JAKARTA – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto mengeklaim kajian terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan upaya untuk memperkuat konsolidasi demokrasi.
“Hubungan sipil dan militer di Indonesia, konsolidasi demokrasi. Bagaimana revisi UU TNI diarahkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi,” kata Andi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Menurut Andi, saat ini Lemhannas sedang memelajari kajian struktural awal revisi UU tersebut. Yakni yang mencakup lingkungan strategis, perubahan karakter ancaman, serta teknologi.
“Kalau ada perubahan perlu ada revisi. Kalau tidak ada perubahan, revisi nanti menunggu jika ada signifikan berubah. Itu saja kira-kira,” tegasnya.
Sebelumnya, Kamis (25/5/2023), Andi mengungkapkan revisi UU TNI merupakan upaya Lemhannas mengevaluasi penerapan undang-undang itu setelah berlaku selama hampir 20 tahun. Sebab, banyak perubahan yang terjadi selama kurang lebih 20 tahun sejak UU TNI disahkan pada 2004.
“Kami di Lemhannas kemarin memulai kajian tentang revisi Undang-Undang TNI yang diarahkan memang untuk mengevaluasi bagaimana UU TNI diterapkan selama (hampir) 20 tahun. Apakah ada hal-hal struktural, fundamental, mendasar yang harus kamiantisipasi. Apakah ada adopsi-adopsi teknologi yang harus kami lakukan,” ujar Andi.
Dia menyebutkan ada beberapa perubahan terjadi dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir. Antara lain situasi geopolitik terutama hubungan antarnegara kuat, kemajuan teknologi, serta penggunaan terminologi atau istilah baru dalam kebijakan pertahanan nasional.
“Dari sisi geopolitik, kami betul-betul melihat ada satu negara menjadi rising power dan satu negara menantang hegemoni, Amerika Serikat ditantang China. Kami juga melihat perkembangan teknologi. Kalau dalam tiga tahun terakhir ini, kombinasi antara siber, digital, dan space,” katanya.
Dia menjelaskan kemajuan teknologi tentu berpengaruh terhadap cara suatu negara mempertahankan diri, doktrin militer, dan cara berperang. “Lompatan teknologi ini akan menghasilkan revolution of military defense, akan menghasilkan Revolusi Krida Yudha, yang akan membuat cara berperang kita lima tahun, 10 tahun ke depan; betul-betul berbeda dari cara pandang sebelumnya,” kata Andi Widjajanto.(*/Ad)
JAKARTA – Calon wakil presiden dari kubu Anies Baswedan telah mengerucut pada satu nama. Partai Demokrat menilai, Tim 8 telah menunjukkan kemajuan menjalankan tugas-tugas sesuai mandat. Kendati demikian belum dipastikan cawapres Anies akan diungkap ke publik.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan, pengumuman siapa yang mendampingi Anies akan melihat momentum tepat. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Anies.
Kamhar menekankan, bagi mereka selaku kader Partai Demokrat tentu saja berharap cawapres dari internal KPP. Sesuai aspirasi segenap kader dan aspirasi masyarakat sebagaimana terpotret dari berbagai lembaga survei.”Mas Ketum AHY adalah figur terbaik untuk mendampingi Mas Anies,” kata Kamhar kepada wartawan, Selasa (6/6).
Namun, ia mengingatkan, keputusan siapa cawapres sepenuhnya diserahkan kepada Anies Baswedan selaku capres. Hal itu sesuai piagam kerja sama tiga partai poin keempat.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama KPP juga akan menyelenggarakan deklarasi. Dalam deklarasi itu akan diumumkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden 2024-2029 dari KPP.
Kamhar menegaskan, mereka semua taat asas dan mengindahkan itu, serta meminta masyarakat menanti. “Kami percaya sepenuhnya kepada Mas Anies yang sebelumnya telah memberi sinyal bahwa cawapresnya dari internal Koalisi Perubahan,” ujar Kamhar.
Sesuai kesepakatan pada piagam kerja sama tiga partai, ia menambahkan, Anies Baswedan telah diberi kepercayaan penuh untuk memilih cawapres. Sosok pilihan cawapres itu sendiri merujuk kepada lima kriteria.
Berkontribusi pada pemenangan, berkontribusi pada penguatan koalisi, berkontribusi pada pengelolaan pemerintahan yang efektif. Memiliki visi yang sama dengan capres dan membangun kebersamaan sebagai dwi-tunggal. “Kita akan taat asas dan mengindahkan kesepakatan ini,” katanya.(*/Nub)
JAKARTA – Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Puan Maharani mengatakan bahwa elektabilitas bakal calon presiden (capres) masih sangat dinamis. Termasuk elektabilitas Ganjar Pranowo di Jawa Barat dan Sumatra Barat.
Ia mengatakan, PDIP akan menyusun strategi pemenangan nasional untuk pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024. Dimana di dalamnya strategi untuk dua provinsi tersebut.
“Strategi Jawa Barat, Sumatra (Barat), dan lain-lain itu tentu saja menjadi satu strategi bagi PDI Perjuangan,” ujar Puan di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Ia memastikan, strategi pemenangan tersebut juga bagian dari upaya mengamankan wilayah yang menjadi lumbung suara PDIP. Termasuk untuk meluaskan suara Ganjar dan PDIP di daerah lain.
“Jadi ini memang rakernas merupakan suatu rakernas yang sangat strategis menjelang Pemilu tahun 2024,” ujar Puan.
Adapun hingga saat ini, sudah ada dua partai politik yang resmi mendukung Ganjar sebagai bakal capres. Keduanya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Hanura.
PDIP masih terbuka dengan partai politik lain yang ingin bergabung dalam koalisi pengusung Ganjar. Ungkapnya, akan ada partai lain yang akan bersilaturahmi ke Kantor DPP PDIP.
“Jadi memang partai parlemen atau non parlemen sedang kami lakukan komunikasi yang intensif dan mulai kemarin sudah PPP. Alhamduilah PAN sudah bersilaturahmi, nanti kedepan akan ada partai-partai lain yang ikut kemudian datang untuk bersilaturahmi,” kata Ketua DPR itu.(*/Ad)
JAKARTA — Jika Koalisi Perubahan (PKS, Demokrat, Nasdem) gagal mengusung Anies Baswedan sebagai capres, maka akan membuka peluang Partai Golkar yang akan mengusungnya. Golkar ada kemungkinan memasangkan ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai cawapres pendamping Anies.
“Jika Anies gagal mendapatkan tiket capres dari koalisi perubahan, kartu Golkar justru lebih hidup,” kata peneliti Lingkaran Suvei Indonesia (LSI) Denny JA, Ade Mulyana, saat merilis survei mereka bertajuk “Jika Anies Gagal Tiket Capres,” pada Senin (5/6/2023).
Dipaparkannya, Anies masih berpeluang gagal maju, jika Mahkamah Agung (MA) memenangkan kepengurusan Moeldoko, dalam konflik internal Partai Demokrat.
Menurut Ade Mulyana, Golkar dapat membuat Anies memperoleh tiket capres cukup dengan berkoalisi dengan salah satu partai apa saja, di luar PPP. Karena koalisi Golkar dengan satu partai saja sudah akan mendapatkan tiket minimum 20 persen kursi DPR.
Golkar justru akan memiliki daya tawar (bargaining) lebih kuat lagi. Golkar dapat menggertak. “Jika Airlangga Hartarto (AH) tak menjadi cawapres terpilih (oleh Ganjar atau Prabowo), Golkar bersama partai lain dapat menghidupkan kembali tiket capres Anies Baswedan,” ungkap Ade Mulyana.
Tapi, lanjut dia, hal itu bergantung pula pada kenekatan Airlangga Hartarto. Ia akan berhitung apa yang akan menimpa dirinya dan Golkar jika berani mencalonkan Anies sebagai capres. Airlangga akan berkaca dari apa yang dialami Surya Paloh.(*/Da)
JAKARTA – Survei nasional Indikator Politik Indonesia menemukan bahwa mayoritas pemilih PDIP ternyata setuju pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka. Padahal, DPP PDIP selama ini gigih menginginkan sistem pemilu diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Peneliti utama di Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, sebanyak 78,3 persen pemilih PDIP pada Pemilu 2019 mengaku setuju dengan sistem proporsional terbuka atau sistem yang memungkinkan pemilih mencoblos calon anggota legislatif (caleg) yang diinginkan. Hanya 14,2 persen yang setuju sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai.
“Basis pemilih PDI Perjuangan, meski elitenya secara umum pro proporsional tertutup, tapi basis masanya pro proporsional terbuka,” kata Burhanuddin ketika merilis hasil surveinya secara daring, dikutip Senin (5/6/2023).
Burhanuddin mengatakan, pemilih partai lain pada Pemilu 2019, semuanya di atas 77 persen mendukung sistem proporsional terbuka. Hanya pemilih PKB yang presentasenya sedikit rendah mendukung sistem proporsional terbuka dibanding partai lain, yakni 66,7 persen.
Jika dilihat berdasarkan sosio demografi responden, lanjut dia, mayoritas juga mendukung sistem proporsional terbuka. Misalkan berdasarkan jenis kelamin, rentang usia etnis, tingkat pendidikan, agama dan tingkat penghasilan responden, presentasenya di atas 70 persen.
“Yang pro proporsional terbuka datang dari semua segmen demografi. Termasuk semua segmen konsituen politik,” kata pria peraih gelar doktor ilmu politik dari Australian National University itu.
Secara keseluruhan, kata Burhanuddin, sebanyak 80,6 persen responden setuju pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka. Sedangkan yang setuju penerapan sistem proporsional tertutup hanya 11,9 persen. Sisanya tidak tahu/tidak jawab. “Artinya, preferensi (publik) terhadap sistem proporsional terbuka mayoritas mutlak,” ujarnya.
Survei Indikator Politik Indonesia ini digelar pada 9-16 Februari 2023, tapi baru dirilis awal Juni 2023. Survei ini melibatkan 1.220 responden dari seluruh provinsi, yang dipilih menggunakan metode multistage random sampling. Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka. Toleransi kesalahan atau margin of error survei ini sebesar 2,9 persen dan tingkat kepercayaannya 95 persen.(*/Ad)
JAKARTA – Partai Nasdem tak terima disebut ‘bermuka dua’ oleh kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Gilbert Simanjuntak. Nasdem pun melawan balik ‘serangan’ tersebut. Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menyebut PDIP merupakan partai besar yang kelakuannya justru seperti anak-anak.
“Kalau PDIP, partai boleh besar, tapi kelakuan kekanak-kanakan,” kata Willy kepada wartawan di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Jumat (2/6/2023).
Sebelumnya, Kepala Badiklatda PDIP DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menyebut Nasdem tidak konsisten dan bermuka dua. Sebab, Nasdem mengaku berkomitmen mendukung dan mengawal Pemerintahan Jokowi sampai tuntas, tapi diam saja ketika Anies Baswedan mengkritik panjang jalan yang dibangun selama rezim Jokowi.
“Sikap inkonsisten dan dua muka Nasdem ini padahal berada dalam kabinet, sangatlah tidak etis. Sebaiknya Nasdem menunjukkan sikap politik yang jelas. Lebih baik keluar dari kabinet, atau menegur Anies sebagai bukti masih mendukung/mengawal pemerintahan saat ini,” kata Gilbert, dikutip dari keterangan tertulisnya.
Permintaan keluar dari partai pendukung Pemerintahan Jokowi sekaligus mundur dari kabinet tersebut dinilai Willy sikap kekanak-kanakan. PDIP, menurut dia, melupakan begitu saja jasa besar Nasdem selama ini untuk Jokowi. Ia pun tak terima Nasdem disebut bermuka dua.
“Apa yang bermuka dua? PDIP kacang lupa pada kulitnya. Yang menjadi modalitas Jokowi di periode pertama Jokowi-JK dan periode ke-2 Jokowi-Ma’ruf Amin itu adalah PDIP dan Nasdem,” kata Willy dengan nada suara meninggi dan muka memerah. “Jokowi lahir dari gedung ini. Jokowi adalah Nasdem. Ibaratnya ibunya PDIP, bapaknya NasDem,” kata Willy menambahkan.
Dia menjelaskan, Nasdem dan PDIP merupakan partai yang berjasa besar memenangkan Jokowi dan mendukung Pemerintah Jokowi sejak tahun 2014. Dia mengibaratkan Nasdem sebagai ayah dan PDIP sebagai ibu yang bersama-sama melahirkan anak bernama Jokowi.
Tentu, kata dia, Nasdem tidak bisa begitu saja meninggalkan anak yang sudah dilahirkan dan dibesarkan itu. Nasdem berkomitmen mengawal Pemerintahan Jokowi sampai tuntas. Dia lantas mengatakan bahwa Nasdem mengusung Anies Baswedan sebagai capres dalam rangka melaksanakan tugas konstitusional partai politik. Selain itu, Jokowi tidak bisa lagi menjadi capres.
Menurut Willy, pernyataan pimpinan PDIP DKI Jakarta itu merupakan ‘provokasi recehan’. Padahal, Nasdem selama ini tidak pernah melakukan provokasi ketika PDIP menolak rancangan undang-undang yang diusulkan Pemerintahan Jokowi. “Kami tidak bilang ‘kenapa PDIP tidak keluar dari kubu pemerintah’. Kami tidak kekanak-kanakan seperti itu,” kata wakil ketua Badan Legislasi DPR RI itu.
Willy menegaskan, PDIP tidak bisa memaksa Nasdem keluar dari Kabinet Pemerintahan Jokowi. Hanya Jokowi sendiri lah yang bisa menendang Nasdem keluar. “Kalau Presiden mengatakan ‘cau’ (keluar dari koalisi pemerintah), maka Nasdem akan taat dan patuh. Bukan PDIP. Bertepuk ini tidak bisa sebelah tangan,” kata Willy.
Kalau Presiden mengatakan ‘cau’ (keluar dari koalisi pemerintah), maka Nasdem akan taat dan patuh. Bukan PDIP.
Nasdem sebelumnya juga sebelumnya terang-terangan menyerang Presiden Jokowi. Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto mengatakan, banyak suara kekhawatiran usai Presiden Jokowi yang mengaku cawe-cawe atau ikut campur. Jangan sampai kekhawatiran banyak pihak itu benar dan memunculkan potensi penyalahgunaan kewenangan dari pimpinan negara tersebut dikutip dari republika.
“Tidak lantas abuse of power, nah catat itu. Mudah-mudahan cawe-cawe yang dimaksud bukan abuse of power, kalau ini terjadi, mundur kita, setback,” ujar Sugeng di kantor Sekretariat Perubahan, Jakarta.
Partai Nasdem yang saat ini masih tergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi mengeklaim masih berpikir positif terkait cawe-cawe Jokowi. Sugeng berharap, ikut campur Jokowi memang dalam rangka kepentingan bangsa, seperti pemulihan ekonomi dan terselenggaranya Pemilu 2024 yang baik.
Indonesia, lanjut Sugeng, harus mampu menghadirkan demokrasi yang benar-benar dilaksanakan secara substansial dan konstitusional. Bukan semata-mata demokrasi prosedural yang hanya menekankan pada mekanismenya saja.
“Apa maksudnya demokrasi substansial? Dalam hal misalnya pencalegan pencapresan biar gagasan yang beradu di permukaan. Pak Anies misalnya dengan tema tagline besarnya adalah keadilan, nanti kan kita breakdown, kami tim kecil itu yang bertugas mem-breakdown apa sih keadilan itu dari sisi ekonomi, politik, sosial, budaya,” ujar Sugeng.
Namun, kata Sugeng, jika ikut campurnya Jokowi terkait Pemilu 2024 benar, akan ada potensi tak netralnya alat-alat negara jelang hingga berakhirnya kontestasi. “Bayangkan kalau presiden betul-betul cawe-cawe, dia sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara yang dia adalah punya alat negara. Kita bisa bayangkan kalau dia lantas tidak netral, aparat lantas tidak netral, itu kan menjadi kekhawatiran kita,” ujar Sugeng.
Kekhawatiran tersebut bukan hanya terkait Pilpres 2024, tetapi juga bersinggungan langsung dengan demokrasi di Indonesia. Banyak pakar dan intelektual juga menolak sikap Jokowi yang terlalu ikut campur terkait kontestasi nasional mendatang.
photo
“Seharusnya presiden tidak cawe-cawe, tidak intervensi, harus netral. Mungkin orang membandingkan di dunia lain, sekali lagi, konstitusi kita berbeda, konstitusi kita jelas mengamanatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara kedudukannya sebagai dalam konteks politik dia harus netral,” ujar ketua Komisi VII DPR itu.
Hubungan Nasdem dengan PDIP dan Presiden Jokowi memang merenggang sejak partai yang dipimpin Surya Paloh itu resmi mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres. Beberapa waktu lalu, mantan menkominfo Johnny Plate juga ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kemenkominfo. Rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat hubungan Nasdem dengan Jokowi dan PDIP semakin panas adem.(*/Ad)
JAKARTA – Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan mengakui bahwa sudah mengantongi satu nama untuk menjadi cawapres-nya. Hanya saja, Anies enggan mengungkap sosok yang akan menjadi pendampingnya dalam gelaran Pilpres 2024 itu.
“Pokoknya sudah ada, tapi nanti pada waktunya diumumkan,” kata Anies usai menjadi pembicara dalam acara pembekalan bakal caleg Partai Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Jumat (2/6/2023).
Menurut Anies, masih ada proses panjang sampai akhirnya dirinya mengumumkan sosok cawapres. Yang penting, kata dia, proses itu sudah berjalan.
Sebelumnya, Ketua DPP Partai Nasdem sekaligus anggota Tim 8 KPP, Willy Aditya menyebut Anies Baswedan memang sudah mengantongi satu nama cawapres. Sosok cawapres yang masih dirahasiakan namanya itu merupakan hasil pertimbangan Tim 8.
“Cawapres itu sudah kita putuskan di Tim 8. Jadi benar sudah ada satu nama,” kata Willy kepada wartawan di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Jumat.
Willy menjelaskan, Tim 8 alias tim kecil yang terdiri atas perwakilan Nasdem, PKS, Demokrat, dan pihak Anies menentukan satu nama cawapres itu setelah melalui proses pertimbangan kuantitatif dan kualitatif selama sekian bulan. Berawal dari lebih dari lima nama kandidat cawapres, lalu dikerucutkan menjadi tiga nama, hingga akhirnya diputuskan satu nama.
Dia enggan memastikan apakah satu nama cawapres pilihan Tim 8 itu berasal dari internal koalisi atau bukan. Dia juga enggan memastikan apakah sosok itu laki-laki atau perempuan. Dia hanya mengatakan bahwa cawapres pilihan Tim 8 itu adalah sosok yang sesuai dengan aspirasi rakyat.(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh diketahui mengajak elite Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bertemu di Pulau Kaliage, Kepulauan Seribu. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya ikut dalam pertemuan itu.
Riefky mengungkapkan, salah satu yang dibahas adalah membicarakan potensi upaya penjegalan terhadap Anies Rasyid Baswedan. Termasuk dengan mengganggu tiga partai politik dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan.
“Adanya indikasi, upaya penguasa akan melakukan segala cara untuk membuat bacapres Anies Rasyid Baswedan tidak berlayar. Dengan cara dan sumber daya apapun termasuk mengganggu tiga partai politik pendukungnya,” ujar Riefky saat dikonfirmasi, Rabu (31/5/2023) dikutip dari ripublika.
Koalisi Perubahan untuk Persatuan tetap bertekad dan solid di tengah potensi penjegalan tersebut. Terutama untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan agar kehidupannya lebih sejahtera, aman, dan memiliki kebebasan dalam berdemokrasi.
“Utamanya memiliki keadilan yang sama di mata hukum, maka Koalisi Perubahan ini harus berusaha untuk membuat Anies Rasyid Baswedan berlayar,” ujar Riefky.
“Tentunya dengan cara-cara yang kami tempuh adalah secara konstitusional, sesuai dengan hukum dan berlandaskan pada ideologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI,” sambung Wakil Ketua Komisi I DPR itu.
Sebelumnya, Anies buka suara soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku akan cawe-cawe atau ikut campur demi kepentingan negara. Jelasnya, ada kekhawatiran soal cawe-cawe itu berkaitan dengan kontestasi nasional 2024 mendatang.
Dari aspirasi yang disampaikan kepadanya, kekhawatiran cawe-cawe Jokowi itu dapat terkait dengan penjegalan, kriminalisasi, hingga penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang tidak sportif. Aspirasi itu juga disampaikan oleh para bakal calon legislatif (caleg).
“Semua itu dikhawatirkan muncul akibat adanya pernyataan bahwa tidak netral dan cawe-cawe. Nah kami berharap kekhawatiran kekhawatiran yang tadi diungkapkan itu tidak benar,” ujar Anies di Kantor Sekretariat Perubahan, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Ia mengatakan, setiap orang punya hak yang sama untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Harapannya, semua yang berkontestasi memiliki kesempatan yang sama untuk berkontestasi.
Penyelenggara Pemilu 2024 juga harus menyelenggarakan seluruh tahapannya dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jangan sampai ada perlakuan-perlakuan yang berat sebelah terhadap satu orang atau kelompok tertentu.
“Jadi kami berharap bahwa kekhawatiran-kekhawatiran itu tidak benar dan justru yang terjadi adalah pelaksanaan yang baik, pelaksanaan yg sesuai dengan prinsip demokrasi, jujur, adil,” kata Anies.(*/Ad)
JAKARTA – Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meminta seluruh kader partai berlambang bintang mercy mengikuti perkembangan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh Moeldoko di Mahkamah Agung (MA).
Ia memerintahkan, seluruh kader di Tanah Air siap untuk memperjuangkan jika ada ketidakadilan yang diterima Partai Demokrat. “Ini sambil memohon pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT. Ikuti petunjuk Ketua Umum. Jika keadilan tak datang, kita berhak memperjuangkannya secara damai dan konstitusional,” kata SBY, Ahad (29/5/2023).
SBY mengaku, telah menerima telepon dari seorang mantan menteri terkait PK yang diajukan kepala Staf Presiden (KSP) ini. Namun, SBY tak menyebut siapa mantan menteri tersebut. SBY menuturkan, ia kerap menerima pesan-pesan tersebut. Sehingga SBY menduga bahwa pengambilalihan Partai Demokrat oleh Moeldoko merupakan hal yang serius.
“Pesan seperti ini juga kerap saya terima. Jangan-jangan ini serius bahwa Demokrat akan diambil alih,” tutur SBY dikutip dari rpublika.
Ia menyampaikan, berdasarkan akal sehat, MA sulit menerima PK Moeldoko tersebut. Sebab, sudah 16 kali pihak Moeldoko kalah di pengadilan. SBY menilai jika hal ini terjadi, informasi adanya tangan-tangan politik untuk mengganggu Demokrat agar tak bisa ikuti Pemilu 2024 barangkali benar. “Ini berita yang sangat buruk,” kata SBY.
Presiden RI periode 2004-2014 ini berharap, pemegang kekuasaan politik dan hukum tetap amanah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Indonesia, kata dia, bukan negara ‘predator’ serta tak menganut hukum rimba.
“Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, saya harap pemegang kekuasaan (politik dan hukum) tetap amanah, tegakkan kebenaran dan keadilan. Indonesia bukan negara ‘predator’ (yang kuat memangsa yang lemah) serta tak anut hukum rimba, yang kuat menang, yang lemah selalu kalah,” katanya menegaskan.
Pernyataan SBY ini setelah muncul pernyataan dari mantan wamenkumham, Denny Indrayana, soal tukar guling kasus perkara MA di KPK dengan putusan menerima PK Moeldoko oleh MA. Denny Indrayana sebelumnya membocorkan informasi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memutus mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutupKetua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan Kepala Staf Kepresidenan Indonesia Moeldoko telah mengajukan PK untuk putusan MA terkait dengan ‘kudeta’ Partai Demokrat. Moeldoko mengajukan PK pada 3 Maret 2023.
PK yang diajukan Moeldoko dan Jhoni Allen Marbun di MA untuk menguji putusan kasasi MA dengan Nomor Perkara: 487 K/TUN/2022, yang telah diputus pada tanggal 29 September 2022. Di sisi lain, Moeldoko mengaku tidak mengurus pengajuan PK terhadap putusan kasasi yang memenangkan Partai Demokrat versi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pihaknya bersikap netral saat menanggapi upaya hukum berupa peninjauan kembali ke MA ini. Yasonna meminta kepada seluruh pihak untuk mentaati hukum yang berlaku dan berlaku sebagaimana ketentuan hukum.(*/Jo)
JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia mempertanyakan kewenangan MK dalam memutuskan hal tersebut.
Putusan yang memperpanjang masa jabat pimpinan KPK dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
“Itu kan agak dalam tanda kutip penghinaan terhadap DPR dan presiden. Kan pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden,” ujar Arsul di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Ia juga menilai adanya inkonsistensi dari MK usai memutuskan untuk menjadikan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Sebab sebelumnya, juga ada gugatan terhadap Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Di pasal tersebut mengatur, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.
Namun, MK menolak semua gugatan terhadap pasal tersebut. Di mana dalam pertimbangannya, MK tak menyinggung soal ketidakadilan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.
“Nah tiba-tiba di sini di dalam pertimbangan putusan itu, bicara soal keadilan, soal keadilan terkait masa jabatan. Empat tahun itu dianggap, satu, bertentangan dengan prinsip keadilan, dibandingkan dengan lembaga negara lain yang constitutional important,” ujar Arsul.
“Tapi ketika bicara tentang dirinya sendiri, MK mengatakan itu tidak masalah. Sehingga uji materinya ditolak, nah ini menimbulkan pertanyaan, apakah sebagian hakim kita masih negarawan atau sudah sama seperti politisi kami yang ada di DPR ini, bisa berubah-ubah,” sambungnya.
Ia pun menyinggung, apakah keputusan tersebut dikarenakan adanya kepentingan politik atau kelompok tertentu. Sebab, MK tak pernah menyinggung ihwal keadilan tersebut di gugatan-gugatan lain yang serupa.
“Karena ada kepentingan politik, ada kepentingan katakanlah kelompok, ada kepentingan pribadi ya, maka putusannya kemudian standarnya berbeda. Ini yang menjadi concern, kenapa menjadi concern? karena MK itu berbeda dengan lembaga negara yang lain,” ujar Wakil Ketua MPR itu.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro