dengan tetap menerapkan prosedur kehatian-hatian.
Keberhasilan Jerman ini tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Kanselir Merkel yang sejak awal bersikap jujur, empati, dan terbuka terhadap publik mengenai berbagai informasi dan risiko pandemi. Sikap ini penting untuk memupuk dan membangkitkan kepercayaan publik. Keterbukaan ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan responsif dan antisipatif yang dipandu bersama pendekatan sains. Kanselir Merkel adalah orang yang mau mendengar berbagai masukan dan rekomendasi dari para panel ahli dalam berbagai pengambilan keputusan penting. Bukan itu saja, dia juga melakukan pendekatan kepada gubernur 16 negara bagian untuk membangun kesatuan dan keselarasan langkah kebijakan penanganan pandemi.
Kanselir Merkel kalau boleh saya sebut telah menunjukkan kepemimpinan krisis, bukan sebaliknya krisis kepemimpinan. Nancy Koehn, profesor dari Harvard Business School, menyatakan pemimpin sejati itu ditempa dalam masa krisis. Menurutnya, seorang pemimpin menjadi real atau “nyata” ketika dia mempraktikkan berbagai tindakan penting yang menginspirasi serta mengawal rakyatnya dengan baik pada masa-masa sulit. Mereka bukan saja mampu memberikan arahan dan menujukkan tujuan yang jelas bagi rakyatnya, tapi juga mampu belajar cepat untuk melakukan penyesuaian, improvisasi tindakan, dan menciptakan beragam alternatif kebijakan seiring dengan cepatnya perubahan situasi serta munculnya tantangan baru di tengah masyarakat.
Tentu kita berharap dan optimistis bahwa semua pemimpin di berbagai tingkatan di negeri ini mampu menunjukkan kepemimpinan politik efektif untuk keluar dari krisis ini. Dengan semangat Boedi Oetomo yang moderat, nasionalis, dan jalan tengah, ditambah sumber daya yang kita miliki, semangat kegotongroyongan seluruh komponen bangsa dan kepemimpinan krisis yang andal, saya yakin Indonesia mampu bangkit serta keluar dari krisis pandemi Covid-19 ini. Selamat Hari Kebangkitan Nasional! *****
Tunjangan hari raya (THR) adalah sebuah penantian yang sangat berarti bagi pekerja di masa pandemi Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19). Di sisi lain, kondisi sebagian besar perusahaan tertatih-tatih di masa sulit ini.
Memang, dalam situasi serbatidak menentu ini sungguh sangat terbatas pilihan yang ada.
Namun, secercah harapan bagi para pekerja menyusul peringatan pemerintah kepada pengusaha yang diwajibkan membayar THR keagamaan tepat waktu dengan batas maksimal H-7 Lebaran.
Sebelumnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menerbitkan Surat Edaran (SE) M/6HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19, yang diprotes keras kalangan pekerja. Akankah sesuai kenyataan peringatan pemerintah dan fakta di lapangan nanti?
Lain ceritanya dengan aparatur sipil negara (ASN) pusat dan daerah, prajurit TNI, anggota Polri, dan para pensiunan, pencairan THR sudah ditetapkan serentak pada pekan ini. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp13,89 triliun. mendatang hanya berlaku bagi pejabat eselon III ke bawah.
Hanya, besaran THR masa pandemi Covid-19 lebih kecil dibanding tahun sebelumnya. Pasalnya, THR kali ini tanpa disertai tunjangan kinerja. Meski sudah dijadwalkan pencairan THR pada pertengahan bulan ini, pemerintah tetap mengantisipasi kemungkinan pemberian THR bisa saja terjadi sesudah Lebaran.
Dalam keterangan pemerintah, THR keagamaan merupakan pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja. Karena itu, bagi pengusaha yang melalaikan kewajiban, sebagaimana ditegaskan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, terancam dikenakan denda dan sanksi keras.
Dalam peringatan tertulis yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dibeberkan bahwa pengusaha yang telat mencairkan THR terancam dikenakan denda sebesar 5%. Dan, denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR. Bagaimana dengan pengusaha yang tidak membayar THR? Pemerintah telah memutuskan untuk pengusaha yang tidak membayar THR akan dikenakan sanksi administratif hingga penghentian izin usaha.
Ancaman denda dan sanksi bagi pengusaha yang melalaikan kewajiban membayar THR sangat disayangkan. Bahkan peringatan pemerintah agar pengusaha tepat waktu membayar THR, seperti disampaikan Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang, hanya bisa dilaksanakan oleh pengusaha yang mampu.
Sarman tidak menampik bahwa dalam masa pandemi Covid-19 ini masih ada perusahaan dari berbagai sektor yang mampu membayar THR tepat waktu. Namun, pengusaha yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya jauh lebih banyak. Jadi, kalangan pengusaha menilai tidak bijak bila persoalan pembayaran THR ini dibumbui dengan ancaman denda dan sanksi.
Masalahnya, dalam surat edaran yang diterbitkan pemerintah tidak setegas peringatan yang dikeluarkan belakangan. Dalam surat edaran tersebut memuat ketentuan kelonggaran pembayaran THR dalam bentuk penundaan atau pencicilan bagi pengusaha yang tak mampu membayar kepada pekerja sesuai regulasi yang berlaku.
Pemerintah mensyaratkan pengusaha yang bisa mendapatkan pelonggaran pembayaran THR apabila sudah memperoleh kesepakatan lewat dialog dengan para pekerja yang dilakukan secara kekeluargaan. Dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan dan iktikad baik untuk mencapai kesepakatan.
Dialog pengusaha dan pekerja diharapkan menyepakati di antaranya perusahaan yang tidak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap. Dan, perusahaan yang tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan perundang-undangan, maka pembayaran THR dapat dilakukan penundaan sampai jangka waktu tertentu yang disepakati.
Ternyata, surat edaran yang dikeluarkan Kemenaker disambut dingin oleh kalangan pekerja. Mereka khawatir kebijakan yang mengatur pembayaran THR itu dapat disalahgunakan oleh pengusaha yang nakal. Memang bila merujuk pada Permenaker Nomor 6 Tahun 2006, regulasi tersebut tidak mengatur bahwa THR dapat dicicil dan bila perusahaan melanggar dapat dikenakan sanksi. Namun, masalahnya kondisi sekarang jauh dari normal sehingga memang harus ada kesepakatan yang saling mengerti kedua pihak.
Pihak pekerja hendaknya juga bijak menyikapi keadaan. Sebaliknya, kalangan pengusaha pun tetap punya iktikad baik membayar PHK meski dengan cara dicicil atau sesuai kesepakatan dengan pekerja. Masalahnya, bagaimana kalau pemberi dan penerima THR tidak mencapai kesepakatan sebagaimana harapan yang dituangkan dalam surat edaran Kemenaker? Sebuah pekerjaan rumah baru menanti.*****
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyatakan, ada ironi atau hal-hal yang sangat sulit diterima dengan akal sehat dalam usaha memutus mata rantai penyebaran virus Corona (COVID-19) yang belum dapat diprediksi secara pasti kapan berakhirnya.
“Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah tapi di sisi lain kita longgar sehingga usaha kita untuk membendung dan menghentikan secepatnya penyebaran virus Corona tersebut menjadi terkendala karena adanya ambivalensi sikap dari pemerintah yang tegas dengan rumah ibadah tapi tidak tegas dengan lainnya,” ujar Anwar, Minggu (17/5/2020).
Anwar mengatakan, bagi MUI setelah melihat dan mengkaji tentang virus Corona ini serta bahaya dan dampak buruk serta kemudaratan yang bisa ditimbulkannya, MUI telah mengeluarkan fatwa agar umat Islam di daerah supaya tidak melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah lima waktu serta salat tarawih di masjid maupun musala, dan mengimbau agar mengerjakannya di rumah saja.
Menurutnya, Fatwa MUI ini oleh pihak pemerintah tampak sangat diperhatikan dan dipegang kuat sebagai dasar untuk mencegah orang untuk berkumpul ke masjid bagi melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah. Dirinya merasa ini merupakan tindakan yang benar. (Baca juga: Perkuat Solidaritas dan Gotong Royong Hadapi Dampak Pandemi Corona)
“Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya,” tutur dia.
Bahkan dia mengaku mendengar di beberapa daerah para petugas dengan memakai pengeras suara mengingatkan masyarakat untuk tidak berkumpul di masjid untuk melaksanakan salat jumat dan salat jamaah serta tarawih di masjid karena berbahaya.
“Tetapi di wilayah dan daerah yang sama tidak ada petugas yang dengan pengeras suara mengimbau masyarakat di pasar, di mal, dijalan, di bandara, di kantor dan di pabrik dan sebagainya mengingatkan mereka supaya tidak berkumpul-kumpul karena berbahaya,” ungkapnya.
Hal demikian menurut Anwar, tentu saja telah mengundang tanda tanya di kalangan umat, apalagi melihat pihak pemerintah dan petugas tahunya hanya melarang dan itu mereka dasarkan kepada fatwa MUI. Padahal dalam fatwa MUI yang ada dijelaskan bahwa di wilayah atau daerah yang penyebaran virusnya terkendali umat Islam bisa menyelenggarakan salat Jumat dan salat berjamaah dengan memperhatikan protokol kesehatan yang ada.
“Tetapi pemerintah dan petugas tetap saja melarang tanpa memperhatikan situasi dan kondisi yang ada sehingga terjadilah adu mulut di antara masyarakat dengan petugas di daerah tersebut,” ucap Anwar.
Menurut Anwar, sebenarnya umat dan masyarakat diyakini akan bisa menerima apa yang disampaikan dan diinginkan oleh pemerintah dan petugas di mana mereka tidak boleh berkumpul untuk melakukan salat jumat dan berjamaah di masjid karena berbahaya, asal pemerintah dan petugas benar-benar konsisten dalam menegakkan aturan yang melarang semua orang untuk berkumpul-kumpul di mana saja tanpa terkecuali.
Lebih lanjut dia mengatakan, penegakkan larangan itu seharusnya tidak hanya untuk berkumpul di masjid saja tapi juga di pasar, di mal, di jalan, di terminal di bandara di kantor-kantor, pabrik-pabrik, industri dan lain-lain yang tujuannya adalah agar kita bisa memutus mata rantai penularan virus ini secara cepat. ”Jika pemerintah dan petugas bisa bersikap seperti itu tentu kegelisahan dan keresahan di masyarakat tidak akan ada karena semua kita sudah tahu bahaya dari virus tersebut,” ucapnya.
Tetapi karena yang terjadi tidak seperti itu, kata Anwar maka akhirnya masyarakat menggerutu dan mencaci maki pemerintah dan petugas dengan berbagai ucapan yang tidak enak untuk di dengar. ”Kita tentu saja jelas-jelas tidak mau dan tidak ingin hal itu terjadi karena bagaimanapun juga kita tentu tidak mau pemerintah dan petugas tidak dihormati, tetapi karena ada ironi dan kenyataan-kenyataan yang paradoks di dalam tindakan pemerintah dan petugas tersebut akhirnya itulah yang terjadi,” kata dia.
Untuk itu, Anwar menyarankan, ke depan untuk kebaikan dan terciptanya ketenangan dalam masyarakat, maka pemerintah harus bisa mengevaluasi kebijakan dan tindakannya yang ada selama ini untuk kemudian membuat aturan yang jelas serta menegakkan dan memberikan perlakuan yang sama untuk semuanya.
“Kecuali untuk hal-hal yang memang sangat penting, sehingga semua elemen masyarat dapat dengan ikhlas menerimanya sehingga mereka benar-benar hormat serta tunduk dan patuh kepada ketentuan yang ada dengan sebaik-baiknya,”tutupnya.*****
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro