JAKARTA – Mantan terpidana kasus politik, DR Syahganda Nainggolan, mengatakan pihaknya menuntut kepada Presiden untuk melakukan rehabilitasi nama baiknya. Hal ini terkait terkait keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD 1945.
“Saya meminta Presiden Jokowi merehabilitasi nama saya. Apalagi saya telah ditangkap puluhan polisi pada 13 Oktober 2020 pukul 03.00 pagi dini hari atas tuduhan melakukan tindakan pidana membuat keonaran yang meresahkan masyarakat. Barang bukti penangkapan saya adalah pernyataan saya di tweeter yang mengutuk rencana UU Omnibus Law Ciptaker yang menyengsarakan buruh. Nah UU ini kini harus direvisi oleh putusan MK.
Maka UU ini terbukti bermasalah. Untuk itu nama baik saya sekarang oleh negara harus direhabilitasi,” kata Syahganda, yang kini tengah berada di Belanda yang dikutip dari republika. (26/11/2021).
Syahganda menegaskan, seperti diketahui pengadilan Depok mengadilinya dan menjatuhkan hukuman penjara 10 bulan atas tuduhan tersebut. Hal itu adalah melakukan perbuatan atau pemberitaan berlebihan atau kekurangan yang berpotensi menyebabkan kerusuhan.
”Sebelumnya jaksa menuntut saya untuk dipenjara selama 6 tahun. Kuasa hukum saya, Alkatiri SH dan saksi ahli Dr Margarito Kamis, SH, dalam persidangan itu pun sudah mengatakan bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker itu bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945. Nah, sekarang terbukti. Jadi apa salah saya kok sampai harus dihukum,” tukasnya.
Syahganda selanjutnya mengatakan selain menuntut secara politik agar Jokowi merehabilitasi nama baiknya, dia meminta agar nama baik Mohammad Jumhur Hidayat dan Anton Permana juga direhabilitasi. “Hukuman kepada Jumhur harus dianulir dan direhabilitasi nama baiknya oleh negara. Demikian pula untuk terdakwa lainnya Anton Permana.”
“Rehabilitasi nama baik ini adalah urusan politik moral. Sebab, memenjarakan orang yang membela tegaknya konstitusi merupakan kejahatan moral. Nama baik kami harus direhabilitasi sekarang,” tegas Syahganda.
Senada dengan Syahganda, Jumhur Hidayat juga bersikap senada. Usai terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Cipta Kerja, maka pihaknya menuntut Presiden Jokowi sebagai kepala negara merehabilitasi namanya. Sebab, apa yang ia cemaskan bahwa UU tersebut merugikan rakyat, diantaranya kaum buruh, kini sudah terbukti.
”Dahulu kami menyatakan UU Cipta Kerja menyengsarakan rakyat itu dianggap hoak dan kami dipenjara. Eh ternyata kini UU itu dianggap batal meski dengan bersyarat. Jadi apa salah kami ketika memprotes UU itu. Kami sudah terlanjur coreng moreng nama baiknya. Negara harus memulihkannya,” kata Jumhur ketika dihubungi.
Jumhur menegaskan, sebagai imbas dari putusan MK maka kini kepada pihak yang dihukum akibat memprotes UU ini harus dipulihkan nama baiknya. Mereka yang tengah menjalankan hukuman harus diberi amnesti. Mereka yang masih menjalani proses hukum harus mendapat abolisi. Dan mereka yang sudah menjalankan hukuman harus direhabilitasi. Ini adalah kewajiban presiden selaku kepala negara, bukan sebagai kepala eksekutif,” kata Jumhur Hidayat menandaskan.(*/Ad)
JAKARTA – Polisi tidak akan menilang warga yang melanggar aturan ganjil genap di lokasi wisata saat penerapan PPKM Level 3 periode Natal dan Tahun Baru (Nataru). Pengunjung tempat wisata yang melanggar hanya diputarbalik.
“Iya seperti itu (tidak ditilang tapi diputarbalik),” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (27/11/2021).
Menurut Dedi, kebijakan putar balik bukan tilang merupakan salah satu bentuk edukasi yang diberikan kepada masyarakat agar protokol kesehatan (prokes) terus ditegakan. “Tetap kita memberikan edukasi, informasi kepada masyarakat untuk patuh betul-betul protokol kesehatan, dan patuh pada aturan. Kalau misalnya yang pas waktunya ganjil ya ganjil, semuanya sama dalam rangka mencegah, jangan sampai terjadi ledakan Covid-19,” katanya.
PPKM Level 3 akan diterapkan di seluruh Indonesia menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Hal itu sebagai upaya menekan laju pertumbuhan Covid-19.
Selain ganjil genap, kata Dedi, tempat wisata nantinya dipantau untuk memastikan aplikasi PeduliLindungi dipasang, sebagai alat screening masyarakat. Dedi juga mengingatkan bahwa kapasitas pengunjung tempat wisata maksimal hanya 50% dari jumlah normal.(*/Ad)
JAKARTA – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menolak permohonan gugatan yang Partai Demokrat yang diajukan KSP Moeldoko dan Jhonny Allen Marbun (JAM) kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham).
Penolakan itu termaktub dalam laman resmi Mahkamah Agung (MA) dengan nomor perkara 150/G/2021/PTUN-JKT, Selasa (23/11/2021). “Partai Demokrat bersyukur dan mengapresiasi Majelis Hakim PTUN yang telah menunjukkan integritas, bersikap objektif dan adil dengan menolak gugatan Moeldoko.
Putusan majelis hakim sudah tepat secara hukum, dan diambil dengan pertimbangan yang teliti, mendalam, dan menyeluruh,” kata Kuasa Hukum DPP Partai Demokrat, Hamdan Zoelva.
Menurut Hamdan, dengan keluarnya putusan PTUN sekaligus mengonfirmasi keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang menolak pengesahan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) ilegal Deli Serdang sudah tepat secara hukum. Putusan itu, sambung dia, semakin membenarkan Agus Harimurti Yudhoyono, yang terpilih dalam Kongres V Partai Demokrat 2020, merupakan Ketua Umum Partai Demokrat yang sah dan diakui oleh Negara.
“Majelis Hukum menolak gugatan KSP Moeldoko dan JAM karena PTUN tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara ini sebab perkara ini menyangkut internal parpol,” ujarnya.
Dia menuturkan, dengan berakhirnya gugatan KSP Moeldoko yang secara resmi ditolak PTUN, selanjutnya Partai Demokrat tengah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam menghadapi gugatan pendukung KSP Moeldoko yang menuntut membatalkan dua SK Menkumham terkait hasil Kongres V Partai Demokrat 2020. Gugatan ini tercatat dengan nomor perkara 154/G/2021/PTUN-JKT di PTUN Jakarta.
“Kami berharap putusan PTUN ini, dan sebelumnya penolakan Mahkamah Agung atas Uji Materiil Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat, bisa menjadi rujukan bagi Majelis Hakim untuk memutuskan perkara No. 154 yang tengah melaju dalam proses hukum serupa di PTUN Jakarta,” ungkapnya.(*/Jo)
JAKARTA – Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy’ari memberikan pandangannya terhadap pilihan model pemilu serentak yang membagi antara pemilu tingkat nasional dan lokal. Hal ini mengacu pada enam opsi model pemilu serentak yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.
Pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. Kemudian, beberapa waktu setelahnya diselenggarakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, serta bupati/wali kota.
Pemilu serentak tingkat nasional dan lokal itu dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). Hasyim mengatakan, opsi ini telah disampaikan KPU kepada MK ketika memberi keterangan untuk perkara yang sedang berproses yakni nomor 16/PUU-XIX/2021 terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Itu disampaikan pendapat KPU di dalam sidang MK untuk perkara 16. Perkara 16 ini akan dilanjutkan pada tanggal 24 November,” ujar Hasyim dalam keterangan tertulisnya dikutip laman resmi KPU RI, Selasa (23/11/2021).
Sebab, dia mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan memilih opsi model pemilu serentak, mengingat hal tersebut masuk ranah pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR. MK hanya memberi kata kunci keserentakan pemilu yang tidak boleh dipisah. “Opsi-opsi didalam putusan MK diserahkan ke pembentuk UU, levelnya bukan KPU memilih, ini levelnya para pembentuk UU, Presiden dan DPR,” kata Hasyim.
Dia menjelaskan, keserentakan yang mesti dijaga ialah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan presiden/wakil presiden, karena sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia salah satu cirinya dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian, dalam konstitusi tugas MPR melantik presiden terpilih berdasarkan surat terkait penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU.
“Berdasarkan itulah kemudian dilantik MPR gabungan anggota DPR dan DPD, maka dengan begitu logis bahwa Pemilu untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD tidak bisa dipisah-pisah keserentakannya,” tutur Hasyim.
Hasyim meragukan opsi keserentakan itu di tengah kesepakatan politik pemerintah dan DPR untuk tidak merevisi UU Pemilu maupun UU Pilkada. Untuk itu, opsi-opsi ini statusnya bebas dan tidak berkaitan dengan ide amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa presiden.
“Kalau mau mengambil, katakanlah opsi empat itu kan ranahnya revisi UU Pemilu untuk mengatur keserentakan pemilu nasional, dan kemudian revisi UU pilkada untuk mengatur keserentakan pemilu daerah, faktanya tidak ada kehendak revisi,” paparnya.(*/Ad)
JAKARTA – Penangkapan beberapa ulama sekaligus adanya isu publik terkait pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi isu sensitif dalam kehidupan beragama dan bernegara. Pemerintah diminta hati-hati menanggapi hal ini.
Hal itu disampaikan oleh anggota DPR RI Fraksi PKS, Syahrul Aidi Maazat. Dia menganggap langkah pemerintah sangat dinanti oleh masyarakat, khususnya yang beragama Islam saat ini.
“Penangkapan beberapa ulama akhir-akhir ini merisaukan kita. Kemudian ditambah lagi ada narasi yang berkembang agar MUI juga dibubarkan. Kita tidak tahu narasi seperti apa dan ending bagaimana yang diharapkan oleh oknum yang menghembuskannya dikutip dari republika.
Menurut kita ini berlebihan,” kata Syahrul Aidi dalam pesan singkatnya, Senin (22/11/2021).
Dia menambahkan, pemerintah perlu menelusuri siapa penyebar isu meresahkan terkait pembubaran MUI. Terutama mencari siapa yang membuat panas ruang publik karena penangkapan ulama. Karena, isu seperti ini akan merusak keharmonisan kehidupan bernegara ke depannya.
“MUI itu harusnya diperkuat oleh pemerintah. Ulamanya diberi ruang untuk berkontribusi mengatasi persoalan bangsa. Masyarakat Indonesia masih ikut kata-kata ulama. Kita yakin itu.” katanya.(*/Ad)
JAKARTA – Tagar bubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggema di media sosial pasca adanya penangkapan tiga terduga teroris oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Terduga yang ditangkap tersebut ditengarai sebagai pengurus MUI.
Mantan Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI Din Syamsuddin mengatakan desakan pembubaran tersebut tidak perlu ditanggapi serius.
Desakan tersebut boleh jadi menunjukkan adanya kelompok Islamofobia yang memanfaatkan momentum penangkapan sejumlah ulama. Kelompok itu boleh jadi mendapatkan dukungan dari rezim yang berkuasa.
“Desakan dari pihak tertentu untuk bubarkan MUI tidak perlu ditanggapi serius,” ujar Din melalui keterangan tertulis kepada MNC, Senin (22/11/2021).
Atau, kata Din, desakan itu palsu yakni hanya merupakan manuver untuk mengalihkan perhatian dari masalah besar yang sedang dihadapi bangsa atau pelanggaran etika kekuasaan yang sedang didesakkan penyelesaiannya oleh sebagian rakyat.
“Mereka hanya ingin mengetes air (testing the water). Maka, sebaiknya kita lihat saja dengan tersenyum apakah kelompok yang mendesakkan pembubaran MUI itu benar-benar berani atau sesungguhnya mereka adalah kelompok pengecut yang hanya bisa mengumbar kata-kata tapi tidak berani melaksanakannya,” tegas Din.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu mengatakan semua pihak hendaknya jangan beralih perhatian untuk terus melakukan amar makruf nahi munkar terhadap kerusakan struktural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Ketahuilah kalau ada pihak, siapa pun mereka, yang berani membubarkan MUI maka mereka akan berhadapan dengan umat Islam di seluruh Tanah Air. Sebagai yang pernah memegang amanah sebagai Ketua Umum MUI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI saya siap turun lapangan,” tegas dia.
Sebagai informasi, Densus 88 Antiteror Polri menetapkan Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif Ahmad Zain An-Najah, Ketum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) Ustaz Ahmad Farid Okbah, dan Ustaz Anung Al Hamat sebagai tersangka. Ketiganya diduga terlibat dalam kasus terorisme.Sekretaris Jenderal MUI Buya Amirsyah Tambunan mengatakan Zain An-Najah bertindak sebagai pribadi dan tidak ada kaitannya dengan MUI. Karenanya, berkaitan dengan perkara tersebut, MUI menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus sampai ada kejelasan hukum.
“Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam gerakan terorisme merupakan urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. MUI menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus MUI sampai ada kejelasan berupa keputusan yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Buya Amirsyah.(*/Ad)
JAKARTA – Calon Presiden Partai Golkar dinilai mampu merebut pangsa pasar pemilih di Jawa Barat dan mengalahkan capres dari Gerindra. Syaratnya, tidak ada isu agama dan Partai Golkar harus mengusung calonnya sendiri pada Pilpres 2024.
“Kalau Golkar bisa mencalonkan jagoan sendiri sangat mungkin Golkar bisa kalahkan Gerindra karena cottail effect. Dan secara isu tidak terlalu ada sentimen agama. Tapi kalau ada sentimen agama, PKS dan Gerindra bisa menguat lagi,” kata Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno saat dihubungi wartawan, Sabtu (20/11).
Adi menuturkan suara Partai Golkar bisa menguat jika mereka mencalonkan kadernya sendiri. Terlebih, pencalonan tersebut akan memberi efek ekor jas kepada partai berlambang pohon beringin tersebut saat pemilihan legislatif.
“Golkar bisa menguat signifikan karena dapat cottail effect di Pileg. Itu otomatis. Soal Pilres, tergantung siapa pasangan Airlangga,” ujarnya.
Adi menambahkan jika Golkar berkoalisi dengan PDIP, dan kader mereka menjadi capres, kemungkinan suara Golkar menguat. Namun, apabila jagoan Golkar hanya menjadi cawapres, dia menyebut agak sulit memenangkan suara pileg.
“Karena secara alamiah, berkaca Pileg 2014 dan 2019, Golkar belum pernah juara,” katanya.
Lebih lanjut, Adi menambahkan suara pemilih Jabar sukar ditebak. Oleh karena itu, dia mengakui sulit membaca kekuatan politik di provinsi tersebut khususnya dalam pemilihan legislatif.
“Di pilpres mayoritas anti Jokowi. Tapi di Pileg silih berganti pemenangnya. 2014 yang menang PDIP disusul Golkar runner up. Pileg 2019 Gerindra pemenangnya, ketiga PKS, Golkar posisi keempat,” katanya.
Polarisasi pemilihan presiden 2024 sudah mulai menghangat. Koalisi Partai Golkar diyakini akan menghadapi koalisi Partai Gerindra dan PDIP.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto diprediksi menjadi salah satu calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang. Ia akan bersaing dengan pasangan calon dari koalisi PDIP-Partai Gerindra, kemudian Partai Demokrat dan partai-partai politik lainnya.
“Ada tiga calon, Airlangga dengan pasangannya, Prabowo besar kemungkinan dengan Puan Maharani, satu lagi pasangan Anies Baswedan,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga beberapa waktu lalu.
Jamiluddin menuturkan peluang tiga partai besar yakni PDIP, Golkar, dan Gerindra bertarung dalam Pilpres 2024 sangat kuat. Menurutnya, ketiga partai itu akan mengusung kadernya menjadi capres atau cawapres.
“Ada kemungkinan Puan akan dijadikan cawapres berpasangan dengan Prabowo sebagai capres. Kemungkinan ini semakin besar karena ada kedekatan hubungan antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo,” kata Jamiluddin.(*/Jo)
JAKARTA – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri memberlakukan status waspada terkait adanya unggahan seruan jihad untuk melawan pasukan khusus pemberantasan teroris yang tersebar di media sosial. Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar menyebutkan, Densus 88 Antiteror tidak akan terpengaruh dengan unggahan-unggahan provokasi tersebut sehingga tetap fokus melakukan operasi pencegahan dan penindakan terorisme di Tanah Air.
“Kami waspada,” kata Aswin saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (19/11/21).
Sebuah tangkapan layar pesan grup “Whatsapp” beredar di sosial media berisi seruan jihad melawan Densus 88 Antiteror Polri. Pesan itu, turut mengajak umat untuk membakar polres-polres.
Aswin mengatakan, Polri sudah memonitor ada unggahan tersebut dan sudah mengantisipasi dengan unit-unit siber yang ada di tingkat Mabes Polri, polda, dan polres. “Tentu ada unit-unit di Mabes Polri, polda, dan polres yang akan menangani persoalan ITE seperti ini,” ujarnya yang dikutif dari antara.
Menurut Aswin, setelah penangkapan tiga terduga teroris di Bekasi, Jawa Barat,unggahan bernada provokasi terhadap Densus 88 Antiteror sudah lebih berkurang. “Kalau menurut monitoring kami, justru sudah menurun dan terlihat lebih tenang postingan-postingan tentang penangkapan kemarin di internet dan sosmed,” kata Aswin.
Meskipun demikian, Densus 88 Antiteror tetap mewaspadai hal-hal tidak diinginkan yang dapat mengganggu jalannya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme.
Seperti diketahui, Tim Densus 88 Antiteror Polri menangkap tiga mubaliqterkait aktivitas lembagapendanaan milik kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI). Ketiga mubalig tersebut, yakni Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, dan Anung Al Hamat.
Ketiganya terlibat dalam kepengurusan Lembaga Amil Zakat Baitu Mal Abdurrahman Bin Auf (LAM BM ABA) milik kelompok teroris JI. Hasil penyidikan Densus 88 bahwa Ahmad Zain An-Najah merupakan Ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Abdurrahman Bin Auf (LAM BM ABA),Farid Ahmad Okbah merupakan anggota Dewan Syariah LAM BM ABA, dan Anung Al Hamat sebagai pendiri Perisai Nusantara Esa.
LAM BM ABA merupakan lembaga pendanaan yang dikelola oleh kelompok JI, sedangkan Perisai Nusantara Esa merupakan organisasi sayap kelompok JI. Sebagaimana diketahui, Ahmad Zain An-Najah merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah dinonaktifkan setelah penangkapan. Begitu pula dengan Farid Ahmad Okbahtercatat sebagai anggota Komisi Fatwa di MUI Bekasi sudah dinonaktifkan.(antara/Ad)
BANDUNG – ICMI Orwil Jawa Barat meminta Pemerintah untuk mencabut atau mengevaluasi/ merevisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. ”Ini demi kebaikan dan kemaslahatan generasi bangsa,” tandas Ketua ICMI Korwil Jabar, Prof. Dr. H. Moh. Najib, M.Ag dalam pernyataan sikap ICMI Jabar , Kamis (18/11).
Ada tiga poin yang disampaikan ICMI Jabar terkait Permendikbudristek tersebut.Pertama, ICMI Orwil Jawa Barat menyayangkan penerbitan SK Mendikbudristek dengan maksud sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi. ”Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memunculkan pertentangan, karena prosedur pembentukan peraturan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 Tahun 2019 dan materi muatannya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan UUD 1945,” tandas Najib dikutip dari republika.
Kedua, dikatakan Najib, ICMI Korwil Jabar berpendapat dengan pemakaian bahasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, tidak sejalan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundang- Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
”Ketiga, Atas dasar di atas, maka ICMI Orwil Jawa Barat meminta Pemerintah untuk mencabut atau mengevaluasi/ merevisi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, demi kebaikan dan kemaslahatan generasi bangsa,”sambungnya.(*/He)
JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang menyebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menyampaikan penetapan jadwal Pemilu 2024 pada awal Desember nanti. Setelah itu, pihaknya bersama pemerintah dan penyelenggara Pemilu akan menggelar rapat kerja (raker).
“Sebelum masa reses pada 16 Desember 2021, Komisi II DPR akan melaksanakan raker dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menetapkan tanggal dan bulan pelaksanaan Pemilu 2024,” ujar Junimart kepada wartawan, Kamis (18/11).
Pihaknya akan patuh pada peraturan perundang-undangan dalam penetapan pelaksanaan Pemilu 2024. Mengingat, KPU dan penyelenggara pemilu lainnya harus independen dan tidak bisa diintervensi sebagaimana amanat konstitusi.
“Otoritas penentuan jadwal pemilu mutlak berada di tangan KPU. Pasal 167 UU Pemilu secara tegas menyebutkan bahwa penentuan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara ditentukan oleh KPU dengan keputusan KPU,” ujar Junimart.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, komisioner KPU telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno pada 11 November lalu. Ia mengungkapkan, pertemuan tersebut telah menyepakati jadwal pemilihan umum (Pemilu) 2024.
“Yang katanya insya Allah, kabarnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan penyelenggara pemilu,” ujar Rifqi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/11/21)dikutif dari republika.
Namun, ia tak mengungkapkan tanggal Pemilu 2024 yang menjadi kesepakatan antara KPU dan pemerintah. Rifqy hanya mengungkapkan, tanggalnya tak jauh berbeda dengan yang menjadi usulan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Nampak-nampaknya (tanggal Pemilu 2024) tidak jauh berbeda dari usul Fraksi PDI Perjuangan,”katanya.(*/Ad)
© 2015. All Rights Reserved. Jurnal Metro.com | Analisa Jadi Fakta
Koran Jurnal Metro