JAKARTA – Fraksi Partai Demokrat menarik diri dari pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
“Sejak awal kami menarik diri pembahasan RUU HIP di Baleg DPR RI,” kata Anggota Fraksi Demokrat di DPR, Hinca Panjaitan kepada wartawan, Selasa (16/6/2020).
Menurut Hinca, pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila tidak ada urgensinya tidak tepat waktunya. Apalagi saat ini bangsa Indonesia sedang fokus menangani pandemi corona.
“Selain tidak ada urgensinya dan tidak tepat waktunya saat kita fokus menangani pandemi virus corona,” jelasnya.
“Substansinya tidak sejalan dengan jalan pikiran politik Partai Demokrat. TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 sama sekali tidak menjadi acuan. Substansinya mendegradasi makna Pancasila itu sendiri,” tukas Hinca.
Sebagaimana diketahui, RUU Haluan Ideologi Pancasila yang menjadi inisiatif DPR ditentang sejumlah elemen masyarakat, salah satunya Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Organisasi yang berdiri pada 1912 ini menilai materi RUU HIP banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang.(*/Ad)
JAKARTA – Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menanggapi soal Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang memunculkan kritik di masyarakat. Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay meminta agar RUU HIP dikaji ulang.
“Menyahuti apa yang disampaikan masyarakat, maka fraksi PAN sekarang malah justru ingin mendesak seluruh pihak di DPR untuk kembali pertimbangkan ulang untuk melanjutkan pembahasan ini,” kata Saleh dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/6).
Bahkan, Saleh menambahkan, kalau perlu DPR segera mencabut RUU tersebut dari prolegnas. Fraksi PAN mengaku sepakat bahwa Pancasila sudah final.
“Jadi nggak perlu ada tafsir lebih khusus lagi dalam bentuk UU,” ujarnya.
Anggota Komisi IX DPR tersebut menyarankan agar pengkajian terhadap Haluan Ideologi Panccasila diserahkan ke badan pengkajian MPR. Menurutnya hal itu sudah menjadi tugas MPR.
“Jadi di situ ada orang-orang anggota MPR baik DPD maupun DPR yang tergabung di situ, memang tugasnya untuk melakukan kajian itu. Sehingga dengan demikian akan dapat butir-butir yang penting terkait dengan Pancasila sebagai ideologi negara kita,” jelasnya.
Sejak awal PAN menolak adanya RUU HIP. Pada awal, mereka mempertanyakan tidak dimasukannya Tap MPRS XXV Tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan untuk menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang tidak dimasukan ke dalam konsideran RUU HIP.(*/Ad)
JAKARTA – Partai Demokrat resmi memecat Subur Sembiring sebagai kader. Pemecatan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan DPP Partai Demokrat Nomor: 15/SK/DPP.PD/VI/2020 tertanggal 13 Juni 2020.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan, pemecatan Subur merupakan rekomendasi Dewan Kehormatan dalam rapat Jumat, 12 Juni 2020 yang dipimpin Hinca IP Pandjaitan dengan 9 anggota. Dalam rekomendasinya itu, Dewan Kehormatan menyertakan 3 alasan memecat Subur.
“Fakta bahwa saudara Subur Sembiring terbukti bersalah telah melakukan perbuatan tingkah laku buruk yang merugikan citra dan membahayakan kewibawaan Partai Demokrat, yang dilakukannya dengan cara mendiskreditkan, mengancam, menghasut, menyebarluaskan kabar bohong dan fitnah,” katanya seperti dilansir dari iNews.id, Senin (15/6/2020).
Riefky memaparkan, Subur menyampaikan ancaman, hasutan, hoaks dan fitnah ke publik melalui tulisan, suara dan gambar. Salah satu hasutannya yakni kepengurusan DPP Partai Demokrat periode 2020–2025 hasil Kongres V Partai Demokrat tidak sah.
Subur secara tegas tidak mengakui kepengurusan pimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). “Lalu mengambil alih dan menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat secara sepihak dan sewenang-wenang,” ujar wakil ketua Komisi I DPR ini.
Alasan kedua, menurut Riefky, apa yang dilakukan Subur secara jelas melanggar Pasal 18 ayat (4) Kode Etik dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Partai Demokrat. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Partai Demokrat tidak perlu memberikan ruang klarifikasi kepada Subur.
“Bahwa perbuatan tingkah laku buruk saudara Subur Sembiring merupakan fakta yang terang benderang dan oleh karenanya tidak perlu dipanggil untuk didengar keterangannya lagi,” katanya.
Subur Sembiring juga dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat dan Pasal 12 ayat (4), Pasal 14 ayat (1) huruf a, b dan c Kode Etik dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Partai Demokrat serta butir 5 Pakta Integritas Partai Demokrat.(*/Ad)
JAKARTA – Para inisiator Masyumi Reborn berusaha menghidupkan dan membangun jaringan ke daerah-daerah. Belum lama ini, menjalin komunikasi dengan Amien Rais yang juga ditengarai sedang membangun partai baru.
Inisiator Masyumi Reborn Ahmad Yani menuturkan, pertemuan itu dilakukan di Yogyakarta. Mereka bertemu di rumah pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
“Pak Amien pada ide dasar, gagasan besar, dan prinsipnya sama. Kami bilang belum mendirikan, baru berencana mendirikan, tapi partai yang kami bangun ini. Kalau memang bisa sama-sama, kenapa harus pisah,” ujar mantan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, Minggu (14/6/2020).
Secara umum, menurut Yani, gagasan bentuk partainya sama, yakni menegakkan prinsip Islam, keadilan dan sebagainya. Memang belum ada kata sepakat, tapi antara Masyumi Reborn dan Amien Rais akan melakukan pertemuan lanjutan.
Dia pun tidak keberatan jika kelak Masyumi Reborn dan ‘saudara muda’ PAN besutan Amien tetap berbeda dan ingin jalan masing-masing. “Kami bisa membangun aliansi strategis. Kami mendorong partai seperti di Malaysia.
Ke depan, (kami) ingin mengubah UU Pemilu,” ucapnya.
Di luar penjajakan, Yani dan kawan-kawan terus berkomunikasi dengan panitia penghidupan kembali Masyumi di daerah-daerah. Rapat-rapat koordinasi dilakukan secara daring. Setiap panitia daerah diwajibkan melibatkan tokoh, ulama, dan ormas Islam setempat. Jika tidak, kepanitiaan tidak akan direken oleh pusat.
Mantan Caleg Partai Bulan Bintang (PBB) itu mengklaim kepanitiaan sudah terbentuk hampir di semua wilayah, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. “Ada daerah-daerah yang pembentukannya sudah sampai tingkat kabupaten dan kecamatan,” tandasnya.(*Ad)
JAKARTA – Anggota DPR fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha menilai Keberadaan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran Komunisme/Marxism di seluruh wilayah Indonesia telah bersifat final sebagai Tap MPR yang wajib dipertahankan.
Sebagai Pimpinan Badan Sosialisasi MPR RI, ia mengaku telah mempelajari secara seksama risalah sidang MPR tanggal 7 Agustus 2003 sebelum dan saat diputuskan.
“Tidak ada seorang pun yang menyampaikan sanggahan dan atau keberatan, termasuk dari Fraksi PDI Perjuangan sebanyak 154 anggotanya dan 58 orang Fraksi PPP, Presiden saat itu Ibu Megawati Soekarno Putri dari PDIP dan Wapresnya Bapak Hamzah Haz,” kata Syaifullah, Minggu(14/6).
Politikus PPP tersebut mengaku telah menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Pimpinan MPR yang dipimpin oleh Bapak Bambang Soesetyo dan 9 Wakil Ketua MPR pada hari Rabu, (3/6) lalu.
Dalam rapat tersebut disepakati bahwa Pimpinan MPR menugaskan kepada Badan Kajian MPR untuk mencermati, membahas dan memutuskan perlu ada atau tidaknya RUU HIP tersebut.
“Saya berharap dan seyakin-yakinnya Badan Kajian MPR pasti akan memperhatikan sangat memperhatikan aspirasi publik, baik MUI, Para Veteran Perjuangan Kemerdekaan dan para purnawirawan TNI,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR tersebut sepakat bahwa TAP MPRS tentang larangan PKI tetap menjadi pedoman dalam berpancasila. Karena itu, ia mengungkapkan isu pembahasan RUU HIP yang dihubungkan dengan kebangkitan PKI perlu disikapi secara rasional dan konstitusional.(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengapresiasi respons publik, fraksi-fraksi DPR, kalangan purnawirawan TNI, bahkan pemerintah yang sangat hati-hati dan cermat atas usul inisiatif Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang belum lama ini diputuskan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR. Ini membuktikan tanggung jawab bersama menjaga Pancasila.
“Kami di PKS berbesar hati, mendukung penuh dan mengapresiasi respons masyarakat dan kalangan ormas, seperti NU, Muhammadiyah, hingga MUI yang memberi respons kritis dan konstruktif atau RUU HIP yang sejalan dengan sikap dan pandangan politik Fraksi PKS,” ungkap Jazuli, Minggu (14/6/2020).
Bahkan, Pemerintah melalui pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD, juga menekankan jika saatnya tiba terlibat dalam pembahasan, pemerintah akan mengusulkan TAP MPRS XXV/1966 untuk dimasukkan serta tidak setuju rumusan pasal tentang Pancasila diperas menjadi trisila dan ekasila.
“Ini pertanda upaya mengokohkan Pancasila dan menjaga nilai-nilainya agar tetap murni dan konsekuen menjadi perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab kita bersama. Sehingga ketika ada arah yang salah kita kritisi dan benarkan secara bersama-sama,” tandas Jazuli.
Jazuli mengatakan, Fraksi PKS sejak awal tegas meminta dicantumkannya TAP MPRS XXV/1966 tentang pelarangan PKI serta ajaran komunisme, marxisme dan leninisme. Bahkan ketika draf RUU akhirnya tidak juga mencantumkan TAP MPRS tersebut, Fraksi PKS menjadi satu-satunya Fraksi yang menyampaikan penolakan secara resmi dalam pandangan Fraksi.
Fraksi PKS lanjut Jazuli, juga meminta dengan tegas agar penjabaran Pancasila dalam draf RUU benar-benar merujuk dan tidak menyimpangi sejarah dan original intent-nya yang benar. Menurutnya, Pancasila yang akhirnya disepakati sebagai platform bersama dan titik temu kebangsaan Indonesia adalah yang terdiri dari lima sila.
“Maka RUU HIP harus memcerminkan keseluruhan silanya yang lima. Jangan direduksi lagi menjadi apakah trisila atau ekasila. Jika hal itu dilakukan akan set back, Pancasila akan tereduksi pada tafsir sepihak bahkan tafsir tunggal oleh kelompok tertentu yang kontraproduktif dalam upaya mengokohkan Pancasila itu sendiri,” tegasnya.
Akibat upaya reduksi Pancasila menjadi trisila atau ekasila, kita bisa kehilangan makna utuh ketarkaitan sila-sila Pancasila yang lima, yang merupakan final kesepakatan sebagai dasar negara kita. Anggota Komisi I DPR ini memberi contoh, rakyat bisa bias bahkan bisa salah paham terkait sejarah dan original intent sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa kenapa ditempatkan pertama, karena ialah sila utama, bintang penerang, yang menjiwai dan menyinari sila-sila lainnya.
“Jika kita baca RUU HIP pemaknaan dan penempatan sila pertama tidak proporsional bahkan sangat minimalis, padahal posisi dan kedudukannya merujuk risalah tentang Pancasila sangat penting dan utama,” terangnya.
Atas dasar kerangka pikir dan pemahaman di atas, Fraksi PKS secara tegas meminta jika RUU HIP dilanjutkan pembahasannya maka harus mengakomodir aspirasi berikut:
1. Mamasukkan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran yang menjiwai RUU untuk menegaskan bahwa Pancasila tegas menolak seluruh ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme yang memang ajarannya bertentangan dengan Pancasila. PKI sendiri terbukti telah merongrong kewibawaan Pancasila dan berkhianat pada republik.
2. Menolak Pancasila diperas menjadi trisila dan ekasila. Ketentuan tersebut dalam draf RUU HIP harus dihapus karena dapat mereduksi makna Pancasila yang utuh dengan lima silanya.
3. Ketuhanan Yang Maha Esa harus tegas ditempatkan sebagai sila utama yang melandasi, menjiwai, dan menyinari sila-sila lainnya. Hal itu harus tercermin secara maksimal dalam materi muatan draf RUU HIP, bersama penjabaran sila-sila lainnya.
“Jika usulan Fraksi PKS yang juga menjadi aspirasi luas masyarakat tersebut tidak diakomodir maka lebih baik draf RUU HIP ditarik kembali atau dibatalkan,”lanjutnya.(*/Joh)
JAKARTA – Pakar Ilmu Pemerintahan, Djohermansyah Djohan mengkritik pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang tetap digelar tahun ini. Padahal, penyebaran virus corona penyebab Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan.
“Saya heran juga DPR seolah-olah sangat percaya ini (Pilkada) akan berlangsung everything is going well smooth gitu ya,” ujar Djohermansyah dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (13/6).
Menurutnya, penyelenggaraan Pilkada 2020 menyalahi tiga hal. Pertama, kontestasi seharusnya tak dapat digelar saat terjadinya bencana, dalam hal ini pandemi Covid-19 disebut bencana non-alam. Kedua, adalah faktor epidemiologi yang harus diperhatikan oleh penyelenggara. Sebab, ia tak ingin masyarakat menggunakan hak suaranya dengan perasaan cemas.
Terakhir, ia mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di mana, kekosongan kepala daerah dapat digantikan oleh pelaksana tugas (Plt). “Pilkada ini kalau ditunda tidak ada soal, kita punya mekanisme penjabat. Kalau habis masa jabatan, tidak ada soal,” ujar mantan Ditektur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Diketahui, Komisi II, KPU, dan Kemendagri setuju bahwa Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020. Hal tersebut dipertimbangkan karena Gugus Tugas Penanganan Covid-19 sudah setuju melalui Surat Ketua Gugus Tugas Nomor: B 196/KA GUGAS/PD.01.02/05/2020.
Mereka setuju bahwa tahapannya dapat dilanjutkan mulai 15 Juni mendatang. “Tahapan lanjutanya dimulai pada 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan,” ujar Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung.
Pemerintah dan DPR juga menyetujui penambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penambahan anggaran dilakukan untuk menambah protokol pencegahan Covid-19 selama tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
Selain KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga mendapat tambahan anggaran sebesar Rp 478 miliar. Serta, tambahan anggaran sebesar Rp 39 miliar untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddinmeminta Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Menurut Din, RUU HIP menurunkan derajat Pancasila karena diatur dengan undang-undang. RUU tersebut dinilainya memeras Pancasila ke dalam pikiran-pikiran yang menyimpang, dan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama.
Menurut mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, RUU tersebut menurunkan derajat (downgrading), menyempitkan arti(reduksionis), dan menopoli Pancasila.
Hal itu dinilainya berbahaya bagi eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
“Meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP tersebut karena akan memecah belah bangsa,” kata Din dalam keterangan tertulisnya,Sabtu (13/6/2020).
Dia menegaskan, pembahasan sejumlah RUU di tengah keprihatinan nasional akibat Covid-19 adalah tidak arif bijaksana apalagi cenderung dilakukan secara diam-diam dengan menutup aspirasi dari masyarakat madani.
“Praktik demikian merupakan hambatan terhadap pembangunan demokrasi Pancasila berkualitas yang kita cita-citakan bersama,” tegasnya.(*Ridz)
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menuai penolakan dari berbagai pihak. Selain itu, sejumlah pihak menuding RUU HIP dikhawatiran disusupi oleh paham komunisme.
Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Asrul Sani mengatakan, adanya tudingan jika RUU HIP disusupi paham komunisme karena tidak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1996. Seharusnya TAP MPRS tentang pembubaran PKI dijadikan konsideran di dalam RUU HIP.
“PPP melihat bahwa adanya prasangka bahwa RUU HIP ini ditunggangi elemen-elemen berpaham komunis atau kiri adalah berawal dari sikap pengusul yang keberatan dengan dimasukkannya TAP MPRS XXV/1966 ke dalam konsideran RUU tersebut,” ujar Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul, Sabtu (13/6).
Asrul menegaskan, jika saja tidak ada keberatan maka isu ditunggangi komunisme ini tak akan berkembang. Oleh karena itu, PPP sejumlah fraksi lainnya akan memperjuangkan dengan tegas dalam pembahasan nanti, bahwa TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme ini harus masuk untuk meredam isu ditunggangi paham komunis tersebut.
Arsul melanjutkan, akan banyak lagi pihak yang menolak RUU HIP jika isinya seperti yang ada saat ini. Namun jika DPR RI terbuka untuk menerima masukan terutama dari berbagai ormas keagamaan terkait materi muatan UU-nya, maka penolakan itu tentu tidak akan terus menggelinding.
Karena itulah PPP menekankan bahwa DPR RI maupun Pemerintah harus mendengar aspirasi yang berkembang Menurut Anggota Komisi III DPR RI itu, RUU HIP ini diusulkan oleh beberapa anggota Fraksi PDI Perjuangan dan tentu itu merupakan hak konstitusional masing-masing anggota DPR RI untuk mengusulkan sebuah RUU yang harus dihormati.
“Kemudian jika ada kesan terburu-terburu juga bisa dimaklumi, karena memang sebelum diajukan kepada Baleg DPR RI, para pengusulnya tidak membuka ruang publik untuk mendapatkan respon masyarakat,” ungkap Arsul.
Namun, Arsul menegaskan, bagi fraksi-fraksi lain termasuk PPP, pembahasannya tetap harus mendengarkan masukan dan aspirasi dari masyarakat luas. Bahkan, sambungnya, hal ini yang menjadi catatan dan syarat PPP beserta beberapa fraksi lainnya ketika menyetujui RUU ini untuk jadi inisiatif DPR RI.
“PPP melihat point penting dalam ruang pembahasan adalah terbukanya aspirasi masyarakat untuk diakomodasi,” ucap Arsul Sani.(*/Ad)
JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) kini sedang jadi perbincangan publik. Lalu bagaimana Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyikapi dinamika ini?
“Presiden belum mengirim supres (surat presiden) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah sudah mulai mempelajari secara seksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan,” ujarnya dalam webinar dengan tokoh Madura, pada Sabtu (13/6/2020) sebagaimana dikutip dari iNews.
Untuk diketahui RUU HIP disusun oleh DPR RI masuk dalam Prolegnas 2020. Mahfud memastikan, jika saat tahapan sudah sampai pada pembahasan, pemerintah akan mengusulkan pencantuman Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans dengan payung “Mengingat: Tap MPR No I/MPR/1966”.
Di dalam Tap MPR No I/MPR/2003 itu ditegaskan bahwa Tap MPRS No XXV/1966 terus berlaku. Keberadaan Tap MPRS ini menjadi kontroversi karena disebut akan dihilangkan.
Tidak hanya itu, Mahfud memastikan pemerintah tegas menolak usulan yang akan memeras Pancasila menjadi hanya tiga atau satu sila. Pancasila tidak akan diubah-ubah.
“Pemerintah akan menolak jika ada usulan memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham,” ujarnya.
Lima sila dalam Pancasila, kata Mahfud, tidak bisa dijadikan satu atau dua atau tiga, tetapi dimaknai dalam satu kesatuan yang bisa dinarasikan degann istilah “satu tarikan nafas”.
Menurutnya, pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final sebab berdasarkan Tap MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV Tahun 1966.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro