JAKARTA – Pakar Ilmu Pemerintahan, Djohermansyah Djohan mengkritik pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang tetap digelar tahun ini. Padahal, penyebaran virus corona penyebab Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
“Saya heran juga DPR seolah-olah sangat percaya ini (Pilkada) akan berlangsung everything is going well smooth gitu ya,” ujar Djohermansyah dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (13/6).
Menurutnya, penyelenggaraan Pilkada 2020 menyalahi tiga hal. Pertama, kontestasi seharusnya tak dapat digelar saat terjadinya bencana, dalam hal ini pandemi Covid-19 disebut bencana non-alam. Kedua, adalah faktor epidemiologi yang harus diperhatikan oleh penyelenggara. Sebab, ia tak ingin masyarakat menggunakan hak suaranya dengan perasaan cemas.
Terakhir, ia mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di mana, kekosongan kepala daerah dapat digantikan oleh pelaksana tugas (Plt). “Pilkada ini kalau ditunda tidak ada soal, kita punya mekanisme penjabat. Kalau habis masa jabatan, tidak ada soal,” ujar mantan Ditektur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Diketahui, Komisi II, KPU, dan Kemendagri setuju bahwa Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020. Hal tersebut dipertimbangkan karena Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sudah setuju melalui Surat Ketua Gugus Tugas Nomor: B 196/KA GUGAS/PD.01.02/05/2020.
Mereka setuju bahwa tahapannya dapat dilanjutkan mulai 15 Juni mendatang. “Tahapan lanjutanya dimulai pada 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan,” ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung.
Pemerintah dan DPR juga menyetujui penambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penambahan anggaran dilakukan untuk menambah protokol pencegahan Covid-19 selama tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
Selain KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga mendapat tambahan anggaran sebesar Rp 478 miliar. Serta, tambahan anggaran sebesar Rp 39 miliar untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddinmeminta Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Menurut Din, RUU HIP menurunkan derajat Pancasila karena diatur dengan undang-undang. RUU tersebut dinilainya memeras Pancasila ke dalam pikiran-pikiran yang menyimpang, dan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama.
Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, RUU tersebut menurunkan derajat (downgrading), menyempitkan arti(reduksionis), dan menopoli Pancasila.
Hal itu dinilainya berbahaya bagi eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
“Meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP tersebut karena akan memecah belah bangsa,” kata Din dalam keterangan tertulisnya,Sabtu (13/6/2020).
Dia menegaskan, pembahasan sejumlah RUU di tengah keprihatinan nasional akibat Covid-19 adalah tidak arif bijaksana apalagi cenderung dilakukan secara diam-diam dengan menutup aspirasi dari masyarakat madani.
“Praktik demikian merupakan hambatan terhadap pembangunan demokrasi Pancasila berkualitas yang kita cita-citakan bersama,” tegasnya.(*Ridz)
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menuai penolakan dari berbagai pihak. Selain itu, sejumlah pihak menuding RUU HIP dikhawatiran disusupi oleh paham komunisme.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Asrul Sani mengatakan, adanya tudingan jika RUU HIP disusupi paham komunisme karena tidak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1996. Seharusnya TAP MPRS tentang pembubaran PKI dijadikan konsideran di dalam RUU HIP.
“PPP melihat bahwa adanya prasangka bahwa RUU HIP ini ditunggangi elemen-elemen berpaham komunis atau kiri adalah berawal dari sikap pengusul yang keberatan dengan dimasukkannya TAP MPRS XXV/1966 ke dalam konsideran RUU tersebut,” ujar Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul, Sabtu (13/6).
Asrul menegaskan, jika saja tidak ada keberatan maka isu ditunggangi komunisme ini tak akan berkembang. Oleh karena itu, PPP sejumlah fraksi lainnya akan memperjuangkan dengan tegas dalam pembahasan nanti, bahwa TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme ini harus masuk untuk meredam isu ditunggangi paham komunis tersebut.
Arsul melanjutkan, akan banyak lagi pihak yang menolak RUU HIP jika isinya seperti yang ada saat ini. Namun jika DPR RI terbuka untuk menerima masukan terutama dari berbagai ormas keagamaan terkait materi muatan UU-nya, maka penolakan itu tentu tidak akan terus menggelinding.
Karena itulah PPP menekankan bahwa DPR RI maupun Pemerintah harus mendengar aspirasi yang berkembang Menurut Anggota Komisi III DPR RI itu, RUU HIP ini diusulkan oleh beberapa anggota Fraksi PDI Perjuangan dan tentu itu merupakan hak konstitusional masing-masing anggota DPR RI untuk mengusulkan sebuah RUU yang harus dihormati.
“Kemudian jika ada kesan terburu-terburu juga bisa dimaklumi, karena memang sebelum diajukan kepada Baleg DPR RI, para pengusulnya tidak membuka ruang publik untuk mendapatkan respon masyarakat,” ungkap Arsul.
Namun, Arsul menegaskan, bagi fraksi-fraksi lain termasuk PPP, pembahasannya tetap harus mendengarkan masukan dan aspirasi dari masyarakat luas. Bahkan, sambungnya, hal ini yang menjadi catatan dan syarat PPP beserta beberapa fraksi lainnya ketika menyetujui RUU ini untuk jadi inisiatif DPR RI.
“PPP melihat point penting dalam ruang pembahasan adalah terbukanya aspirasi masyarakat untuk diakomodasi,” ucap Arsul Sani.(*/Ad)
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) kini sedang jadi perbincangan publik. Lalu bagaimana Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyikapi dinamika ini?
“Presiden belum mengirim supres (surat presiden) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah sudah mulai mempelajari secara seksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan,” ujarnya dalam webinar dengan tokoh Madura, pada Sabtu (13/6/2020) sebagaimana dikutip dari iNews.
Untuk diketahui RUU HIP disusun oleh DPR RI masuk dalam Prolegnas 2020. Mahfud memastikan, jika saat tahapan sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans dengan payung “Mengingat: Tap MPR No I/MPR/1966”.
Di dalam Tap MPR No I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPRS No XXV/1966 terus berlaku. Keberadaan Tap MPRS ini menjadi kontroversi karena disebut akan dihilangkan.
Tidak hanya itu, Mahfud memastikan pemerintah tegas menolak usulan yang akan memeras Pancasila menjadi hanya tiga atau satu sila. Pancasila tidak akan diubah-ubah.
“Pemerintah akan menolak jika ada usulan memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham,” ujarnya.
Lima sila dalam Pancasila, kata Mahfud, tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga, tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan degann istilah “satu tarikan nafas”.
Menurutnya, pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final sebab berdasarkan Tap MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV Tahun 1966.(*/Ad)
JAKARTA – Partai baru yang lahir dari konflik internal Partai Amanat Nasional (PAN) direncanakan deklarasi Desember 2020. Partai baru Amien Rais ini harus mampu menggembosi PAN sebelum bertarung dengan partai lain.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menganggap, wacana lahirnya partai baru Amien Rais tetap diuji berdasarkan kemampuannya menggarap basis massa dengan partai yang sudah ada.
“Tergantung pada strategi partai baru AR (Amien Rais) tersebut, apakah mampu menggembosi PAN dengan mengambil konstituen PAN yaitu basis massa Muhammadiyah atau tidak,” kata Ujang , Kamis (11/6/2020).
Menurut Ujang, jika partai baru ini dianggap mampu, akan bisa bersaing dengan partai lain. Namun sebaliknya, jika tak mampu, akan layu sebelum berkembang.
Rumus dan kuncinya, partai baru itu akan memperebutkan basis massa Muhammadiyah dengan PAN.
“Dan harus juga punya strategi jitu agar bisa melaju. Karena partai baru AR tersebut akan melawan PAN yang sudah establish. Menggembosi PAN dulu, baru bisa melaju dan bersaing dengan PAN dan partai-partai lainnya,” ungkapnya.(*/Joh)
JAKARTA – Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, Golkar mengusulkan ambang batas parlemen dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu menjadi 7 persen. Alasannya, sistem presidensial yang efektif dan selaras kalau DPR menganut sistem multipartai sederhana.
“Sistem pemerintahan kita selama ini menganut sistem presidensial, itu akan efektif dan selaras kalau DPR-nya menganut sistem multipartai sederhana,” kata Doli kepada para wartawan di Jakarta, Kamis (11/6).
Ia menjelaskan, Indonesia secara kultural telah mengikuti proses seleksi atau penyederhanaan jumlah parpol misalnya sejak era reformasi telah diberlakukan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen, 3 persen, dan 4 persen. Menurut dia, untuk pemilu ke depan perlu ada kenaikan ambang batas parlemen dan Golkar mengusulkan sebesar 7 persen karena diharapkan UU Pemilu yang dihasilkan tidak berubah-ubah setiap lima tahun sekali.
“Kami menginginkan agar UU ini ditetapkan dalam waktu yang cukup panjang, tidak berubah lima tahun sekali sehingga 15 tahun atau 20 tahun sekali kita akan uji,” ujarnya.
Doli mengatakan, untuk ambang batas pencalonan presiden, Golkar mengusulkan tetap seperti Pemilu 2019 yaitu 20 persen kursi parlemen dan 25 persen dari suara sah nasional. Ia menjelaskan, untuk besaran kursi per daerah pemilihan, Golkar mendorong agar besarannya menjadi 3-8 untuk DPR RI dan 3-10 untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
“Usulan tersebut agar kedekatan antara para wakil rakyat dengan konstituen semakin kuat karena dapil yang semakin kecil. Tanggung jawab wakil rakyat dengan daerah atau konstituennya semakin intensif,” ujarnya.
Doli mengatakan terkait sistem pemilu, Golkar masih mengkaji opsi ketiga. Yaitu sistem campuran, yang merupakan gabungan antara proporsional dengan mayoritarian.
Ia menjelaskan dalam sistem campuran tersebut, misalnya di satu daerah pemilihan ada 10 kursi, tergantung nanti kesepakatannya berapa persen mau dibuat sistem proporsional dan mayoritarian.
“Soal sistem pemilu, Golkar sedang mengkaji serius sistem ketiga yaitu sistem campuran yang merupakan gabungan antara proporsional dengan mayoritarian,” katanya.(*/Ad)
JAKARTA – Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, jika eks pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) ingin mendirikan partai baru dan hanya bergantung pada figur Amien Rais, akan sulit bersaing. Menurutnya, pamor Amien mulai memudar.
Karyono menilai, pengaruh Amien di internal PAN memang masih ada, itu pun mulai melemah. Buktinya, pada Kongres V PAN di Kendari, jagoan Amien Rais, Mulfachri Harahap, kalah dari Zulkifli Hasan. Hal itu bisa menjadi indikator lemahnya pengaruh politik Amien.
Di sisi lain, lemahnya pengaruh Amien di tingkat nasional juga bisa diukur dari kontestasi pilpres. Pertama, dia kalah pada pertarungan Pilpres 2004. Pasangan Amien Rais – Siswono Yudho Husodo hanya memperoleh suara 17.392.931, berada di urutan keempat pada putaran pertama.
“Selain itu, dalam dua kali pilpres tahun 2014 dan 2019, Amien kembali gagal mengantarkan jagoannya yaitu pasangan Prabowo-Hatta dan Prabowo-Sandi,” ujarnya, Jumat (12/6/2020).
Oleh karenanya, lanjut Karyono, jika partai baru sempalan PAN hanya mengandalkan figur Amien, menurutnya tidak signifikan mendongkrak suara. Bisa jadi perolehan suaranya di bawah PAN pimpinan Zulkifli Hasan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kedua partai bersaudara itu bisa kandas melenggang ke Senayan, karena tidak mencapai ambang batas parlemen jika kedua partai tersebut bersaing di pemilu.
“Sebab, ada kecenderungan kedua partai akan berebut pada ceruk pemilih yang sama. Sedangkan untuk menambah dukungan dari segmen pemilih lain, tidak mudah karena harus bersaing dengan partai lain. Apalagi, tren perolehan suara PAN dalam beberapa kali pemilu mengalami penurunan,” paparnya.
Lebih jauh Karyono mengatakan, pilihannya serba sulit: mendirikan partai baru tapi belum tentu lolos ambang batas parlemen atau bahkan bisa kandas dua-duanya. Maka, ia menyarankan, sebelum terlambat, upaya mendirikan partai baru dapat ditinjau ulang. “Tidak perlu mendirikan partai baru, tapi berupaya melalukan kembali kompromi politik internal sembari menunggu pertarungan di kongres berikutnya,” ucap dia.
Perlu diingat, kata Karyono, dalam sejarah partai sempalan, tidak banyak yang berhasil melampaui induknya. Salah satu yang berhasil adalah PDI Perjuangan yang menyempal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan mengandalkan figur Megawati Sukarnoputri, PDI Perjuangan mampu melampaui PDI, dan bahkan menjadi pemenang pemilu tiga kali yaitu Pemilu 1999, 2014, dan 2019, sekaligus menang pemilu presiden dua kali berturut-turut.
“Tentu saja kemenangan PDIP dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden bukan hanya mengandalkan faktor Megawati. Pasti banyak variabel lain yang memengaruhi kemenangan. Tapi pengaruh Megawati menjadi faktor signifikan dalam mendongkrak suara PDIP,” tutur dia.
Pertanyaannya, sambung dia, apakah partai politik baru yang akan didirikan dengan mengandalkan figur Amien Rais bisa berhasil melampaui PAN induknya? Atau bahkan kedua-duanya akan kandas menuju parlemen. “Kondisi itu bisa terjadi jika kedua partai tersebut hanya saling menggerus ceruk pemilih yang sama.”(*/Di)
JAKARTA – Fraksi Partai Golkar menyatakan siap menarik pasal-pasal yang mengatur soal kinerja pers dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Pernyataan ini dikemukakan pada saat rapat Badan Legislasi bersama konstituen pers pada Kamis (11/6/2020).
“Kemandirian dan kebebasan pers itu sangat penting bagi Fraksi Partai Golkar, tidak bisa ditawar-tawar lagi,” kata Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo dalam rapat tersebut.
Firman menegaskan, Undang-Undang no. 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengatur mekanisme kerja soal pers baik berupa sanksi maupun teknis lainnya. Di samping itu, Pers juga telah memiliki kode etik tersendiri yang dipegang oleh insan pers.
Maka itu, tegas Firman, sikap Fraksi Golkar tetap menegaskan kembali bahwa yang terkait dengan ketentuan mengenai pers sekali akan disamlait secara resmi dari partai Golkar melalui rapat kerja dengan pemerintah untuk didrop dari RUU Cipta Kerja ini.
“Ini komitmen kami dari awal dan kami telah mendapat perintah dari partai Golkar meminta supaya ini didrop dari RUU Cipta Kerja ini,” ujar Firman.
Di samping itu, Firman tetap mendorong pers yang berdaulat dan demokratis dalam pemberitaan. Ia juga mengimbau pers untuk terap menjunjung tinggi asas subjektivitas tanpa adanya unsur pesanan dan kepentingan kelompok tertentu.
Untuk diketahui, Pers mempermasalahkan dua pasal yang sudah diatur dalam UU no. 40/1999 tentang Pers bersinggungan langsung dengan sejumlah pasal di Omnibus Law. Pasal tersebut adalah pasal 11 dan 18 UU no.40/1999.
Pasal 11 dalam UU Pers mengatur soal penanaman modal asing berbunyi “Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.” Adapun perubahannya di RUU Omnibus Law Cipta Kerja berbunyi, “Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman moda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”
Frasa ‘pemerintah pusat mengembangkan usaha pers’. “Ini menimbulkan pertanyaan. Jadi seperti ingin memberikan peran baru pada pemerintah pusat dalam mengembangkan pers,” kata dia.
Pihak pers juga menyoal permasalahan soal kenaikan denda pada pihak yang menghalangi kinerja pers, maupun perusahaan pers yang melakukan pelanggaran. Sebab, dari segi penegakkan hukum pers, polisi lebih sering menggunakan pidana umum pada pihak yang menghalangi kinerja jurnalistik. Sementara itu, denda bagi perusahaan pers juga dinilai terlalu besar.(*/Ridz)
JAKARTA – Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso menilai ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dan presiden tidak perlu ada.
Ia mengusulkan agar ambang batas parlemen dan presiden sebaiknya 0 persen.
“Idealnya ambang batas 0 persen alias tidak perlu ambang batas. Itu bisa diberlakukan untuk pilpres & pileg,” kata Priyo melalui pesan WhatsApp dikutip dari republika ,Kamis (11/6/2020).
Tanpa adanya ambang batas parlemen dan presiden, Priyo menganggap demokrasi Indonesia akan tumbuh lebih hebat sebab tidak ada suara rakyat yang hangus. Selain itu, rakyat juga akan semakin banyak memperoleh pilihan untuk calon presiden alternatif.
“Tokh, akhirnya penentunya kan suara rakyat yang terbanyak. Itu esensi dari demokrasi: suara rakyat suara Tuhan,” ujarnya.
Demikian pula untuk pileg, Priyo menganggap dengan diterapkannya PT 0 persen maka seberapapun suara rakyat pemilih tidak hilang dan akan terwakili dari figur-figur dari aneka ragam partai politik. Menurutnya hal tersebut menunjukan wajah asli demokrasi Indonesia.
“Memaksakan 7 persen sama artinya dengan memberangus demokrasi. Ini hanya didasari keinginan untuk pertahankan pemusatan kekuasaan hanya pd ‘klan-klan kekuasaan’ politik tertentu,” tegasnya.
Sementara itu Ketua DPP DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang juga tak sepakat apabila PT dinaikkan hingga 7 persen. Hal tersebut, menurutnya, sama saja dengan mengabaikan suara rakyat.
“Baiknya kembali ke 0 persen saja. Lebih adil dan merata,” tuturnya.(*/Ad)
JAKARTA – Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan berdasarkan kesepakatan, Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Menurutnya, waktu pelaksanaan pilkada akan menjadi tidak jelas jika menunggu pandemi virus Corona berakhir.
“Pilkada serentak itu akan dilaksanakan nanti pada tanggal 9 Desember tahun 2020 sesuai dengan Perppu penundaan yang seharusnya bulan September itu dibuat Perppu ditunda menjadi Desember, dan pemilihan Desember itu berdasarkan kesepakatan tiga pihak, KPU sebagai penyelenggara, yang kemudian DPR sebagai wakil rakyat, dan pemerintah sepakat bahwa pilkada itu akan dilaksanakan 9 Desember,” kata Mahfud dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (10/6/2020).
“Karena kalau ditunda lagi juga tidak jelas. Kalau menunggu kapan Corona selesai juga tidak ada yang tahu kapan Corona selesai, sedangkan pemerintah itu perlu bekerja secara efektif,” imbuhnya.
Mahfud mengatakan perlu ada kepala daerah definitif agar pemerintah bisa bekerja secara efektif. Karena itulah, menurutnya, pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 sesuai jadwal.
“Oleh karena itu, pemerintah bekerja secara efektif itu apa artinya, kepala daerah-kepala daerah itu harus definitif. Kalau ditunda terus tanpa tahu kapan selesainya gitu kan, pemerintah nanti Plt semua. Kalau semua itu tidak bisa mengambil langkah-langkah tertentu, yaitu sangat diperlukan di dalam pemerintahan sehari-hari,” ujarnya.
Menurut Mahfud, mayoritas kepala daerah setuju jika Pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang. Jika ada pro-kontra terkait pelaksanaan Pilkada, Mahfud menilainya sebagai hal biasa.
“Kalau kepala daerah, berdasar monitor kami hampir seluruhnya setuju, hampir seluruhnya setuju. Ya ada satu-dua biasa, tetapi kalau dilihat persentasenya lebih dari 2/3 bersemangat untuk segera dilaksanakan. Di masyarakat sendiri yang kontroversial ada yang setuju, ada yang tidak, itu biasa lah setiap ada apa-apa ada yang setuju, ada yang tidak. Semuanya berpikiran baik, tetapi cara menuju kebaikan itu jalannya yang berbeda. Itu saja sudah cukup, kalau semuanya berpikiran baik, menurut saya pada akhirnya tidak akan menimbulkan konflik,” ungkap Mahfud.
Mahfud hari ini diketahui menyambangi Mahkamah Agung (MA) bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua Bawaslu, Abhan. Kedatangan Mahfud dkk untuk mendiskusikan proses peradilan sengketa di luar sengketa hasil Pilkada, agar pelaksanaannya bisa cepat dan sederhana.
“Bagaimana nanti dalam sengketa pilkada ini misalnya sengketa tentang keabsahan ijazah, tentang orang memenuhi syarat atau tidak, itu agar peradilannya bisa cepat karena UU itu hanya mengatakan bahwa waktu paling lama.
Nah kita minta agar secepat mungkin Mahkamah Agung itu menyelenggarakan atau melaksanakan sidang-sidang jika ada sengketa terhadap atau di dalam pelaksanaan pilkada ini, di luar sengketa hasilnya, di luar sengketa hasilnya. Kalau sengketa hasilnya menurut Undang-Undang Dasar itu nanti ada di Mahkamah Konstitusi,” ujar Mahfud.
“Ini sengketa persyaratannya itu bisa dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam waktu cepat dan Mahkamah Agung sedang menyiapkan, apa namanya, time schedule untuk itu. Kapan sengketa masuk, kapan diputus di pengadilan tinggi kalau ada, dan kapan di Mahkamah Agung yang semuanya nanti akan disesuaikan dengan apa yang dimungkinkan undang-undang,” tutupnya.(*/Fet)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro